2. Sudah Terbiasa Namun Tetap Menyakitkan

1904 Words
"Hahaha." Tawa lebar nan keras anak-anak itu terdengar jelas. Bahkan sangat jelas di telinga Kania yang saat ini terduduk setelah beberapa saat lalu menjadi korban dorongan salah satu dari mereka. Kania memungut kacamatanya dengan kelegaan. Untung saja kacamatanya tidak pecah. "Dasar, anak haram," maki bocah laki-laki seusia Kania yang dibentengi beberapa anak lain di belakang bocah itu. Zio namanya, bocah laki-laki yang merupakan tetangga kontrakan Kania juga teman sekelas yang selalu mengganggunya. Bukan hanya di rumah, di sekolah pun, tak ada hari terlewat untuk tak mengucap kata tak sepantasnya untuk Kania. Ditemani ketiga temannya yang juga teman sekelas Kania yang tak berhenti menghinanya dengan kata serupa bahkan kadang lebih menyakitkan. Kania mencoba bangkit, menepuk kecil roknya yang terlihat lusuh kemudian berniat menghindar dengan mengabaikan ocehan tak berguna mereka. Tapi, seperti sebuah kesenangan bagi keempatnya untuk menghinanya. Kania sudah terbiasa, sejak kecil, tetangga hingga anak-anak mereka memang tak pernah berhenti menghinanya juga mamanya. "Anak p*****r, entah berapa banyak papamu, menjijikan." "Anak haram sepertimu tak pantas sekolah di sini." "Pergi melacur seperti mamamu saja sana." Semua kata-kata tak pantas itu sudah menjadi makanan sehari-hari saat ia kecil bahkan hingga saat ini. Ia tidak tahu, kapan mulut orang-orang itu akan lelah dan berhenti membuat hatinya merasakan sakit. Kania menggenggam tangannya kuat dan menunduk dalam menyembunyikan kemarahannya. Meski ia diam, tak berarti ia tak mencerna semua hinaan itu. Ingin sekali ia membungkam mulut orang-orang itu tapi, ia sadar, ia memang tak memiliki papa. Tak mempunyai sosok ayah yang bisa dibanggakan dan dikenalkan pada semua orang. Bahkan melihatnya pun tak pernah. Jadi, hinaan yang mengatakan ia anak haram, memang benar adanya. "Sudahlah teman-teman, nanti anak haram ini menangis dan mengadukan kita pada papanya," kelakar Koko, bocah laki-laki yang juga selalu mengganggu Kania. Zio, Koko, Andre, Reza, keempat nama itu tak akan pernah Kania lupa. "Papa? Memang dia punya? Dia kan anak haram. Hahaha. Anak hasil pelacuran!" teriak Reza tepat di depan wajah Kania hingga ia dapat merasakan sesuatu yang basah terciprat ke wajahnya. Sakit, rasanya benar-benar sakit. Namun Kania tak dapat melakukan apapun. Jika ia melawan, mereka akan semakin berbuat lebih dari ini. Tap … tap … tap … Brugh! Kania tersungkur kembali dengan lututnya yang mencium aspal hingga berdarah kala Zio sengaja menyenggolnya saat ia berjalan melewatinya. Diikuti ketiga temannya, bocah-bocah itu berlalu saat telah puas menjadikan Kania bahan ejekan. Kedua tangan Kania terkepal di atas lututnya yang berdarah. Tangannya mengusap setitik air mata yang merembes melewati pipi kemudian berusaha bangkit. Ia melangkahkan kakinya perlahan saat rasa perih mulai menjalar. Ini masih belum seberapa. Di tempat sekolahnya yang dulu, entah sudah berapa kali ia mengganti kacamatanya disebabkan anak-anak yang mengerjainya juga menghinanya karena tak punya wali seorang ayah. "Kania!" Kania menoleh dan mendapati Jovan berlari tergesa ke arahnya dengan nafas tersengal. "Bukankah sudah kubilang kita menunggu mama saja?" Karena ia tahu, jika Kania pulang sekolah seorang diri, ia bisa menjadi korban bully lagi. "Kania, lututmu!" pekiknya saat menyadari lutut Kania brdarah. Kania hanya diam dengan ekspresinya yang datar meski masih terlihat setitik jejak air mata di ujung matanya. "Aku terjatuh," ujar Kania yang berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Jovan segera membuka tasnya, merogoh dan mencari sesuatu kemudian berjongkok di depan Kania. Dibersihkannya jejak darah yang masih mengalir menggunakan sapu tangannya kemudian menempelkan plester di atas luka. Sebuah plester dengan gambar bunga kini menghentikan darah dari lututnya. "Maaf," gumam Jovan dengan tertunduk lesu. Alis Kania mengernyit. "Apa maksudmu?" tanyanya yang mendengar gumaman Jovan. "Aku … tidak bisa menolongmu dari mereka." Jovan menatap arah lain dengan mata berkaca-kaca. Kania tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, lagipula sebenatar lagi aku lulus dan mereka tak akan menggangguku lagi." Kania mengulurkan tangannya membantu Jovan untuk berdiri. Hap! Jovan menerima uluran tangannya dengan mengusap air mata yang mulai menetes. "Itu kau, aku masih dua tahun lagi," keluhnya meski kadang ia berharap Kania segera lulus agar berhenti menjadi korban bully teman-temannya. Kania tak membalas ucapan Jovan dan memilih mengucapkan terimakasih karena telah mengobati lukanya. "Terimakasih." Jovan mengangguk. "Ya sudah, kita menunggu mama disini saja," ujarnya dan mengajak Kania duduk. Keduanya duduk di bangku tempat tunggu di luar sekolah. Kania menatap kedua lututnya yang terasa perih. Ia menggertakkan gigi guna menahan rasa perih yang sesekali masih terasa. Sementara Jovan meliriknya lewat ekor mata. Andai saja ia lebih berani, mungkin Kania tak akan mengalami ini. Meski usia mereka sama, namun Kania sudah duduk di kelas 6 dan sebentar lagi lulus. Sementara ia masih duduk di kelas 4. Seberani apapun ia, tetap saja tak berani melawan empat anak kelas enam. "Sayang!" Abel terlihat melambai di seberang jalan dan menyeberang saat jalanan sepi. Namun dari kejauhan ia dapat melihat lutut Kania yang tertutupi plester. Ia mempercepat langkah dan saat telah berada di hadapan Kania, ia berjongkok dan melihat lututnya dengan khawatir. "Kania, apa yang terjadi dengan lututmu?" tanyanya yang segera mengambil sapu tangan dalam tasnya dan membersihkan sisa darah yang hampir mengering. "Aku tersandung batu dan jatuh," jawab Kania berbohong. "Ma--" Jovan hendak mengatakan yang sebenarnya namun segera mendapat pelototan dari Kania. Ini masalahnya, selama Kania bisa mengatasi ini, ia tidak ingin mamanya atau Abel tahu meski sudah bukan rahasia lagi jika ia kerap menjadi korban bully. "Bibi akan mengobatinya di rumah, ayo kita pulang. Mamamu memintamu pulang ke rumah bibi," ujar Abel seraya menangkup wajah Kania dengan satu tangannya. Meski sudah tertutup plaster, tapi ia harus membersihkan luka Kania dan memberinya obat. Kania mengangguk kecil. Abel segera bangkit dan menggenggam kedua tangan bocah yang ia sayangi. Baginya, Kania sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. "Mama masak apa? Aku sudah sangat lapar," tanya Jovan penuh semangat saat berjalan bersama mamanya menyeberang jalan. "Mama baru saja membuat tempura dan cumi goreng," jawab Abel dengan tersenyum menatap putra satu-satunya. "Enak sekali … cepat Ma, aku sudah tidak sabar lagi." Ditariknya tangan mamamnya membuatnya juga Kania tertarik dan berlari kecil. Abel tersenyum melihat tingkah putranya. Meski usianya hampir sepuluh tahun tapi ia masih bertingkah seperti anak usia lima tahun. Berbeda dengan Kania yang kalem dan terlihat lebih dewasa dari usianya. "Pasang sabuk pengamanmu anak-anak," perintah Abel saat mereka telah memasuki mobil. Sebuah pikiran terlintas di benaknya saat ia melihat Kania dari pantulan spion dalam mobil. Bukannya ia tak tahu apa yang terjadi pada Kania, luka di lututnya itu pasti karena ulah teman-temannya. Haruskah ia memberitahu Kania sekarang? Memberitahu siapa sosok ayah kandungnya. Namun ia sudah berjanji pada Yuna untuk tak mengatakan yang sebenarnya pada Kania. Tapi ... hanya memberitahunya nama, mungkin tidak apa-apa bukan? Tak butuh waktu lama akhirnya mereka telah sampai di rumah Jovan. Abel segera membawa Kania untuk mengobati luka di lututnya sesaat setelah memasuki rumah. Membersihkan lukanya dan memberinya obat merah. "Apa yang terjadi?" Seorang pria menghampiri keduanya. "Kania bilang ia jatuh," jawab Abel yang kini telah mengganti plester di lutut Kania dengan kain kasa setelah memberinya obat merah. "Paman Rain masih di rumah?" sapa Kania dengan menengadah menatap Rai yang berdiri di samping tempat duduknya. "Uum. Lain kali hati-hati saat bermain," tutur Rai, ayah Jovan, yang mengusap pucuk kepala Kania dan memberikan senyum lembut seperti biasa. "Papa, yang sakit lutut Kania, kenapa kau mengusap kepalanya?" Jovan datang setelah mengganti pakaian dengan menekuk wajah melihat apa yang ayahnya lakukan. Rai terkekeh. "Jika papa mengusap lututnya, nanti Kania kesakitan." "Mengusapnya hati-hati, seperti ini, Pa." Jovan mencontohkan bagaimana cara mengusap luka agar cepat sembuh. Bahkan memberi kecupan kecil di lutut Kania yang telah bersih. Kedua orangtuanya tertawa kecil. Kemudian Abel menatap Kania dengan pandangan tak terbaca. Dulu ia telah menawarkan untuk mengasuh Kania saat ia baru lahir meski ia juga akan melahirkan Jovan. Namun Yuna bersikeras merawat dan membesarkannya sendiri. Jika saja Yuna mengizinkannya, mungkin Kania tak akan mendengar hinaan dari orang-orang karena mengangkatnya menjadi anak. Tapi, itu adalah keputusan Yuna, ia tak bisa memakasa dan hanya bisa membantu semampunya. "Baiklah, satnya makan anak-anak," serunya dengan riang dan mendapat sahutan penuh semangat dari Jovan. **** "Hai, selamat malam." Yuna berdiri di depan pintu rumah Abel yang kini terbuka. "Kau sudah pulang, ayo masuk." Abel membuka pintu lebih lebar dan menutupnya kembali saat Yuna telah masuk ke dalam rumah. "Dimana Kania?" tanya Yuna. "Sedang belajar di kamar Jovan. Apa kau sudah makan malam? Aku masih punya sup ikan, sebaiknya istirahatlah dulu dan makan malam disini," ajak Abel sembari melangkah menuju dapur menghangatkan makanan untuk Yuna. "Tidak usah, terimakasih. Aku akan mengajak Kania segera pulang sebelum larut." Yuna melangkah menuju kamar Jovan yang pintunya terbuka. "Kania, saatnya pulang," panggilnya saat mendapati Kania tampak membaca buku. "Mama sudah datang?" Kania meletakkan buku di tangannya dan turun dari kursi yang ia duduki untuk menyusul mamanya. "Iya, Sayang. Kau sudah makan?" Diusapnya kepala Kania penuh kasih dan mengecup keningnya sekilas. Kania mengangguk kecil. Sementara Jovan segera menghampiri keduanya yang masih berdiri di ambang pintu. "Aunty, Kania menginap di sini saja ya," pinta Jovan dengan memasang puppy eyes. Yuna terkekeh melihat ekspresi Jovan. "Lain kali ya, Sayang," jawab Yuna dengan tersenyum dan mengacak kecil kepala Jovan. Jovan mengerucutkan bibir kesal, meski berbeda gender tapi ia senang bisa selalu bermain bersama Kania. "Kau tidak ingin menginap?" tanya Abel yang kini berdiri di belakangnya. Yuna berbalik. "Tidak, terimakasih. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Maaf, ya." Sudah sangat banyak. Sejak ia hamil, melahirkan, hingga Kania sebesar ini, ia selalu merepotkan Abel. Ia malu, namun bagaimana lagi, hanya Abel yang bisa membantunya. Able tersenyum hingga matanya menyipit. "Tidak apa-apa. Aku senang Kania disini dan bermain bersama Jovan," ucapnya dengan melirik Kania juga Jovan yang tengah bercengkrama. Meski, Jovan yang terus bersuara sementara Kania hanya menanggapinya dengan tenang. "Sekali lagi terimakasih. Aku pulang," pamit Yuna. "Biar Rai mengantarmu, tunggu sebentar," cegah Abel meminta agar Yuna menunggu karena Rai tengah berada di kamar mandi. "Tidak usah. Sampaikan salamku untuk Rai. Sampai jumpa." Menggandeng tangan Kania, Yuna membawanya keluar rumah Jovan dan pulang ke kontrakan sederhana mereka. "Hati-hati." Abel mengantar keduanya sampai depan rumah dan melambai begitu juga Jovan yang melakukan hal serupa. "Sampai jumpa besok!" teriak Jovan meski Kania telah berjalan menjauh. Akhirnya kini Kania dan Yuna telah berada di halte bus. Yuna memilih bus untuk pulang, untung saja masih ada bus terakhir yang lewat. "Apa yang terjadi hari ini?" tanyanya pada Kania yang tak menunjukkan ekspresi berarti. "Seperti biasa, tidak ada yang menarik," jawab Kania dengan tatapan lurus ke depan. Yuna tersentak saat tak sengaja melihat lutut Kania. "Apa yang terjadi?" tanyanya penuh rasa khawatir. Ia segera bangkit dari duduknya dan berjongkok di depan Kania mengamati lututnya. "Hanya terjatuh," jawab Kania dengan mengalihkan pandangan. Ia tidak ingin mamamnya tahu bahwa ia berbohong. Ia tidak ingin membuat mamanya khawatir jika ia mengatakan menjadi korban bully lagi. "Bibi Abel yang mengobatinya?" tanya Yuna seraya mengusap lembut lutut Kania. "Uum." Kania mengangguk kecil. "Kalau begitu pasti akan segera sembuh," ucap Yuna dengan pandangan sendu. Kemudian senyumnya terukir saat ia menengadah menatap Kania. Tangannya terangkat menangkup wajah Kania yang terasa dingin. "Maaf," ucapnya dalam hati. Tentu ia tahu, Kania hanya berbohong. "Ma, sebentar lagi aku lulus," cicit Kania. "Kau benar, Sayang. Tidak terasa … kau sebentar lagi lulus." Tangannya merambat naik mengusap kepala Kania dan memberinya senyum tulus. "Apakah setelah lulus nanti … mereka tidak akan membullyku lagi?" gumam Kania. Yuna terperangah menatap mimik wajah Kania yang tersirat sebuah kesedihan. "Maaf, Kania," cicit Yuna dengan suaranya yang nyaris terbang terbawa hembusan angin malam. Yuna sempat berpikir untuk menyekolahkan Kania di rumah, namun biaya yang tak sedikit juga Kania yang ingin tetap sekolah di sekolah umum membuatnya tak bisa melakukan apapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD