Seorang perempuan berjalan dengan tergesa-gesa memasuki kantornya. Terlihat ia habis berlari dari parkiran menuju ruangannya. Rambutnya ia biarkan berterbangan mengikuti arah angin.
"Astaga Nara!! Lo kenapa ngos-ngosan kayak begini? Habis merathon?" tanya Shireen melihat muka sahabatnya itu penuh dengan keringat.
Nara diam sejenak, menetralkan nafasanya yang terasa berlomba-lomba dengan jantungnya. "Gue bangun telat, untung Razka bangunin gue."
"Lah kok Razka yang bangunin lo? Emang pintar banget ponakan gue itu. Jadi tambah kangen." gemas Shireen mengingat kelakuan Razka yang menurutnya lebih pintar dari anak seusianya.
Nara menarik kursi untuk ia duduki, "gue ketiduran habis merathon film," jelas Nara. Semalaman ia begadang mononton film yang baru ia dapatkan dari temannya, sampai keasyikan Nara lupa bahwa besok senin.
"Dodol, sih!" ejek Shireen. Perempuan itu mengambilkan minum dan memberikannya pada Nara. Nara meminumnya dengan sekali teguk.
"Haus, neng?" ejek Shireen lagi.
Nara mengabaikannya, ia mendekati mejanya. Menghidupkan komputernya, mengerjakan pekerjaannya. Hingga perkataan Shireen membuatnya berhenti.
"Lo udah tahu ada Bos baru gak?" tanya Shireen membahas topik yang sedang hangat sangat ini.
Nara mengalihakan pandangannya kepada Shireen, "emang ada?" tanya Nara.
"Lah dianya gak tahu, bos barunya ganteng loh tapi katanya udah punya anak satu." ucap Shireen setengah berbisik.
"Oh ya? B aja," ucap Nara cuek. Sedangkan Shireen menahan kekesalannya untuk tidak melempar bangku ke kepala Nara.
"Untung sahabat," ucap Shireen. Mereka kembali sibuk dengan berkas-berkas yang memeningkan kepala mereka.
"Kirana Audi Pramesti." Nara mengalihkan pandanganya saat namanya dipanggil. Matanya membulat saat Kelapa devisinya menuju kearahnya.
"Eh, iya Pak. Ada apa bapak panggil saya?" tanya Nara dengan gugup. Pasalnya dirinya tidak pernah membuat masalah, tapi kenapa sekarang kepala divisinya ada disini. Dihadapanya.
Sedangkan pria betubuh tambun itu memandangi Nara dari atas hingga kebawah. Nara yang merasa dirinya diperhatikan, meneguk salivanya kasar.
"Karena Citra sedang cuti melahirkan, Kamu akan menggantikan dia selama 6 bulan, menjadi sekretaris bos," ucap Pak Kamto seraya menjabat tangan Nara. Sedangkan Nara mengerutkan dahinya.
"Kanapa bisa saya, Pak?" tanya Nara bingung. Padahal masih banyak karyawan lain yang lebih hebat darinya, tapi kenapa dirinya yang dipilih oleh Pak Kamto.
"Karena hanya kamu yang sudah memiliki anak." Pak Kamto melepas jabatan tangannya pada Nara. Lalu menatap ibu satu anak itu yang kini sedang tercengang.
"Selain membutuhkan sekretaris, Pak Adrian juga membutuhkan wanita keibuan, jika sewaktu-waktu dia harus meninggalkan anaknya saat rapat," ucap Pak Kamto sebelum meninggalkam Nara yang kini semakin tercengang.
Setelah Pak Kamto benar-benar pergi meninggalkan Nara yang menahan segala cacian dan makian untuk pria berkepala botak itu.
"k*****t tuh bapak, dia kira gue mau jadi Babysister apa?" ucap Nara tak terima. Sedangkan Shireen hanya terkikik geli melihat sahabatnya yang frustasi.
"Slow aja kali, lumayan bisa ketemu cogan." ucap Shireen yang masih tekikik.
"Cogan pala lo. Dugan iya!" ucap Nara asal.
"Dugan? Apaan?" tanya Laras penasaran.
"Duda ganteng," ketus Nara. Sedangkan Shireen sudah tertawa cekikikan tetapi masih ia tahan agar menghormati sahabatnya ini.
Nara melangakahkan kakinya menuju ruangan barunya, tempat yang lebih luas berada didepan pintu ruangan bosnya. Disini ia merasa kesepian, tidak ada lagi Shireen yang menjadi teman mengobrolnya.
Lamunan Nara terbuyar, mendengar namanya dipanggil oleh sang bos untuk masuk kedalam dari intercom.
"Ada apa Bos?" tanya Nara sambil mengangakat-angkat alisnya. Sedangakan yang ia panggil bos memandangnya aneh.
"Buatkan saya kopi, tanpa gula," ucap Adrian pada sekretaris barunya. Sedangakan Nara mengerutkan dahinya.
"Siapa bos? Saya yang disuruh buat kopi?" tanya Nara yang dibalas anggukan oleh Adrian.
"Yahh, sayakan bukan OB Bos. Saya tuh sekretaris Bos, yang kalo Bos meeting atau pergi-pergi saya dibelakangnya Boss. Gitu boss," jelas Nara.
"Siapa...?"
"Saya boss, saya tuh sekretaris boss. Kalo boss pergi-per----"
"....yang tanya?" ucap Adrian kemudian. Telinganya sudah panas mendengar sekretarisnya ini terus mengomel.
Sedangkan Nara sudah menahan kekesalannya untuk tidak mengupat dihadapan bossnya ini.
"Untung Boss," gumam Nara pelan.
"Siapkan saya kopi, tanpa gula," ulang Adrian lagi mengenai permintaannya.
"Sekarang boss?" tanya Nara.
"Tahun depan!"
"Ohhh, oke boss."
"SEKARANG!!" ucap Adrian setengah berteriak sedangkan Nara sudah kabur dengan terkikik geli melihat amarah bossnya yang keluar.
Segala caci-makian mengiringi langkah kaki Nara menuju pantry. Saat sudah sampai disana, Nara langsung menjadi objek perhatian.
Nara menghela nafas pasrah, pantas saja dirinya menjadi sumber perhatian saat ini. Pasalnya, semua yang ada disini adalah pelayan kantor, tidak ada satupun pegawai yang berada disini. Jangankan lewat, untuk melirik saja Nara yakin mereka tidak mau.
Bagi Nara, semuanya disini sama saja. Sama-sama mencari uang halal untuk hidup. Tidak ada yang perlu dibanggakan.
"Percuma juga naik jabatan jadi sekretaris Bos, tapi mainnya masih gula sama kopi."
Saat hendak menakar kopi yang akan dimasukan kedalam gelas, tiba-tiba saja dari arah belakang sebuah suara mengagetkan Nara membuat sendok itu meleset dari titik tujuanya.
"Dorrrr...."
"Monyet... Monyet!!"
"Hahaha, Monyet ada di kebun binatang, Ma." Nara memutar tubuhnya, mendapati seorang bocah laki-laki dengan seragam merah putih yang melekat ditubuhnya.
"Ohhh, jadi ini yang ngejutin Mama tadi?" ucap Nara seraya menoel hidung mancung Razka. Hidung mancung yang Nara akui-akui berasal darinya. Padahal nyatanya Nara tidak sama sekali ikut berkontribusi dalam pembuatan Razka.
Razka hanya menyengir lebar membuat Nara gemas sehingga menggelitiki sekujur tubuh Razka. Bocah itu menggeliat kegelian saat Nara menggelitiki udel Razka. Tampat yang paling cepat membuat Razka tertawa.
"Aaaaa... Mama, udah berhenti. Gelii," rengek Razka bertepatan saat Nara menghentikan gelitikannya.
Nara mengecup pipi bundar Razka, "kok udah pulang sih anak Mama yang bau asem ini?" tanya Nara seraya mengangkat tubuh Razka.
"Guru rapat, Ma. Jadi kami pulang cepet." Razka menyadarkan kepalanya dibahu Nara.
"Siapa yang ngantar?"
"Mamanya Aldo, Ma," ucap Razka menatapa Nara. "Tadi juga didepan ketemu sama Tante Shireen, bilangnya Mama udah pindah ruangan." Nara menganguk mengerti.
Untung saja ada Mbak Ratna, wanita itu mau mengantarkan Razka sampai kesini. Jika tidak, mungkin saat ini Razka menunggu disekolah sendirian. Mungkin nanti Nara akan berterima kasih saat berjumpa dengan ibu dua anak itu.
"Maa, laper."
Nara menatap Razka dengan padangan berkerut. "Mau makan apa, anak mama?" tanya Nara.
"Ketoprak Mang Tejo!" pekik Razka kencang membuat ibu dan anak ini menjadi sumber perhatian lagi.
"Yaudah, turun dulu. Mama antar kopi, baru deh cusss. Oke?"
"Okee!"
Nara menurunkan Razka dari gendongannya, lalu membawa cangkir kopi itu untuk diantarkan keruangan bosnya.
Saat sampai disana, Nara sempat terkejut saat melihat seorang anak lelaki yang berada dipangkuan bosnya itu. Tapi setelah mengingat perkataan Shireen tadi, Nara baru ingat bahwa Bosnya ini single perents.
Tentu saja beda dengan Nara, Bosnya ini pasti sudah merasakan yang namanya surga dunia sedangkan Nara, masih polos layaknya p****t bayi yang baru saja ditaburi bedak.
"Bos, ini kopinya. Gak pake gula 'kan?" tanya Nara dengan muka manisnya. Siapa tahu ia mendapatkan komisi setelah membuatkan kopi.
"Hmm." deham Bosnya itu tanpa mengalihkan pandangannya dari leptopnya. Sungguh, jika boleh Nara ingin menendang bosnya ini dari sini.
Nara mengalihkan pandangannya pada anaknya yang sudah memasang muka lapar. "Udah laper?" tanya Nara.
"Pake benget, Ma."
"Emang mau makan apa?" goda Nara sambil menjawil dagu Razka.
"Ketoprak, Ma," ujar Razka memelas. Matanya membulat penuh binar menatap Nara.
Adrian yang melihat itu semua tertawa pelan. Penilainnya selama ini terhadap sekretaris barunya adalah salah. Nara bukanlah wanita dengan mulut petasan, melaikan berjiwa keibuan.
Lelaki itu mengalihkan pandangnya pada seseorang yang saat ini berada dipangkuannya. Dariel, anaknya menatap itu semua dengan mata berkaca. Adrian tahu, anaknya pasti menginginkan seorang ibu.
"Yaudah, kita berangkat!"
"Lets, go!"
"Kinara."