Bab 6. Hadiah Pernikahan

1905 Words
*** Mbak Lia meninggalkan kami tanpa pamit. Aku mengiringi punggungnya hingga hilang dibalik pintu kamarnya dan Mas Azam. Lega rasanya karena mata Mbak Lia tak lagi mendelik tajam ke arahku. Namun, berat juga sebab Mbak Lia pasti semakin kesal kepadaku.  “Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran sehingga Mas Azam berbalik untuk menghadapku.  Mas Azam memintaku untuk duduk sebentar. Aku pun menurut saja.  "Begini Nira, sejak kamu di rumah ini, saya pikir saya belum pernah memberimu apa-apa," Sepertinya Mas Azam akan mengatakan sesuatu yang penting padaku. Membuatku penasaran saja. Namun, Mas Azam tak juga meneruskan ucapannya, justru menatapku dengan lekat.  Terang saja hal itu membuatku sedikit salah tingkah. Aku pun membenarkan jilbabku. Takut bentuknya tak beraturan hingga membuat Mas Azam menatap aneh kepadaku.  "Ada apa, Mas?" tanyaku pada akhirnya.  Keterkejutan yang tampak jelas di wajah suamiku itu membuat rasa penasaranku semakin menjadi saja. Aku tak sabar ingin tahu apa maksud dari ucapannya.  "Saya punya hadiah pernikahan untukmu, Nir. Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kamu mau nurutin semua kata-kata istri saya,"  "Maksud saya Lia," Mas Azam memperjelas ucapannya. Aku tersenyum lembut, sekali lagi mencoba untuk bersikap biasa saja. Wajar bila Mas Azam hanya menganggap Mbak Lia sebagai istrinya, karena Mas Azam mencintainya.  "Saya mau beliin kamu motor, Nir. Kamu terima ya," pintanya.  "Saya tidak menerima penolakan, Nira, atau kamu berhenti saja dari pekerjaanmu!"  Aku terkekeh. Siapa juga yang mau menolaknya? Aku senang bila Mas Azam memikirkan kesejahteraanku. Meskipun motor itu akan aku kembalikan juga nanti ketika sudah saatnya berpisah dengan Mas Azam. "Terima kasih, Mas. Nira terima dengan senang hati," ucapku.  Mas Azam mengangguk lega. "Syukurlah," katanya. Garis tipis tak sengaja kulihat di antara sudut bibirnya walau sesaat. Mendadak jantungku berdegup kencang melihat itu. Aku kesulitan menahannya. Diriku berharap Mas Azam tidak menyadari kegugupan yang kurasa ini.  "Kalau gitu saya mandi dulu," pamit Mas Azam sambil berdiri. Pun, aku ikut melakukan hal yang sama. "Ini Mas, tasnya jangan sampai lupa," aku kembalikan lagi tas Mas Azam padanya. Tentu tas itu akan ia simpan di kamarnya bersama Mbak Lia.  Mas Azam menerima tasnya. Mengangguk singkat lalu berbalik untuk menyusul Mbak Lia yang sudah lebih dulu ke kamar mereka.  "Oya," Mas Azam mendadak menghentikan langkahnya. Ia berbalik.  "Iya?" aku menunggu lanjutan dari ucapannya sambil tersenyum.  Kulihat salah satu alisnya terangkat. "Kamu jangan salah paham, hadiah pernikahan ini juga bagian dari permintaan Lia," ucapnya seolah menegaskan bahwa ia sama sekali tidak peduli tentangku.  Mendadak senyumku menghilang. Entah apa yang kuharapkan sejak tadi sehingga kini aku merasakan kekecewaan di hati. Apa lagi setelah Mas Azam berbalik pergi, meninggalkanku yang terdiam tak mengerti pada rasa sakit ini.  Memangnya apa bedanya jika motor itu pemberian Mas Azam atau bukan?  Kenapa aku plin plan seperti ini? Beberapa saat lalu aku berhasil mengeraskan hati dan bersikap biasa saja ketika Mbak Lia bermanja, kini aku merasa kecewa karena perkataan Mas Azam.  Sekali lagi aku menghela napas dengan berat. Sepertinya sikap Mbak Lia kepada Mas Azam memang tidak berhasil mempengaruhiku, tapi sikap Mas Azam padaku mampu membuatku merana.  Entah akan jadi apa perasaanku ini nanti. Namun, aku sungguh berharap perasaan ini tidak menyakiti siapa-siapa terutama Mas Azam dan Mbak Lia. Sejahat apapun Mbak Lia padaku, aku tetap menyayanginya. Tak tega bila akhirnya aku lah yang membuat hatinya hancur suatu hari nanti.  Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Aku berjanji tidak akan melakukan itu pada Mbak Lia, apalagi dengan sengaja. Biar lah walaupun Mbak Lia menilaiku licik, yang terpenting aku bukan madu yang seperti itu. Aku bukan madu biasa, diriku tidak seburuk penilaian Mbak Lia.  *** Baiklah, lebih baik aku ke ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Aku akan menunggu Mas Azam dan Mbak Lia di sina saja.  Sesampainya di meja makan, kusiapkan piring untuk Mbak Lia, Mas Azam dan diriku sendiri. Gelas masing-masing pun sudah kuisi dengan air minum. Aku mendudukan diri selagi menunggu mereka berdua.  Rupanya, begitu selesai mandi, Mas Azam dan Mbak Lia segera menyusulku ke ruang makan. Ketika keduanya menampakan batang hidung mereka, aku segera berdiri. Kemudian duduk kembali setelah nyonya yang sesungguhnya mengangguk padaku.  Malam ini, Mbak Lia yang inisiatif sendiri mengisi piring Mas Azam. Sama seperti malam-malam sebelumnya atau setiap kami makan bertiga. Entah itu pagi atau malam seperti ini. Mbak Lia dengan sigap melakukannya tanpa sedikit pun memberiku kesempatan seperti awal pernikahan dulu. Ia seolah tengah menunjukan kekuasaannya padaku.  Aku sendiri pun bingung kenapa Mbak Lia bisa bersikap seperti ini padaku? Pernah diriku bertanya dan ia menjawab ketus, memintaku untuk bersikap sebagai perempuan yang ia sewa rahimnya.  Sungguh, diriku tak suka mendengar itu, tapi aku tidak memiliki pilihan lain selain menunduk lemah. Aku tidak berdaya setiap kali Mbak Lia mengungkit kembali jasanya pada Bapak.  Daripada masalah semakin melebar, aku lebih memilih untuk bungkam dan menahan kesedihan. Mengucap istigfar di hati secara diam-diam adalah jalan ninjaku untuk tetap waras dari perlakuan Mbak Lia.  Kembali ke meja makan, Mbak Lia sudah menyelesaikan tugasnya. Kini giliranku yang menyendokan nasi untukku sendiri.  Aku sudah tak sabar karena sangat lapar. Aku makan dengan lahap, lupa pada sekitarnya.  "Lain kali makan duluan aja, Nir, kalau lapar," ucapan Mas Azam menghentikan kunyahanku. Entah sejak kapan lelaki itu memperhatikanku.  Aku pikir Mas Azam tidak akan peduli pada apa yang aku lakukan, sehingga aku makan dengan lahap. Aku melirik malu-malu pada suamiku itu. "Iya Mas," jawabku. “Maaf, Nira memang sangat lapar,” Kupikir Mas Azam tidak akan suka mendengar alasan itu, tapi dia tampak terkekeh menertawakanku. Mas Azam juga menggelengkan kepalanya. “Jangan sampai terulang lagi. Makan aja duluan kalau memang nggak tahan. Saya dan Lia biasanya sering pulang lebih malam dari ini,” terangnya. “Kita juga sering makan malam di luar ya, Mas!” celetuk Mbak Lia secara tiba-tiba. Kulihat Mas Azam mengerutkan dahinya lalu terkekeh lagi. “Iya, kami juga kadang-kadang makan malam di luar sebelum kamu ada di sini,” ucapnya. “Iya, sudah lama sekali kita nggak makan di luar, Mas. Gimana kalau besok kita makan di luar aja? Tapi berdua seperti biasa,” Aku menunduk begitu Mbak Lia menekan kalimat terakhirnya. Aku mencoba untuk tetap berpikir positif tanpa perlu cemburu pada Mbak Lia. “Boleh. Kamu mau makan di mana, Sayang?” Dan percakapan di meja makan itu dipenuhi oleh suara keduanya. Aku merasa seolah tak ada di sana. Mas Azam pun seakan tidak peduli pada keberadaanku lagi. Namun, kembali kutekankan di dalam hati untuk tidak cemburu apalagi membenci Mbak Lia. Benar-benar suatu kewajaran bila di mata Mas Azam hanya ada Mbak Lia seorang. Bagaimanapun Mbak Lia adalah wanita yang telah menemani Mas Azam selama ini. Suka dan duka tentu saja sudah pernah mereka lalui bersama. Tidak pantas bila aku merusak kebahagian dan kebersamaan mereka. Jadi, lebih baik diriku diam saja. Mendengarkan keduanya saling bersahut kata adalah pilihan paling bijaksana. Tak perlu diriku ikut membuka suara dan menjadi orang ketiga di tengah-tengah percakapan seru keduanya. Aku bisa menahan perasaanku, aku sanggup menunjukan senyumku di depan Mbak Lia dan Mas Azam. Penderitaan akan rasa yang tak dianggap bisa aku abaikan begitu melihat binar di kedua mata Mas Azam saat menatap Mbak Lia. Setelah makan malam selesai, sesekali aku melirik Mbak Lia. Ingin mengucapkan terima kasih karena telah mengusulkan sebuah motor untukku. Iya, aku tidak melupakan kebaikan dari istri pertama suamiku itu. Apa yang Mbak Lia berikan sungguh memudahkanku untuk berangkat ke madrasah.  "Kenapa Nir?" Mbak Lia rupanya peka. Seperti biasa ia bersikap lembut padaku bila di depan Mas Azam.  "Nira mau mengucapkan terima kasih, Mbak," kataku. Namun, Mbak Lia tampak mengerutkan dahinya. "Makasih hadiah pernikahannya," Mbak Lia semakin terlihat kebingungan. Aku melirik Mas Azam. Lelaki itu tampak gelisah di mataku. Namun, aku yang tidak tahu apa-apa ini meneruskan penjelasanku pada Mbak Lia.  "Kata Mas Azam, Mbak Lia ngusulin hadiah pernikahan berupa motor untuk Nira. Alhamdulillah itu memudahkan Nira ngajar ke madrasah," terangku.  Entah kenapa Mbak Lia melirik Mas Azam dengan tajam sesaat. Setelah itu ia menarik kedua sudut bibirnya. "Ohh nggak apa-apa Nira. Pakai saja, syukurlah kalau kamu suka," katanya.  Aku mengembuskan napas dengan lega. Ucapan terima kasih sudah kuutarakan pada Mbak Lia. Tersisa informasi mengenai haidku lagi. Nanti saja, setelah kami duduk santai di ruang tamu. Tentu informasi itu harus kusampaikan berdua saja dengan Mbak Lia. Malu rasanya bila didengar oleh Mas Azam. Kesannya, aku memang menunggu momen ini, padahal tidak juga. Namun, jika didiamkan bagaimana rahimku akan ditumbuhi benih Mas Azam. Kami harus melakukannya lagi demi si buah hati yang diam-diam juga sudah kurindukan kehadirannya. Syukurlah, Mas Azam sempat meninggalkan aku dan Mbak Lia berdua saja.  Kugunakan kesempatan itu untuk memberitahu Mbak Lia bahwa tamuku sudah selesai. Aku sudah bersih seperti yang Mbak Lia inginkan.  "Maaf Mbak ada yang mau Nira sampaikan lagi," ucapku memulai obrolan kami.  Mbak Lia berdecak sebal. "Apa lagi?" tanyanya. Aku meringis ngeri. Belum apa-apa saja Mbak Lia sudah emosi.  "Haidku sudah selesai, Mbak. Aku juga sudah mandi wajib tadi sore," terangku pelan. Takut bila tiba-tiba Mas Azam kembali ke ruang tamu dan bergabung bersama kami.  Istri pertama suamiku itu tampak mendesah. Apa ia keberatan bila Mas Azam bersamaku? Kenapa dulu ia memintaku menjadi madunya bila tak siap berbagi suami seperti ini? Mbak Lia sendiri yang memohon. Jujur, aku sedih bila Mbak Lia sakit hati padaku. Entah bagaimana caranya meyakinkan Mbak Lia bahwa niatku ini tulus dari hati. Meskipun masih sedikit terpaksa menjadi madunya karena takut kejadian seperti ini menimpa Mbak Lia. Aku sungguh tak suka bila melihat Mbak Lia menyimpan kebencian padaku.  “Kamu pikir Mas Azam malam ini juga harus tidur sama kamu? Nggak bisa, dua malam lagi baru aku izinkan dia sama kamu!” ujar Mbak Lia kepadaku. Aku mengangguk singkat. Tahu persis seperti apa jawaban yang akan Mbak Lia berikan. Tidak masalah, yang penting aku sudah melaporkannya. Memang berat menjadi madu yang tak diinginkan, selain tidak mendapat perhatian dari Mas Azam, aku pun harus siap menerima keketusan dari istri pertama suamiku itu.  “Satu lagi Nira,” Mbak Lia menunjuk diriku sembari memberikan tatapan setajam elang yang sanggup menembus retinaku. Buktinya aku tak kuat membalas tatapannya itu. “Aku nggak pernah ngasih kamu hadiah pernikahan! Entah apa yang kamu lakukan sampai Mas Azam membelikan kamu motor seperti itu,” Dahiku berkerut begitu mendengar ucapan Mbak Lia. Tidak ada kebohongan di sana. “Maksud Mbak hadiah pernikahan itu bukan dari Mbak Lia, tapi dari Mas Azam?” tanyaku. Pantas saja sikap Mbak Lia dan Mas Azam tampak aneh di meja makan tadi. Mbak Lia mendengkus kesal. “Jangan senang dulu. Itu hanya sebuah motor. Kamu nggak perlu bangga, hadiah itu bukan apa-apa!” ujarnya. “Astagfirullah Mbak, Nira nggak pernah menilai pemberian seseorang dari apa yang dia berikan. Siapapun yang membelikan Nira motor itu, Nira senang dan berterima kasih sekali. Mungkin nanti Nira juga akan mengucapkan terima kasih sekali lagi ke Mas Azam,” ucapku. Dengan cepat tangan Mbak Lia membungkam mulutku. “Jangan macam-macam kamu, Nira!” gemasnya. Aku meringis kesakitan. Kelakuan Mbak Lia benar-benar membuatku tersiksa. “Jangan pernah bahas soal hadiah pernikahan ini lagi sama suamiku!” bentaknya. Aku menatap sedih pada Mbak Lia. “Tapi Mbak … ” “Diam! Turuti apa mauku!” ketusnya. “Anggukan kepalamu sekarang, Nira!” bentaknya lagi. Aku ingin menangis mendapati kelakuan Mbak Lia yang seperti ini. Mungkin benar, Mbak Lia cemburu karena ternyata Mas Azam sendiri yang telah membelikan hadiah pernikahan itu untukku. Meski sangat penasaran kenapa Mas Azam tak ingin aku tahu bahwa dia yang telah membelikan motor itu untukku, tapi aku harus menuruti maunya Mbak Lia. Aku mengangguk singkat. Mengiakan apa yang Mbak Lia inginkan. . . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD