Menonton Matahari Terbit

1095 Words
Suara alarm yang familiar membangunkan Laras dari tidur nyenyaknya. Dia bergumam tidak jelas dengan kesal, berharap bisa menghentikan bunyi yang menggelegar itu. Laras ingin mengulurkan tangannya untuk mencari ponselnya, namun dia merasa tubuhnya kaku tidak dapat bergerak sama sekali. Mengernyit heran, Laras dengan paksa membuka matanya yang sangat berat. Dia memperhatikan sekitar dengan linglung, tidak dapat bereaksi selama beberapa saat. Barulah tiga puluh detik berlangsung bersama dengan suara alarm ponselnya dia kemudian menyadari bahwa saat ini dia tidak berada di kamarnya. Dia ingin bergerak, namun sekali lagi dia menyadari bahwa tubuhnya benar-benar kaku tanpa bisa berpindah tempat sedikit pun. Dia melihat ke bawah, menemukan sebuah tangan dengan erat menahannya, lalu ada juga kaki yang menekan kedua betisnya sehingga dia tidak dapat bergerak sama sekali. "Berisik," gumam seseorang di sekitarnya yang tampaknya juga terganggu dengan suara alarm. Laras menghela napas panjang, menutup matanya lelah lalu dengan lemah melepaskan tangan dan kaki yang menjeratnya. Tangannya secara acak terulur mencari benda persegi yang mengeluarkan bunyi berisik itu, setelah menemukannya, dia langsung mematikan alarm dan ketenangan dan kedamaian kembali tercipta. Suhu saat ini sangat rendah. Meski Laras sudah memakai pakaian yang tebal dan terbalut oleh selimut, dia masih merasa kedinginan dan menggigil. Tubuhnya meringkuk mencoba kembali tidur, semalam dia tidur sangat larut sehingga dia masih ingin tidur saat ini. Saat kesadarannya baru saja akan melayang, sebuah pukulan yang tak pelan mendarat di perutnya. Laras mendesis kesakitan, mengambil napas dingin dan kembali membuka matanya untuk melihat tangan Liana yang tidur di sisi kirinya mendarat di perutnya. "Sialan," gumam Laras, membuang tangan itu dengan kesal. Matanya memerah berkaca-kaca karena rasa sakit, dia berbalik tidur menghadap Rena untuk mencoba menghalau dari serangan mendadak Liana yang datang mendadak. Ketika dia akan kembali tertidur lagi, dia samar-samar mengingat sesuatu. Seperti mengingat bahwa dia mengaktifkan alarm sangat pagi untuk melihat menonton matahari terbit. Mata Laras kembali terbuka untuk ketiga kalinya, kali ini dia memaksakan kantuknya untuk pergi meski sulit. Dengan susah payah, Laras duduk dan menguap lebar. Dia termenung sesaat, tampak masih dalam mimpi. Setelah waktu yang tidak diketahui, Laras akhirnya bergerak. Gadis itu mengambil ponselnya dan bangun untuk keluar dari tenda bersama dengan selimut yang tergantung di pundaknya. Ketika dia keluar dari tenda, rasa dingin yang menyengat menyerbu tubuhnya. Laras langsung membungkus tubuhnya sepenuhnya dengan selimut, dia merasa bahwa berada di sini akan membuatnya membeku menjadi patung es. Namun tekadnya selalu kuat. Dia ingin menonton matahari terbit, dan dia harus menontonnya apa pun yang terjadi. Tatapan Laras tanpa sadar melayang ke sebuah tenda. Dia melirik sebentar sebelum menghela napas tak berdaya. Akan lebih baik jika dia bisa menonton matahari terbit bersama Kevin, itu akan menjadi adegan romantis yang patut dikenang. Hanya saja, semalam mereka semua begadang dan pasti sangat melelahkan untuk bangun saat ini. Laras tidak ingin membuat Kevin memiliki kesan buruk padanya dengan memaksanya bangun dan menonton matahari terbit. Bagaimanapun Laras sendiri juga kesal jika seseorang membangunkannya ketika dia lagi sangat ingin tidur sehingga dia dengan berat hati tidak akan membangunkan Kevin. Langit saat ini masih gelap, tampak berwarna biru tua keungu-unguan. Laras memakai sandalnya, mencoba menahan diri dari dingin yang merambat di telapak kakinya. Padahal dia sudah memakai kaos kaki yang tebal, tetapi rasanya hawa dingin tak ingin berbelas kasih padanya. Dengan langkah kecil, Laras berjalan ke tempat terbaik untuk menonton matahari terbit. Dia sudah menelitinya sebelum atau kata lainnya dia sudah bertanya kepada kakaknya dimana tempat terbaik untuk melihat matahari terbit. Randi menunjukkannya tempat di depan tebing, berkata bahwa di situ tempat orang-orang sering melihat matahari terbit. Ketika dia tiba, dia bertemu dengan orang lain yang kebetulan bermalam di atas bukit juga. Ada beberapa pasangan, tetapi masih ada juga orang yang datang seorang diri seperti dirinya sehingga Laras menjadi tenang. Dia melihat ke batu besar yang telah berlumut, mencari tempat yang bersih dan duduk dengan nyaman. Tangannya menggenggam erat sudut selimut, berusaha menjaga kehangatan untuk dirinya sendiri. Dengan pandangan lurus ke depan, pikiran Laras kosong menunggu cahaya untuk muncul. Wajahnya sangat sembab, dengan kantuk yang tersisa seolah dia bisa dengan mudah tertidur saat ini. Ketika dia melihat warna jingga mulai hadir di atas garis cakrawala, Laras segera mengeluarkan ponselnya untuk mengambil gambar. Dia menjadi antusias menunggu munculnya matahari. "Kamu juga di sini?" Suara seorang pemuda yang terkejut terdengar. Laras menoleh ke belakang, matanya melebar melihat Kevin yang muncul tanpa dia duga. "Kevin?" panggilnya kaget, bahkan dia berpikir mungkin saja dia masih belum bangun saat ini. Jika tidak, kenapa dia bisa melihat Kevin berada di sekitarnya saat ini? "Menonton matahari terbit?" tanya Kevin dengan santai. Dia melihat gadis itu yang tubuhnya dikelilingi selimut, sedang duduk dengan wajah sembab bekas bangun tidur dan merasa aneh. Laras yang dia lihat saat ini tampak berbeda dengan Laras yang dia kenal sebelumnya. Saat ini, Laras tampak begitu polos dengan keluguan dan kerentanan yang samar. Senyum dan tatapan menggoda yang selalu dikeluarkan tampaknya terhapus tanpa jejak dan hanya menyisakan ekspresi lelah dan tenang. "Um," Laras mengangguk sebagai jawaban. Lalu dia bergeser sedikit ke samping, memberi tempat agar Kevin duduk di sebelahnya. "Kamu juga?" tanyanya dengan senyum kecil, merasa senang dengan kehadiran Kevin saat ini. "Iya," jawab Kevin seadanya, berjalan dan duduk di sisi Laras. Senyuman Laras mengembang karena Kevin berada di sisinya. Dia menoleh ke samping, melihat profil samping pemuda itu, lalu tiba-tiba teringat dengan wajahnya yang baru bangun tidur. Merasa terkejut, Laras segera menutupi sebagian wajahnya dengan selimut yang hanya memperlihatkan bagian atas wajahnya saja. "Kenapa?" tanya Kevin heran. Laras menggelengkan kepalanya dalam diam, namun tidak menurunkan selimut dari wajahnya. Bagaimana mungkin dia bisa terlihat jelek di depan Kevin?! Itu pasti hal mustahil yang dia lakukan. Kevin juga tidak bertanya lagi, bagaimana pun Laras selalu bertingkah aneh sehingga dia tampak telah terbiasa dengannya. "Kamu selalu bangun sedini ini?" tanya Kevin. Laras sedikit terkejut dengan Kevin yang tiba-tiba memulai percakapan kepadanya. Bagaimana pun di antara mereka biasanya selalu Laras yang memulai topik baru untuk dicari, Kevin bertugas hanya menjawab. Namun tak terelakan, Laras merasa sangat bahagia. Menanggapi pertanyaan Kevin, Laras batuk canggung sebelum menjawab dengan ekspresi serius di wajahnya. "Ya, aku selalu bangun pagi, ini waktu bangun alamiku. Jadi selarut apapun aku tidur, aku selalu bangun sangat dini." Setelah menjawab, Laras merasa tersenyum penuh kebanggaan di wajahnya. Dengan jawabannya ini, Kevin pasti akan menanamkan kesan baik untuknya. Tidak mau topik berhenti begitu saja, Laras dengan cepat bertanya balik, "Kamu juga selalu bangun cepat?" Laras melihat Kevin menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tidak, tadi aku terbangun karena Randi menggerakkan tanganku ketika dia bangun." "Hah? Kenapa dia menggerakkan tanganmu?" tanya Laras bingung. Kevin berpikir sejenak sebelum terkekeh pelan, "Dia ingin bangun dan mungkin saja tanganku menghalanginya." "Oh," Laras mengangguk paham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD