5. Pertemuan

1893 Words
Suasana masih terlihat canggung. Bagaimana tidak, saat ada seorang anak datang sebagai tamu dan bertanya, "Apa kau ayahku?" Pertanyaan Kania beberapa menit yang lalu masih terekam jelas di telinga Revan. Sementara kedua orang tuanya tak tahu harus bersikap seperti apa dan hanya bisa menenangkan Kania yang masih menangis terisak. "Coba kau ingat-ingat Rev, ibu percaya padamu, tapi ibu juga tak bisa mengabaikan anak ini. Bahkan sudah sangat jelas, ia serupa denganmu," tutur Hannah berharap Revan benar-benar mengingat dan jujur. "Ayah tidak mempermasalahkan jika dulu kau membuat kesalahan. Tapi ayah minta pertanggung jawabanmu. Ayah tidak ingin mempunyai anak seorang pecundang," ujar Akbar yang mulai membuka suara. Jika Revan menjadi pria tak bertanggung jawab selama ini, ia siap untuk menghabisinya saat ini juga. Pria itu, Revanzio Bara, masih berdiri dengan dahi berkerut menatap Kania yang sesekali masih terisak. Ini seperti sebuah mimpi atau ilusi saat beberapa menit yang lalu ia pulang dan mendapati seorang anak perempuan bertanya padanya. Dilihat dari segi manapun, anak itu memang sangat mirip dengannya, tapi … apa dia benar anaknya? Andai saja ia bisa menemukan wanita itu, mungkin hanya dia satu-satunya yang dapat menjawab semua keambiguan ini. Karena hanya dengan wanita itulah ia melakukannya sampai usianya saat ini. "Tapi aku memang tidak mengenalnya." Karena Revan memang tak mengenal Kania. Meski dadanya bergemuruh hebat saat menatap Kania. "Apa kau yakin, Rev?" tanya Hannah dengan berlinang air mata. Entahlah, melihat Kania menangis membuat air matanya juga mengalir deras. Didekapnya Kania yang terisak menahan suara tangisnya dengan dadanya yang juga merasakan sakit. "Sebenarnya, siapa anak ini?" tanya Revan dengan menyembunyikan ekspresi haru yang sebenarnya tengah ia rasakan. Ada sesuatu yang ia rasakan, tapi ia tidak akan mengambil kesimpulan sebelum mempunyai bukti akurat. Sampai suara ketukan pintu mengalihkan perhatian ketiganya. Akbar mengambil langkah, ia berdiri dari duduknya dan membuka pintu yang terus bersuara. Kriet …. Pintu terbuka dan muncullah seorang wanita yang tampak cemas. Dengan nafas sedikit tersengal, juga tetesan keringat yang membasahi wajahnya, ia bertanya tanpa bertutur sapa sebelumnya. "Maaf, apa ada seorang anak perempuan datang kesini? Usianya sekitar 10 tahun, rambutnya pendek sebahu dan memakai kacamata," tanyanya dengan sedikit terengah. Akbar memperhatikan wanita itu, kemudian mengangguk sebagai jawaban, lalu ia bertanya, "Apa kau ibunya?" "Iya, benar. Dia masih ada di sini?" tanya Yuna yang semakin cemas. Akbar berpikir sejenak, kemudian dengan pasti membuka pintu sedikit lebih lebar. Dan tak menunggu lama, Yuna segera masuk ke dalam rumah meski ia tahu itu tidak sopan. Ia tidak peduli, yang ada dipikirannya saat ini hanyalah Kania. "Kania!" Dipeluknya Kania erat seakan Kania akan pergi saat ia melepas pelukannya. Air matanya bercucuran saat rasa bahagia datang karena menemukan Kania. Sementara Hannah segera mengambil jarak diikuti Akbar yang kini berdiri di sampingnya. Dan Revan? Matanya membulat, dadanya berdegup kencang saat melihat wanita yang tanpa permisi datang dan memeluk anak kecil itu. Ingatannya kembali berputar ke masa bertahun-tahun lalu, sudah lama, sangat lama namun ia masih mengingat wanita itu. Tidak ada yang berubah kecuali wajah wanita itu yang kini semakin dewasa. "Apa yang kau lakukan?! Kau ingin mama mati karena khawatir padamu?!" teriak Yuna yang kini melepas pelukannya. Ia marah, namun kemarahannya atas dasar rasa khawatir yang berlebihan. "Jangan membuat mama khawatir, mama takut kehilangan Kania," ucapnya kembali dan kembali memeluk Kania erat. Ia tak peduli bagaimana tanggapan pemilik rumah. "Maaf, Ma. Maafkan Kania," lirih Kania dalam pelukan sang mama. "Tidak, ini salah mama, maaf, maaf," bisik Yuna dengan suaranya yang parau. Ia tahu semua ini karena kesalahannya, menyembunyikan siapa ayah kandung Kania tanpa memberinya penjelasan atau kejelasan. "Ka-- kau?" suara Revan seakan hilang. Tubuhnya bergetar dan tiba-tiba ia teringat kata yang beberapa menit lalu ia ucapkan. Yuna seperti tak menyadari atau memang sengaja mengabaikan Revan yang masih berdiri. Atensinya hanya pada putri tercintanya, Kania, yang kini masih menahan tangisnya. "Maaf Ma, Kania hanya ingin tahu siapa papa Kania," seru Kania yang berusaha mengusap air matanya. Ia tidak ingin membuat ibunya semakin khawatir karena melihatnya menangis. "Maafkan mama, Sayang. Semua salah mama." Mengusap air mata Kania dan berusaha menahan tangisnya. Hannah semakin merasakan sakit melihat orang asing yang kini berurai air mata di hadapannya. Sebenarnya salah siapa? Jika ini ada hubungannya dengan Revan, atau Revan terbukti bersalah, ia rela jika anak satu-satunya itu mati untuk menebus kesalahannya. "Kau! Ikut aku!" Tanpa aba-aba Revan segera menarik tangan Yuna dan menyeretnya semakin ke dalam rumah, tepatnya ruang keluarga yang berada di samping ruang tamu. Ia butuh penjelasan atas semua ini. Hannah segera mengambil langkah dengan menahan Kania saat Kania berteriak memanggil mamanya. "Tidak apa-apa, Sayang. Biarkan mamamu berbicara dengannya, disinilah bersama nenek," bujuknya setengah memaksa. Dilihat dari keterkejutan Revan, ia merasa ada sesuatu yang tidak Revan ketahui. *** "Katakan! Apa benar aku ayahnya?!" teriak Revan dengan emosi yang meluap. Ia marah, jika semua itu benar, kenapa menyembunyikannya selama ini? Membuatnya menjadi orang jahat karena mengabaikan darah dagingnya sendiri. "Apa pedulimu, sialan! Dia anakku, aku yang mengandung dan membesarkannya, dan tidak akan kubiarkan ia tahu bahwa ayahnya adalah pria sepertimu!" teriak Yuna penuh emosi. Sudah lama ia ingin mengatakan ini. Sayangnya rasa dendam dan benci membuatnya tak sudi bertemu kembali. Dan saat mereka bertemu seperti ini, ia ingin meluapkan emosi yang telah lama ia pendam. "Apa maksudmu?! Aku sudah meninggalkan kartu namaku, jika terjadi sesuatu setidaknya kau bisa menghubungiku!" balas Revan dengan suara tak kalah keras. "Untuk apa menghubungi pria yang sengaja ingin mencelakaiku?! Jangan pikir aku tidak tahu, kau yang sengaja memasukkan obat ke dalam minumanku, dan dengan bodoh aku percaya bahwa kau ingin menolongku. Apa salahku padamu?! Karena kau, aku menderita, aku kehilangan pekerjaanku, masa mudaku, mendapat hinaan orang-orang karena hamil tanpa suami. Kau pikir bagaimana perasaanku?!" jerit Yuna yang berusaha menahan air mata. Jika Revan marah, ia jauh lebih marah. "Apa maksudmu? Darimana kau tahu semua itu?" lirih Revan dengan suaranya yang parau. Demi apapun, semua yang Yuna tuduhkan bukan sebuah kebenaran. "Tidak penting darimana aku tahu, kenyataannya seperti itu dan sampai kapanpun aku tak akan memaafkanmu. Jangan katakan pada Kania bahwa kau ayahnya, aku tidak ingin ia tahu bahwa ayahnya adalah b******n, b******k, pria sialan, yang sudah menyebabkan kesengsaraannya lahir ke dunia!" Revan dapat melihat kebencian yang tersirat dari setiap kata yang terlontar dari mulut Yuna. Tapi demi apapun, sungguh, ia tidak melakukan itu. Ia yang justru ingin menyelamatkan Yuna saat seorang pria yang ia tahu seorang produser film membawa Yuna yang hampir tak sadarkan diri. Namun ia justru melakukan kesalahan saat telah berhasil menyelamatkan Yuna dari produser yang ia tahu sama sekali bukan pria baik. Bahkan Indra, nama produser itu, kerap dilaporkan ke polisi atas tuduhan pelecehan. "Itu bukan aku, aku tahu aku salah karena tak bisa menahan diri saat kau memaksaku. Tapi sungguh, bukan aku yang sengaja memasukkan sesuatu dalam minumanmu," ungkap Revan dengan suaranya yang mulai terdengar lebih halus. "Apapun yang kau katakan tak akan mengubah semuanya. Sekarang biarkan aku pergi, anggap saja malam ini tak pernah terjadi." Yuna segera berbalik saat tangan Revan yang mencengkram tangannya perlahan mengendur. Dan saat ia telah mencapai pintu, ia dapat mendengar suara Revan yang kembali mengudara. "Jika aku bisa membuktikan bahwa bukan aku yang melakukannya, apa kau akan memaafkanku? 10 tahun usia anakku dan aku sama sekali tak tahu bahwa ia ada, jika itu kau, bagaimana perasaanmu?" lirihnya dengan frustasi. Ia sudah paham semuanya sekarang, alasan apa yang membuat Yuna menyembunyikan semua. Dan itu semua hanya karena kesalahpahaman. "Setidaknya itu lebih baik daripada ia kecewa saat tahu ia ada karena sebuah kesalahan," balas Yuna dan segera keluar dari ruangan itu. "Argh!" Revan berteriak layaknya orang gila. Itu wajar, 10 tahun lamanya ia telah menjadi seorang ayah namun tak mengetahui apa-apa. Ia marah pada dirinya, pada apa yang Yuna lakukan, dan pada kenyataan dan alasan yang membuat Yuna menghilang membawa darah dagingnya. *** "Kania sudah tidur, sepertinya ia begitu lelah. Sebaiknya kalian menginap," saran Hannah saat Yuna hendak membawa Kania pulang setelah berbicara dengan Revan. "Tidak perlu, aku sudah meminta taksi online menunggu," tolak Yuna dengan halus. "Dan sebelumnya, maaf karena sudah mengganggu anda," lanjutnya kembali dengan membungkuk sopan. "Tidak, tapi jujur saja ini sangat mengejutkan. Maksudku, aku tidak mengira Revan menyembunyikan sesuatu dari kami," ungkap Hannah dengan jujur. "Jadi benar anak itu anak Revan?" tanya Akbar memastikan. Saat ini mereka tengah berbicara di ruang keluarga dengan Revan yang juga berada disana. Namun sedari tadi pria itu hanya diam dan terus menatap Yuna dengan pandangan sulit diartikan. Yuna diam tak menjawab dengan mengepal tangannya kuat. Dan hal itu sudah memberi jawaban atas pertanyaan Akbar. "Anak ini ..." geramnya. Kemudian ia berdiri dari duduknya dan berdiri di hadapan Yuna yang duduk berhadapan dengannya dibatasi meja besar. Ia berlutut, kemudian menunduk dalam dan mengucapkan kata maaf. " Maaf, maafkan aku yang tak bisa mendidik putraku dengan benar. Katakan, katakan apa yang ingin kau lakukan padanya, bahkan jika membunuhnya adalah cara satu-satunya, maka aku akan melakukannya," kata Akbar yang nyaris bersujud. Yuna terkejut, ayah Revan yang terlihat garang dari pembawaannya, kini berlutut meminta maaf untuk anaknya. Ia tersenyum getir, seketika semuanya kembali berputar, saat dimana ia diusir dari rumah kontrakannya, dan saat orang-orang mengucilkannya karena hamil diluar nikah. Ia harus bekerja keras dengan jualan online untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan saat Kania lahir, semakin berat cobaan yang ia terima saat orang-orang menghinanya dan mengatakan bahwa Kania adalah anak haram. Sakit, semua rasa sakit itu muncul dan membuat rasa benci kembali naik. "Benar, jika aku meminta anda membunuhnya apakah anda akan melakukannya? Karenanya aku menderita, cacian dan hinaan orang menjadi teman saat aku mengandung hingga melahirkan Kania. Jika membunuhnya bisa mengobati luka yang kurasa, kenapa tidak membunuhnya saja?" ucapnya dengan tatapan mata yang kosong. Revan tak terkejut mendengar ini, mungkin ia akan menerima jika ia benar-benar melakukan yang dituduhkan padanya. Tapi tidak, ia tidak boleh mati sebelum membuktikan bahwa bukan ia yang sengaja menaruh obat perangsang ke minuman Yuna. Jika ia mati, maka ia mati dalam kesalahpahaman. Tak berpikir panjang, Akbar segera bagkit dan berdiri menghampiri Revan yang hanya diam. Kemudian mengangkat tangan dan mengarahkan pukulan tepat mengenai wajah Revan tanpa pria itu berniat menghindar. Usianya memang sudah 60 tahun, namun masih sanggup melumpuhkan seseorang dengan pukulannya. Dipukulinya Revan tanpa henti hingga Revan tersungkur. Ia tak berniat menghalau atau lari dari amukan sang ayah. Jika ini bisa membuat Yuna mengurangi kebenciannya, ia rela. "Anak kurang ajar, sialan! Orang tuamu tidak pernah mengajarimu menjadi pecundang. Benar-benar memalukan keluarga! Mati saja kau anak sialan!" teriak Akbar dengan terus memukuli Revan tiada henti. Hannah melihatnya dengan miris, namun rasanya itu tidak sepadan dengan penderitaan wanita di hadapannya. Mengandung tanpa suami, melahirkan dan membesarkan Kania seorang diri untuk wanita semuda itu tidaklah mudah. Ia wanita dan tahu perasaannya. Namun melihat anaknya bisa saja mati di tangan ayahnya sendiri, ia tak rela. "Sudah, sudah suamiku. Sudah!" jeritnya saat Revan benar-benar tak berdaya. Ia berusaha melindungi Revan yang sudah babak belur. Ia tahu anaknya salah, tapi ia seorang ibu dan tak bisa melihat putra satu-satunya mati di depan mata. "Hah- hah- hah," nafas Akbar tersengal. Ia jatuh terduduk di sofa dengan memijit kepalanya. Matanya terlihat basah, untuk pertama kali seumur hidupnya ia menangisi anaknya. Ia benar-benar malu. Sementara Yuna hanya melihatnya dalam diam, melihat pria yang menjadi penyebab kemalangannya teraniaya belum cukup menjadi obat untuk luka hatinya. Dan malam itu, benar-benar menjadi malam yang tak pernah keluarga Revan bayangkan. Bahkan Revan sendiri tak menyangka ia telah menjadi manusia paling jahat. Lalu, siapa yang harus disalahkan disini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD