CHAPTER 2

2433 Words
Edrick tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Alan tadi. Di dalam mobil mewah yang akan mengantarkannya menuju ke kantor, perkataan Alan tadi terus terngiang-ngiang di telinga Edrick. Dia hampir tidak mempercayai Alan akan mengajukan syarat seperti itu. Tapi keinginannya untuk membahagiakan sang putri membuat dia merasa sangat kebingungan. Edrick merasa harus segera menyelesaikan permasalahan ini. "Antarkan aku ke rumah," titahnya. "Tapi ada meeting nanti sore, Pak?" "Undur saja jadwal meetingnya. Aku ingin segera sampai di rumah secepatnya." "Baik, Pak." Sopir pribadi Edrick memutar arah mobil, dan sekarang mobil yang sedang ditumpangi Edrick itu sedang melaju menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, orang yang pertama kali dicari oleh Edrick adalah putri tercintanya, Sagita. Sagita sedang berada di kamarnya sambil membaca sebuah buku. Tanpa ragu Edrick memasuki kamar dan duduk di samping putrinya. "Ayah, tumben sekali jam segini sudah pulang?" tanya Sagita, yang heran melihat ayahnya pulang cepat, terlebih tumben sekali sang ayah memasuki kamarnya. "Ada yang ingin ayah tanyakan padamu, Sagita." Satu alis Sagita terangkat naik, "Apa itu, Ayah?" tanyanya. "Apa kau benar-benar ingin melanjutkan sekolah di Mikelson University?" Sagita mengangguk antusias, "Tentu saja Ayah. Aku sudah berjanji pada Metta akan bersama-sama kuliah di sana." "Jika ayah melarangmu dan memintamu untuk melanjutkan sekolah di universitas lain, apa kau akan menurutinya?" Sagita yang sedang tengkurap di ranjang itu pun bergegas merubah posisi menjadi duduk. "Aku pasti akan sedih. Seperti yang kukatakan tadi, aku sudah berjanji pada Metta akan belajar sama-sama di Mikelson University, tapi jika itu keinginan ayah ...” Sagita menghela napas panjang,  “... baiklah. Aku akan menurutinya." Meski bibirnya mengatakan itu, tapi ekspresi wajah Sagita yang sendu cukup menjelaskan dirinya terpaksa berucap demikian. Tidak ada satu pun kata yang bisa melukiskan perasaan sayang Edrick pada putrinya, mendengar jawaban Sagita, Edrick menyadari bahwa putrinya memang sungguh-sungguh ingin menuntut ilmu di universitas tersebut. "Sagita, jika ayah memberimu sebuah syarat, baru kau diizinkan melanjutkan sekolahmu di sana, apa kau tetap akan melakukannya?" Wajah Sagita berubah semringah. "Tentu saja, aku sudah memantapkan hati untuk menuntut ilmu di sana. Memangnya syarat apa yang Ayah berikan agar mengizinkanku sekolah di sana?" "Apa kau yakin?" Sagita dengan cepat menganggukan kepala sebagai tanda bahwa dia memang sudah sangat yakin. "Memangnya syarat apa yang Ayah berikan untukku?" Edrick menghela napas panjang, "Nanti juga kau akan tahu. Sekarang, persiapkan dirimu. Besok ayah akan mengajakmu ke suatu tempat." Meskipun Sagita masih tidak mengerti dengan ucapan ayahnya, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menganggukan kepala sebagai jawaban atas perkataan sang ayah. Edrick melangkahkan kaki meninggalkan putrinya yang masih terlihat kebingungan. Lalu dia mengambil handphone untuk menghubungi seseorang. Orang yang hendak Edrick hubungi langsung mengangkat teleponnya. "Aku setuju dengan syaratmu. Besok kita pertemukan mereka," ucap Edrick tegas, langsung ke intinya. "Baiklah. Kita bertemu di tempat yang tadi aku sebutkan." "Aku mengerti." Edrick memutus sambungan telepon. Meskipun hatinya masih merasa ragu tapi keinginannya untuk mengabulkan keinginan sang putri, membuat Edrick dengan terpaksa menyetujui hal ini.    ***   Sejak pagi tadi, Sagita merasa kebingungan melihat tingkahlaku kedua orangtuanya. Mereka terlihat sibuk dan tidak biasanya sang ibu terlihat berdandan. Setelah itu, Sagita dan kedua orangtuanya memasuki mobil mewah mereka. Hingga saat ini, Sagita sama sekali tidak mengetahui ke mana mereka akan membawanya pergi. Mobil yang mereka tumpangi terus melaju, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah restauran yang terkenal dan sangat mewah. Sagita mengikuti langkah kedua orangtuanya yang berjalan memasuki restauran. Mereka terus berjalan hingga berhenti di depan sebuah meja. Tampak seorang pria yang seumuran dengan ayahnya, sedang duduk di kursi bersama seorang wanita yang usianya terlihat seumuran dengan sang ibu. Mereka berdiri begitu melihat Sagita dan kedua orangtuanya tiba. Mereka pun mempersilakan Sagita dan kedua orangtuanya untuk bergabung bersama mereka. Sagita sempat merasa heran, karena sebelumnya dia belum pernah bertemu dengan kedua orang itu. "Inikah putrimu?" tanya Alan dengan tatapannya tertuju pada Sagita. "Benar." "Dia terlihat sangat manis," Kali ini Grace, istri Alan yang memuji Sagita disertai senyuman ramah. Sagita yang dipuji oleh pasangan yang sepertinya teman sang ayah itu, hanya bisa tersipu malu. "Mana anakmu?" tanya Edrick. "Dia sedang ke toilet ... ahh ... itu dia sedang berjalan kemari." Mendengar hal itu, Sagita menyadari bahwa bukan hanya mereka berdua yang akan dia temui hari ini. Jika melihat restauran mewah ini sudah pasti mereka akan makan bersama di tempat ini.  Seseorang tengah berdiri di depan Sagita, Sagita sama sekali tidak menatap wajah orang itu, hanya saja dengan melihat celana yang dia pakai, Sagita bisa menebak bahwa orang itu merupakan seorang pria. "Inilah putraku, namanya Orion." Alan memperkenalkan putranya dengan nada suara yang terdengar bangga. "Senang bertemu dengan kalian." Suara itu ... jantung Sagita berdetak sangat cepat setelah mendengarnya. Memang benar suara itu tidak sering didengar oleh Sagita, tapi dengan mendengarnya sekali saja sudah membuat Sagita menyadari bahwa pemilik suara ini adalah seseorang yang pernah dia temui. Sagita menengadahkan kepala dan menatap wajah pria yang berdiri di depannya, yang baru saja dia ketahui bernama Orion.  Jantung Sagita semakin berdetak cepat ketika menatap wajah pria itu. Tidak salah lagi, wajah itu adalah wajah pria yang selama ini selalu hadir di pikirannya. Pria yang saat ini sedang berdiri di depannya adalah pria yang saat itu ditemuinya. Ya ... pria itu adalah penolongnya, cinta pertamanya. *** Orion berjalan mengitari perkantoran yang cukup luas dan besar. Semua orang yang berpapasan dengannya, memberikan salam. Hal yang wajar mengingat Orion merupakan putra dari pemilik perusahaan. Sudah cukup lama dia tidak menginjakkan kaki di tempat itu. Hari ini Orion datang ke sana karena seseorang yang memiliki hubungan sangat dekat dengannya, memanggil dan menyuruhnya untuk datang.            Orion terus melangkah hingga tiba di depan sebuah ruangan. Dia mengetuk pintu dan setelah orang yang berada di dalam ruangan mengizinkannya masuk, Orion pun membuka pintu dan memasuki ruangan. Tampak seorang pria paruh baya sedang duduk di kursi kebesarannya. Orion menghampiri dan duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengan pria itu. "Ada apa ayah memanggilku?" tanyanya, tanpa basa-basi padahal sudah lama mereka tidak bertemu.            "Sudah lama sekali kau tidak pulang ke rumah."        "Untuk apa aku pulang? Tidak ada alasan bagiku untuk pulang ke rumah itu."           "Kau tetap menyebalkan seperti biasanya, Orion ...."           "Apakah untuk ini ayah memanggilku?” Orion menyela ucapan sang ayah, mengabaikan kesopanan, “Jika tidak ada hal penting yang ingin ayah katakan, aku akan pergi." Orion berdiri dan siap melangkah meninggalkan ruangan. Namun, suara sang ayah berhasil menghentikannya. Orion berbalik dan menatap tajam ayahnya yang masih duduk santai di kursinya.            "Orion, bukankah kau selalu ingin menjadi pewaris kekayaan dan pengganti ayah di perusahaan ini?"            Orion mengernyitkan dahi, "Tentu saja karena itu memang hakku."           "Apa kau lupa masih memiliki seorang adik? Dia juga berhak atas kekayaan dan perusahaan ini."            Orion mendengus sembari tersenyum sinis, tampak tak terima dengan pernyataan ayahnya, "Orang itu sama sekali tidak berhak. Hanya aku satu-satunya yang berhak menjadi pewaris."            "Kau tetap serakah seperti biasanya, Orion."             "Ini bukan keserakahan, ayah. Melainkan kenyataan. Aku tidak mengerti jalan pikiran ayah, bagaimana bisa berpikir akan menjadikan orang itu sebagai pewaris juga? Aku tidak bisa menerima hal ini,” Orion meletakan kedua tangannya di pinggiran meja, dia mencondongkan badan ke depan hingga jaraknya dengan sang ayah nyaris terkikis habis, “Aku sama sekali tidak ingin membahas masalah ini, sampai kapan pun aku tidak akan mengubah pemikiranku. Aku pergi!" Orion kembali melanjutkan langkah, berjalan cepat menuju pintu. "Ayah akan mengabulkan keinginanmu jika kau mau memenuhi syarat yang ayah berikan." Sekali lagi perkataan ayahnya telah membuat Orion mengurungkan niat untuk pergi. Dia pun kembali berbalik badan, "Apa maksud ayah?" tanyanya, meminta penjelasan.           "Seperti yang kau inginkan, kau akan menjadi pewaris kekayaan sekaligus pengganti ayah di perusahaan ini. Tapi sebelumnya kau harus memenuhi syarat yang akan ayah berikan padamu."            "Syarat apa itu?"            "Ayah ingin kau menikahi putri dari keluarga Cayne." Mata Orion membulat sempurna, sangat terkejut hingga untuk sesaat tidak mampu mengeluarkan suara, "A-Apa maksud ayah? Bukankah perusahaan kita dan perusahaan Cayne selalu berselisih dan bersaing? Kenapa ayah menyuruhku menikahi putri dari saingan kita itu?"            "Perusahaan kita dan perusahaan Cayne memutuskan untuk berdamai. Jika kau menikahi putri keluarga Cayne maka perusahaan kita dan perusahaan mereka akan menjadi satu. Kau paham apa keuntungannya untuk keluarga kita, bukan?” Raut wajah Alan berubah semringah dan antusias. Dirinya beranjak bangun dari kursi, melangkah mendekati Orion yang masih mematung di tempat. “Perusahaan kita akan semakin besar, tidak akan ada perusahaan lain yang bisa menandingi perusahaan milik kita. Selain itu, kau pun akan menjadi pewaris dari kekayaan keluarga Cayne."            Orion mengepalkan tangan, rencana sang ayah sangat licik menurutnya, penuh ambisi yang sangat merugikan untuk Orion, "Aku sama sekali tidak tertarik. Aku akan menjadikan perusahaan kita semakin besar tanpa harus bersatu dengan perusahaan Cayne."           "Jangan bodoh, Orion. Ini kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.” "Aku tidak peduli. Aku tidak akan menikahi seorang wanita hanya karena hartanya. Aku juga tidak akan pernah menikahi wanita yang tidak kucintai. Aku menolak syarat dari ayah itu."            Alan menggeram kesal, walau sudah dia duga tak akan semudah itu membujuk Orion. Namun dia belum menyerah, Alan masih memiliki cara agar Orion mengaku kalah dan mau menuruti keinginannya. "Kalau begitu jangan salahkan ayah jika adikmulah yang akan menjadi pewaris. Berbeda denganmu yang pembangkang, dia sangat penurut dan berbakti,” Alan tersenyum sinis saat melihat reaksi Orion yang menegang, terlihat jelas terpancing ucapannya, “Ayah akan menikahkan putri keluarga Cayne itu dengan adikmu. Setelah itu, dialah yang akan menjadi pewaris kekayaan dan pengganti ayah nanti."            Hati Orion dipenuhi oleh amarah, dia tidak ingin menuruti keinginan sang ayah yang baginya merupakan sebuah kesalahan. Tapi di sisi lain, Orion tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi. Tidak mungkin dia rela menyerahkan harta kekayaan sekaligus perusahaan itu kepada orang lain.            "Baiklah, ayah. Aku akan memenuhi syarat yang ayah berikan. Tapi ingat, aku melakukan ini bukan karena menginginkan kekayaan keluarga Cayne. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan harta dan perusahaan ibuku menjadi milik orang lain."            Alan menyeringai, tampak puas karena berhasil meyakinkan Orion, "Terserah kau saja, ayah akan menghubungimu lagi setelah menentukan tempat pertemuan kita dengan mereka. Selain itu, seharusnya kau senang, ayah dengar putri keluarga Cayne sangat manis." Orion sama sekali tidak menanggapinya. Dia melangkah pergi dari ruangan tanpa berpamitan terlebih dahulu pada sang ayah. Yang Orion rasakan sekarang hanyalah kemarahan yang meluap-luap di dalam hatinya. ***  Esok harinya, sang ayah memberitahu tempat pertemuan dengan keluarga Cayne, Orion bergegas pergi ke sana. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya keluarga Cayne pun tiba. Betapa terkejutnya Orion saat melihat putri dari keluarga Cayne. Dia yakin pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Ya, penampilan norak dengan rambut yang dikepang dua dan memakai kacamata bulat, tidak mungkin Orion melupakan gadis itu. Dia tidak lain merupakan gadis yang beberapa waktu lalu nyaris ditabraknya. Orion berpikir, gadis itukah yang harus dia nikahi?            "Siapa namamu?" tanya Alan, basa-basi disertai senyuman lebar yang terlihat ramah. Orion mendengus pelan di kursinya melihat sikap sang ayah yang penuh dengan kepura-puraan.            "Sa-Sagita," jawab gadis itu, malu-malu. Orion menangkap gadis itu mencuri-curi pandang ke arahnya.            "Hm. Nama yang bagus, cocok sekali untukmu."            "Terima kasih, Om." Sagita menunduk dengan pipi yang merona menahan malu. Orion muak mendengar kata-kata manis yang tiada henti keluar dari mulut ayahnya. Beberapa pelayan restauran menghampiri meja mereka dengan membawa berbagai hidangan yang telah mereka pesan. Lalu mereka pun mulai menyantapnya disela-sela obrolan yang terus terjadi.            "Namamu Orion, bukan?" Orion menghentikan makannya begitu mendengar Edrick Cayne menanyakan hal tersebut, "Benar," jawabnya, singkat. Tanpa basa-basi.            "Berapa usiamu sekarang?"            "23 tahun."            "Hoo, berarti dua tahun lebih tua darimu ya, Sagita?"            "I-Iya, ayah. Kenapa ayah mengatakan hal itu?" Satu alis Sagita terangkat naik, tampak heran. Dia bergegas menundukan wajah saat tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Orion.          "Tidak. Ayah hanya merasa jika dilihat-lihat kalian pasangan yang sangat serasi."            "A-Ayah jangan bicara sembarangan," balas Sagita, sembari memukul pelan lengan ayahnya sukses mengundang tawa lantang meluncur dari mulut Edrick maupun Alan. Orion menatap wajah Sagita yang sedang tersipu malu. Dilihat dari sudut mana pun, dia sama sekali tidak menemukan sesuatu pada gadis itu yang bisa membuatnya tertarik. Orion tidak yakin sanggup menikahi gadis itu. Dia terlihat begitu polos dan lugu, Orion tidak ingin menyakitinya.            "Orion, bagaimana menurutmu? Bukankah Sagita, gadis yang sangat cantik dan manis?" Kali ini Alan Mikelson yang mengalihkan pembicaraan dengan melontarkan pertanyaan pada sang putra yang sejak tadi hanya diam membisu. Orion tidak tahu jawaban apa yang harus diberikannya, namun mengingat ancaman sang ayah kemarin membuatnya dengan terpaksa mengatakan sebuah kebohongan, "Iya, dia gadis yang manis."            "Jadi kau tertarik pada Sagita?" Sekali lagi Alan menanyakan hal yang sukses membuat Orion sangat kesal dan terpaksa berbohong. "Iya, tentu saja." Alan menepuk bahu Orion disertai senyuman lebar yang terulas di bibir, tampak senang mendengar jawaban Orion yang sesuai harapannya. Dia pun menoleh dan beralih menatap Sagita yang wajahnya kembali memerah setelah mendengar jawaban Orion, "Bagaimana denganmu, Sagita? Apa kau tertarik pada putra Om ini?"            "A-Apa maksud Om? Aku tidak mengerti ...." Sagita jelas berbohong, hanya saja dia terlalu malu menanggapi pertanyaan Alan. Dia pun menunduk, lebih memilih mengaduk makanan di piring dibandingkan menatap lawan bicaranya.           "Sepertinya kau belum menceritakan apa pun pada putrimu ini?" Sagita bergegas mendongak, memasang raut bingung karena tak paham dengan maksud ucapan Alan. Dari raut bingung yang diperlihatkan Sagita, cukup membuat Orion tahu bahwa gadis itu memang belum diberitahu mengenai rencana perjodohan mereka. Orion sangat berharap Sagita menolak perjodohan ini.         "Ayah, memangnya ada apa?" Tak kuasa menahan rasa penasaran, Sagita pun meminta penjelasan pada sang ayah. Secara perlahan Edrick mulai menjelaskan semuanya pada Sagita. Sagita terlihat sangat terkejut mendengar rencana orangtuanya yang akan menjodohkan dirinya dengan Orion. Orion terus menatap wajah Sagita, berharap akan melihat ekspresi penolakan di wajahnya.           "Jadi, bagaimana Sagita? Apa kau bersedia menikah dengan Orion?" tanya Edrick, karena Sagita hanya terdiam dan tak bersuara sedikit pun setelah mengetahui rencana perjodohan ini. Sagita masih terdiam, kemudian menggulirkan mata ke arah Orion. Mereka pun saling memandang satu sama lain. "A-Aku tidak keberatan jika Orion juga tidak keberatan," ujarnya. Tidak terkira kekecewaan yang dirasakan Orion. Dia tidak menyangka gadis itu akan menyetujui perjodohan ini begitu saja.            "Orion tentu saja dengan senang hati bersedia menikahimu. Benar kan, Orion?" Orion menatap ayahnya yang baru saja menyela pembicaraan, bahkan menjawab tanpa meminta pendapatnya. Dalam hati, Orion sangat kesal dan marah. Tapi tidak mungkin dia memperlihatkan kekesalan dan kemarahannya di depan Edrick dan Sagita, sehingga untuk kesekian kalinya Orion terpaksa kembali mengatakan sebuah kebohongan, "Benar. Tentu saja itu benar," jawabnya, dengan raut datar. Orion memalingkan pandangan, kini menatap Sagita yang sedang tersenyum setelah mendengar jawabannya.            "Syukurlah. Anak-anak kita sepertinya saling menyukai. Kita tinggal menentukan tanggal pernikahan mereka," ucap Alan, tampak lega dan puas.           "Aku harap acara pernikahan mereka bisa dilangsungkan secepatnya." Edrick tak kalah senangnya dengan Alan, berpikir akhirnya sang putri menemukan pasangan hidup yang sederajat dengan keluarga mereka.            "Tentu saja," sahut Alan, sembari mengulurkan tangan kanan ke arah Edrick yang langsung disambut antusias oleh pria itu. Mereka pun saling berjabatan tangan. Dua orang yang dulu selalu bersitegang, untuk pertama kalinya terlihat bagai sahabat karib.           Orion tahu tidak ada jalan baginya untuk mundur. Dia hanya bisa terus maju dan terpaksa menuruti keinginan ayahnya. Satu hal yang menguatkan hati Orion, dia melakukan ini hanya untuk memenuhi permintaan mendiang ibunya untuk menjaga harta kekayaan dan perusahaan agar tidak jatuh ke tangan orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD