Bab 5. Sikap Mbak Lia

1346 Words
*** Pagi kesekian setelah pernikahanku dengan Mas Azam. Menjadi madu Mbak Lia tak pernah mudah bagiku. Mbak Lia kerap kali marah tanpa alasan. Apa lagi saat Mas Azam mendadak perhatian.  Memang, di depan suami kami itu, Mbak Lia bersikap sangat manis. Namun, tanpa Mas Azam ketahui, istri pertamanya itu selalu menyiksaku bila dia tidak ada. Mbak Lia menyakiti bahkan pernah menamparku karena beramah tamah dengan Mas Azam.  Menurut Mbak Lia sikapku itu terlalu berlebihan. Padahal dulu ia yang memintaku melayani Mas Azam dengan suka rela. Kini saat aku melakukannya, Mbak Lia tak terima. Aku benar-benar menjadi serba salah dalam mengahadapi sikap Mbak Lia.  Namun, tentu saja aku tak bisa melawannya. Mbak Lia akan semakin marah bila aku membuka mulutku. Ia selalu mengingatkan kebaikannya dulu.  Jujur, aku sangat sedih. Tidak ada tempat mengadu hanya untuk berbagi kesedihan. Pada Mas Azam tidaklah mungkin. Ia tidak akan percaya semua perkataanku, sebab bagi Mas Azam, Mbak Lia itu wanita sempurna. Tak sekalipun ada kekurangan di matanya. Meskipun Mbak Lia tak bisa hamil.  Aku tidak mengerti kenapa Mbak Lia bersikap jahat padaku. Apa mungkin dia cemburu? Tapi apa yang harus dicemburukan ketika Mas Azam hanya memberiku sedikit perhatian. Itu pun di depan matanya sendiri. Bukan perhatian seperti memberiku kecupan setiap kali akan berangkat ke sekolah. Hanya perhatian kecil seperti ucapan hati-hati ketika aku di jalan nanti.  Hanya itu saja, tapi Mbak Lia tidak bisa menerima hal itu. Lebih parahnya, Mbak Lia selalu menuntut agar aku secepatnya hamil, sementara setiap malam Mas Azam selalu berada di kamarnya.  Aku merasa serba salah. Ketika kujelaskan aku tak bisa hamil tanpa Mas Azam disisiku, Mbak Lia lagi-lagi marah padaku. Dia menuduhku mencari kesempatan untuk lebih dekat dengan Mas Azam, merayu Mas Azam lalu akan menyingkirkannya secara perlahan dari posisi istri pertama.  Aku mengucap istigfar berkali-kali atas tuduhan itu. Diriku sama sekali tidak memiliki niat selicik itu pada Mbak Lia. Aku sungguh menyayanginya dan sangat menghargai keberadaannya. Namun, Mbak Lia tidak ingin mengerti sama seperti detik ini.  Istri pertama suamiku itu lagi-lagi menanyakan soal kehamilanku. Namun, aku selalu menjawab hal yang sama. Bahkan kali ini aku mengatakan bahwa tamu bulananku sedang membersamai.  Mbak Lia marah lagi. Ia berdecak sebal akan alasanku itu. "Kamu nggak becus, Nira! Masa harus berkali-kali melakukannya baru bisa hamil!" katanya. Mbak Lia seolah tidak sadar, kalimatnya itu pun pantas untuk dirinya sendiri. Dia yang sudah melakukan hubungan suami istri bersama Mas Zama secara berkali-kali saja masih belum ada tanda-tanda. Seharusnya Mbak Lia menyadari bahwa segala sesuatu bisa terjadi atas kehendak Allah. Mau bagaimana lagi, jika Tuhan belum berkehendak mana mungkin kita sebagai umatnya memaksa Aku betul-betul bingung dengan sikap Mbak Lia. Kenapa ia sejahat ini padaku, padahal aku sungguh ikhlas membantu. Sedikit pun tak ada niat buruk di hatiku. Aku berada di sini benar-benar karena ingin Mbak Lia memiliki keturunan bersama Mas Azam. "Mbak izinkan Mas Azam bermalam di kamarku kalau Mbak ingin aku cepat hamil,"  "Sungguh Mbak, aku nggak bermaksud merayu Mas Azam," ucapku berharap Mbak Lia mengerti.  "Kamu pikir aku percaya? Yang namanya madu di mana-mana pasti licik!" katanya. Aku benar-benar tak menyangka Mbak Lia menilaiku seperti itu.  Dalam benak ini, tak sekalipun aku ingin menyingkirkan Mbak Lia.  "Nira nggak sejahat itu, Mbak! Seharusnya Mbak lebih ngerti tentang kehamilan ini karena Mbak seorang dokter!" balasku. Lama-lama tak terima juga pada sikap Mbak Lia yang asal tuduh ini.  Aku muak karena Mbak Lia tak pernah mengerti posisiku. Dia yang memohon bantuan itu, tapi dirinya juga yang menyakiti. Menuduhku ingin merebut Mas Azam darinya. Sungguh, aku tidak seperti itu.  "Diam kamu! Berapa lama lagi tamumu itu?" tanya Mbak Lia.  Aku menghela napas dengan berat. "Mungkin Dua hari lagi selesai, Mbak," jawabku menerka. Biasanya seperti itu. Tujuh atau Delapan hari baru benar-benar bersih.  "Itu beneran datang bulan kan? Bukan keguguran?" suara Mbak Lia sedikit memelan. Emosinya juga sudah tidak menggebu seperti tadi.  Aku pun menggeleng pasti. "Bukan, Mbak. Ini beneran haid," jawabku.  Mbak Lia melambaikan tangannya tak peduli. "Ya sudah, pastikan kamu sudah benar-benar bersih Empat hari lagi. Aku akan izinkan Mas Azam menemuimu," ucapnya. Setelah itu dia pergi dari hadapanku. Mbak Lia sepertinya paham kapan masa suburku. Aku kembali menghela napas dengan berat. Semoga aku sabar dalam menghadapi semua ini. Bagaimana pun juga bahtera rumah tangga ini baru saja aku arungi. *** Sesuai harapan, tamu bulananku selesai tepat waktu. Dua hari setelah kejadian itu, haidku benar-benar bersih. Aku bersyukur bukan karena tak sabar menunggu Mas Azam bermalam di kamarku, tapi aku bersyukur karena dengan begitu Mbak Lia tidak akan melampiaskan kekesalannya padaku lagi.  Mbak Lia tidak ada alasan untuk berteriak padaku seperti dua hari yang lalu.  Kini senja telah berganti malam, aku sedang menunggu Mbak Lia pulang. Ingin melaporkan bahwa malam ini diriku sudah bersih. Mandi wajib pun sudah kulakukan sore tadi.  Bukan hanya Mbak Lia yang kutunggu sebenarnya, tapi juga Mas Azam. Dia juga belum pulang. Barangkali sibuk di rumah sakit. Aku tidak tahu. Keduanya sama sekali tidak mengabariku.  Jarum jam sudah menunjukan pukul delapan malam, tapi mereka belum juga menampakan batang hidung masing-masing.  "Kenapa belum pulang juga? Aku sangat lapar," kukeluhkan kesahku karena lapar. Andai mereka mengabari, mungkin akan makan malam lebih dulu. Selama ini kami selalu makan bertiga bila malam. Oleh karena itu aku tidak berani makan duluan. Aku takut hal itu memancing emosi Mbak Lia.  "Apa aku hubungi saja?" tanyaku bimbang. Bila menghubungi Mbak Lia, aku takut mengganggu. Namun, menghubungi Mas Azam pun aku takut Mbak Lia marah-marah lagi.  Aku menghela napas dengan berat. Itulah kenapa aku ragu menjadi seorang madu seperti ini. Aku wanita lemah yang lebih mementingkan perasaan orang lain daripada diri sendiri. Mungkin sifat itu juga yang membuatku tertindas oleh Mbak Lia.  "Itu mereka!" seruku saat mendengar suara mobil berhenti. Tak hanya satu, tapi dua. Bisa kutebak itu pasti mobil Mbak Lia dan Mas Azam. Buru-buru aku beranjak untuk membukakan pintu.  "Wa'alaikumsalam," sahutku saat mendengar suara Mas Azam mengucap salam. Aku membukakan pintu untuk mereka. Lantas menyalimi Mas Azam dengan tulus. "Sini Mas, Nira bawain tasnya," pintaku refleks. Hal itu mengundang delikan dari Mbak Lia.  Aku merutuki diriku sendiri. Bisa-bisanya aku berperan menjadi istri beneran untuk Mas Azam. Namun, aku ini memang istrinya Mas Azam, kan? Bukankah wajar bila aku bersikap seperti itu?  "Nggak wajar Nira! Mbak Lia nggak suka. Kamu nggak pantes!" bathinku.  "Nir, kamu jadi bawain tas saya?"  Mendadak aku kesusahan menelan air ludahku sendiri saat mendengar suara Mas Azam. Ia mempertanyakan ucapanku beberapa saat yang lalu.  Aku melirik Mbak Lia sekilas. Merasa diperhatikan olehnya membuatku sungguh tidak nyaman. Namun, membuat Mas Azam menunggu jawabanku jauh tidak nyaman. "I... Iya Mas, jadi." jawabku pada akhirnya.  Kubiarkan Mbak Lia menatap sinis. Aku pun siap menerima hukuman darinya nanti. Kubiarkan pula keduanya berjalan lebih dulu, sementara aku berada di belakang mereka sambil membawa tas kerja Mas Azam.  "Nir kamu masak apa makan malam kali ini?" Pertanyaan Mas Azam lagi-lagi mengejutkanku. Kubalas lirikan Mbak Lia yang tampak sinis. Aku mencoba mengabaikannya. "Masak sup ayam dan sayuran, Mas," jawabku atas pertanyaan Mas Azam.  "Kebetulan nih, saya lagi pengin makan itu," sahut Mas Azam. Aku tersenyum mendengarnya. Alhamdulillah, sungguh hati ini lega karena Mas Azam menginginkan sup ayam dan sayuran.  Aku berharap Mas Azam menyukai masakanku. Tak hanya Mas Azam, tapi Mbak Lia juga. Sungguh, aku tidak ingin ada permusuhan di antara kami berdua.  "Mas, ini siapa yang mau mandi duluan? Mas atau aku? Atau kita mandi bareng aja ya, Mas?" Tiba-tiba Mbak Lia merangkul Mas Azam dengan manja di depanku. Ia juga bertanya pada Mas Azam dengan lantang, seolah sengaja agar aku mendengarnya.  Reaksiku biasa saja. Hal wajar bila Mbak Lia bersikap demikian kepada Mas Azam. Aku juga tidak mempermasalahkan rasa tak enak di hatiku.  Mas Azam terkekeh mendengar pertanyaan Mbak Lia. Ia tampak mengusap lengan Mbak Lia dengan sayang. Aku tersenyum melihat itu. Tak ada lagi perasaan iri seperti beberapa waktu yang lalu. Aku ikhlas lillahita'ala bila memang sudah jatuh cinta pada Mas Azam, tapi tak bisa memilikinya.  "Kamu duluan aja, Sayang. Mas mau ngomong sama Nira sebentar," ucapan Mas Azam membuatku penasaran sekaligus membuat Mbak Lia melirik sinis padaku sekali lagi.  Namun, kulihat Mbak Lia mengangguk juga, meskipun tampak jelas ia keberatan. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD