3. Kartu Nama

1704 Words
"Baru pulang, Kania." Kania hanya diam tak berniat menyahuti. Bukan berniat tak sopan, tapi ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Semakin ia menjawab semakin ibu-ibu tetangga kontrakan tak bisa diam. Pernah suatu ketika ia menjawab sapaan wanita itu, namun akhirnya berujung pada sakit hati atas apa yang dikatakannya. "Ayahmu mana Kania? Kenapa tidak minta papa sama mamamu? Mamamu tidak laku ya? Bagaimana bisa laku, dia kan punya anak haram sepertimu." Kata-kata itu akan terus ia ingat, begitu juga siapa saja yang menghinanya juga ibunya. Ia tidak tahu apakah menghina orang lain sangat menyenangkan hingga mereka selalu melakukannya. Apa mereka tidak berpikir bagaimana perasaannya? Bagaimana jika orang lain juga menghina mereka? "Cih, anak haram memang tak punya sopan santun pada yang lebih tua," cibir wanita paruh baya itu dengan menatap jijik pada Kania yang kini mulai memasuki rumah. "Hah …." Kania mendesah berat, membuka sepatu dan meletakkannya ke rak sepatu kemudian memasuki rumah dengan mengucapkan salam. Sepi, seperti biasa rumahnya selalu terasa sepi. Mamanya akan pulang pukul enam sore dan selama itu ia harus menyiapkan makan malam dan berberes rumah. Ini sudah biasa baginya, memasak, membersihkan rumah bahkan mencuci baju meski menggunakan mesin cuci. Ia tahu mamanya pasti lelah setelah pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah dengan senang hati. Tok … tok … tok … Baru saja ia hendak mencuci piring dan mendengar suara pintunya diketuk. Ia segera membuka celemek dan mencuci tangan kemudian segera melihat siapa yang datang. Tidak mungkin itu mamanya karena masih pukul tiga sore. Cklek … "Bi Abel?" Abel hanya tersenyum lebar dengan menunjukkan dua jari membentuk huruf V kemudian masuk ke dalam rumah dan terlihat sedikit gugup. "Mamamu belum pulang?" tanyanya yang kini telah duduk di sofa ruang tamu. Hanya basa-basi, karena tentu ia tahu jam berapa Yuna akan berada di rumah. "Uum. Mama bilang akan pulang jam enam," jawab Kania yang hendak berjalan ke dapur untuk membuatkan Abel minum. "Kania!" panggil Abel sebelum Kania memsuki dapur. Kania menoleh dan menghentikan langkah. Alisnya sedikit mengernyit kemudian mengikuti perintah Abel yang memberinya isyarat duduk di sampingnya. "Ada apa, Bi?" tanyanya. Abel menghela nafas berat. "Sebenarnya ... ada yang ingin bibi katakan." Sudah sejak kemarin ia ingin mengatakan ini, tapi bayang-bayang dimana ia telah berjanji pada Yuna terus bergelayut dan membuatnya mengurungkan niat. Mata Kania berkedip pelan, sepertinya ini hal yang sangat serius. "Mengenai papamu …." "Papa?!" tanya Kania sebelum Abel menyelesaikan ucapannya. "Seharusnya mamamu yang mengatakan ini padamu, tapi … kau tahu sendiri mamamu sepertinya sulit untuk mengatakannya." "Jadi, bibi tahu siapa ayahku? Jadi dimana dia sekarang?" tanya Kania bertubi-tubi. Abel menarik nafas panjang dan mencoba menjelaskannya dengan hati-hati. "Bibi hanya tahu bahwa mamamu menyimpan kartu nama ayahmu. Tapi … bibi tidak tahu dimana mamamu menyimpannya." Abel tidak berniat sepenuhnya mengingkari janji pada Yuna untuk tidak menceritakan ini pada Kania, tapi ia tak tega melihat Kania yang bahkan tidak tahu nama dari ayah kandungnya. Selain itu, semua juga didasari dari ketidaksengajaannya kemarin. Tanpa sengaja ia melihat berita mengenai ayah Kania. Pria itu masih menyandang status single bahkan tak terexpose pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Dan hal itu membuatnya berpikir mungkin ada sesuatu yang terjadi, karena sejak dulu ia tak percaya seratus persen bahwa ia lah yang sengaja mencelakai Yuna hampir sebelas tahun silam. "Lalu, kenapa papa tidak pernah mengunjungiku, Bi? Apa sebenarnya papa tidak tahu jika aku ada? Atau, apa Kania ada hanya karena kesalahan papa dan mama waktu muda?" "Maafkan bibi, Sayang, bibi hanya tahu mengenai kartu nama itu. Bibi tidak pernah bertemu dengannya, jika bibi bisa, bibi akan menghubunginya untukmu, tapi …." "Tidak apa-apa, Bi," ucap Kania dengan senyum sedikit lebar di wajahnya. Hanya berita sekecil ini sudah sangat membuatnya senang. Mungkin ia bisa mencari kartu nama itu kemudian mencari tahu semua mengenai ayah kandungnya. Ini sudah lebih dari cukup untuk memberinya jalan. "Mamamu belum pulang, ingin ke rumah bibi? Nanti bibi akan menelepon mamamu jika kau ke rumah bibi," tawar Abel seraya mengusap lembut pipi Kania. "Terimakasih, Bi. Tapi tidak usah, aku harus membersihkan rumah," tolak Kania dengan halus. "Sayang, jangan paksakan dirimu." Abel tak tega, Kania harus mengurus pekerjaan rumah saat Yuna bekerja. Meski Yuna tak menyuruhnya, namun Kania sedniri yang berinisiatif melakukannya. "Tidak apa-apa, Bi." Kania tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi putihnya. Abel merasa terenyuh, ini kali pertama ia melihat Kania tersenyum lebar. Dan semua hanya karena berita kecil yang ia sampaikan. Hanya mengetahui bahwa mamanya masih memiliki jejak sang ayah saja sudah membuatnya begitu ceria, bagaimana jika mereka bertemu langsung? Pasti itu adalah hadiah yang mampu membuat Kania terus mengukir senyum yang jarang ia tunjukkan. "Apa bibi kesini hanya untuk mengatakan ini?" tanya Kania tiba-tiba. Abel menggeleng kecil. "Bibi ingin memastikan jika kau sudah sampai rumah dengan selamat. Dan mengenai hal itu, bibi sudah berniat mengatakan sejak ulang tahunmu, tapi bibi masih ragu karena sudah berjanji pada mamamu untuk tidak memberitahukan ini," terangnya dengan mengatakan alasan yang sejujurnya. "Sekali lagi, terimakasih, Bi." "Iya, Sayang, maaf karena baru memberitahukannya sekarang." Dipeluknya Kania layaknya ibu memeluk putrinya. Ia menyayangi Kania dan tak tega jika terus menyembunyikan kebenaran yang ia ketahui. Jika tidak dalam kondisi seperti ini, mungkin ia sudah mengajak Rai menemaninya mengantar Kania menemui ayahnya. *** Kania melirik jam dinding dan sudah pukul enam lebih tapi Yuna belum juga pulang. Sebuah pemikiran terlintas. Ia segera menuju kamar mamanya dan mencari kartu nama yang Abel katakan. Ia sempat berpikir, mungkin mamamnya menjadi korban pemerkosaan ayahnya hingga membuatnya begitu membencinya. Tapi melihat mamanya masih menyimpan kartu nama ayah kandungnya, sepertinya ada hal lain yang disembunyikan. Apapun itu, ia tak peduli. Ia hanya ingin bertemu ayah kandungnya. Ia ingin ayahnya mengatakan pada semua orang bahwa ia bukan anak haram. Kania menarik kursi untuk digunakan sebagai pijakan dan melihat lemari mamanya. Ia merogoh di bawah baju juga di setiap selipan tanpa meninggalkan jejak berantakan. Namun, ia tak mendapati sesuatu. Sampai ia merasa tangannya menyentuh sebuah benda keras berbentuk kotak yang tersimpan di dalam lemari paling dalam. Ia berusaha mengambilnya dan saat telah berhasil, ia segera membuka kotak berukuran kecil itu dan mendapati selembar kertas kecil bertuliskan sebuah nama dan nomor telepon, bahkan terdapat alamat dengan tulisan pena di belakangnya. Ia segera mengambilnya dan mengembalikan kembali kotak itu ke tempat semula. Merapikan kembali isi lemari mamanya kemudian bergegas ke kamar sebelum mamanya pulang. Tepat saat ia keluar dari kamar, Yuna telah membuka pintu. "Mama baru pulang?" Kania menyembunyikan selembar kertas kecil itu ke dalam saku bajunya dan menyambut Yuna yang tampak lelah. "Iya, Sayang, maaf mama pulang sedikit terlambat." Yuna segera mendaratkan kecupan hangat di pucuk kepala Kania. "Tidak apa-apa, Ma. Kania sudah memasak makan malam, mama ingin segera makan atau mandi dulu?" "Mama mandi dulu, Sayang. Jika kau lapar, makanlah dahulu." Diusapnya pipi chubby kania dan memberinya cubitan kecil di sana. Kania menggeleng. "Tidak. Kania akan menunggu mama," ucapnya. "Baiklah. Mama akan segera mandi dan menyusulmu ke dapur." Mengusap pucuk kepala Kania, kemudian menuju kamarnya. "Hah …." Kania mendesah penuh kelegaan saat mamanya telah memasuki kamar dan akan membersihkan diri. Ia bergegas ke kamarnya dan menyimpan kartu nama itu kemudian pergi ke dapur dan menyiapkan makan malam. Tak butuh waktu lama akhirnya Yuna telah rapi dengan piyama tidurnya. Tidak ada kegiatan lain setelah ia mandi dan makan malam kecuali bermain atau menemani Kania belajar kemudian tidur menemani Kania hingga bocah itu tertidur lelap. "Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Yuna sembari menikmati tumis kangkung masakan Kania. Kadang ia selalu merasa bersalah membiarkan Kania memasak dan membersihkan rumah. Saat ia pulang, rumah sudah dalam keadaan rapi dan bersih. Tapi mau bagaimana lagi, ia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup Kania dan kehidupan sehari-hari. "Seperti biasa," jawab Kania singkat. "A … oh ya, kalau tidak salah minggu depan kau pergi study tour?" Waktu makan malam adalah waktu yang paling berharga untuk menjalin komunikasi lebih dekat dengan Kania. "Uum." Kania mengangguk kecil. "Bagaimana jika mama ikut? Maksud mama, mama hanya khawatir kau--" "Aku sudah besar, Ma," keluh Kania seraya meletakkan gelas setelah ia meminum susunya hingga tandas. Bukan hanya itu saja, ia hanya tidak ingin mamanya kembali menjadi ejekan teman-temannya. "Mama hanya khawatir, Kania." Karena Kania adalah murid dengan usia di bawah teman-temannya. Meski ia tahu Kania anak yang mandiri, tetap saja ia masih merasa khawatir karena study tour kali ini pergi ke luar kota. "Mama tenang saja, Kania akan baik-baik saja." *** Cklek … Yuna menutup pintu kamar Kania dengan hati-hati saat telah melihat putri semata wayangnya telah tertidur lelap. Namun tanpa ia kira, Kania segera membuka mata saat pintu telah tertutup rapat. Kania bangun dari tempat tidur, meraih kacamata di atas meja dan memakainya kemudian duduk di depan meja belajarnya. Tangannya menari di atas keyboard dengan menatap seksama layar laptop. Laptop bekas yang Yuna belikan sebagai hadiah ulang tahunnya tahun lalu. Kania cerdas, bahkan kadang Yuna kerepotan untuk menjawab pertanyaannya mengenai banyak hal. Alhasil, ia menabung untuk membelikan Kania laptop untuk belajar dengan mengumpulkan sebagian uang dari hasilnya bekerja selama beberapa bulan sebelum ulang tahun Kania. Lagipula ia percaya, Kania akan mempergunakannya dengan bijak. Dengan teliti dan jeli Kania memeriksa setiap data yang tertera di layar. Mengetikkan nama yang sesuai pada kartu nama dan tak butuh waktu lama muncul banyak artikel tentangnya. Rupanya ayahnya bukanlah orang biasa dilihat nama ayahnya saja tercantum di Wikipedia. Dan saat foto pria itu terpampang dengan jelas, dadanya bergemuruh dengan hebat, bahkan terasa sakit hingga ia meneteskan air mata. Ia sampai mengesampingkan semua keterangan di bawah foto ayahnya. Kania melirik kalender di bawah layar dan melihat alamat di balik kartu nama di genggamannya. Ia juga telah melakukan pencarian dan ia yakin akan sesuatu. Ia mengusap jejak air matanya kasar dan mengepal tangannya kuat di atas pangkuan. Ia telah bertekad dan akan melakukannya. Entah apa yang ia dapat nantinya, tapi ia hanya butuh satu jawaban pasti. Jika mamanya tidak ingin memberitahunya mengenai statusnya, maka ia akan bertanya pada pria itu. Ia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi dan menengadah menatap langit-langit kamar. Apa ini sebuah kebetulan? Atau Tuhan memang ingin mengabulkan doa-doanya? Study tour minggu depan adalah ke Jakarta dimana alamat pria itu tinggal. Ia tahu kota itu besar, tapi ia yakin dan bertekad untuk dapat sampai di sana. Hanya ini kesempatan satu-satunya dan ia tak akan menyia-nyiakannya. Ia kembali menatap layar laptopnya dengan jejak air mata sembari menyusun rencana dalam otaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD