Piano

1492 Words
Laras langsung menatap ke arah Kevin, matanya yang berbinar menunggu dengan antusias jawaban pemuda itu. Penyesalan terbesar? Seharusnya itu adalah karena Kevin tidak mempercayainya dan memilih untuk memiliki hubungan bersama Tania! Laras yakin akan hal tersebut, karena itu dia menunggu jawaban Kevin dengan semangat. "Penyesalan?" Kevin mengangkat alisnya bertanya pada pertanyaan Dion, kemudian dia berpikir lama seolah menghadapi pertanyaan yang sulit. Laras menjadi lebih tak sabar dengan seberapa lama waktu yang diperlukan Kevin untuk menjawab pertanyaan sederhana ini. Namun sayang sekali, apa yang diharapkannya tidak muncul sama sekali. "Penyesalan terbesarku ialah terbujuk saran Wawan untuk membuat contekan saat ujian semester di kelas dua," kata Kevin setengah tertawa. Teman-temannya yang mendengar itu juga langsung tertawa terbahak-bahak dan mulai membahas pengalaman menyedihkan Kevin ketika dia pertama kalinya membuat contekan dan akhirnya ketahuan. "Hahaha, itu salahmu karena tidak pro. Kamu meletakkan kertas contekan mu di tempat yang terbuka," kata Wawan mencoba membela diri. Dion sepertinya mengingat kejadian itu, dia juga ikut tertawa dan bergabung untuk mengikuti topik pembicaraan. "Tidak, tidak, Kevin paling pro di antara kita. Dia satu-satunya yang berani menyontek secara terbuka." "Sial kalian," Kevin mengambil batu kecil di sekitarnya dan membidik Wawan dan Dion. "Aku berpikir bu Ranti tidak melihatku saat itu." Laras merasa kecewa dengan jawaban Kevin, dia berpikir bahwa ini saatnya Kevin sadar bahwa bertemu dan mengenal Tania adalah sebuah kesalahan dan penyesalan terbesarnya! Siapa yang sangka ternyata pemuda itu malah membahas hal sepele seperti menyontek. "Ckck, inilah cowok yang kamu suka." Rena berbicara dengan suara rendah di telinga Laras sembari menggelengkan kepalanya, tampak mengkritik perbuatan Kevin. Laras memutar matanya, menatap dengan jijik pada teman tidak dianggapnya itu. "Apa yang salah? Menyontek adalah hal biasa. Apakah ada orang di dunia ini yang sekolah tanpa menyontek?" "Ada," jawab Rena dengan mudah, lalu tatapannya melayang ke sosok pemuda yang kini masih membaca buku dalam diam, seolah terpisah dengan keramaian di sekitarnya. Laras mengikuti tatapan Rena dan juga melihat kakak sepupunya. Dia terdiam sesaat, sebelum berkata untuk membela diri. "Dia bukan orang, jangan menyamakan dia dengan kita." "Heh," Rena tertawa sinis, namun tidak berkomentar apa pun lagi. Karena ponsel Wawan yang tiba-tiba kehabisan daya, maka permainan truth or dare dinyatakan berakhir. Ketika berkumpul bersama, rasa kantuk seolah dapat bertahan dari hari biasanya. Para remaja masih berkumpul bersama dengan membuat kelompok-kelompok kecil untuk mengobrol atau melakukan kegiatan lainnya. Suara petikan gitar dan lirik lagu terdengar melayang di bawa angin malam yang dibawakan oleh Tio, dan Fadila pacarnya duduk di sisinya dengan senyuman lebar mendengarkan lagu cinta yang dinyanyikan pacarnya. Laras duduk di depan tenda dan menatap ke arah itu. Dia melihat pasangan yang penuh gelembung merah muda itu dengan tatapan iri, lalu menoleh ke arah Kevin yang kini sedang mengobrol dengan Wawan dan Dion. Dia menghela napas tak berdaya, merasa heran kenapa kisah cinta orang lain begitu mulus sedangkan dia penuh dengan bebatuan dan lubang dimana-mana. "Vin, kamu bisa main gitar?" tanya Laras dengan pelan. Mungkin karena angin malam atau kantuk yang telah merayapi dirinya hingga membuat suaranya menjadi lebih lembut dari biasanya. Kevin tertegun sejenak, dia menoleh ke samping, mendapati gadis itu menatapnya lurus. Dia tidak tahu, sudah berapa lama gadis itu menatapnya, tetapi setiap kali dia menoleh ke samping, dia menemukan bahwa tatapan itu selalu mengarah kepadanya. Melihat wajahnya yang terlihat lelah, Kevin menggelengkan kepala dan menjawab dengan pelan juga. "Tidak, aku tidak tahu." "Benarkah? Tidak masalah, itu hanya gitar." Laras tersenyum memperlihatkan deretan gigi atasnya yang putih, tampaknya setiap jawaban Kevin merupakan hal yang memuaskan untuknya. Ya, bagi Laras jawaban 'ya' atau 'tidak' sama sekali tidak penting, asalkan Kevin menjawabnya, itu sudah sangat menggembirakan. Wawan juga mendengar percakapan mereka, dengan keahliannya yang mampu berinteraksi dengan makhluk hidup manapun, dia langsung bergabung dalam topik tanpa masalah. "Kevin tidak tahu main gitar, tetapi dia bisa main piano." Mata Laras melebar dengan kejutan yang menyenangkan. "Serius?" tanyanya kepada Kevin, mencoba untuk memastikannya. "Ya, hanya sedikit." Kevin menjawab dengan membuat gerakan tangan dimana jari telunjuk dan ibu jarinya berjarak satu sentimeter untuk memperlihatkan bahwa kemampuannya benar-benar hanya sedikit. Tetapi bagaimana pun, bagi Laras itu sudah sangat hebat. Apa pun tentang Kevin, entah sedikit atau banyak, itu sudah luar biasa. "Itu keren! Aku suka mendengarkan instrumen piano sebelumnya. Saat kecil, aku bahkan meminta orang tuaku untuk membelikanku piano. Aku berusaha lama untuk belajar, tetapi tidak juga bisa memainkan satu lagu pun. Tanya saja Randi, dia yang akhirnya memainkan piano itu." Randi yang namanya tiba-tiba disebut segera mengangkat kepalanya melirik ke arah Laras, "Berusaha lama?" tanyanya dengan tenang. Laras segera melotot dengan peringatan keras dalam matanya, seolah jika Randi mengatakan hal buruk tentangnya maka dia tidak akan segan untuk mencekik leher kakak sepupunya. Randi melihat ekspresi adik sepupunya dan kembali diam membaca buku. "Randi juga tahu main piano?" tanya Kevin dengan santai, tampak hanya basa basi. Laras melihat kakak sepupunya itu sudah diam dan tidak akan menyebarkan aibnya di depan orang yang dia sukai sehingga dia merasa tenang. Dia mendengar pertanyaan Kevin, dengan senang hati menjawabnya, "Ya, saat itu aku ingin belajar main piano dan mengajak Randi juga. Akhirnya Randi telah bisa memainkan tiga lagu, dan aku masih tidak tahu dimana tuts untuk nada 1 atau G atau sejenisnya, aku benar-benar tidak tahu." "Hah? Nada G? Bukankah itu untuk gitar? Kalau piano kan menggunakan nada doremi?" Rena bertanya dengan bingung. Laras berdecak tidak berdaya bertindak seolah dirinya adalah pianis yang handal sedang melihat seseorang yang tidak tahu apa-apa. "Apa yang kamu tahu? Kamu bahkan belum menyentuh piano dalam hidupmu," katanya dengan prihatin. Rena merasa lucu sekaligus kesal, sehingga dia tertawa ketika menyangkal dengan keras. "Hanya piano aku sudah pernah menyentuhnya ribuan kali, oke?" "Ya," jawab Laras tanpa peduli, sama sekali tidak memiliki rasa percaya dalam nada suaranya. Kemudian dia menatap Kevin dengan penuh semangat. "Nanti, apakah aku bisa mendengar kamu bermain piano? Lagu apa pun tidak masalah, lagu cinta lebih bagus lagi," katanya dengan tatapan penuh harap. Kevin tidak nyaman untuk menolak ketika melihat tatapan Laras, seolah enggan untuk meredupkan cahaya dalam mata itu. "Oke, kapan-kapan," jawabnya memberi janji samar. Meski kata 'kapan-kapan' selalu menjadi waktu yang misteri dan tidak diketahui kepastiannya, tetapi Laras sudah bahagia sehingga dia bahkan bisa terbang kapan saja. Dia masih ingin mengobrol dengan Kevin, namun segera terusik oleh suara kakaknya yang menyela di saat yang tidak tepat. "Sudah jam dua belas, kamu dan Rena pergi tidur." Randi berkata dengan kening berkerut, melihat ke arah jam tangan yang terpasang di lengan kirinya. Laras berdecak kesal, matanya penuh keluhan menatap kakak sepupunya tidak puas. Karena sekarang dia berada di sisi Kevin, dia tidak ingin bertengkar dengan kakaknya sehingga memberi kesan buruk untuk dirinya sendiri. Sehingga dia hanya menatap kesal tanpa maksud untuk berbicara keras. Namun, Rena di sisinya mengangguk dengan antusias. "Kamu akan tidur," katanya dengan penuh kepastian, langsung menarik Laras untuk masuk ke arah tenda yang khusus untuk lima gadis. "Hei!" Laras ingin memberontak, tetapi Rena memiliki kekuatan lengan yang lebih besar daripada miliknya sehingga dia tidak bisa membebaskan diri sama sekali. Dia hanya dengan pasrah terseret ke arah tenda, segera menoleh untuk melihat Kevin dan menyempatkan diri untuk mengucapkan selama malam kepadanya. "Aku tidur dulu, selamat malam, Kevin!" Kevin mengangguk, "Selamat malam." Merasa puas dengan jawaban Kevin, Laras tersenyum lebar dan masuk ke dalam tenda dengan dorongan paksa dari Rena. "Kamu kenapa sih? Menyebalkan bangat," Laras memutar matanya, melotot untuk melihat ke arah Rena dengan kesal. Rena hanya diam, menyiapkan selimut dan sandaran kepala untuk dia dan Laras. Tentu saja dia tidak akan mengatakan bahwa baru saja Randi memberinya tatapan singkat yang penuh dengan perintah. Dia adalah gadis polos tidak bersalah yang hanya suka menikmati drama kehidupan tidak berdaya di hadapan sosok yang begitu mendominasi seperti kakak sepupu Laras! "Ayo tidur, bukankah kamu ingin bangun cepat besok? Aku bahkan curiga kamu akan susah untuk dibangunkan," kata Rena, puas dengan pengaturan tempat tidur yang dibuatnya, dia segera berbaring dengan nyaman. Laras melihat ke bawah, merasa kesal. "Kenapa tempatku sangat sempit? Apakah kamu ingin membuatku sesak napas?" "Tidak perlu protes, bertahanlah untuk semalam saja. Kita akan membagi tempat untuk lima orang, salahkan dirimu tidak membawa tenda untuk diri sendiri." Rena menjawab dengan pelan, telah merasa mengantuk dan siap tertidur kapan saja. Laras berdecak tidak puas. Dengan enggan ikut berbaring di samping Rena, namun segera merasa punggungnya sakit karena kerasnya tanah. "Aku tidak bisa tidur di sini, sungguh! Tempatnya sangat keras, besok pagi aku pasti bangun dengan sakit punggung." Dia segera bangkit duduk dengan tatapan penuh keluhan. "Hei, aku sudah memilih tempat yang paling rata dan terbaik untukmu. Berhenti protes, apakah kamu ingin Kevin mendengar ocehanmu itu? Dia pasti akan berpikir kamu sangat susah diatur dan akan menjauh darimu," kata Rena juga merasa kesal. Ancaman Rena sangat ampuh, Laras menjadi tenang dan berbaring kembali di sisi teman yang tidak dianggapnya itu. Beberapa saat kemudian, Laras mendengar suara kakaknya yang tampak menegur orang-orang di luar. Tak lama setelahnya, tiga gadis lainnya masuk ke dalam tenda dengan patuh untuk tidur. "Kak Randi memang terbaik," gumam Rena kagum. Laras memutar matanya, "Dia selalu seperti itu, merusak kesenangan orang lain."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD