Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.
Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.
Siapa yang coba kau bohongi?
Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sedang bekerja untuk mendekati Noah dan bocah 4 tahun itu sama sekali tidak terlihat keberatan dengan kehadiran orang asing dalam hidupnya. Dan selama interaksi itu Ethan sama sekali tidak pernah melibatkannya.
Dadanya terasa sesak karena Ethan benar-benar memperlakukannya seperti orang asing sampai-sampai Dira bertanya bagaimana mungkin 2 orang yang dulu begitu dikuasai gairah kini menjadi begitu asing?
“Kapan kau akan memberitahu Noah kalau aku ayahnya?”
Suara itu menarik Dira dari lamunan panjangnya. Ia berputar, menemukan Ethan bersandar di pintu dengan kedua tangan di silangkan di depan d**a. Jelas baru selesai mandi dengan tetes-tetes air menghiasi rambut hitamnya. Pria itu juga sudah bercukur. Bakal janggut di dagunya kini sudah menghilang.
Satu alisnya terangkat melihat Ethan mengenakan celana gelap serta kemeja sutra tipis.
Di mana setelan kerjanya?
“Kupikir kau bekerja?”
“Tidak, ada yang harus kulakukan dari sini. Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Pertanyaan?
Dira meletakkan pisau yang ia gunakan untuk memotong sayuran sebelum menjawab pertanyaan Ethan.
“Menurutku kita harus menunggu sedikit lebih lama lagi, Ethan. Dia sepertinya menerima kehadiranmu dengan baik,” balasnya pahit. Putranya yang biasanya selalu awas terhadap orang asing begitu mudah menerima kehadiran Ethan. Mungkin ini yang dinamakan konspirasi alam, pikirnya getir. Hubungan ayah dan anak yang mereka miliki membuat ikatan itu lebih mudah terjalin. Atau mungkin Ethan memang tahu bagaimana cara memikat anak kecil.
“Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Putraku perlu tahu siapa ayahnya dan aku ingin itu dilakukan dalam waktu dekat.”
“Aku tahu… hanya beri sedikit waktu untuk Noah. Biarkan dia merasa nyaman dengan perubahan ini. Pada saatnya, aku akan memberitahunya yang sebenarnya.”
Ekspresi Ethan sama sekali tidak melunak mendengarnya. Sorot matanya tetap dingin.
“Secepatnya.”
Dira mengangguk, berusaha mengenyahkan rasa sakit hatinya mengetahui Ethan benar-benar tidak memercayainya.
“Aku akan mengatakannya Ethan, aku janji, bagaimanapun dia putramu,” tambahnya cepat saat melihat wajah Ethan mengeras.
“Bagus jika kau menyadari itu sejak awal.”
Dira mengepalkan tangannya erat, berusaha terlihat kuat.
“Aku harus bekerja. Kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, mungkin sebaiknya kau pergi Ethan. Seperti yang kau lihat aku sedang memasak.”
Pandangan Ethan jatuh pada bahan-bahan yang ada di atas talenan.
“Aku akan pergi ke NYC selama beberapa hari dan aku ingin kau ikut.”
Pisau dalam genggaman Dira tiba-tiba terasa amat penting kehadirannya. Ia menghela napas.
“Aku tidak bisa Ethan dan kau tahu itu.”
Ethan sama sekali tidak terpengaruh dengan penolakan Dira. “Dan alasanmu menolak hal itu adalah?”
“Aku punya pekerjaan di sini.”
“Dan kalau kau lupa aku yang mempekerjakanmu di sini yang berarti aku yang memutuskan semuanya.”
“Aku tidak bisa, apa yang akan kulakukan di sana? Kau pasti sibuk bekerja dan aku akan terkurung entah di menara mana, menunggumu sampai bosan setengah mati,” balasnya getir. Ingatan tentang hari-hari yang ia lewatkan untuk menunggu Ethan selesai bekerja kembali berputar di kepalanya. Ethan gila kerja dan satu-satunya waktu pria itu untuknya hanyalah saat malam hari. Ketika Ethan butuh seseorang untuk menghangatkan ranjangnya. Itu bukan ingatan yang baik meski saat itu Dira tergila-gila pada Ethan hingga mengabaikan fakta betapa berbedanya mereka berdua.
“Kau lupa? Kau pelayan pribadiku Dira. Memenuhi segala kebutuhanku adalah tugasmu. Atau kau sudah lupa dengan hal itu?”
Dira menggertakkan giginya. “Aku tidak melupakannya Ethan. Aku bekerja di sini kalau-kalau kau tidak tahu, tapi aku tidak akan ikut ke belahan bumi manapun tanpa Noah. Aku tidak akan pernah meninggalkannya untuk alasan apa pun.”
“Aku akan membawa Noah bersamaku.”
Ini sudah keterlaluan!
Dira meletakkan pisaunya, takut kemarahan yang ia rasakan mengikis pengendalian dirinya. Dira mendekat, tidak peduli jika tatapan Ethan begitu tajam dan menusuk. Kemarahan mereka berdua sudah cukup membuat udara berderak, tapi Dira tidak akan mundur jika sudah berhubungan dengan putranya.
“Apa kau tidak pernah berpikir sedikitpun kalau Noah mungkin tidak nyaman dengan perubahan mendadak ini? Dia pasti bingung dan sekarang kau berencana membawanya entah ke negara mana ketika dia bahkan belum beradaptasi dengan tempat ini? Seharusnya kau tahu kalau—“
“Bagaimana mungkin aku tahu kalau kau merampas kesempatan itu dariku,“ bentak Ethan. Matanya berkilat-kilat. “Kau menyembunyikannya dariku, Dira, merampas kesempatan untuk mengenal putraku sendiri! Jadi jangan mengatakan omong kosong tentang apa yang seharusnya aku tahu.”
“Sampai kapan kau akan terus menyalahkanku, Ethan?” bisiknya lelah.
“Sampai aku puas dan kau sadar akibat apa yang timbul dari perbuatanmu yang menjijikkan!”
Dira mengerjap syok, sakit hati mendengar kalimat kejam tanpa perasaan yang dilontarkan Ethan padanya dan sebelum ia sadar apa yang ia lakukan Dira sudah melayangkan tamparan keras di wajahnya yang dingin.
“b******k, kau pikir hanya aku yang bersalah, iya kan?” ucapnya gemetar. “Pernahkah, sekali, sekali saja kau berpikir kenapa semua ini terjadi, Ethan? Atau kau terlalu egois dan hanya ingin menyalahkan orang lain untuk semua hal buruk yang terjadi di hidupmu?” Dira menatap Ethan penuh emosi sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ethan yang terpaku dengan ekspresi kosong.
Brengsek!
“Dira!” teriaknya, tapi wanita itu berjalan seolah tidak mendengar teriakan Ethan.
“Jangan mengikutiku Ethan, saat ini aku benar-benar marah padamu.”
Tentu saja pria arogan dan sombong itu tidak mendengarkan. Dira mempercepat langkahnya, tidak ingin Ethan mengikutinya hanya untuk menyulut emosinya. Ia membuka pintu kamarnya dan bergegas menutupnya, tapi sebuah tangan kokoh dan tegap menghalangi niatnya.
Ethan menarik paksa pintu itu dan menutupnya, menjebak Dira dalam kekuasaan Ethan yang berbahaya. Mata birunya yang pekat tampak membara mengandung amarah. Dira mencoba membalas tatapan pria itu, tapi ia tahu ia akan kalah dalam pertarungan kehendak melawan seorang Ethan Alexander.
“Apa yang kau inginkan, Ethan? Ingin menambah daftar hinaanmu padaku? Atau kau mau menyalahkanku lagi? Menambah daftar dosa yang kubuat?”
Ethan berjalan mendekat dan Dira refleks mengambil langkah mundur sampai kakinya membentur kaki ranjang. Tatapan pria itu begitu dingin hingga Dira pikir ia bisa membeku di dalamnya.
“Katakan, 5 tahun lalu, saat kau memutuskan pergi apa saat itu kau tahu kau hamil?”