CHAPTER 4

3259 Words
Hari yang dinanti-nantikan pun telah tiba, hari pernikahan antara Sagita dan Orion. Di hari yang penting ini biasanya setiap pasangan merasakan kebahagiaan yang tidak terkira. Tapi berbeda dengan Sagita dan Orion, di hari pernikahan mereka ini, mereka justru merasa tidak bahagia. Banyak orang yang menghadiri pernikahan mereka. Kenalan-kenalan keluarga Mikelson dan keluarga Cayne, teman-teman Orion dan Sagita pun turut hadir. Jika melihat dari riasan dan dekorasinya yang mewah, sudah dipastikan pesta pernikahan itu pastilah menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Banyak hiburan yang akan disuguhkan dalam acara resepsi sehingga suasana pasti sangat meriah nantinya. Sagita sedang berada di ruang rias ditemani oleh sahabat baiknya, Metta. Sang ibu juga ikut menemaninya di sana. Sagita telah mengenakan gaun pengantin dan telah didandani secantik mungkin sehingga kini dia terlihat sangat menawan. Semua orang pasti terpesona melihat Sagita yang biasanya berpenampilan sederhana dan apa adanya, hari ini terlihat elegan dan begitu cantik jelita. "Kau cantik sekali, Sagita. Aku yakin Orion pasti semakin mencintaimu." Mendengar perkataan Metta membuat hati Sagita semakin sakit. Dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin, sungguh mustahil Orion bisa jatuh cinta padanya. Sebenarnya Sagita merasa sangat bersalah kepada Metta, mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP, sudah sepakat dan berjanji tidak akan merahasiakan apa pun. Tapi saat ini Sagita telah mengingkari janji itu, dia merahasiakan hal ini dari Metta. Sagita sama sekali tidak memberitahu Metta bahwa pernikahannya dengan Orion ini hanyalah sebuah kesepakatan. Mungkin disebuat pernikahan kontrak terdengar lebih tepat. Seseorang tiba-tiba membuka pintu, membuat atensi tiga orang di dalam ruangan secara serempak menoleh ke arah pintu. Edrick muncul dari balik pintu dengan penampilan keren. Mengenakan setelan tuksedo hitam yang begitu pas di tubuhnya dan begitu senada dengan sang ibu yang mengenakan kebaya putih. Tubuh tegap pria paruh baya itu terlihat memesona. "Sudah saatnya, upacara pernikahan akan dilaksanakan. Ayo, Sagita!" Melihat Ayahnya mengulurkan tangan, tanpa ragu Sagita menerimanya. Sambil menggandeng tangan ayahnya, Sagita berjalan meninggalkan ruang rias menuju tempat upacara pernikahan dilangsungkan. Sagita semakin mengeratkan pelukannya pada lengan sang ayah begitu menginjak karpet merah, dirinya kini sedang berjalan menuju altar pernikahan. Semua pasang mata menatap ke arahnya, mereka berbisik-bisik memuji kecantikan Sagita. Sagita yang malu sekaligus gugup karena menjadi pusat perhatian itu seketika menundukan kepala. “Angkat kepalamu, Sayang,” bisik Edrick pelan, di dekat telinga Sagita. Alih-alih menuruti, Sagita mengungkapkan penolakannya dengan sebuah anggukan. “Aku malu, Ayah,” jawabnya. “Kenapa harus malu? Ini hari paling istimewa bagimu. Tunjukan pada semua orang betapa cantiknya dirimu.”  Sagita menggigit bibir bawahnya, masih ragu untuk menuruti ucapan ayahnya. Sejak dulu Sagita memang sosok pemalu. Dia tak pernah sanggup bersikap tenang jika diperhatikan banyak orang. Dan kini dirinya menjadi sumber perhatian, tentu saja Sagita gugup tiada tara.  “Lihatlah ke depan, Nak,” Edrick kembali membujuk. “Calon suamimu sudah menunggu.”  Mendengar kata-kata itu, akhirnya Sagita mendongak. Kedua matanya membulat saat melihat pemandangan di depannya. Benar, sosok Orion sedang berdiri di depan sana, menatap dirinya seolah dia sedang menantikan kedatangan Sagita. Tanpa sadar Sagita meneguk salivanya. Sagita sangat terpesona melihat sosok Orion yang kini berdiri tidak jauh darinya. Dia semakin tampan dengan mengenakan tuxedo berwarna putih bersih yang senada dengan gaun Sagita.  Begitu Sagita tiba di depan Orion, pria itu mengulurkan tangan kanannya. Seandainya pernikahan ini bukanlah sebuah kesepakatan, tentu Sagita akan merasa sangat bahagia karena bisa menikah dengan pria setampan Orion. Terlebih pria itu memang cinta pertama bagi Sagita. Namun, melihat wajah Orion yang datar tanpa ekspresi, sudah cukup menyadarkan Sagita bahwa pria itu berdiri di sana karena terpaksa. Alasan dirinya mengulurkan tangan pun semata-mata karena sebuah keharusan.  Sagita tersenyum getir saat sang ayah menyerahkan tangannya pada Orion. Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Sagita, yang terlihat hanyalah raut tertekan yang sebisa mungkin gadis itu sembunyikan di depan orang lain.  “Orion, Om serahkan Sagita padamu. Tolong bahagiakan dia ya. Jangan pernah menyakitinya karena jika sampai Sagita tersakiti karena dirimu, maka sama saja kau pun menyakiti Om.” Edrick mengatakannya dengan raut serius membuat Sagita nyaris meneteskan air matanya karena terharu. Dia menoleh ke arah samping, menatap wajah ayahnya yang kentara sedang menahan tangis. “Tentu, Om. Saya akan berusaha membahagiakan Sagita,” jawab Orion disertai senyum tipis. Kini tangan Sagita yang sejak tadi memeluk lengan sang ayah, telah berpindah tangan. Orion menggenggam tangan Sagita erat, tapi bisa Sagita rasakan tangan pria itu sedang bergetar entah karena apa.  Upacara pernikahan pun berlangsung dengan sangat khidmat, tanpa ada satu pun kesalahan. Setelah semua ritual upacara selesai, tentu saja Sagita dan Orion kini telah resmi menjadi Suami istri.  Suara tepuk tangan bergemuruh saat diumumkan bahwa sepasang sejoli itu telah resmi menjadi suami-istri. Semua tamu tampak ikut bersuka cita, terutama orangtua Orion dan Sagita yang lega luar biasa kerena pernikahan putra-putri mereka berjalan dengan lancar.  Suasana khidmat pun berubah menjadi ramai ketika pesta pernikahan dimulai. Alunan musik yang saling bersahut-sahutan dan mengalun merdu membuat setiap pasangan ingin berdansa. Terlebih seorang penyanyi kini sedang menyanyikan sebuah lagu romantis dengan suaranya yang merdu. Terlihat beberapa pasangan mulai menggerakkan tubuh mengikuti irama musik. Mereka begitu menikmati acara dansa tersebut.  Sedangkan pasangan pengantin baru tengah berdiri di depan kursi pelaminan. Mereka menyalami setiap tamu yang mengucapkan selamat.  "Hai, mana pengantinnya? Kenapa kalian tidak ikut berdansa?" "Iya, ayo pengantinnya juga berdansa!" Mendengar orang-orang meneriakkan hal itu, Orion menggeram kesal dalam hati. Awalnya Orion mencoba mengabaikan, tapi menyadari teriakan demi teriakan tak kunjung reda justru semakin terdengar bersahut-sahutan, Orion sadar dirinya tak bisa mengelak. Terlebih tamu-tamu yang datang sebagian besar merupakan mitra perusahaan Mikelson dan perusahaan Cayne. Orion mencoba menjaga sikap di depan orang-orang terhormat itu. Untuk membuat mereka diam, Orion menggandeng tangan Sagita yang berdiri di sampingnya dan berjalan mendekati pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa.    "A-Aku tidak bisa berdansa,” bisik Sagita. Dirinya berjalan dengan susah payah karena heelsnya yang tinggi membuatnya kesulitan berjalan. Terlebih gaunnya yang panjang hingga menyapu lantai itu membuat Sagita ketakutan dirinya akan jatuh. Seolah Orion tak memedulikan kondisi Sagita, dia berjalan dengan cepat. Menarik tangan gadis yang telah resmi menjadi istrinya itu dengan kasar dan penuh paksaan. "Aku sudah menduga hal itu, jadi kau cukup ikuti aku dan sesuaikan tubuhmu dengan gerakanku," sahut Orion tanpa menoleh sedikit pun pada Sagita. Semua orang kembali bertepuk tangan ketika Orion dan Sagita sudah bergabung di lantai dansa, musik kembali dimainkan. Alunan musik ceria seperti disko mengalun, semua orang menyambutnya dengan antusias. Mereka kini harus menyesuaikan tarian dengan gerakan yang ceria pula. Orion memulai menggerakkan tubuhnya, sedangkan Sagita hanya diam bagai patung. Dirinya kebingungan harus menari seperti apa. Meski anak konglomerat yang terpandang, Sagita bukanlah orang yang senang mengikuti pesta. Sagita sosok gadis pemalu yang lebih senang menghabiskan waktu dengan menonton film romantis di rumah, membaca novel horor atau berjalan-jalan bersama Metta. Dia jarang ikut jika orangtuanya menghadiri acara pesta. Dan sekarang dirinya diminta berdansa, tentu Sagita panik tiada tara. Di depannya Orion bergerak dengan luwes dan lincah, sangat menunjukan pria itu cukup handal menari. Mungkin karena Orion sering mengikuti acara-acara pesta.  Sagita menggulirkan mata, menatap sekeliling. Semua orang di dekatnya tengah menari dengan ceria. Hanya Sagita yang masih diam, tak tahu harus melakukan apa. Sagita refleks menoleh ke arah depan begitu mendengar suara decakan yang tentu saja berasal dari mulut Orion yang tampak kesal.  Sagita tersentak ketika Orion tiba-tiba menarik tangannya. “Kenapa diam? Cepat menari!” Bisiknya tepat di dekat telinga Sagita. “Aku sudah bilang tidak bisa,” jawab Sagita. “Hanya gerakan tubuhmu asal, yang penting bergerak, jangan diam. Memangnya kau ini patung?”  Sagita terenyak mendengar kata-kata Orion yang pedas, terlebih nada suara pria itu terdengar dingin dan luar biasa ketus.  “Cepat bergerak, jangan membuatku malu.”  Sagita menggigit bibir bawahnya, hatinya sakit mendengar Orion berkata demikian padanya. Saat menatap wajah Orion, Sagita mendapati pria itu menatapnya tajam seolah tengah menahan kesal. Tak ingin membuat Orion lebih kesal dari ini, Sagita pun perlahan menggerakan tubuhnya. Namun, di saat bersamaan, tiba-tiba irama musik ceria itu berganti menjadi musik yang romantis.  Sagita terkejut luar biasa ketika Orion tiba-tiba menggenggam tangannya erat, lalu merangkul pinggangnya. Tubuh mereka menempel erat karena jarak di antara mereka kini telah terkikis habis. Berada sangat dekat dengan Orion seperti itu, tentu saja membuat jantung Sagita berdetak sangat cepat. Dia bahkan cemas dan takut, Orion akan mendengar suara detak jantungnya. Pelukan Orion terasa semakin erat, Sagita merasakan napas pria itu di kulit pundaknya yang telanjang. Meskipun saat ini Sagita sedang memakai sepatu berhak tinggi, tapi Orion tetap lebih tinggi darinya. Sagita merasa sangat nyaman dipeluk seperti itu oleh Orion.  "CIUM ... CIUM ... CIUM ... CIUM ..." "ORION CIUM ISTRIMU!" Teman-teman Orion meneriakkan hal itu, tentu saja membuat Sagita semakin gugup. Dia tidak pernah berciuman sebelumnya. Jadi, jika Orion menciumnya itu akan menjadi ciuman pertamanya. Teriakan teman-teman Orion semakin terdengar kencang, suara mereka yang menuntut agar mereka saling berciuman terdengar membahana di dalam ruangan pesta. Orion melepaskan pelukannya dan menatap mata Sagita dengan tajam. Sagita semakin gugup ditatap seperti itu oleh Orion sehingga dia menundukkan kepala. Namun, Orion menyentuh dagu Sagita, lalu mengangkatnya agar pandangan mereka saling bertemu. Orion tanpa ragu mendekatkan wajahnya yang seketika membuat Sagita memejamkan mata. "Tenanglah, kita hanya perlu bersandiwara." Bisikkan pelan Orion itu, hanya Sagita seorang yang mendengarnya, kedua mata gadis itu pun kembali terbuka lebar. Pada awalnya, Sagita tidak mengerti maksud perkataan Orion. Namun setelah melihat tindakan pria itu, Sagita pun akhirnya mengerti. Orion memegang wajah Sagita dengan kedua tangannya. Lalu perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Sagita. Jarak mereka begitu dekat, Sagita bisa menebak yang akan dilakukan Orion selanjutnya. Tidak ada kesempatan bagi Sagita untuk lari dari situasi ini. Secara perlahan Sagita kembali memejamkan mata, tapi anehnya Sagita tidak merasakan kehangatan bibir Orion di bibirnya. Sagita merasa heran sehingga cepat-cepat membuka kembali matanya. Betapa terkejutnya Sagita begitu melihat wajah Orion sangat dekat dengannya, namun ... bukan bibir mereka yang saling bersentuhan melainkan hidung mereka. Orion sengaja menggunakan kedua tangannya yang memegang wajah Sagita untuk menutupi apa yang tengah terjadi. Semua orang yang menyaksikan mungkin mengira mereka sedang berciuman saat ini. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak sedang berciuman. Orion menempelkan hidungnya pada hidung Sagita membuat mereka seakan-akan dalam posisi sedang berciuman. Tidak lama mereka berada dalam posisi seperti itu, Orion dengan cepat menjauhkan wajahnya dan melepaskan tangannya yang sejak tadi memegang wajah Sagita. Terdengar suara tepuk tangan dari semua orang yang mengira bahwa Sagita dan Orion telah berciuman. Sepertinya Orion telah berhasil menipu mereka semua. Seharusnya Sagita merasa senang karena ciuman pertamanya masih utuh, tapi yang dia rasakan saat ini justru sebaliknya. Sagita merasa hatinya sangat sakit mengetahui Orion tidak berkeinginan untuk menciumnya, padahal saat ini mereka sudah menjadi pasangan suami istri. Setelah drama memilukan itu selesai, Orion kembali menarik tangan Sagita, membawanya menuju kursi pelaminan. Pesta pernikahan itu berlangsung sangat meriah hingga malam hari, tamu undangan masih banyak yang berdatangan dan tiada henti mengucapkan selamat pada pasangan pengantin. "Selamat ya, Orion." Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Orion, tiba-tiba menghampiri dan tanpa ragu mengucapkan selamat sambil memeluk Orion. Selain itu, dengan mata kepalanya sendiri, Sagita menyaksikan wanita itu mencium pipi Orion dan memeluk Orion dengan erat. Hal yang membuat Sagita tidak bisa menerimanya adalah apa yang dilakukan Orion pada wanita itu. Orion membalas pelukannya dan tengah membisikkan sesuatu di telinga wanita itu. Sayang Sagita tidak bisa mendengar apa yang Orion bisikkan. Tatapan mata Orion pada wanita itu pun terlihat sangat berbeda, terlihat raut kesedihan di wajah pria itu. Siapa sebenarnya wanita itu? Itulah pertanyaan yang sempat terlintas di benak Sagita. Wanita itu mendekati Sagita dan tanpa ragu memeluknya. Sagita tersentak kaget, tak menyangka wanita misterius itu menerjangnya dalam pelukan seperti ini. "Selamat ya," ucapnya pelan. "Te-Terima kasih." Sagita terpaku saat melihat wanita itu tersenyum ramah padanya. Dari jarak sedekat itu, Sagita begitu takjub menyadari penampilan wanita itu. Dia memiliki kecantikan yang tiada tara. Bahkan sebagai seorang wanita, Sagita merasa sangat iri melihat kecantikannya. Rambut panjangnya terurai dengan sangat indah, tubuhnya bisa dikatakan ideal untuk ukuran tubuh seorang wanita. Cara berpakaian dan gerakan tubuhnya menambah keanggunannya. Dia jelas bukan wanita sembarangan karena penampilannya menunjukan statusnya yang tinggi dan berkelas. Sagita semakin penasaran ingin mengetahui siapa dia sebenarnya. Namun, banyaknya orang yang tiada henti mengucapkan selamat, membuat Sagita tidak memiliki waktu untuk sekadar mencari tahu siapa wanita itu.      ***   Setelah menyelesaikan pesta pernikahan yang sangat meriah itu, Sagita dan Orion pergi berbulan madu dengan menggunakan penerbangan malam.  Mereka tiba di tempat tujuan keesokan harinya saat sore menjelang. Langit petang berwarna orange bermunculan di langit, pertanda hari akan segera berganti malam. Pulau kecil nan indah yang dikelilingi oleh lautan dan pemandangan yang memanjakan mata menjadi tempat yang dipilihkan oleh orangtua mereka sebagai tempat bulan madu. Sebuah rumah kayu yang nyaman pun telah disediakan untuk mereka berdua menghabiskan bulan madu. Sagita tidak bisa berhenti merasa takjub menyaksikan pemandangan yang indah di pulau itu. Di sekeliling rumah kayu terhampar beraneka ragam bunga. Aroma wangi yang berasal dari bunga-bunga itu semakin menambah ketakjuban dan kekaguman yang Sagita rasakan pada pulau yang untuk pertama kali dia datangi tersebut.  Pulau itu juga masih sangat asri dan alami, pepohonan yang menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang menghijau semakin menambah kesejukan dari angin yang berembus. Suasananya masih sangat sepi, jarang sekali ada kendaraan yang berlalu lalang sehingga udaranya masih sangat bersih dan belum tercemar oleh polusi dari asap kendaraan. Lautannya yang membentang luas dengan airnya yang berwarna biru muda membuat Sagita merasa bersyukur karena orangtuanya telah memilihkan pulau ini sebagai tempat bulan madunya dan Orion. Bahkan birunya air laut itu bisa terlihat jelas dari rumah kayu di mana Sagita dan Orion tinggal, rasa-rasanya Sagita tidak sabar ingin segera berjalan-jalan mengelilingi pulau. Di mata Sagita pulau itu bagaikan surga dunia yang sangat memanjakan mata dengan keindahannya. "Waah, indah sekali tempat ini, Orion. Bagaimana bisa mereka menemukan tempat seindah ini?" pekik girang Sagita sembari merentangkan kedua tangannya tinggi ke atas untuk menghirup sebanyak-banyaknya oksigen yang masih bersih. "Pasti orangtuamu yang menyiapkan tempat ini, karena tidak mungkin orangtuaku yang menyiapkannya." Sagita memalingkan wajahnya dan menatap ke arah Orion yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah kayu. Kini pria itu sedang tertidur terlentang di atas tempat tidur, membuat Sagita semakin gugup melihatnya. "Orion, kau tidak mandi dulu?" tanya Sagita, suaranya terdengar sedikit serak. Jangan lupakan semburat merah yang bermunculan di wajahnya. Namun, Orion tidak menjawab pertanyaan Sagita. Sagita pun berjalan mendekatinya. Mata Orion terpejam yang menandakan sedang tertidur. Lalu Sagita duduk di samping Orion sambil tidak berhenti menatap wajahnya yang sedang tertidur itu. Tidak dapat dipungkiri, jantung Sagita selalu berdetak cepat hanya dengan menatap wajahnya, itu sudah cukup menegaskan bahwa Sagita memang jatuh cinta pada Orion. Sagita terpesona dengan ketampanan pria yang kini telah resmi berstatus sebagai suaminya, tanpa sadar dia merentangkan satu tangannya. Tangan itu terulur ke depan dan  bergerak semakin mendekati wajah Orion. Sedikit lagi tangan Sagita akan menyentuh wajah Orion, namun tiba-tiba ... Tangan Orion dengan sigap dan cepat menarik tangan Sagita, hingga tubuh gadis itu tertarik dan jatuh tepat di atas tubuh Orion. Dengan tenaganya yang kuat, Orion menjatuhkan tubuh Sagita di tempat tidur sehingga posisi mereka sekarang berbalik. Orion berbaring tepat di atas tubuh Sagita, menindihnya. Orion mendekatkan wajah dengan gerakan perlahan, tentu saja membuat Sagita terkejut dan salah tingkah, hingga tanpa sadar dia menutup kedua matanya serapat mungkin. "Apa yang kau lakukan?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Orion, Sagita dengan cepat membuka matanya kembali. Wajah Orion sudah begitu dekat dengan wajahnya, nyaris bersentuhan. Bahkan napas mereka kini saling tertukar. "Aku tanya apa yang kau lakukan?" Tanya Orion lagi. "Eh ...? Aku tidak mengerti pertanyaanmu." "Ternyata kau memang sangat bodoh, apa kau pikir aku tertarik padamu? Jangan lupa bahwa pernikahan kita hanyalah sebuah kesepakatan. Jadi jangan sembarangan menyentuhku." Setelah mengatakan kata-kata yang pedas dan kasar itu, Orion bangun dan berdiri. Sagita pun dengan cepat bangun dari posisi berbaringnya. "Bukankah seharusnya aku yang mengatakan itu. Kaulah yang sejak tadi sembarangan menyentuhku," balas Sagita, tak mau kalah. Yang bagi Orion, Sagita sedang membahas perlakuannya saat di pesta pernikahan mereka. "Aku terpaksa melakukan itu. Sudah kukatakan, tidak boleh ada orang lain yang tahu mengenai kesepakatan kita ini. Sudahlah, aku ingin mandi." Orion berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Sagita yang hanya bisa duduk termenung memikirkan semua yang telah terjadi padanya. Rupanya hanya Sagita yang merasa gugup dan panik ketika berdekatan dengan Orion, jika dilihat dari sikap Orion yang biasa-biasa saja, cukup membuktikan bahwa pria itu tidak terpengaruh dengan keberadaan Sagita di dekatnya. Sagita semakin sadar bahwa cintanya memang bertepuk sebelah tangan. "Kau tidak mandi?" Suara Orion yang tiba-tiba terdengar itu, sukses membuat semua lamunan Sagita buyar. Tanpa menjawab pertanyaan Orion, Sagita berjalan menuju kamar mandi.  Cukup lama Sagita berada di kamar mandi, karena selain mandi, dia pun banyak merenung. Setelah puas menyendiri di kamar mandi sekitar satu jam lamanya, Sagita baru menyadari dirinya melakukan kecerobohan. Dia lupa tidak membawa baju ganti ke kamar mandi. Hanya ada handuk di sana, dan bajunya yang tadi basah karena terkena cipratan air sehingga tidak mungkin memakainya kembali. Sagita menutupi tubuhnya dengan handuk dan mengintip dari balik pintu. Dia melihat Orion sedang berbaring di tempat tidur, pria itu sama sekali tidak bergerak sehingga Sagita mengira bahwa Orion sudah tertidur. Sagita memberanikan diri melangkahkan kaki, keluar dari kamar mandi. Dia berjalan mengendap-endap, mendekati sebuah tas di mana di dalamnya terdapat baju-bajunya. Sagita berjalan dengan perlahan karena tidak ingin membangunkan Orion, namun terlalu hati-hati agar tidak menimbulkan suara justru membuat Sagita melakukan kecerobohan terbesar dalam hidupnya. Sagita yang terus menatap ke arah Orion yang sedang berbaring, tidak menyadari ada sebuah meja kecil di depannya. Akibatnya, Sagita tersandung dan terjatuh ke lantai dengan posisi tengkurap, menimbulkan suara keras saat tubuhnya berbenturan dengan lantai kayu. Sagita menatap ke arah Orion yang juga tengah menatapnya. Dengan cepat Sagita bangun dan kembali berdiri. "Ma-Maafkan aku. Aku sudah membangunkanmu." Orion sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Sagita merasa heran dengan sikap Orion yang diam mematung sambil menatap tajam ke arahnya. Namun, satu hal yang Sagita sadari, Orion tidak sedang menatap wajahnya, tapi dia sedang menatap tubuh Sagita. Sagita mengikuti arah pandangan Orion, dan betapa terkejutnya dia ketika menyadari kondisinya benar-benar memalukan. Handuk yang sejak tadi melilit tubuhnya, menutupi sebatas d**a dan paha, kini sudah tidak ada lagi dan tengah tergeletak di lantai. Akibat terjatuh tadi, handuk yang dipakai Sagita terlepas dan kini gadis itu berdiri telanjang tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya di depan Orion. Menyadari keadaannya yang memalukan itu, tentu saja Sagita malu tiada tara. Dengan cepat dia berjongkok sambil berteriak sekencang-kencangnya. "KYAA! Jangan melihat ke sini. Jangan melihat ke siniiii!!!" "Bodooooh! Kau tidak perlu panik begitu!” Orion balas membentak. “Lagi pula aku tidak merasakan apa pun meskipun melihatmu telanjang di depanku. Berkat kejadian ini aku semakin yakin kau itu memang sangat BODOOH!" Setelah mengatakan kata-kata yang sangat kejam itu, Orion kembali meneruskan tidurnya. Sagita tentu saja sangat sedih dan terluka mendengar ucapan Orion. Tapi Sagita tak ingin memperpanjang masalah, dia dengan cepat meneruskan langkah menuju tasnya berada dan mengambil pakaian tidurnya.  Setelah berganti pakaian di dalam kamar mandi, Sagita bermaksud untuk merebahkan diri di tempat tidur. Namun, yang jadi pertanyaannya sekarang adalah dimana dia harus tidur? Rumah itu hanya memiliki satu kamar dan di dalam kamar tidak ada kursi yang bisa Sagita jadikan tempat tidur. Hanya ada satu tempat tidur yang berukuran tidak terlalu besar, Orion sedang tidur di sana jadi tidak mungkin Sagita bisa bergabung bersamanya. Sagita duduk termenung di lantai, dia semakin yakin bahwa pernikahan ini sebuah kesalahan. Seharusnya dia tidak pernah menyetujui pernikahan ini. Namun, sayang semuanya sudah terlambat. Air mata Sagita kembali mengalir membasahi wajahnya. "Kenapa kau menangis?" Suara Orion yang tiba-tiba terdengar itu, nyaris membuat Sagita berteriak saking terkejutnya. Sagita menengadahkan kepala dan menatap Orion yang ternyata sedang menatapnya sambil tetap berbaring di tempat tidur. "Kau tidurlah di sini," kata Orion sambil menepuk tempat tidur di sebelahnya yang masih kosong. "Bolehkah aku tidur bersamamu di situ?" tanya Sagita, meragu. Orion mengangguk yakin, tentu saja membuat Sagita tersenyum semringah detik itu juga. Tanpa pikir panjang lagi, Sagita berdiri dan melangkah ke tempat tidur. Dengan gerakan perlahan, Sagita merebahkan diri di samping Orion. Namun, hal yang dilakukan Orion setelah itu, sekali lagi melukai perasaan Sagita. Orion menaruh sebuah guling yang berukuran cukup besar di tengah-tengah mereka, sebagai pemisah. "Selamat tidur . Tolong jangan berisik, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak jika ada suara. Jadi jangan mengganggu tidurku." Yang bisa Sagita lakukan hanyalah mengangguk patuh. Mereka menghabiskan malam itu yang seharusnya menjadi malam pertama sebagai pasangan suami istri, dengan tidur saling membelakangi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD