4. Saatnya

1639 Words
"Hati-hati, Sayang." Saat ini Yuna tengah berada di sekolah mengantar Kania sebelum berangkat study tour ke Jakarta. Dan Kania hanya mengangguk tanpa ekspresi yang berarti. "Tolong jaga Kania," pesan Yuna pada wali kelas Kania yang bertanggung jawab selama acara study tour berlangsung. "Tentu saja, Nyonya. Anda tenang saja, lagipula Kania anak yang cerdas dan mandiri. Tapi kami tetap akan selalu mengawasinya juga anak-anak yang lain," balas Bu Vita, guru sekaligus wali kelas Kania. "Terimakasih," balas Yuna dengan membungkuk kecil. "Sudah saatnya berangkat, Ma. Kania pergi dulu." Meraih tangan sang mama dan mencium punggung tangannya dalam waktu cukup lama. Dalam hatinya ia berdoa meminta izin pada mamanya untuk mencari ayah kandungnya. "Hati-hati, Sayang. Dengar apa yang dikatakan bu Vita dan jangan pergi kemanapun tanpa ditemani beliau, juga jangan berpencar dari teman-temanmu." Karena Yuna tahu seperti apa sifat putrinya. Kania selalu mempunyai rasa penasaran akan sesuatu, ia khawatir Kania terlepas dari pengawasan. Dikecupnya pucuk kepala Kania penuh kasih dan mengusapnya penuh kelembutan. Kania mengangguk, melambaikan tangan dan mulai memasuki bus pariwisata bersama teman-temannya yang lain. Sementara Yuna masih berdiri di sana menunggu bus mulai berangkat, ia tidak tahu kenapa, tapi perasaannya terasa tidak enak. "Semoga semua baik-baik saja," batinnya seraya melambai saat bus mulai berjalan. **** "Yuna, kau baik-baik saja?" Saat ini Yuna tengah menikmati makan malam di rumahnya bersama Abel. Abel datang beberapa saat yang lalu dengan membawakannya makan malam. Abel hanya ingin menemani Yuna karena Kania tidak di rumah. "Entahlah, aku tidak bisa berhenti memikirkan Kania," jawab Yuna dengan arah pandangnya pada kursi yang biasa Kania duduki. "Kau tenang saja, saat ini Kania pasti tengah bersenang-senang bersama teman-temannya," ujar Abel agar Yuna berhenti merasa khawatir. "Lagipula guru-gurunya juga akan mengawasinya kan," lanjutnya sembari mengusap mulut Novan yang sedikit belepotan karena es krim coklat kesukaannya. "Seharusnya Jovan ikut dan bisa menjaga Kania," seru Jovan tiba-tiba setelah sang mama membersihkan mulutnya. Abel terkekeh, mencubit hidung putra sulungnya dengan gemas dan membuatnya mengaduh dengan kesal. "Mama, Jovan sudah besar, tahu. Jangan bersikap seakan Jovan masih anak-anak," seru Jovan dengan mengusap hidungnya yang memerah. "Jadi, bagaimana? Jovan akan punya adik?" tanya Yuna dengan kekehan kecil melihat tingkah lucu Jovan. "Apa?! Jovan akan punya adik?!" pekik Jovan hingga berdiri dari duduknya dan menatap sang mama. Sementara Abel hanya tersenyum penuh arti padanya. "Horeeee!" Jovan berteriak kegirangan hingga berdiri di atas kursi yang sebelumnya ia duduki. "Jovan, tidak sopan." Abel segera meminta Jovan turun dan duduk dengan tenang. Ia tak mengira Jovan akan sesenang ini. Padahal ia sudah sangat khawatir Jovan akan menolak dengan adanya anggota keluarga baru. Yuna memperhatikan interaksi keduanya dengan tersenyum kecil. Akhirnya Abel akan memiliki anak lagi. Meski sebelumnya ia terus berkoar hanya ingin punya satu anak, nyatanya, saat ia hamil ia begitu terlihat bahagia. Dering ponsel mengalihkan atensinya dari kedua makhluk di hadapannya yang masih saling tertawa lebar. "Halo … apa?!" Detik itu juga ponselnya jatuh mencium lantai dengan keras. Sontak Abel dan Jovan menghentikan tawa dan menatapnya penasaran. "Ada apa?" tanya Abel yang mulai merasakan firasat buruk. Yuna tak mengatakan apapun dan segera menuju kamar Kania untuk mencari sesuatu. Beberapa detik yang lalu yang menelepon adalah Bu Vita. Ia mengatakan bahwa Kania hilang dari rombongan. Sontak hal itu membuat Yuna mulai berpikir buruk. Abel yang tidak tahu apa yang terjadi segera mengikutinya yang terlihat mencari sesuatu. "Sebenarnya apa yang terjadi, Yun?" tanyanya sekali lagi. Yuna tetap tak menghiraukan pertanyaan Abel dan mulai membuka laci meja belajar Kania yang mungkin bisa menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Dan benar saja, ia menemukan sebuah memo di dalam laci meja belajar Kania. "Maaf, Ma. Kania hanya ingin bertemu papa. Jangan khawatirkan Kania, Kania akan baik-baik saja." Adalah isi dari memo yang Kania tinggalkan dengan kartu nama yang Yuna simpan selama ini. Kania telah menyalin alamat yang tertulis dan sengaja meninggalkannya berharap mamanya menyusulnya. Air mata pun perlahan mulai meluncur deras, kakinya terasa lunglai hingga perlahan ia merosot terduduk di lantai. Abel segera menghampiri dan melihat memo di tangan Yuna juga sebuah kartu nama. Ia yang membacanya akhirnya mengerti dan merasa sangat bersalah sekarang. Ia yang telah memberitahu Kania mengenai hal ini. Tapi ia tak mengira, Kania akan berbuat nekat secepat ini. "Aku akan menyusulnya." Yuna berusaha bangkit dan menguatkan langkah kakinya. Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi taksi online untuk pergi ke Jakarta sekarang juga. "Tapi, Yun!" Abel berusaha mencegahnya namun ia juga khawatir pada Kania. Yuna segera mengganti pakaian sembari menunggu taksi online datang. Sementara Abel terlihat menghubungi seseorang. Dengan kondisi kehamilannya yang masih sangat muda, ia tidak bisa mengantar atau mengikuti Yuna. Dan sebuah ide terlintas. Melelihat alamat yang ia baca, dan gurunya baru menghubungi mungkin Kania belum terlalu jauh. "Halo, bisakah kau menolongku?" **** Sementara di tempat Kania sendiri, ia masih berjalan seorang diri. Ia melirik jam tangannya dan sebentar lagi sudah masuk jam sholat isya. Dan benar saja, selang beberapa saat adzan mulai berkumandang. Ia memutuskan untuk ke masjid terlebih dahulu kemudian melanjutkan perjalanan. Ia mendesah berat saat membuka sepatu dan duduk di depan masjid. Mungkin saat ini gurunya tengah mencarinya. Satu jam yang lalu saat bus berhenti di sebuah pom bensin, ia meminta izin pada gurunya untuk ke toilet. Mungkin gurunya terlalu percaya padanya hingga membiarkannya ke toilet sendirian tanpa pengawasan. Namun itu lah kesempatan Kania. Ia mengikuti orang dewasa lain yang juga dari toilet dan mengelabui gurunya. Ia tahu ia salah, tapi hanya ini kesempatannya. Mungkin jika ia pulang nanti, ia akan meminta maaf pada gurunya itu. Ia segera masuk ke dalam masjid, mengambil air wudhu dan mengikuti sholat isya berjamaah. Dalam kekhusyuan sholat dan doanya ia tak pernah berhenti meminta agar bertemu sang ayah. Setelah selesai melaksanakan sholat, ia berniat kembali melanjutkan perjalanan. Merasa kebingungan, ia mencoba bertanya pada seorang pria paruh baya yang juga telah selesai melaksanakan ibadah. "Paman," panggilnya dengan menarik kecil ujung kemejanya. Pria itu menoleh. "Iya, ada apa?" tanyanya dengan mengamati Kania dengan seksama. "Apa paman tahu alamat ini?" Kania memberikan kertas berisi salinan alamat rumah papanya berharap pria itu tahu. Jika tidak, mungkin ia akan bertanya dimana letak pos polisi terdekat, kemudian meminta polisi mengantar ke alamat tersebut. Tapi, itu sebenarnya lebih berisiko, karena jika gurunya sudah melapor, mungkin akhirnya ia akan diserahkan pada gurunya dan otomatis ia akan gagal. Tepat saat itu, ponsel pria itu berbunyi. "Tunggu sebentar ya, Nak," ucapnya pada Kania seraya mengangkat panggilan. Kania menunggu dengan tetap diam dan anteng. Ia sudah bertanya pada orang itu dan entah ia tahu atau tidak, ia tetap harus menunggu. Sangat tidak sopan jika ia pergi begitu saja. "Mana, Nak, coba paman lihat." Pria itu meminta kertas yang sebelumnya Kania sodorkan. Tampak berpikir sejenak kemudian tersenyum pada Kania. "Paman tahu alamat ini, paman juga akan pergi ke sana, bagaimana jika paman mengantarmu?" tawar pria itu seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kania terlihat berpikir keras, dapatkah ia percaya? "Kau tenang saja, paman akan mengantarmu sampai ke sana dengan selamat," bujuk pria itu kembali. Akhirnya Kania mengangguk dan mencoba percaya. Hanya ini satu-satunya kesempatan yang ia punya. Pria itu pun segera membawa Kania menuju mobilnya yang terparkir di area parkir masjid. "Kenapa paman mau menolongku?" tanya Kania saat telah duduk di dalam mobil dengan pria itu yang membantunya memasang sabuk pengaman. "Karena paman juga akan ke sana. Oh, ya. Siapa namamu?" tanya pria itu seraya menghidupkan mesin mobil. "Namaku, Kania," jawab Kania singkat. "Kania? Nama yang bagus. Nama paman, Agus. Jadi … Kania, untuk apa kau ingin pergi ke alamat itu?" Pria berusia sekitar empat puluhan itu kembali bertanya dengan tetap fokus pada kemudi. "Aku ingin mencari seseorang." "Siapa itu?" "Daripada itu, kenapa paman tidak bertanya dimana keluargaku? Aku anak-anak yang berjalan sendirian dan meminta paman menunjukkan alamat," sergah Kania. Lazimnya, tentu orang lain akan bertanya, "Dimana orang tuamu? Kenapa sendirian malam-malam?" Namun Agus sama sekali tidak bertanya perihal demikian. Agus tersenyum kecil. "Paman tahu," jawabnya singkat. "Maksud paman?" Kania berkedip pelan. Ia tidak mengerti apa maksud yang ingin Agus sampaikan. "Mungkin sudah tugas paman untuk menolongmu," ujar Agus kembali dan kian membuat Kania tak mengerti. "Kania tidak mengerti," gumam Kania dengan masih menatap Agus dari samping. "Kadang sebuah kebetulan tidak bisa dijelaskan dengan logika, tapi memang benar nyata terjadi." Kania semakin kebingungan dan memilih diam dalam pikirannya sendiri. Keduanya terus mengobrol meski Kania yang hanya menanggapinya dengan jawaban singkat. Hingga akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah. "Ini alamat yang Kania cari," ujar Agus dengan arah pandangnya tertuju pada rumah tersebut. Kania melihat nomor rumah dan melihat alamat di catatannya. Dan benar saja, ini adalah alamat yang ia tuju. "Terimakasih, paman," ucap Kania seraya turun dari mobil. Pria itu turun dari mobil dan hendak mengantar Kania setidaknya sampai pemilik rumah keluar dan menemuinya. Namun tepat saat itu juga ponselnya kembali bergetar. "Halo. Iya, aku akan segera pulang. Baiklah." Menutup panggilan, ia mengatakan pada Kania bahwa harus segera pergi. "Kania, maaf, paman harus segera kembali." "Tidak apa-apa, paman. Sekali lagi terimakasih dan maaf, sudah merepotkan paman," jawab Kania dengan setengah membungkuk. "Tunggu, ini nomor paman. Jika terjadi sesuatu, atau pemilik rumah tidak ada, segera hubungi paman." Agus memberikan kartu nama berisi nomor ponselnya kemudian kembali memasuki mobil. Ia harus bergegas. "Um." Kania tidak tahu, sebenarnya siapa orang itu hingga memberinya kartu nama dengan nomor ponselnya yang tertera. Tak berpikir panjang, Kania segera memasukkan kartu nama itu ke dalam tas. "Sepertinya paman benar-benar tengah tergesa," batinnya. Akhirnya Agus segera pergi meninggalkan Kania yang masih berdiri di depan rumah. Kania menatap kepergian mobil berwarna hitam itu dalam diam. Ia bersyukur dipertemukan dengan orang yang baik. Kemudian ia berbalik dan menatap rumah di hadapannya dengan tangan sedikit bergetar. Terus seperti itu hingga beberapa lama sampai rintik hujan membuatnya mengambil langkah. Tik … Tik … Tik … Rintik hujan mengejutkan Kania dan membuatnya segera bergegas berlari ke dalam rumah tanpa pagar gerbang. Mengambil nafas panjang, mengembuskannya perlahan kemudian mulai menguatkan keberanian mengetuk pintu rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD