CHAPTER 3

2006 Words
Sagita tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan penolong sekaligus cinta pertamanya. Dirinya bahkan dijodohkan dengan pria itu yang baru dia ketahui bernama Orion. Sagita sangat senang hingga tanpa ragu menerima perjodohan itu. Kegembiraannya bertambah ketika Orion pun menyetujui perjodohan itu. Pernikahan mereka akan dilangsungkan seminggu setelah acara wisuda Sagita.            "Sagita, benarkah kau akan menikah dengan penolongmu itu?" tanya Metta, syok. Kentara sangat terkejut setelah mendengar cerita Sagita beberapa menit yang lalu. Mereka kini sedang duduk santai di taman kampus.                 "Benar." Sagita tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepala. "Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi?" "Ayah memberikan sebuah syarat padaku, jika ingin melanjutkan sekolah di Mikelson University, aku harus bersedia menikah dengan Orion. Rupanya Orion adalah putra dari keluarga Mikelson pemilik universitas itu." "Hm, begitu,” sahut Metta sambil mengangguk paham, “Tapi, kenapa ayahmu memberikan syarat seperti itu?" "Sepertinya dulu perusahaan kami sering berselisih dan bersaing. Kami ingin menghentikan perselisihan sehingga memutuskan untuk menjalin hubungan kekeluargaan." "Jadi, alasanmu bersedia menikah dengan pria itu demi bisa kuliah bersamaku di Mikelson University atau karena kau memang mencintainya?" Seketika Sagita salah tingkah, "K-Kenapa kau bertanya seperti itu? Harusnya kau tahu alasannya, kan?" "Mana mungkin aku tahu, memangnya kau pikir aku bisa membaca isi hatimu?" "Huuh, kau selalu begini, Metta. Menyebalkan." Metta terkikik geli karena berhasil menggoda Sagita. Dia sangat mengenal sifat Sagita, gadis itu sedang mati-matian menahan malu. "Sudah, cepat jawab!" "T-Tentu saja demi bisa satu kampus denganmu," jawab Sagita, wajahnya memerah bak kepiting rebus. "Benarkah?" "Tentu saja. Huuh, berhenti mengejekku." Metta tertawa lantang hingga suaranya yang keras menarik atensi beberapa mahasiswa yang juga sedang bersantai di taman. Spontan Sagita memukul lengan Metta agar berhenti tertawa. "Iya. Maaf, maaf." Meskipun Sagita berkata demikian, Mettalia tahu bahwa alasan sebenarnya Sagita menerima perjodohan karena telah jatuh cinta pada pria itu. Metta berpikir mungkin Sagita dan pria penolongnya memang ditakdirkan untuk bersama. Itulah sebabnya mereka bertemu tanpa sengaja dan sekarang kembali dipertemukan, bahkan mereka akan menikah. Bagi Metta, ini bagaikan sebuah mimpi. Sahabat baiknya yang tidak pernah berpacaran itu akan segera melangsungkan pernikahan.  Drrrrrt ... Drrrrt ... Drrrrtttt Terdengar suara ponsel bergetar, Sagita segera mengambil ponselnya. Ternyata ada panggilan dan tanpa ragu Sagita mengangkatnya. "Ha-Hallo," ucap Sagita terbata-bata. Metta bisa menebak orang yang menelepon hanya dengan melihat reaksi Sagita yang tampak malu-malu kucing. "Aku sudah tiba di depan kampusmu, cepatlah keluar!” "Baiklah, aku akan segera ke sana." Sambungan telepon pun terputus, Sagita memasukan kembali ponselnya ke dalam tas. Sifat jahil Metta tampaknya kumat, tiba-tiba dia menyeringai dan kembali menggoda sahabatnya yang sedang berbunga-bunga itu, "Cieeee, ditelepon calon suami, ya?" "Uuuhh, Metta. Berhenti menggodaku." Sagita cemberut, tak suka. Sedangkan Metta justru terkekeh geli. "Tapi yang barusan itu, telepon dari calon suamimu, kan?" "Iya. Dia sudah menunggu di depan." "Memangnya kalian mau ke mana?" "Kami akan mencoba gaun pengantin." Metta terbelalak, tak menyangka secepat itu mereka menyiapkan segala keperluan pernikahan. "Aku pergi dulu, Metta," ucap Sagita, gadis itu sudah berdiri tegak lantas menyampirkan tasnya di bahu. Siap untuk melangkah pergi. "Hei, Sagita. Jangan lupa nanti siang ada gladi resik untuk acara wisuda." Sagita mengangkat ibu jari disertai anggukan pertanda dirinya mengingat rencana itu, "Iya, tenang saja. Setelah mencoba gaunnya, aku akan segera kembali ke kampus. Aku pergi." Setelah mendapat anggukan dari Metta, Sagita melangkah cepat menuju ke depan kampus di mana Orion sedang menunggunya.  Sesampainya di depan gerbang, tampak beberapa gadis sedang berkerumun dan saling berbisik. Rasa penasaran Sagita, membuatnya mendekati kerumunan itu untuk melihat sesuatu yang menjadi pusat perhatian gadis-gadis itu. Sesosok pria mengenakan kacamata hitam sedang bersandar pada mobil mewahnya. Meskipun dari jauh, terlihat jelas betapa tampannya dia. Sagita mengerti alasan para gadis berkerumun memperhatikan pria itu, karena bukan hanya telah berhasil menarik perhatian para gadis, pria itu pun yang tidak lain adalah Orion telah berhasil menarik perhatian Sagita. Sagita berjalan meninggalkan kerumunan para gadis yang masih saling berbisik sambil menatap ke arah Orion dan dengan mantap menghampiri Orion. "Hai, maaf membuatmu menunggu lama," katanya, setelah kini berdiri tepat di samping Orion. Orion menoleh dan menatap Sagita dengan raut datar, "Tidak apa-apa. Ayo, masuk ke mobil!" Orion memasuki mobil mewahnya tanpa menunggu respons Sagita. Sebelum mengikuti Orion memasuki mobil, untuk sesaat Sagita menoleh ke arah gadis-gadis yang masih berkerumun. Terlihat ekspresi keterkejutan dan ketidakpercayaan di wajah mereka. Suara bisik-bisik mereka terdengar semakin jelas dan kencang. Sagita yakin gadis-gadis itu pasti sangat iri padanya. Setelah puas melihat ekspresi kekesalan di wajah mereka, Sagita pun memasuki mobil. Mobil mewah yang dikendarai Orion melaju meninggalkan area kampus dan meninggalkan kerumunan para gadis. Orion tidak mengatakan sepatah kata pun selama perjalanan itu. Beberapa kali Sagita melirik ke arahnya tapi Orion tetap memfokuskan pandangan ke depan. Sagita tidak tahan dengan keheningan dan suasana canggung itu, sehingga dia memberanikan diri untuk memulai pembicaraan, "O-Orion, setelah selesai mencoba gaun pengantinnya, apa kau bersedia mengantarku ke kampus?" "Memangnya kau masih ada acara di kampusmu?" "Iya. Ada acara gladi resik untuk wisuda besok." "Baiklah," jawab Orion, singkat. Orion kembali diam membisu, begitu pun dengan Sagita yang kebingungan harus membahas apa dengan Orion. Sagita sempat merasa heran dengan sikap dingin Orion, berpikir mungkinkah Orion sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini?  Drrrrrttttttt ... Drrrrrrtttttt Terdengar suara getaran ponsel yang membuyarkan lamunan Sagita. Sagita sempat berpikir ada panggilan untuknya, namun gerakan tangannya yang hendak membuka tas terhenti begitu melihat Orion menempelkan ponsel di telinganya, rupanya suara getaran itu berasal dari ponsel Orion. "Sudah kukatakan akan menjelaskannya nanti. Lagi pula, ini hanya sementara. Aku mohon kau mengerti kondisiku." Sagita mendengarkan pembicaraan Orion dengan seseorang yang meneleponnya itu. Namun, meskipun Sagita menajamkan indera pendengaran, dia tetap tidak bisa mendengar perkataan seseorang yang sedang berbicara dengan Orion. "Nanti sore aku akan datang ke rumahmu. Sekarang aku tidak bisa. Sampai jumpa." Orion memutus sambungan telepon dan kembali diam seribu bahasa. Tidak sedikit pun mengajak Sagita berbicara.  Perjalanan yang dipenuhi dengan suasana hening itu pun berakhir. Mereka telah sampai di tempat tujuan. Terlihat dua wanita paruh baya yang anggun menghampiri begitu mereka memasuki butik yang khusus menjual gaun pengantin. "Sagita, kemarilah. Kami sudah memilihkan gaun pengantin yang cantik untukmu. Cobalah memakainya." Kedua wanita paruh baya yang berdandan layaknya kaum sosialita itu merupakan ibu dan calon mertua Sagita. Mereka dengan antusias menunjukan gaun pengantin yang telah mereka pilih dan membantu Sagita mencobanya. Sagita hanya bisa menurut, diam-diam senang karena ibu dan calon mertuanya begitu antusias menyiapkan pesta pernikahannya dengan Orion.   ***             Sagita terlihat menawan saat tubuh rampingnya dibungkus gaun pengantin yang sangat cantik. Gaun berwarna putih yang bagian bawahnya mengembang dan menyapu lantai. Bagian lengannya terbuat dari bahan brukat tampak pas melekat di kulit Sagita yang putih bersih. Gaun itu tidak memiliki banyak hiasan, sengaja karena Sagita menginginkan gaun pengantin yang sederhana namun elegan. Dia sangat cocok dengan gaun yang dipilihkan ibu dan calon mertuanya.            "Orion, coba lihat calon istrimu ini. Bukankah dia sangat cantik?" tanya Grace, ibu tiri Orion. Orion menatap Sagita yang tengah mengenakan gaun pengantinnya. "Apa menurutmu gaun itu cocok untuk Sagita, Orion?"           "Aku tidak mengerti soal gaun wanita, jadi aku serahkan pada kalian saja," jawab Orion, acuh tak acuh. Dirinya memalingkan pandangan ke arah lain membuat Sagita menunduk lesu. Orion tak terlihat antusias sedikit pun. Sebaliknya, raut pria itu menandakan ketidakpedulian.            "Jangan begitu, Orion. Pendapatmu juga penting."            "Ya, gaun itu saja. Aku rasa gaun itu cocok untuknya." Bagi Sagita, jawaban Orion menyiratkan keterpaksaan karena Grace terus mendesaknya memberikan pendapat. "Baiklah. Sagita, kau akan mengenakan gaun pengantin ini saja, ya?"            Sebenarnya Sagita sangat kecewa dengan ekspresi Orion, terlihat tidak peduli dengan penampilan ataupun gaun yang akan dikenakannya di hari pernikahan mereka. Hal ini membuat Sagita semakin curiga bahwa Orion memang tidak menginginkan pernikahan itu.            "Orion, kau juga cobalah jas pengantinmu." Grace mengatakannya sambil mengulurkan sebuah jas berwarna senada dengan gaun pengantin Sagita, yang akan Orion kenakan di hari pernikahan mereka. Namun, sikap Orion sekali lagi membuat Sagita sangat kecewa.            "Tidak perlu, aku percaya kalian akan memilihkan jas yang cocok untukku. Oh iya, Sagita. Kau sudah selesai mencoba gaunnya? Kau bilang tadi masih ada acara kan di kampusmu?"            "I-Iya," jawab Sagita, dengan kepala tertunduk.            "Ayo, kita berangkat sekarang."            "Nanti saja, Orion. Kalian bahkan belum makan. Bagaimana kalau kalian makan bersama kami dulu?" tanya ibu Sagita, mengajak makan bersama dengan begitu antusias.           "Maaf, tante. Aku tadi sudah makan sebelum kemari. Jika Sagita ingin makan dulu, baiklah ... kalian makanlah dulu. Aku ada sedikit urusan, nanti aku kemari lagi untuk mengantar Sagita ke kampus."            "Tidak perlu. Aku juga sudah makan. Aku ikut denganmu sekarang,” ucap Sagita, dia menatap ibu dan calon mertuanya penuh penyesalan, “Maaf ibu, tante, sebenarnya aku ada gladi resik untuk wisuda besok. Jadi, aku pamit dulu."            "Gaun tadi, kau menyukainya kan, Sagita?" tanya sang ibu.            Sagita mengangguk semangat, "Iya. Aku sangat menyukainya."            "Baiklah. Kalau begitu, kalian berhati-hatilah di jalan.”            Orion dan Sagita melangkah pergi, tujuan mereka adalah parkiran. Lantas bergegas memasuki mobil setibanya di parkiran. Orion kembali melajukan mobil dengan kecepatan cukup tinggi, menuju kampus Sagita.            "Orion, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Sagita, tiba-tiba.           "Tanyakan saja." Seperti biasa Orion menjawab dengan ketus bahkan dirinya menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya yang sedang mobil mereka lewati.            "Dari sikapmu, sepertinya kau tidak menginginkan pernikahan ini?" Orion secara tiba-tiba memelankan laju mobil, lalu menepi dan berhenti di pinggir jalan. Untuk sesaat dia terdiam, hingga akhirnya mengeluarkan suara, "Aku tidak ingin membohongimu,” sahutnya, “Karena itu, sekarang aku akan jujur padamu. Setelah mendengar hal ini, terserah kau mau melanjutkan atau membatalkan pernikahan.” Jantung Sagita tiba-tiba berdetak cepat, dia merasakan firasat buruk. “Sebenarnya, aku memang tidak menginginkan pernikahan ini."            Sagita tanpa sadar meremas tas dalam pangkuannya, "Lalu kenapa di restauran waktu itu kau bilang ...."            "Aku terpaksa. Aku terpaksa menyetujui pernikahan ini. Ayahku memberikan sebuah syarat, aku harus memenuhi syarat itu agar bisa mendapatkan apa yang kuinginkan."            "Memangnya apa yang kau inginkan?" Sagita menatap Orion serius. Meskipun Orion sejak tadi berbicara tanpa menatapnya.            "Aku ingin menjadi pewaris dan penerus perusahaan Mikelson."            "Jadi, kau sama sekali tidak menyukaiku?"            Orion menggeleng tanpa ragu, "Maafkan aku. Sebenarnya aku sama sekali tidak menyukaimu." Airmata Sagita berontak meminta pembebasan, tapi sebisa mungkin dia mencoba menahannya. "Setelah mendengar hal ini, keputusannya tergantung padamu. Aku akan menerima apa pun keputusanmu."            "Aku ...” Sagita menjeda ucapannya, tampak ragu untuk melanjutkan, “... sebenarnya sama denganmu. Aku menerima perjodohan ini demi memenuhi syarat yang diberikan oleh ayahku. Aku ingin melanjutkan sekolah di Mikelson University, ayah baru mengizinkan sekolah di sana jika aku menikah denganmu."            "Hm, begitu. Artinya kita sama-sama menerima perjodohan ini karena sebuah keterpaksaan. Jadi, bagaimana? Apa kau akan tetap melanjutkan pernikahan ini atau membatalkannya?"            Sagita terdiam dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Sakit hati yang dia rasakan saat ini benar-benar membuatnya tidak bisa berpikir. Tidak dapat dimungkiri, betapa hancur perasaan Sagita. Walaupun dia menyadari tidak mungkin pria setampan Orion bisa tertarik padanya, tapi dia tidak menyangka mendengar hal itu langsung dari mulut Orion, akan membuat hatinya sesakit ini.            Sempat Sagita berpikir untuk membatalkan pernikahan, tapi janji yang telah dia ucapkan pada Metta untuk sama-sama menuntut ilmu di Mikelson University dan ketidakinginannya mengecewakan sahabatnya itu, membuat Sagita akhirnya mengambil sebuah keputusan, "Aku ... akan tetap melanjutkan pernikahan ini. Aku ingin melanjutkan sekolah di Mikelson University," ujarnya, final.            "Apa kau yakin? Ini sebuah pernikahan, kita tidak boleh menganggap remeh hal ini." Sagita tak menjawab, dirinya tidak sanggup lagi menahan airmata sehingga perlahan jatuh membasahi wajahnya.            "Inikah keputusanmu, Sagita?" Sagita mengangguk dengan wajah menunduk karena tidak ingin Orion melihat airmatanya.            "Baiklah, jika ini keputusanmu. Seperti yang kukatakan tadi, aku akan menerima apa pun keputusanmu. Bagaimana jika kita membuat sebuah kesepakatan?" Meskipun airmatanya masih tetap mengalir, Sagita memberanikan diri untuk menatap wajah Orion, "Kesepakatan?"            "Ya. Karena kita sama-sama terjepit oleh syarat yang diberikan orangtua kita demi mendapatkan apa yang kita inginkan, jadi kita anggap saja pernikahan ini sebuah kesepakatan. Kita akan menikah tapi setelah satu tahun, kita akan bercerai. Ini adalah kesepakatan kita berdua jadi jangan sampai orangtua kita tahu. Bagaimana? Apa kau menyetujuinya?"            Sagita tidak pernah menyangka bahwa pernikahan dengan pria cinta pertamanya akan berubah menjadi sebuah kesepakatan. Hal itu tentu saja menambah rasa sakit di dalam hati dan kesedihannya. Namun, demi bisa memenuhi janji pada Metta, Sagita setelah mengumpulkan semua tekadnya memberikan jawaban kepada Orion, "Baiklah. Aku setuju."            "Baguslah. Kalau begitu, jangan sampai ada yang mengingkari kesepakatan ini," ucap Orion, tegas.             "Aku mengerti," balas Sagita disertai anggukan. Orion kembali melajukan mobil menuju kampus Sagita. Meskipun sakit hatinya belum bisa hilang tapi Sagita sudah mampu membuat airmatanya berhenti mengalir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD