Berusaha

1380 Words
"Ayo kita bermain Truth or Dare!" Wawan berteriak memberi saran dengan semangat. "Oke, ayo main!" Yang lainnya dengan cepat setuju, sama sekali tidak ada penolakan satu pun. Tidak, ada satu penolakan. Randi kini membersihkan bara bekas pemanggangan barbekyu tadi. Ketika semuanya selesai, dia duduk dengan ringan sembari memegang buku yang ternyata dia bawa dari rumah. Mendengar saran dari Wawan dan persetujuan dari semua orang, dia mengangkat kepalanya dan memberi penolakan dengan tenang. "Aku tidak ikut bermain," setelah mengatakan itu, dia kembali menunduk dan membaca. "Hei, bagaimana bisa begitu?" tanya Wawan dengan pandangan tidak percaya, "Kita sedang berlibur, dan kamu masih sempat-sempatnya baca buku?" Dion menggelengkan kepalanya, "Tidak, tidak, masalah utamanya, bagaimana dia bisa memiliki pikiran untuk membawa buku ketika kita sedang berlibur?" Semua orang mengungkapkan keterkejutannya, mereka bahkan berusaha keras menjadi rubah untuk menggoda Randi melepaskan bukunya dan ikut bermain dengannya. Hal hasil, Randi benar-benar memalingkan pandangannya dari buku dan menatap setiap orang yang berbicara kepadanya. "Kita sudah kelas dua belas, tidak lama lagi akan ujian. Kenapa kalian masih bisa bersantai dan bermain seperti itu? Apakah kalian sudah yakin bisa menjawab semua soal-soal nanti? Jika tidak, maka di waktu luang, sempatkan diri untuk belajar dan mengerjakan bank soal. Ini juga untuk kebaikan kalian agar bisa diterima di universitas yang kalian targetkan." Setelah Randi berbicara, suasana langsung hening. Wawan dan lainnya tiba-tiba menyesal membuka suara dan berbicara pada Randi seperti itu. Siapa Randi? Dia adalah ketua OSIS yang disiplin dan murid yang berprestasi. Siapa mereka? Mereka hanyalah murid biasa yang mencintai hari libur dan menjauhkan diri dari belajar. Perbedaan mereka dan Randi itu tak terjangkau sehingga tidak bisa saling terkoneksi. Saat hening yang panjang, tiba-tiba suara jangkrik menembus di udara malam yang menambah kesan canggung dan kaku. Bahkan Wawan tidak lagi berani untuk mengajukan bermain truth or dare setelah Randi berbicara tentang ujian, apalagi orang lain yang selalu hanya mengikuti pengaturan Wawan. Pada saat ini, Laras keluar dari tendanya dengan membawa lima bungkus keripik kentang. Dia membagikan empat dengan yang lain, lalu duduk di samping Kevin dengan kekehan ringan. Ketika dia di tenda tadi, dia mendengar dengan jelas obrolan yang terjadi di sini. Tentu saja dia tahu kebiasaan buruk kakaknya yang suka belajar dimana pun kapan pun dan bahkan memberi pencerahan kepada orang lain tanpa tahu kondisi. "Ayo main Truth or Dare, kelihatannya menarik. Biarkan saja Randi membaca sendiri. Baginya, membaca buku adalah hiburan yang paling menyenangkan di muka bumi ini." Laras berkata dengan senyum nakal di bibirnya. Randi meliriknya sekilas namun tidak membantahnya, tetap diam dan membaca buku dibantu oleh cahaya dari lampu LED yang tergantung di belakangnya. Setelah melihat keadaan sudah dipulihkan, setiap orang segera menghela napas lega. Mereka secara diam-diam mengacungkan jempol kepada Laras sebagai penghargaan untuknya. "Tapi kita bermain pakai apa sebagai alat penunjuk?" Liana bertanya dengan tangan terulur mengambil keripik yang ada di genggaman Fafa. "Tenang saja, untuk itu aku sudah menyiapkannya." Wawan mengangkat ponselnya dan mengayunkannya di depan semua orang. Di bagian pojok atas kiri layar, warna merah tipis sangat menonjol dan menarik perhatian. "Baterai ponselmu habis?" tanya Tio dengan heran. Wawan melihat ponselnya dan memang baterainya tersisa 15 persen lagi. Namun dia menggelengkan kepalanya, "Tidak masalah, masih cukup untuk bermain. Kalian semua lihat aplikasi ini." Setelah mengatakan 1 itu, dia menekan salah satu ikon aplikasi dan layar segera membuka antar muka permainan. Sembari menunggu dan mengatur, Wawan juga menjelaskan dengan cepat dan singkat. "Ini aplikasi Truth or Dare. Dengan ini, kita tidak perlu lagi memutar botol atau apa pun untuk memilih orang yang kalah. Cukup masukkan nama kalian semua di dalamnya dan tekan putar, lalu aplikasi akan secara acak memilih seseorang. Di dalamnya sudah ada pilihan jujur atau tantangan, jadi kita tidak perlu berpikir panjang untuk memberi pertanyaan atau tantangan." "Bagus, bagus, seperti yang diharapkan dari Wawan sang pengelana! Semua sudah disiapkan dari awal." Dion terkekeh memuji kawannya itu. "Ayo masukkan nama-nama kami, awas saja kamu curang." Liana juga sekelas dengan mereka jadi dia sudah akrab berinteraksi tanpa beban. "Oke, kalian sebutkan nama satu persatu, biar aku input ke dalam." Wawan berkata sembari mengetik dan menulis namanya pertama kali. Setelah itu, semua orang satu persatu menyebutkan namanya. "Laras dan Kevin!" seru Laras setelah seseorang di sampingnya telah menyebutkan namanya. Wawan mengangguk, hampir saja menulis dua nama dalam satu slot, untungnya dia cepat menghapus dan memisahkan nama itu. "Vin, ayo makan." Laras telah menyebutkan namanya sehingga dia mengalihkan perhatiannya kepada orang di sisinya. Dia memegang kemasan keripik yang telah terbuka dan mendekatkannya kepada Kevin untuk makan bersama di satu kemasan. Memikirkannya saja, Laras sudah menganggap itu sangat romantis. Kevin melirik ke arah bungkus keripik di tangan Laras, berpikir sejenak sebelum dia mengulurkan tangan dan memasukkannya ke dalam kemasan tersebut dan mengambil segenggam keripik kentang. "Kamu membawa banyak makanan," katanya dengan sedikit heran. Laras mengangguk, "Sebagian besar yang aku bawa memang makanan. Bagaimana bisa aku menganiaya perutku di alam bebas seperti ini. Tenang saja, selama ada aku, kamu tidak perlu berpikir keras untuk makan." Laras memukul dadanya sendiri sebagai bentuk janji yang terikat untuknya. "Omong kosong," gumam Kevin pelan, namun dia tidak bisa menahan kekehan rendah merasa gadis ini ternyata sangat lucu. Laras terpesona oleh tawa yang dikeluarkan dari mulut Kevin. Dia telah terbiasa dengan Kevin yang dingin dan mengabaikannya, sehingga ketika Kevin menjawabnya dengan tawa pelan, dia merasa sedikit tidak nyata. Senyumannya berkembang menjadi sangat lebar, Laras menyipitkan matanya membentuk bulan sabit menunjukkan kebahagiaannya. "Aku serius. Aku tidak pernah memasak tetapi untukmu aku bahkan membuat nasi goreng. Dan juga aku bahkan memanggang daging untukmu padahal biasanya orang lain yang melakukan itu untukku." Dia dengan senang hati mengatakan kemuliaannya, ingin Kevin mengetahui betapa manisnya cintanya itu. "Nasi goreng?" Kevin bertanya dengan keheranan yang jelas di matanya. Laras mengangguk, "Ya, waktu itu kamu tidak memakannya." Dia menghela napas panjang, "Kamu sangat marah dan menepis tanganku, lalu bekal cinta yang sudah aku sediakan jatuh begitu saja. Sebenarnya sih tempat bekalnya kuat dan makanannya pasti terjaga, tapi aku tidak memperhatikannya saat itu dan pergi saja. Entah bagaimana nasib bekal cintaku itu." Di akhir ucapannya, suaranya menelan seperti bergumam pada dirinya sendiri. Bagaimana pun bekal itu dibuat dengan darah dan air matanya, sangat menyedihkan jika berakhir di tempat sampah begitu saja. "Maaf," kata Kevin tiba-tiba. "Ah? Tidak, tidak, untuk apa kamu minta maaf?" Laras segera melambaikan tangannya, merasa panik dengan Kevin yang mengatakan hal seperti itu. "Itu hanya satu bekal, jika kamu mau, aku bisa membuatkannya lagi untukmu." Kevin menggelengkan kepalanya pelan, kepalanya sedikit menoleh ke samping melihat raut wajah gadis di sebelahnya yang begitu semangat dan emosional, setiap ekspresi di wajahnya dan dengan jelas menggambarkan suasana hatinya. Gadis itu terkikik senang, tampaknya benar-benar tidak memikirkan kejadian sebelumnya lagi ketika Kevin marah dan tanpa sengaja menjatuhkan bekal yang telah dia buat dengan susah payah. "Kenapa kamu keras kepala melakukan hal seperti ini?" tanya Kevin, tidak bisa mengerti dengan semua tindakan yang dilakukan Laras. Laras berkedip bingung, dia berkata dengan jelas seolah apa yang dilakukannya adalah hal normal dan masuk akal. "Aku menyukaimu, bukankah orang yang pertama kali menyukai adalah yang harus memiliki pengorbanan terbesar?" Setelah itu, dia kembali tertawa dengan kata-kata yang dia ucapkan sendiri. "Ketika aku menyukai seseorang, aku akan berusaha untuk memilikinya. Dan apa yang aku lakukan sebelumnya hingga saat ini adalah usahaku untuk memilikimu." Kata-kata Laras mengalir begitu saja, matanya berkedip singkat sebagai bentuk menggoda. Wajahnya seolah bersinar di gelapnya langit malam, tanpa menyilaukan pandangan setiap orang. Kevin tidak tahu bagaimana membalas kata-kata Laras, lidahnya kelu seolah tiada kata yang sepadan untuk semua tindakan Laras kepadanya. Dia awalnya berpikir gadis ini sangat mengganggu, setiap hari mengikutinya dan memberinya benda-benda seperti bunga dan coklat. Apalagi Laras selalu mengatakan rayuan dan godaan di setiap ada kesempatan, itu membuat Kevin merasa harus menghindarinya. Hanya saja saat ini ketika Kevin memikirkannya lagi, dia merasa Laras tidak begitu mengganggu dan bahkan semua tindakannya hanyalah karena dia menyukainya. "Ayo mulai, semua nama sudah terisi." Saat ini suara Wawan yang keras kembali terdengar, semua orang mengalihkan perhatian ke arahnya dan dengan semangat menjawabnya. Tak jauh dari mereka, Randi menundukkan kepala melihat ke teks di dalam lembaran buku. Namun sudah lama waktu berlalu tetapi dia belum juga mengalihkan pandangan ke halaman lain, terlihat seperti sedang terjebak di satu materi yang sulit dia mengerti. Hanya saja dengan pandangannya yang lurus di satu titik, jika seseorang memperhatikannya, mereka akan sadar bahwa pikirannya sedang terganggu oleh hal lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD