BAB 9

1616 Words
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk. “Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“ Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin. “Ethan, aku…” “Hentikan, Dira. Aku tidak ingin. mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali. "Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci. Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan bergegas keluar, membanting pintu di belakangnya. Ethan menyesal menikahinya? Dan pria itu bahkan menyebutnya wanita picik? Dira jatuh terduduk. Kenangan indah yang dulu mereka miliki kini berubah menjadi pengingat pahit akan keputusan buruk yang mereka lakukan. Gairah menggebu-gebu di antara mereka, yang membuat mereka nyaris tidak bisa dipisahkan telah mendorong mereka membuat keputusan besar tanpa benar-benar berpikir. Sekarang, mereka harus menghadapi konsekuensi dari keputusan tanpa pikir panjang tersebut. Noah. Nama itu seakan menjadi sumber kekuatan baginya. Seandainya situasi memungkinkan ia lebih memilih pergi daripada bertahan hanya untuk menghadapi kemarahan dan juga kebencian pria itu. Akan tetapi, ia tidak bisa melakukannya. Sekarang ada Noah yang harus mereka prioritaskan. Tidak peduli seburuk apa situasi di antara mereka, Noah layak mendapatkan yang terbaik dan ia tidak akan membiarkan putranya mengalami apa yang ia alami. Dira menyapu sudut matanya. Sekarang bukan waktunya bersikap cengeng. Ia punya pekerjaan yang harus dilakukan. Saat membuka pintu, Dira berhadapan dengan seorang pria tua dalam balutan setelan jas formal. Wajahnya datar, tapi Dira melihat kehangatan di matanya. Sebelum Dira bertanya apa maksud kedatanganya, pria tua itu terlebih dahulu membuka suara. “Tuan Ethan berpesan, mulai saat ini Anda tidak perlu lagi menyediakan segala keperluannya. Anda dibebastugaskan. Meski begitu jika Anda bersikeras ingin tetap bekerja, Anda bisa bekerja di dapur, tapi Anda tidak diizinkan memasak untuk Tuan Ethan. Anda bisa memasak untuk penghuni rumah ini atau kalau Anda mau Anda bisa bekerja merawat rumah kaca.” Dira tercengang. Apa-apaan! Apa maksudnya melakukan semua itu? Tangan Dira terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Persetan dengan pria itu! Jika itu yang dia inginkan dengan senang hati Dira akan melakukannya. Kemarahan memenuhi aliran darahnya, tapi Dira berhasil menarik sudut mulutnya membentuk senyuman yang ia harap terlihat sopan dan tulus. “Katakan padanya, aku berterima kasih atas tawaran murah hatinya.” Pria tua itu mengangguk. “Kalau begitu saya permisi, Mam.” Mengabaikan sapaan penuh penghormatan yang ditujukan padanya, Dira menganggukkan kepalanya. Ia menuggu sampai pria itu hilang dari pandangan. Begitu sendirian, kedua bahunya merosot. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Kekejaman Ethan benar-benar tidak mengenal batas, pikirnya getir. Apa yang diinginkan pria itu saat membuat keputusan tidak berperasaan seperti itu? Memasak untuk penghuni rumah ini? Maksudnya untuk dirinya sendiri? Sejauh yang bisa ia lihat, tidak banyak pekerja yang ada di sini. Sejak dulu, Ethan memang menyukai kesunyian, tidak heran villa ini tidak memiliki banyak petugas. Dira memijat pelipisnya. Sekarang apa? Haruskah ia menerima tantangan pria itu atau menciptakan peluang untuk dirinya sendiri? Mungkin ia bisa bekerja di sebuah kafe atau toko roti? Dulu ia bisa melakukannya, kenapa sekarang tidak? Lagipula sekarang ada pengasuh yang mengawasi Noah. Ia memiliki cukup waktu untuk bekerja. Dira mengangguk dengan rencana yang ada di kepalanya. Ia bisa bekerja menjadi pelayan—seperti yang dulu ia lakukan sebelum bertemu dengan Ethan—atau bekerja di toko roti mengingat ia pernah mengambil kursus memasak saat menjadi istri Ethan. Yang mana pun akan ia lakukan. Ia harus bekerja. Ia membutuhkannya lebih dari apa pun. Ketegangan di rumah ini mungkin akan mencekiknya sampai mati. Suara langkah dari balik punggungnya membuatnya berbalik. Ethan berjalan dengan tergesa-gesa. Pakaian santainya telah diganti dengan setelan formal yang membalut tubuh berototnya dengan sempurna. Dira membuka mulut. Namun, urung bicara saat melihat pria itu melengos pergi begitu saja seolah tidak melihat keberadaannya. Baiklah, sekarang Ethan menganggapnya tidak kasat mata. Dira penasaran, sampai sejauh mana kekejaman pria itu akan berlangsung. Beruntung mereka tidak tidur dalam satu kamar. Dira lebih memilih tidur di lantai beralaskan tikar lusuh ditemani tikus-tikus, daripada tidur di ranjang king size tapi harus menghadapi d******i Ethan. “Mommy!” Dira tersentak. Ia menoleh ke sumber suara, tersenyum saat melihat putranya. Noah berjalan ke arahnya, memegang mainan robot yang kepalanya nyaris putus. “Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut, mengusap kepala Noah dengan penuh kasih. “Aku tidak melihatnya di mana pun.” Kening Dira mengerut. “’Melihat siapa, hmm?” “Ethan,” balas Noah polos. “Biasanya kami selalu berenang atau bermain di kebun jeruk. Apa Mommy melihatnya?” Kerongkongan Dira tersekat. Ia tersenyum lembut. “Mommy baru saja melihatnya pergi. Dia pasti sibuk.” Noah tidak terlihat senang mendengar penjelasannya. Bibirnya yang kecil tampak mengerucut. “Lalu Noah main dengan siapa, Mommy?” “Bagaimana kalau dengan Mommy?” tanyanya antusias. Prospek itu rupanya membuat Noah senang. Matanya berbinar. “Kita berenang?” tanyanya antusias. Dira tertawa. Ia mengacak-acak rambut putranya. “Kenapa tidak?” Lima belas menit kemudian Dira duduk di tepi kolam renang sambil memperhatikan putranya bermain di air dangkal. Wajahnya dipenuhi senyuman saat menyaksikan tawa riang bocah kecil itu. Villa Ethan menakjubkan seperti yang dulu ia ingat, dengan kolam renang yang menghadap laut biru membentang tak berujung yang menjadi salah satu tempat favoritnya. Dulu, ia dan Ethan sering menghabiskan waktu di kolam renang. Tangan mereka tidak pernah berhenti saling menyentuh dan bikini yang ia kenakan tidak pernah bertahan lebih dari 5 menit. Dira tersenyum kecut dengan bayangan yang ada di kepalanya. Sudah 5 tahun berlalu, tapi ia masih mengingat setiap detilnya seolah kejadiannya baru kemarin. Mungkin hanya ia yang seperti ini. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Tiba-tiba pertanyaan tidak diinginkan melayang-layang di benaknya. Berapa banyak wanita yang singgah di hidup pria itu sejak mereka berpisah? Seseorang seperti Ethan tidak mungkin bertahan tanpa wanita. Seperti itulah yang ia tahu tentang Ethan. Lamunannya terpecah ketika suara langkah kaki menggema di belakangnya. Dira berbalik, tubuhnya menegang seketika saat menyadari kehadiran Ethan. Pakaian kerjanya masih melekat di tubuhnya, hanya jasnya yang terlepas, menyisakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai ke atas siku. Tatapan pria itu seakan menelanjanginya dan meski bikini yang dikenakan Dira cukup sopan, tetap saja ia merasa telanjang. Secara naluriah, Dira menyilangkan tangan di depan tubuhnya, berusaha menutupi diri meski tahu percuma. Keheningan yang membentang di antara mereka begitu pekat hingga Dira bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Panas menjalar di tulang punggungnya. Kenangan tidak diinginkan kini memenuhi benaknya. Tidak perlu cermin untuk melihat semerah apa wajahnya sekarang. Tidak ingin terjebak lebih lama di ruangan yang sama dengan pria itu, Dira berjalan, berusaha keras mengabaikan tatapan Ethan yang terus mengikutinya. “Kau datang”! seru Noah dengan penuh semangat. Ethan menarik pandangannya dari Dira agar bisa menatap Noah. Tatapannya melembut saat menatap bocah 5 tahun itu. “Tentu saja aku datang. Aku berjanji akan datang bukan?” “Mommy bilang kau sibuk?” “Memang, tapi pekerjaanku selesai lebih cepat. Apa kalian sudah selesai?” Noah mengangguk antusias. “Apa yang akan kita lakukan?” Pertanyaan itu membuat Ethan terlihat seolah sedang berpikir keras, meski begitu cahaya dimatanya tidak bisa membohongi siapapun kalau dia menikmati situasi ini. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan, kau menyukai ide itu? Corfu tempat yang indah. Kau suka naik kapal Noah?” Ucapan itu menghasilkan kembang api di bola mata biru milik Noah, warna mata yang diturunkan dari Ethan. Anak 5 tahun itu mengangkat tangan ke udara, tampak sangat bahagia. “Kita akan naik kapal?” Ethan mengangguk. “Aku punya kapal, kita bisa bermain di sana. Kau pasti menyukainya.” “Yess‼” Keluar dari kolam renang Noah meloncat-loncat riang dan tanpa di duga—mengejutkan mereka berdua—Noah mendekat pada Ethan kemudian memeluk lehernya erat. “Apa kita bisa bermain sepuasnya di sana?” Ethan yang matanya terlihat berkaca-kaca, mengangguk sebagai tanggapan. Kelihatannya pertunjukkan kasih sayang yang dilakukan Noah masih mengejutkannya. Dira sendiri tidak akan menyalahkannya karena ia juga terkejut. Noah bukan orang yang mudah berbaur dengan orang baru terutama jika itu pria, tapi rupanya keadaan itu tidak berlaku untuk Ethan. “Kita bisa bermain sampai kau puas. Kita bahkan bisa memancing kalau kau mau.” Ethan mengacak-acak rambut putra mereka. Namun, wajah Noah yan sebelumnya ceria kini terlihat muram. “Ada apa?” tanya Ethan pelan. “Tapi bagaimana dengan Mommy? Apa dia boleh ikut?“ Ethan tidak langsung menjawab, jadi Dira menggunakan kesempatan itu untuk membujuk putra mereka agar ia tidak perlu ikut. Ia tidak bisa membayangkan tinggal di kapal bersama Ethan. “Sayang, Mommy tidak mung—“ “Tentu saja,” potong Ethan, mengejutkan Dira. Noah tersenyum lebar. Dia memandang Dira penuh harap. "Mommy ikut, bukan?" Penolakan yang sudah ada di ujung lidahnya tertelan kembali melihat tatapan penuh harap putra mereka. Ia mengangguk, mengusap kepalanya dengan sayang. “Tentu saja Mommy ikut.” “Sekarang, bersiap-siaplah sementara aku bicara dengan Mommy. Kau bisa melakukannya bersama pengasuhmu?” “Okke dokkeyy!” Tiba-tiba saja pengasuh Noah muncul entah dari mana seakan tahu dia akan dibutuhkan. Dia menarik Noah dan membawanya pergi, meninggalkan Ethan dan Dira berduaan. "Ada apa?" tanya Dira, ingin secepatnya pergi karena tidak tahan melihat sikap permusuhan Ethan. “Ada dua hal,” balas Ethan datar, tatapannya menusuk, sama sekali tidak ada keramahan di dalamnya. “Aku ingin Noah tahu kalau aku ayahnya. Lakukan itu saat kita berlibur. Kedua, aku menginginkan perjanjian.” Mulut Dira tiba-tiba terasa kering. “Perjanjian?” "Tentang hak asuh Noah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD