7. Lelaki Misterius.

1107 Words
Ranvier itu buaya darat yang menurutku perlu dimusnahkan. Ok, lah. Wajahnya sangat menawan. Bahkan para petugas medis perempuan yang melihatnya tidak mau berhenti menatap padanya. Dan laki laki itu memang narsis. Dia membalas tatapan sang perempuan yang menatapnya itu dengan kedipan nakal di sebelah matanya. Dia sangat menyebalkan. Dan bodohnya para perawat itu tersenyum dengan wajahnya yang merona. Mereka benar benar dibutakan oleh wajah tampan itu. Tidak tahu saja. kalau di kantor, dia akan berubah menjadi seekor singa yang siap untuk menerkam mangsa mangsanya. Dia b******k, benar benar berengsek. "Kamu tidur dengan ku kan, Nyonya Ranvier?" dia mengurungku di sopa rumah sakit. "Minggir, vier ...." desisku. Mana mungkin aku bisa melawana tenaganya yang jelas jauh berbeda dengan diriku. Namun bukan berarti aku akan menyerah pada kuasanya itu. "Vier, ada banyak CCTV tau!" aku mulai kehilangan akal, karena dia mulai menyentuh wajahku. "Jadi kamu mau aku mematikan CCTV nya?" dia berbisik di telinga. Ya ampun! aku sibuatnya merinding. "Vier, please jangan bercanda. Kita sedang berada di rumah sakit. Kita sedang menjaga seseorang. Bukan malah kaya gini?" "Kenapa tidak? sambil menyelam minum air kan bisa!" "Kalau gitu, kamu saja yang sambil nyelam minum air. Tenggelam sekalian sana!" sekuat tenaga ini aku ingin membuat laki laki itu terbangun. Namun sekali lagi itu tidak sedikit pun membuat tubuh kekar dan tinggi itu beranjak dari atas tubuhku. Vier menyeringai karena puas mendapatkan bibirku. "Kamu tahu agata? kamu adalah perempuan yang paling cantik. itu sebabnya kenapa aku ingin menjadikan kamu sebagai tunangan ku." "lepas! sialan!" bibirku terasa kebas karena ulahnya. Oh, dia sangat menyebalkan sekali. Mana mungkin aku berteriak di sini, lalu membangunkan seisi rumah sakit ini. Aku bisa di hukum karena telah mengganggu ketentraman orang lain. "Kamu tau enggak, kalau di luaran sana banyak sekali perempuan yang ingin mendapatkan keperjakaan ku. Kamu serius enggak mau? aku masih perjaka lo!" Aku berdecih."Aku mohon lepaskan!" "Agata ... agata. Aku sendiri lo yang sedang menyerahkan diri padamu. Tapi kamu malah menolaknya. Kamu benar benar tidak bersyukur." Apa katanya! Aku harus bersyukur karena mendapatkan manusia biadab ini. "Aku akan sangat bersyukur kalau kamu mau melepaskanku." ujarku padanya. Dia menyeringai kecil."Sangat menyedihkan sekali aku ini, karena memiliki seorang kekasih yang tidak peka." "Aku bukan kekasihmu." "Oya." "Kita tidak memiliki hubungan apapun, selain tunangan diam diam yang kamu rencanakan itu. Tunangan yang terjadi karena sejumlah uang."Iya, hanya sebatas itu. Hubungan ku dengannya hanya karena sebatas uang. Uang yang dipinjamkan oleh Ranvier pada Ayahku. "Itu artinya uang adalah segalanya bukan?" dia mengusap pipiku dengan nakal. "Ayahmu, cintamu dan hubungan kita, bisa aku beli dengan uang." dia hendak menciumku lagi, namun .... terdengar grasak grusuk para petugas kesehatan berlarian. Ranvier segera menyingkir dan aku pun segera bangun demi bisa melihat ada apa di sana. "Kamu mau ke mana?" Ranvier meraih tanganku. "Mereka pergi ke ruangannya Yuni. Pasti terjadi sesuatu." "Sebaiknya kits menunggu di sini, sebelum pihak medis keluar dari sana!" "Tapi--" "Jangan sampai kita terlibat, dan ikut ikut tersered. Kamu jangan pernah sentuh apapun yang ada di dalam sana." "Tapi Yuni menunggu kita, Vier." "Yuni bukan siapa siapa kita. Yuni hanya orang yang kebetulan datang, ke perusahaan kita. Kamu jangan terlalu baper dibuatnya." Aku menggeleng tidak habis pikir dengan manusia yang satu ini. "Di mana rasa kemanusiaan kamu?" ku menarik tangan meminta dilepaskan. Namun Ranvier memegang ku kuat. "Jangan membantah!" "Lepaskan!" Dia malah menariku ke dekapan. Kedua lengannya ia lingkarkan erat di punggungku. Sehingga aku berada di dalam kuasanya. "Saat ini pihak kepolisian sedang mengincar kita. Jadi kamu jangan pernah berbuat sesuatu yang mencurigakan mereka." "Aku hanya ingin melihatnya." "Kita akan melihatnya setelah ia ditangani pihak medis." perasaanku tidak enak. Dan aku pun tidak bisa melepaskan diri. Ranvier malah membawaku masuk lagi ke ruangan tunggu. "Duduk di situ." aku hanya bisa menurut tanpa menuntut. Apa yang telah dikatakan Ranvier ada benarnya juga. Bahwa kalau terjadi sesuatu pada Yuni, maka kami para agent dan Ranvier akan menjadi tersangka utama. "Kamu capek?" dia mengusap pelipisku. Aku tidak tahu kenapa dia tiba tiba baik seperti itu. "Sebenarnya banyak jalan yang akan di pilih kalau dia mau. Saya bisa saja memulangkan dia ke negaranya tanpa hutang. Tapi agent di negaranya juga tidak mungkin mengijinkannya pulang begitu saja kan? tidak ditahan di sini, dia pun akan ditahan di sana kan?" Setiap pekerja luar negri, memang akan mengalami perjalanan panjang diantara dua negara. Pertama di negeranya, mereka mungkin akan makan waktu sebanyak tiga sampai tujuh bulan. Mereka dibiayai oleh penampungan yang ada di negaranya selama pelatihan dan proses Visa. Penampungan di sana akan merasa rugi kalau tidak menerima bayaran dari nya. Karena Yuni bermasalah di sini, maka ia pun tidak bisa membayar hutang yang sudah diberikan oleh pihak pertama, di negaranya. Maka itu artinya meski Yuni berhasil pulang ke negarnya, maka ia pun tetap tidak bisa pulang, selama Yuni masih belum bisa membayar hutangnya pada pihak penampungan di negaranya. Kecuali kalau pihak keluarganya bisa menebus Yuni, dengan bayaran sebesar yang diinginkan oleh pihak penampungan di negaranya tersebut. "Jadi bagaimana? kamu bisa mengertikan apa maksudku? aku itu sangat baik pada Yuni." dia merapikan rambutku ke belakang telinga. Dengan tatapannya yang lekat seolah ingin menghancurkan kedua pupil miliku ini. "Aku menahannya di sini dengan tinggal gratis, dan makan gratis. Aku hanya ingin gadis itu sadar, bahwa hidup tidak semudah yang dia inginkan. Pergi ke kerja negara orang itu sangat tidak mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Termasuk harga dirinya." tangannya berhenti di daguku dan menciumnya sekilas. "Dan kamu!" dia menunjuk wajahku. "Kamu hanyalah seorang agent. Kamu tidak bisa memanjakan siapapun di sini. Mereka jatuh, ya mereka harus bangun dengan tangan mereka sendiri. Kenapa mereka harus meminta bantuan mu?" aku masih terdiam. "Orang kalau pengin suskes memang harus seperti itu. Yuni itu telah salah. Harusnya dia bangun dan berjalan dengan tegak. Bukan malah bunuh diri dan merepotkan kita. Yang mau kerja kan, dia, bukan kita. Kenapa dia harus merepotkan kita sampai seperti ini? kita diinterogasi, lalu kita disalahkan. Belum lagi kita harus membayar tagihan rumah sakitnya. Lalu kalau dia pulang, kita juga yang harus mengurus kepulangannya? dia pikir, perusahaan kita ini yayasan tunadaksa yang mendapatkan donasi dari pemerintah dan orang orang kaya?" Dia tersenyum sinis padaku. Mendekat dan kembali mencium bibirku dalam sekali. "Aku tidak akan membiarkan ini ...." senyuman misterius, yang membuatku merinding. "Maksud kamu?" Dia terdiam dan hanya tersenyum padaku. "Ranvier!" tegurku. "Apa maksudn mu?" aku takut sekaligus penasaran dengan senyuman itu. Ranvier meraih tanganku dengan sangat lembut, lalu mencium punggungnya. "Kamu akan tahu sendiri sayang." aku tertegun, sampai seorang Dokter masuk ke dalam ruangan ini. "Maaf, Pak, Ranvier. Tapi pasien meninggal!" Tanganku lemas, air mataku luruh. Namun kutemukan sebuah senyuman dari bibirnya. Iya, Ranvier tersenyum padaku. Lalu ia meraih ku dipeluknya. "Itu yang aku maksud sayang!" bisiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD