BAB 7

1263 Words
“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju villa. Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?” Noah mengangguk antusias. “Apa kita akan tinggal di sini Mommy?” Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tengogorkannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?” “Noah bisa memetik jeruk itu langsung?” “Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar. “Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.” Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 34 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat. “Kita bisa melakukan hal itu? Tapi bagaimana jika pemiliknya marah?” tanyanya polos. “Aku jamin pemiliknya tidak akan marah. Kau tahu Noah selain memetik jeruk kita bahkan bisa berenang dan bermain bola di sini. Apa kau menyukai ide itu?” Ethan mewujudkan semua impian masa kecil anak-anak dalam satu paket mewah yang menyenangkan, pikir Dira getir. Ia membuang muka, merasa disingkikirkan hanya dalam hitungan detik. Akan seperti inikah yang terjadi? Ethan menawarkan segalanya—segala yang selama ini tidak sanggup ia berikan pada putra mereka untuk memenangkan hatinya? Pemikiran itu membuat dadanya sesak. Anak-anak mungkin sulit didekati, tapi ketika hati mereka tersentuh maka mereka akan menawarkan kebahagiaan murni tanpa sedikitpun tipu daya. Untungnya perjalanan tidak menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Mobil berhenti di depan sebuah vila besar yang dikelilingi pepohonan hijau nan rindang. Ada halaman luas dan taman buatan di bagian depan. Dira melihat jalan setapak berkerikil yang seingatnya membawa penghuninya menuju kolam renang. Sejauh mata memandang mmereka dikelilingi lautan. Lautan biru keperakan yang berkilauan seperti permata. Dira membuka pintu dan menarik putranya keluar. Ia bersyukur dengan kacamata juga topi yang ia kenakan. Ini membuatnya tidak terlihat seperti yang ia inginkan. “Ayo, aku akan menunjuk kamar kalian.” Dira tanpa sadar mendesah lega. Ia sempat takut kalau mereka akan tidur di kamar yang sama. Syukurlah, sepertinya Ethan memiliki pemikiran yang sama dengannya. Mereka berjalan menyusuri lorong panjang sementara lewat sudut matanya ia melihat para pelayan mengangkat koper mereka. Dira mengedarkan pandangan. Rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia datang. Tidak ada yang berubah kecuali foto pernikahan mereka kini sudah menghilang. “Ini kamarmu, kau menyukainya?” Dira tercengang, bukan hanya luasnya yang membuatnya terkejut, tapi bagaimana Ethan mendesign kamar untuk putra mereka dengan begitu teliti dan tentu saja sesuai dengan selera anak-anak berusia 4 tahun. Ada begitu banyak mainan dan juga buku bergambar. Dira tersekat. Gambaran ini membuat semua usahanya untuk memberikan yang terbaik bagi putranya terdengar menyedihkan. Ia memang tidak bisa memberikan yang terbaik, tapi Dira memastikan ia selalu membuat putranya bahagia. “Apa aku boleh menunggangnya?” seru Noah menunjuk mainan kuda-kudaan yang diletakkan di sudut kamar. Ethan tersenyum mengangguk. “Untuk itulah mainan itu ada di sana. Kau bisa bermain sepuasnya. Semua ini milikmu sekarang.” “Milikku?” bocah 4 tahun itu sepertinya kesusahan mengeluarkan kata-kata. “Milikmu yang bebas kau gunakan sepuasnya.” “Tapi bagaimana jika ada anak lain yang datang dan merebutnya?” wajahnya cemberut menggemaskan. Ethan menekuk lututnya. “Bagaimana kalau kita berdua memastikan tidak ada anak yang boleh memasuki kamar ini, kau setuju?” Noah mengangguk antusias sampai Dira takut kepalanya sakit. “Aku akan mengantar Mommy ke kamarnya, kau bisa menunggu di sini sebentar?” “Okke dokkeey!” “Mommy akan segera kembali, setelah itu kau harus istirahat, oke?” Noah mengangguk sebelum berlari menuju mainannya. Seorang wanita tua bergegas masuk begitu Dira dan Ethan bergerak keluar. “Siapa wanita itu?” tanya Dira penasaran saat mereka melanjutkan perjalanan. “Pengasuh Noah.” Pengasuh? “Apa maksudmu pengasuh Noah? Aku tidak butuh pengasuh, aku bisa mengurus putraku sendiri!” geramnya. Ethan membuka pintu kamar yang ada di samping kamar Noah. “Aku tidak bilang kalau kau tidak bisa mengurusnya Dira, tapi kau jelas butuh tenaga bantuan, apa kau sudah pernah melihat dirimu sendiri? Dan dia bukan putramu, dia putra kita.” Pertanyaan menohok itu membuatnya terdiam. Menjadi orang tua tunggal sekaligus menjadi pencari nafkah bukanlah hal yang mudah, ia tidak pernah benar-benar punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri dan Dira pikir itu tidak perlu. Buat apa? Ia tidak punya seseorang yang ingin ia bahagiakan dengan penampilannya. Baginya memastikan kebahagiaan Noah lebih penting daripada memerhatikan penampilannya. “Aku tahu aku jelek, tapi kau tidak perlu membuatnya sejelas itu,” bentaknya kesal. Mata Ethan menyipit. “Jangan menggunakan nada itu padaku. Aku tidak bilang kau jelek karena kau masih secantik yang kuingat, yang ingin kukatakan adalah terkadang kau butuh waktu untuk dirimu sendiri dan itu tidak akan bisa terjadi kalau kau hanya memusatkan perhatian pada putra kita. Kau butuh istirahat.” Perhatian itu meskipun tidak disengaja membuat dadanya menghangat, tapi Dira mengusirnya dengan ganas. Tidak lagi ia akan terjebak dalam pusaran perasaan yang hanya akan memberinya rasa sakit. “Ini kamar kita. Kuharap kau menyukainya.” Dira mengerjap. “Kamar kita? Kupikir… kupikir…” otaknya mendadak lumpuh. “Kau pikir apa Dira? Bahwa kita akan tidur di kamar yang berbeda? Sampai kapan? Sampai salah satu di antara kita menyerah?” tantang Ethan. “Ta-tapi….” “Aku tahu aku tidak bisa memercayaimu karena kau pernah mengkhianatiku, tapi seperti yang kukatakan demi putra kita aku bisa berkompromi.” Kedua tangan Dira terkepal. “Aku tidak pernah mengkhianatimu. Kau yang mengkhianatiku.” Ethan menoleh, tatapannya sama sekali tidak memberi Dira petunjuk tentang apa yang sedang dipikirkan pria itu dan hal itu hanya semakin menambah kemarahan Dira. Sejak dulu Ethan selalu menutup diri padanya. Hubungan yang mereka miliki hanya melibatkan fisik, tidak lebih. “Aku punya permintaan,” ucap Dira memecah kebekuan di antara mereka. Ethan melipat tangan di depan dadanya, menunggu Dira melanjutkan. “Aku ingin bekerja.” “Kau apa?” Suara Ethan terdengar berbahaya, tapi Dira tidak akan mundur. Ia tidak mau terjebak dalam kekuasaan pria itu lagi. “Aku bisa bekerja di rumah ini sebagai tukang masak atau tukang bersih-bersih, apa pun. Kupikir hanya itulah yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu karena mengizinkanku tinggal gratis di rumahmu.” Ethan mengusap dagunya. “Kau… sejak dulu selalu tahu bagaimana menentangku, bukan?” Dira tidak menjawab. “Kau ingin jadi pelayan di rumah ini?” seringai Ethan menjadi kejam. “Maka sejak sekarang kau adalah pelayan di rumah ini, Dira persis seperti yang kau inginkan. Kau akan melayani semua keperluanku. Apa pun yang kuinginkan.” “Bukan seperti itu maksudku!” Ethan berjalan mendekat dengan setiap inci tubuhnya meneriakkan kata “berbahaya”. Tatapan matanya yang tajam tampak kejam dan bengis. Dira mengepalkan tangannya erat, berusaha mempertahankan ketenangannya dibawah tatapan Ethan yang begitu mengintimidasi. Pengaruh kehadiran pria itu pada dirinya… masih membuatnya takut dan ia benar-benar tidak ingin Ethan tahu dan menyadarinya. “Kau ingin bekerja dan kau mendapatkannya. Itulah yang akan kau lakukan Dira, menjadi pelayanku, persis seperti yang kau inginkan. Mungkin kau mau menjadi pelayan juga di atas ranjangku?” Tangan Dira terangkat, tapi Ethan lebih dahulu menangkupnya sebelum tangan itu mendarat di wajahnya. Ethan menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Dira sampai-sampai panas napas pria itu menyapu wajah Dira. Seringai yang muncul sesudahnya membuat Dira merasa seakan sedang berhadapan dengan iblis. “Jangan memainkan permainan berbahaya saat kau tahu kau akan kalah di dalamnya. Kita berdua tahu kau menginginkanku, bukan begitu Dira?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD