._satu_.

2441 Words
“Kayaknya ini Titim punya mata deh,” gumamku. Aku menyipit, kemudian membuka mata sedikit untuk mengintip sesuatu yang ada di antara kedua jempolku. My heart skipped a beat! Delapan puluh tiga kilogram! Nggak salah nih? Rusak kali, ya? Huft! Kuhela napas berkali-kali sebelum memutuskan untuk naik lagi ke atas Titim. Dan....  “Aku ganti digital nih, kalau kamu masih rese’ kayak gini,” omelku. Jarumnya menjerit ke kanan, Ya Tuhan, dan ini benar-benar delapan puluh tiga kilogram! Aku mengucek mata, siapa tahu kan, mataku kelilipan! Perasaan... kemarin itu masih di kisaran tujuh puluh sekian deh. Hih! Masa iya, cuma dua minggu bisa naik sampai sepuluh kilo? Ah... nggak mungkin banget. Angka ini benar-benar melebihi yang kuperkirakan sebenarnya. Setidaknya menurutku begitu. Hanya ada dua kemungkinan sih, kalau bukan karena alatnya yang rusak atau memang... No! No! Nggak mungkin! Pasti karena alatnya yang rusak. Umurnya saja sudah sepuh, mungkin sudah tiga tahunan ini tergeletak di sudut kamarku. Kulirik lagi, dan benda berpunggung cokelat yang sudah memudar warnanya itu seolah menertawakanku. Kubayangkan ada cengiran mengejek persis di bawah layar yang tadinya menunjukkan angka dalam kilogram yang jelas kuingkari mati-matian! Rusak! Pokoknya itu penjelasannya! Dasar Titim! Nama jelek yang aku sematkan pada benda yang suka meneriakkan jumlah kilogram tubuhku. Kependekan dari timbangan sebenarnya. Aku tak tahu ya, kenapa sepertinya timbangan ini sensi sekali sama aku. Padahal aku hanya memanfaatkannya seperti apa mestinya. Cuma menaiki beberapa saat dan dia membalasnya dengan berat halusinasi bukannya fakta. Maksudku, aku kan nggak pernah menganiaya dia, kayak menaiki terus melompat-lompat gitu. Aku sadar banget kalau ini tuh timbangan, bukannya trampolin, ya, kan? Malah aku sopaaan sekali kalau mau naik, sering pakai cara permisi dulu, minta izin dulu... biar dia nggak tersinggung karena aku injak. Tapi... kayaknya tata kramaku nggak berarti banyak. Huft! Dan aku mulai curiga kalau Titim ini punya mata, atau paling tidak radar entahlah apa. Yang jelas, aku yakin apa yang Titim miliki pasti adalah radar ketidaksukaan padaku. Soalnya setiap kali aku mau menaiki dia, belum juga kakiku menapak di badan dia, dia seperti sudah lari ke kanan saja begitu. Terus kalau aku sudah di atasnya, meski aku harus menghembuskan napas berkali-kali untuk mengurangi kadar angin di dalam tubuh—oh... tunggu, memangnya ini efektif?—dia tetap saja berlari riang ke kanan. Nyaris menjebol sisi yang bertuliskan seratus kilogram. Dasar pengkhianat! Aku mengangkat lalu menggoyangkan kaki kanan beberapa kali, maksudnya buat mengecoh si Titim. Siapa tahu kan, kalau sebelah kaki saja angkanya jadi turun drastis. Berkurang dua puluh kilogram misalnya. Namun, jarumnya masih bergeming. Nggak ada penurunan berarti, jarumnya berkedip pun tidak. Teruuus, saat aku menurunkan kaki kanan dan aku menyentuh badannya, padahal hanya memakai ujung jempol saja, dan aku melakukannya selembut mungkin, eh… jarumnya malah bergeser sedikit lagi. Nyaris delapan puluh empat kilogram! s**l! Memang minta diganti digital nih si Titim. Dia tidak akurat! Berat badanku pasti nggak segitu! Pulang nanti harus beli timbangan digital. Awas kamu, Tim! Tunggu pembalasanku sampai kamu kulemparkan ke tempat sampah! Huh! Biar kamu nangis-nangis minta dipungut nanti, aku nggak bakal sudi! Ingat aja, tuh! Merasa sedikit lebih baik karena sugestiku untuk membeli timbangan baru—yang digital, dong! Aku sudah nggak mau berurusan dengan jarum-jaruman—akhirnya aku beranjak menjauhi Titim, kubalikkan badan sesekali, meliriknya seraya melemparkan sorot mata penuh permusuhan. Dan Titim, yang berwarna cokelat tua itu, seolah membalasku dengan gelak tawa riang tapi dengan nada mencela. Ih… awas aja kamu, ya, Tim! Alarm ponselku berkoar tiba-tiba. Astaga… aku kaget, sumpah! Siapa sih yang menyetel nada alarm seperti anak kucing terjepit papan begitu? Ew! Bukannya kemarin sudah kusetel kembali ke nada favoritku? Soundtrack Harry Potter itu, lho! Bunyikan lembut mendayu-dayu di telinga, favoritku sepanjang masa. Sekaligus film yang membawaku ke angan-angan jauh tinggi membuai, menempatkanku sebagai salah satu murid Hogwart yang sangat menyukai pelajaran ramuannya Profesor Severus Snape. Oh... jelas, aku bakal membuat ramuan Kurus Selalu Meski Makan Banyak. Nggak usah menghayal, Gem! Aku mengernyit karena menyadari bahwa aku sendirilah yang menyetel bunyi alarm seperti anak kucing kejepit yang melengking berteriak sampai bulu kuduk berdiri itu. Ya... mau gimana lagi, bunyi-bunyi lembut apalagi semacam soundtrack Harry Potter yang melegenda itu nyaris seperti lagu pengantar tidur daripada bunyi yang bisa membuatku tergeragap panik kemudian terbangun dari mimpi panjang yang entah kenapa selalu melibatkan adegan menyantap makanan. Jadi, ya sudahlah... suara mengerikan inilah yang paling efektif untuk membangunkanku dari mimpi indah paling nyenyak sekalipun. Tapi, ini kan bukan alarm bangun pagi, hey! ‘Kafe De Latte, pukul 4’, begitu tulisan yang tertera di layar saat tanganku sigap menyekrol layarnya menghentikan bunyi memekakkan telinga. Oh no, aku lupa. Ya ampuuun! Masih sempat nggak ya? Masih bisa mandi dulu nggak nih? Ini sudah pukul dua lebih sedikit. Aku sudah punya janji dengan pemilik kafe itu minggu lalu, dan aku benar-benar melupakannya karena beranggapan weekend adalah hari suci yang tak boleh diganggu apa pun kecuali rebahan. Tapi, yang namanya janji tetap janji, dan janjimu itu bernilai sekian juta rupiah, Gema! Kuangkat p****t dan ngibrit ke kamar mandi. Lalu kemudian harus melolong karena lupa bawa handuk! s**l! Syukurnya aku hanya tinggal sendiri di sini dan dengan leluasa keluar dari kamar mandi. Secepat kilat menyambar handuk. Saat aku menemukan siluet polos tubuhku yang terpantul di cermin besar yang menggantung di dinding, aku terkesiap ngeri. Itu... itu... gelayut lemak di sisi kiri dan kanan pinggangku kan hanya fatamorgana! Iya, aku yakin begitu.  Aku harus tiba di sana pukul empat tepat dan mencicipi makanan yang menurut pemiliknya paling enak. Sajian andalan, katanya. Kalau sungguhan enak, maka aku takkan segan mempromosikan kafe itu di semua media sosial yang kumiliki. Dan pemiliknya bisa nyengir lebar setelahnya, karena pesanan reservasi akan membludak dengan segera. Tapi, jika tidak? No, aku takkan mungkin membohongi follower setiaku yang selalu menunggu rekomendasi tempat makan paling ciamik versiku. Paling banter, dengan sopan aku berusaha memberi beberapa saran untuk memperbaiki cita rasa makanan tersebut dan dengan senyum manis akan kubilang bahwa aku akan datang lagi. Tapi, nggak! Cukup sekali saja, ya, aku memberi kesempatan untuk makanan yang nggak enak mampir di lidahku. Hidupku terlalu sia-sia jika dihabiskan untuk merasakan makanan yang nggak punya gelitik seni cita rasa lezat, soalnya. Sebelum membuka lemari pakaianku, terlebih dahulu aku mengecek jumlah daya di ponselku. Bisa gawat kalau dia mati tiba-tiba soalnya. Karena ponsel ini, salah satu s*****a untuk berperang mendapatkan uang sore ini. Kan nggak lucu kalau aku lagi bikin video, terus ponselnya mati gara-gara habis batre. Selain terlihat nggak profesional, yang kayak gitu juga bisa mengganggu mood banget. Yihaa … masih 88%, cukuplah untuk membuat syuting—ceileh syuting banget, Gem—nanti. Wallpaper ponselku, animasi bocah dengan sambaran kilat di dahinya, membuatku mengedip pelan. Hari ini kita nyari duit lagi, Mas Har! Tanpa sengaja, aku bersemuka dengan cermin dan tubuhku yang dalam balutan bathrobe tebal. Kok... kayaknya makin menggelembung aja, sih? Ini sih efek handuknya, bukan badanku sebenarnya, ya kan? Aku menggeleng...mengusir ingatan tentang siluet badanku yang tadi sekilas ditunjukkan cermin gantung raksasa. Ah … berat badan enggak seberat masalah yang dihadapi Harry Potter, kan? Seberat-beratnya kilogram yang mengisi kulitku, paling nggak... kalau aku berjalan keluar ini nggak ada Voldemort yang siap menghadang dan meneriakkan Avada Kedavra ka? Udah sih, yang penting nyari duit dulu aja, berat badan bakal diurus belakangan. Siapa tahu ntar di jalan ketemu Snape, bisa dong aku minta ramuan Kurus Selalu itu. Kemeja hitam polos yang sudah lama tak kukenakan seperti menggoyangkan bagian lengannya. Kode banget minta dipakai. Kuturunkan ia dari gantungan, mematung beberapa saat, lalu kemudian kukembalikan lagi ke tempatnya. “Engga … engga, warna hitam udah keseringan kupakai buat syuting. Hahaha … syuting kepalamu peyang, Gem!” Nanti dikira aku nggak punya baju warna lain lagi, ya kan? Kenapa hitam? Konon katanya warna ini paling lihai buat menyembunyikan ‘ukuran’ tubuh seseorang. Dih! Kayak aku perlu aja? Tubuhku kan baik-baik saja, Cuma sedikiiit aja kok berlebihnya. Iya, perlu kok. Nggak usah mungkir sok nggak tau diri kebangetan gitu dong, Gema! Ih... rasanya nggak asyik banget memaki diriku sendiri. Pandanganku tertumbuk pada kemeja biru di sebelahnya. Hm … udah lama engga pakai yang ini. Kuturunkan dan kupatut-patut di depan cermin. Kayaknya cocok sama rok lurus bermotif garis vertikal yang baru kubeli bulan lalu, deh. Okesip, Gema memang selalu bisa memadupadankan baju yang akan dikenakan. Yeah! Dengan semangat membara, kuraih rok motif vertikal itu, kulepaskan pengaitnya dan terpanan menatap betapa sempurna jahitannya yang rapi. Sejak awal melihatnya, aku langsung aja jatuh cinta. Ya... semacam ada daya tarik kuat dari rok ini dan aku. Kalau kata orang... yang kayak gini tuh biasanya jodoh. Kupasang rok hingga sejajar dengan pinggangku, lalu kukaitkan kancingnya dan— “Hah!” Itu aku? Yang tadi ngomong ‘hah’ itu aku? Astaga … kenapa roknya nggak bisa dikancingkan? Ini kenapa? Masa sih aku salah ambil ukuran waktu beli? Ah... nggak mungkin! Kucopot segera rok bermotif garis vertikal yang sama sekali belum pernah kukenakan. Takut-takut sambil setengah mengintip, kulirik ukuran yang tertera di bagian dalam pinggangnya. Huruf XXL mencuat dari sana. Dadaku langsung mencelus. Ukuran yang kuambil benar, tapi kenapa— “Oke, baiklah. Mungkin aja ukuran XXL produk ini memang lebih kecil standarnya,” hiburku. Padahal hati kecilku tahu persis bahwa itu kebohongan tingkat durjana. Karena merek ini adalah salah satu favoritku. Langgananku. Karena nggak banyak merek yang bisa mengakomodir bentuk tubuhku dan tetap terlihat bagus saat mengenakannya. Ups! “Baiklah, Gemilang Senja, itu artinya kamu harus mengurangi berat badanmu sedikit lagi,” gumamku. “Karena enggak lucu banget kalau baju-baju bagusmu jadi engga bisa dipakai. Ok?” Gadis di cermin itu menjulurkan lidahnya. Aku membalasnya dengan kernyitan dahi. Di saat yang sama dahinya ikut mengerut juga. Aku. Harus. Mengatur. Porsi. Makan. Demi. Baju. Bagus. Yang. Sudah. Mahal. Mahal. Kubeli. Itu tekadku. Dan tekad itu memudar kurang dari satu jam sejak dikumandangkan. Tepatnya sejak sajian kafe ini terhidang di hadapan! -oo0oo- Meski terlambat dari waktu janjian, pemilik kafe ini benar-benar nggak keberatan dan malah bilang kalau selama menunggu, mereka sempat membuat beberapa menu lagi untuk kucicipi. Kalau kayak gini sih aku nggak bisa menolak, ya! Kata Bunda, pamali menolak rezeki! Nanti dipatuk burung, terus rezekinya ngambek nggak mau ngehampirin kita lagi. Jadi... ya harus disyukuri dong. Salah satu cara mensyukuri itu dengan menghabiskan makanannya lah... apa lagi?  Nggak kebayang banget koki yang udah kerja keras nyiapin ini itu, terus kusisain. Kalau aku sih yang bikin, bakal kesinggung semisal makanan buatanku nggak dihabiskan gitu. Kecewa banget rasanya. Jadi, aku menyantapnya dengan penuh suka cita. Mulai dari menu pembuka, menu inti hingga menu penutup nggak ada yang aku lewatkan sedikit pun. Tanpa mengulang take aku benar-benar puas melihat hasilnya. Video yang bakal kuunggah di media sosial sangat terlihat natural dalam menonjolkan kelezatan makanannya. Aku yakin, yang nonton pasti bakal ngiler dan mati-matian menahan rasa kepingin makan di sini. Jamin udah! Aduh... gimana ya, nggak bisa berhenti. Ini lezat banget! Sumpah! Mataku sampai berkaca-kaca sendiri. Aku tuh paling mudah terharu kalau ada makanan senikmat ini, memang. Duh! Gila... kalian harus rela mati demi merasakannya sumpah.  “Terima kasih, Mbak Gema.” Mas Hans menghampiri saat aku menyelesaikan suapan terakhir. Aku mendengak. Tanganku otomatis menyambut sesuatu yang diulurkan oleh Hans, si pemilik kafe De Latte. Sekaligus orang yang sudah membuyarkan tekadku satu jam yang lalu. Semua suguhan dari Hans benar-benar membuat air liurku jatuh tak tertahankan. Ah... soal berat badan? Pikirin nanti aja, yang penting ini harus disyukuri dulu. Veal with Mushroom, begitu menu andalan yang disuguhkan ke hadapanku. Tenderloin steak slice yang sebelumnya sudah dilumuri air jeruk lemon, peterseli, white wine dan merica hitam kasar. Irisan jamur champignon segar, baby buncis, wortel tumis dan kentang goreng di sekelilingnya membuatku lupa ingatan. Jadi, bukan salahku juga kalau piring di hadapanku bersih, licin. Tandas! Mas Hans terlihat luar biasa senang saat kutunjukkan videonya dan kupikir air matanya bahkan sedikit menggenang, terharu. “Sama-sama, Mas,” ucapku tulus. Nggak perlu menunggu lama, video berdurasi enam menit yang kuunggah di ** langsung menuai banyak tanda cinta dan komentar positif. Syukur aja sekarang ada fitur IGTV Video, jadi aku nggak perlu nge-cut bagian yang kurasa kurang penting. Malah makin alami dan apa adanya sekarang. Nggak dibuat-buat responsku yang merem melek saking enaknya. Terus... pas aku skrol komennya, rata-rata nadanya nggak sabar buat segera mencoba veal with mushroom tadi. Mas Hans bahkan menggeleng beberapa kali karena tak percaya andai nggak menyaksikan sendiri bagaimana telepon berdering tanpa henti, membuat reservasi! Sudah kubilang kan, kalau Gema’s effect itu sedahsyat ini? Makanan atau tempat makan yang aku promosikan, maka seketika akan menjadi viral di kalangan anak muda. Dan aku cukup terpercaya dalam hal selera. Tak seorang pun pernah mengeluh kecewa terhadap tempat-tempat yang aku rekomendasikan. Karena aku, Gema, food buzzer dan food blogger paling terpercaya di seluruh jagad maya. Hohoho! Nggak salah aku jga mengasuh rubrik food stuff di majalah tempat aku bekerja.  “Ini sedikit dessert buat Mbak Gema,” lanjut Hans. “Psst … yang kali ini, spesial dibikin buat Mbak Gema,” bisiknya. “Khusus!” Aku langsung paham, ini adalah kode agar isi dessert ini juga ikut dipromosikan. Aku terkekeh. Benakku sudah terbang menembus isi kotak yang jelas-jelas tak kuragukan lagi rasanya. Dessert yang tadi saja enak banget, apalagi edisi spesial ini katanya. Yeah! Nggak mungkin aku bakal mingkem diam aja, kan, kalau memang rasanya selezat itu! Surga banget pokoknya! Aku bisa merasakan lidahku menetes dan alih-alih mencantol kotaknya lalu pamitan, aku malah mengambil sendok baru lalu membukanya. “Biar sekalian aja, Mas,” alasanku, kemudian menyetel kamera lagi, lalu mulai menyantap dessert istimewa. Astaga... aku ragu kalau ini masih di bumi, ya? Aku pasti di surga! Enak banget sampai mau mati gini, nyesel kalau nggak ngerasain! “Iya, nanti saya minta bawain lagi deh buat Mbak Gema,” sahut Mas Hans. “Senang saya lihatnya, Mbak Gema semangat banget makannya. Pantas subur, ya!” Derainya terdengar di sela tawa. Subur? Huh! Kata-kata itu membuatku ingat pada Titim yang udah s***s banget pagi tadi. Ah … sudahlah ya, lupain dulu soal Titim yang hari ini bersikap jahat, menjeritkan tiga belas kilogram lebih banyak dari yang seharusnya dia tunjukkan. Aku yakin dia butuh peremajaan. Oke, kalibrasi terdengar konyol kayaknya, mungkin aku memang harus mengganti Titim dengan versi digital yang lebih akurat ke mana-mana. Rasakan kamu, Tim! Pulang ini aku bakal mampir ke mall dan bawa pulang timbangan digital. Namanya Digi! Dan kamu bakal berakhir di tempat sampah! Lihat aja! Dessert di hadapanku amblas tak bersisa. Kubersihkan sisi mulut dan kemudian tersenyum senang saat menerima satu lagi tentengan karton berisi oleh-oleh terakhir dari kafe De Latte. Getaran ponsel membuatku terkesiap dan di layarnya menampilkan pesan singkat berisi sejumlah uang yang masuk ke rekening, astaga... jumlahnya jauh lebih banyak daripada perjanjian. “Ya... ampun, makasih banyak, Mas Hans. Ini nggak kebanyakan?” ucapku sambil pamit pada Mas Hans. “Dengan reservasi sepadat ini buat nanti malam, saya pikir jumlahnya sepadan, Mbak Gema.” Cengiran lebar masih tercipta di bibirnya ketika aku melangkah menuju taksi yang kupesan. “Ah... oke, terima kasih banyak. Lain kali, kalau butuh bantuan, jangan lupa kontak saya,” pamitku. Mas Hans mengangguk dan melambai riang. Sementara supir taksi melirikku lewat spion saat aku menjatuhkan diri di bangku penumpang, soalnya mobil rasanya sempat bergetar melesak sedikit gitu deh! Bodo amat, ya! Yang penting aku sudah membahagiakan orang yang meminta jasaku. Dan itu benar-benar hangat. Ah … membahagiakan orang lain itu menyenangkan rasanya. Senangnya dapat, kenyangnya dapat, uangnya dapat. Apakah ada hal lain yang lebih menggembirakan ketimbang ini? Oh iya, ke mal dulu beli timbangan digital baru!

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD