2. Tatapan Dalam Mematikan.

1308 Words
Agata POV. Ravier itu hanya bagus nama dan wajahnya saja. Kelakuannya nol dan nyaris tidak memiliki hati nurani. Aku sangat benci padanya. Kalau saja, kedua orang tua kami tidak menjodohkan ku dengannya, mungkin aku sudah menonjoknya tadi. "Bagaimana?" tanya Adnan padaku. Aku meninggalkan Ravier di dalam sana. Tidak! Aku menonjoknya karena dia hampir saja akan mencium lagi. Aku tahu Ranvier memang kadang menciumku. Dan aku tidak marah, karena dia adalah tunangan ku. Namun kali ini, dia sedang bersikap seolah dirinya adalah Raja dan aku babunya. Dan aku tidak mau menjadi babunya, sehingga yang aku lakukan tentu saja dengan menonjoknya kuat, agar dia tahu diri. Kalau aku ini bukanlah seorang perempuan yang bisa dengan mudahnya ia perlakukan seperti itu. "Enggak gimana gimana." Kuberikan senyuman tipis pada Andan. Lalu kembali kemejaku. Mari aku ceritakan bagaimana tentang pekerjaan ku. Jadi di negara hebat ini, Ranvier memiliki banyak cabang yang masih berada dibawah naungan Artika Home. Kami menyewa satu unit besar, di sebuah mal. Dan biasanya yang kami sewa itu di mal mal terbesar dan yang paling sering para pengunjung datangi. Artika Home ini adalah sebuah perusahaan besar, yang menerima calon TKW atau TKL dari berbagai negara. Dan di pekerjaka di Negara Hebat kami. Dan kebetulan yang aku tangani ini adalah pengurusan seorang pekerja perempuan. Sedangkan untuk pekerja laki laki, ada di cabang yang lain. "Aku takut, kalau dia macem macem aja." Adnan berkata lagi. "Tidak. Dia tidak akan pernah berani menyentuhku," ucapku pada Andan, meski di dalam hati, aku tidak pernah melupakan bagaimana kecupan dan rengkuhannya itu. Aku tahu dan paham sekali, kalau Ranvier melakukannya dengan tanpa perasaan. Dia sedang marah padaku. Namun selalu saja, di dalam kemarahannya itu, ia akan berjalan dengan nafsunya padaku. "Aku janji, kalau dia macam macam sama kamu. Aku yang akan menghajarnya." Adnan adalah orang yang paling baik di sini, selama lima bulan aku kerja di sini. Aku memang masih baru, dan pertunangan kami pun masih baru tiga bulan. Lebih tepatnya karena keluargaku sedang membutuhkan uang untuk membiayai restoran kami yang sedang pailit. Ranvier adalah seorang lelaki yang kaya raya. Dia mau membantuku, dengan syarat aku mau menjadi tunangannya. Aku tidak tahu kenapa Ranvier memilihku, karena aku yakin sekali laki laki itu tidak pernah mencintaiku. Mengingat setiap berita yang menghadirkannya adalah seorang Ranvier dengan artis papan atas. Atau tiap minggu, dia juga akan ada di televisi dengan model baru yang cantik dan seksi. Lalu aku hanya boleh melihatnya dengan diam, tanpa boleh merasa cemburu. Kenapa? karena aku hanya lah seorang Agata yang boleh menerima tanpa boleh protes. Aku harus ingat, bahwa restoran kami sedang dalam keadaan pailit membutuhkan suntikan dana. Dan sesungguhnya hubungan ku dengan Ranvier ini sedang dalam masa percobaan. Jadi Ranvier menjanjikan akan memberikan dana itu, jika selama lima bulan, aku menjadi perempuan yang patuh padanya. Namun selama tiga bulan menjadi tunangannya, aku malah sering sekali bertengkar dengannya, hanya karena masalah para asisten rumah tangga ini. "Halo mis Agata?" seorang laki laki masuk dan duduk di bangku di depanku. Sepertinya ini adalah seorang tamu yang sedang mencari seorang asisten rumah tangga. "Ya, halo. Selamat datang di Artika Home." aku menyambutnya dengan senyuman ramah. Salah satu syarat menjadi agen di sini, adalah dengan memberikan senyuman ramah dan sopan pada setiap calon majikan yang datang ke sini. "Ada yang bisa kami bantu?" ujarku lagi. Laki laki itu mengangguk. "Saya butuh seorang asisten yang bisa merawat seorang nenek nenek. Dia harus bisa bahasa kami, dan juga harus bisa menyuntikan insulin." pintanya. "Baik, Tuan. Kami memiliki banya calon asisten yang memang sudah kami persiapkan dengan sangat baik. Kira kira umur berapa tahun yang anda butuhkan?" tanya ku. "Sekitar tiga puluh tahunan. Saya ingin yang tubuhnya tinggi, karena nenek saya orangnya juga tinggi dan besar." "Baiklah. Saya akan memanggil para asisten kami, dan tuan mungkin bisa memilihnya." Aku segera memanggil para asisten itu. Mereka ada Lima belas orang dari berbagai negara. Maksudku, yang masuk ke Artika Home itu, bukan hanya yang delapan orang ini saja, Melainkan ada lebih dari dua ratus orang. Hanya saja, yang masuk ke cabang ku hanya ada lima belas orang, mengingat ruangan yang kami pakai untuk menampung mereka juga tidak besar seperti di penampungan. Jadi Artika ini, selain memiliki lima cabang perkantoran. Kami juga memiliki penampungan besar yang bisa dipakai oleh para asisten ini untuk tidur dan tempat tinggal sementara sebelum mereka menemukan majikannya. Dan di pagi hari, mereka akan kami bawa beberapa ke sini untuk dipasarkan, lalu pulang ke penampungan setelah pukul tujuh malam. Mereka para asisten itu sudah berdiri di sana dengan rapi, dan tangan mereka taruh di belakang. Mereka memakai seragam Artika Home, dan celana hitam panjang dengan rambut yang diikat ke belakang rapi. "Silahkan Tuan." ku ajak laki laki itu untuk mendekat pada para calon asisten itu. Lalau ia pun berdiri dan mendekat. Aku melihat kalau dia berkomunikasi dengan mereka satu persatu dengan menggunakan bahasanya. Ada yang menyahut dengan lancar, ada juga yang menyahut dengan kikuk dan gugup. Kemudian setelah beberapa menit ia berkomunikasi dengan para asisten itu. Dia pun memilih satu perempuan yang berumur tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi. "Saya memilih dia, Miss Agata." ujarnya padaku. "Baiklah. Anda berikan saya waktu satu minggu untuk mempersiapkannya. karena prosedur Artika Home, hanya akan mengijinkan para asisten kami, setelah diproses selama satu minggu." Kami lakukan ini, untuk persiapan agar para asisten kami memiliki bekal yang cukup. Baik itu di emosi maupun kepiawaiannya sebagai seorang asisten apa yang diinginkan oleh majikannya. Seperti hari ini laki laki itu menginginkan seorang yang bisa merawat seorang nenek nenek. Maka kami akan mendalami itu, membuat asisten kami belajar selama seminggu bagaimana cara merawat seorang nenek nenek berikut bagaimana cara menangani jika dia harus melakukan tindakan CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau RJP (resusitasi jantung paru). "Baiklah. saya akan menunggu selama seminggu. Berarti nanti saya langsung menjemputnya ya." "Ya. Dan tentu saja setelah melakukan administrasi yang harus di penuhi." Satu asisten yang bisa dibawa pulang dan diperkerjakan di setiap rumah akan dikenakan biaya 30 juta. Dan tentu saja, itu akan masuk ke kantong perusahaan yang nantinya akan dipakai untuk menggajih para agen dan untuk kepentingan lainnya. "kalau begitu, saya permisi dulu." lelaki itu pun pergi, setelah melakukan pembayaran. Lalu aku pun menyuruh para asisten itu untuk kembali masuk ke dalam ruangan khusus asisten. Sore harinya, sebelum aku pulang. Aku menemui Yuni yang sepertinya masih saja terlihat trauma. "Kamu sekarang ikut pulang ke penampungan. Apa kamu butuh sesuatu?" tanyaku padanya. Yuni menatapku dengan prihatin. "Saya bahkan enggak punya celana dalam dan sabun, juga baju. Lalu saya pakai apa, Mis? saya lari dengan tanpa membawa apapun, karena saking takutnya saya." Ku genggam tangannya. "Kamu ikut saya. Kita pergi ke luar untuk membeli baju dan semua keperluan kamu." ajaku. Yuni menangis terharu. "Baik, Mis." yang lainnya terlihat menatap ku. Aku tidak tahu apa arti tatapan mereka. Aku hampir membawa Yuni keluar dari ruangan itu. Ketika Ranvier berada di depan kami dengan tatapan yang entahlah. "Pak Ranvier, saya dan anak ini, akan--" "Biarkan Adnan yang urus. Kamu ikut saya pulang!" ku telan saliva ini. Aku memang tidak boleh menolaknya. Ku lihat Yuni."Kamu masuk dulu, nanti Mister Adnan akan mengajak kamu belanja. Saya akan memastikan itu." lalu aku pergi bersama Ranvier, setelah mengirim pesan pada Adnan. "Kamu mau ngajak dia belanja?" tanya Ranvier, setelah kami berada di dalam mobilnya. "Iya," jawabku. "Kenapa?" "karena dia membutuhkan baju. Bagaimana dia bisa tidur, kalau tidak berganti pakaian?" uajrku padanya. "Seharusnya kamu tidak melakukan ini!" "Kenapa tidak?" protesku. "Karena itu akan membuat yang lainnya iri. Apa kamu sanggup membelikan pakaian pada setiap asisten?" "Enggak." jawabku pelan. Karena aku memang tidak akan pernah bisa membelikan mereka satu persatu. Ranvier tersenyum. Dia mendekat dan melatakan kedua tangannya di samping bahu kanan dan kiriku. Menatapku dalam sekali dalam beberapa saat, membuatku menunduk dalam karena tidak sanggup untuk membalas kedua mata gelap yang menawan namun sialan itu. Dia berdecak lalu mengangkat daguku. "Makanya jangan ikut campur. Tetap lah jadi Nyonya Ranvier yang penurut."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD