Chapter 01 : Kisah Anak Rubah Buangan Dan Roh Gunung
Riuh suara alunan musik berbaur dengan suara manusia yang bernaung di kaki Baekdusan. Sebuah suka cita menyambut panen yang melimpah. Semua desa di dekat kaki Baeduksan serempak menggelar pesta rakyat, memberikan persembahan kepada Roh Gunung pemilik Baekdusan sebagai ucapan terima kasih atas hasil panen yang melimpah tahun itu.
Permainan musik serta tarian dari para penari terlihat di beberapa Kuil ataupun pasar. Tak lupa mereka mengantarkan sesembahan ke Kuil Roh Gunung yang berada di Baekdusan. Kuil yang hanya diperuntukkan bagi Roh Gunung, meski pada kenyataannya Roh Gunung sendiri jarang mengunjungi Kuil itu.
Menikmati pesta rakyat yang tengah berlangsung, Yoo Young Jae—Roh Gunung, pemilik Baeduksan yang baru. Terlihat berdiri di tepi tebing tepat di samping pohon Penyangga Surga—pohon paling besar dan tinggi di antara seluruh pepohonan yang berada di hutan Baeduksan. Pohon abadi yang akan tetap berbunga meski empat musim terus berganti. Pohon yang tumbuh di tepi tebing itulah yang menjadi rumah bagi Roh Gunung berserta anak Rubahnya.
Jika dalam cerita rakyat Roh Gunung selalu ditemani oleh seekor Harimau dan Beruang, namun Roh Gunung Baekdusan justru ditemani oleh seekor Rubah. Bukan sembarang Rubah, melainkan Gumiho—Rubah ekor sembilan. Namun Gumiho yang ini sangat istimewa, di mana siluman Rubah milik Roh Gunung ini memiliki warna putih.
Angin berhembus dengan tenang, menerbangkan ujung rambut sang Roh Gunung bersama dengan ujung pakaian mewah yang ia kenakan yang didominasi oleh warna putih dan sedikit warna merah. Rambut hitam legam yang terlihat sangat halus, seakan debu pun tak akan bisa tinggal di sana.
Sebuah seruling sepanjang lengan berada di kedua tangannya. Saat ini Roh Gunung tengah menikmati suka cita dari pesta rakyat yang terjadi di bawah tempatnya berdiri. Dan pandangan itu menemukan sebuah desa yang berada di lembah tepat di bawah tempatnya bernaung.
Seorang pria datang mendekat, mengenakan pakaian yang terlihat biasa saja. Menandakan bahwa pria itu memiliki jabatan yang lebih rendah.
Seo Eun Kwang, berdiri di belakang Young Jae dan memberikan teguran kepada sang Roh Gunung.
"Ya ampun ... mereka terlihat sangat bahagia. Bukankah begitu, Tuan?"
Young Jae sekilas memandang Eun Kwang menggunakan ekor matanya dan menyahut, "tidak semua, aku masih bisa mendengar suara tangisan manusia."
Eun Kwang tertawa pelan. "Tentu saja. Jika semua orang bahagia, tidak akan pernah ada perang."
Teringat akan sesuatu, Young Jae kemudian berbalik menghadap Eun Kwang.
"Di mana anak Rubah itu?"
Eun Kwang memandang sekeliling sebelum memberikan jawaban. "Aku baru ingin menanyakan hal itu pada Tuan."
"Ah, dia pasti sedang bersenang-senang."
"Tuan Muda pasti turun gunung dan berbaur dengan manusia."
Young Jae menatap sinis dan lantas mencibir, "dia sudah berusia 700 tahun dan kau masih memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda."
Eun Kwang tersenyum lebar. "Mau bagaimana lagi? Meski Tuan Muda sudah berusia 700 tahun, dia tetap terlihat seperti anak-anak. Lagi pula Tuan Muda juga belum menikah."
"Lalu bagaimana denganmu? Memangnya kau sudah menikah?"
"Eih ... itu sesuatu yang berbeda. Memangnya Tuan juga sudah menikah?"
"Kau ini!" Young Jae terlihat kesal dan meninggikan suaranya, "aku mati saat masih lajang, bagaimana mungkin aku menikah?!"
Eun Kwang mendecak sembari menggelengkan kepala. "Ck,ck,ck ... Tuan adalah pemuda yang malang."
Young Jae tampak terkejut dengan perkataan Eun Kwang. "Apa? Apa maksudmu berbicara seperti itu? Kau ingin menghina Roh Gunung?"
"Eih ... bukan begitu, aku hanya prihatin pada Tuan. Itu saja ..."
"Roh Gunung tidak membutuhkan simpati dari siluman Rubah sepertimu. Sekarang menghilanglah dari pandanganku." Young Jae kemudian menggerutu, "merusak suasana hatiku saja."
Eun Kwang tersenyum lebar. Siluman Rubah yang satu itu memang senang menggoda si Roh Gunung.
"Kenapa masih di sini? Cepat pergi sana!"
"Eih ... Tuan ini—"
"Masih belum pergi!" gertak Young Jae.
Pada akhirnya Eun Kwang pun pergi, meninggalkan Young Jae kembali seorang diri. Memandang gazebo yang tidak jauh dari tempatnya, seulas senyum hangat terlihat di wajah rupawan yang terkadang terlihat cantik milik si Roh Gunung.
"Ya ampun ... siapa sangka anak Rubah itu sudah berusia 700 tahun? Tapi kenapa dia seperti tidak bertambah tua?" gumam Young Jae.
Sekilas memiringkan kepalanya, Young Jae kembali menghadap ke arah sebelum Eun Kwang datang mengganggunya. Dan gazebo yang berada di balik punggung Young Jae itu ada di sana karena permintaan sang Roh Gunung.
Setelah Young Jae resmi menjadi pemilik Baeduksan yang baru, sekitar 500 tahun yang lalu. Young Jae meminta para penduduk untuk membangunkan sebuah gazebo di dekat pohon Penyangga Surga agar anak Rubahnya bisa bermain di sana. Namun karena sekarang anak Rubahnya sudah dewasa dan tidak lagi bermain-main, gazebo itu kini menjadi tempat peristirahatan bagi sang Gumiho.
Mengambil napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan, pandangan Young Jae tertuju pada langit cerah di musim semi.
Dia kemudian bergumam, "siapa yang tahu bahwa yang mereka puja bukanlah lagi Dangun Wanggeom? Akulah pemilik Baekdusan sekarang, Yoo Young Jae ... aku harap kalian akan mendengar nama itu suatu hari nanti."
Dangun Wanggeom : Roh Gunung pemilik Baeduksan sebelumnya.
Kembali menjatuhkan pandangannya, Young Jae memutar kakinya dan berjalan mendekati pohon Penyangga Surga. Berdiri di dekat pohon, Young Jae memindahkan seruling di tangan kanannya pada tangan kiri. Mengangkat seruling itu tak terlalu tinggi, Young Jae memberikan pukulan pelan satu kali pada batang pohon. Dan tepat setelah itu beberapa kelopak bunga berguguran, beterbangan di udara untuk menemukan para penduduk yang tengah bersukacita.
Kelopak bunga pohon Penyangga Surga adalah hadiah dari Roh Gunung yang menandakan bahwa persembahan mereka telah diterima dengan sangat baik, karena bunga pohon Penyangga Surga tidak akan gugur tanpa izin dari sang pemilik gunung.
Kelopak bunga itu terbang jauh menuju setiap kerumunan dan menambah suka cita para penduduk yang menyambut hadiah dari sang pemilik gunung.
"Oh! Lihat itu!" seru seorang pria di antara kerumunan. "Bunga pohon Penyangga Surga, Roh Gunung menyambut persembahan kita."
Semua orang serempak memandang ke langit dan bersorak gembira. Mengabaikan seorang pemuda yang sejak lama duduk di atas genting salah satu bangunan dan menyaksikan pesta rakyat yang telah mereka adakan.
Satu kelopak bunga datang mendekat, si pemuda manis itu menyambut dengan mengulurkan telapak tangan kirinya ke depan hingga kelopak bunga itu mendarat dengan selamat di telapak tangannya.
Wajah tenang dengan tatapan dingin. Pemuda pemilik wajah rupawan yang tak manusiawi. Dari pakaian yang dikenakan oleh pemuda itu, bisa dilihat bahwa dia bukan berasal dari keluarga sembarangan. Namun ada satu hal yang menarik perhatian bagi siapapun yang melihatnya. Pemuda itu memiliki Norigae yang dikaitkan dengan pakaiannya. Meski berwarna hitam dan senada dengan warna pakaiannya yang berwarna gelap, namun orang yang teliti pasti akan melihatnya.
Norigae : Hiasan Hanbok yang biasanya digunakan oleh para wanita.
"Tuan Muda," teguran dari arah belakang membuat pemuda itu menoleh.
Eun Kwang memanjat genting, dan keberadaannya di sana sudah cukup membuktikan identitas dari pemuda manis itu.
Shin Chang Kyun, si Gumiho berusia 700 tahun. Anak Rubah milik Roh Gunung. Dialah kesayangan Roh Gunung. Meski terkenal galak dan selalu berbicara kasar, sebenarnya Roh Gunung memiliki hati yang hangat. Terlebih jika sudah menyangkut tentang si Gumiho.
Dan Seo Eun Kwang, dia merupakan seorang abdi setia yang melayani Chang Kyun, bisa juga disebut sebagai Kasim. Dahulu saat Chang Kyun berusia tujuh tahun, Rubah kecil itu diusir oleh kelompoknya karena dianggap membawa kutukan, dan itu disebabkan oleh warna bulunya yang berbeda dengan klannya.
Eun Kwang yang saat itu sudah berumur lebih dari seribu tahun lantas mengikuti si Rubah kecil untuk menemukan tempat tinggal yang baru. Hingga keduanya bertemu dengan Roh Gunung di kaki Baeduksan. Saat pertemuan pertama mereka, Young Jae belum menjabat sebagai pemilik gunung. Namun setelah mendapatkan izin dari Dangun Wanggeom, pada akhirnya Young Jae membawa sang Rubah untuk tinggal bersamanya.
Eung Kwang memandang kerumunan penduduk sembari bertanya, "apa yang Tuan Muda lakukan di sini?"
"Tidak ada," jawaban singkat yang membimbing pandangan Chang Kyun kembali menemukan kerumunan penduduk.
"Apa Roh Gunung mencariku?"
Eun Kwang lantas memandang. "Tidak, Roh Gunung hanya bertanya ke mana Tuan Muda pergi. Tapi dia tidak mencari Tuan Muda."
Chang Kyun balik memandang. "Haruskah aku kembali sekarang?"
Eun Kwang dengan cepat menyahut, "tidak ... Tuan Muda tidak perlu melakukannya. Nikmati saja pestanya, hari-hari seperti ini tidak sering terjadi ... bagaimana jika kita pergi minum bersama?"
Chang Kyun memalingkan wajahnya. "Tidak mau, kau pergi saja sendiri."
Eun Kwang tertegun. "Kenapa?"
"Aku harus pergi ke tempat lain."
Eun Kwang bergeser mendekat dan bertanya dengan hati-hati, "ke mana?"
"Hanyang."
"Hanyang?" seru Eun Kwang tampak terkejut. "Kenapa? Kenapa Tuan Muda ingin pergi ke sana?"
Hanyang : Ibu Kota Joseon.
Chang Kyun kembali memandang dengan tatapan yang sama. "Hanya ingin melihat-lihat. Kau jangan mengikutiku."
Chang Kyun kemudian bangkit dan meninggalkan Eun Kwang, namun saat itu Eun Kwang buru-buru bangkit dan menyusul Chang Kyun. Berlari kecil di atas genting.
"Tunggu dulu, Tuanku. Jika Roh Gunung mencarimu, bagaimana?"
Chang Kyun tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik. Namun hal itu berhasil mengejutkan Eun Kwang yang kemudian terjatuh, sempat berguling di genting sebelum terjatuh ke tanah dengan teriakan yang menyedihkan.
Chang Kyun menatap prihatin. "Harusnya kau melompat," gumam si Gumiho.
"T-tunggu sebentar, Tuanku ..." suara Eun Kwang terdengar susah payah. Namun hanya sekedar suara karena Chang Kyun tak bisa melihat Eun Kwang.
Chang Kyun kemudian berujar sedikit lantang, "jangan mengatakannya pada Roh Gunung. Aku akan kembali nanti malam."
Chang Kyun kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda tanpa mempedulikan suara Eun Kwang.
"Tunggu dulu, Tuanku. Kenapa harus Hanyang? Kenapa?"
Chang Kyun sekilas menggaruk telinganya dan bergumam, "kenapa dia berisik sekali?"
Si Gumiho lantas melompat, bukan ke bawah melainkan ke atap lain dengan gerakan yang mungkin lebih cepat dari hembusan angin. Melewatkan pesta rakyat dan menempuh perjalanan ke Hanyang.
Namun suara Eun Kwang masih terdengar jelas di telinganya.
"Jangan pernah melepaskan Norigae itu, jangan pernah membuangnya. Tuanku ..."
THE PRECIOUS KING AND THE NINE TAILED