Bukan dia

763 Words
Rayyan berlari mengejar preman yang merebut tas seorang gadis di halte. Dengan tubuh tinggi dan kaki panjangnya. Dengan mudah Rayyan melampaui jarak yang ditempuh preman tersebut. "Paman tunggu... Stop please!?!?" Ucap Rayyan sopan. Mungkin jika ada di dunia nyata, kalian akan terbengong-bengong, melihat ucapan Rayyan yang tetap sopan saat menghadapi preman yang sangar. Bahkan pria itu tampak memohon saat meminta sang preman menghentikan langkah kakinya. "Paman... Maaf Paman tolong stop. Saya punya penawaran bagus untuk Paman." Ucap Rayyan sambil berlari mensejajarkan jarak dengan preman tersebut. Preman tersebut tetap berlari. Justru malah sempat memukul tubuh Rayyan. BUUUGGGHH... "Awww... Sakit Paman. Ayolah kita ngobrol sebentar. Saya ingin mengajak Paman bernegosiasi. Saya tidak akan mengajak ribut dengan Paman." Ucap Rayyan kembali. Tak disangka Preman tersebut menghentikan langkah kakinya. Namun memasang posisi kuda kuda untuk mempersiapkan diri, jika mendapat serangan tiba-tiba. "Ughh... Hah... Hah... Hah... Kita ke warung itu dulu yuk. Kita ngobrol biar santai. Saya lelah Paman. Haus." Ucap Rayyan sambil berusaha mengatur nafas yang tersengal-sengal. "Ga bakalan! Lo mau jebak gua? Gua tau lo mau minta tolong warga. Mau apa lo sebenarnya?" Ucap Preman itu kasar. "Ya sudah di sini saja. Begini Paman, di dalam tas yang Paman ambil, belum tentu ada uangnya. Bagaimana jika tas itu Paman berikan saja kepada saya, dan saya akan memberikan paman uang, nih saya punya uang 500ribu." Ucap Rayyan sambil mengambil 5 lembar uang berwarna pink cantik dari dompet kulitnya. Preman itu tampak berfikir. Dari kerutan yang tercipta di keningnya, Rayyan yakin preman itu sedang menimbang sesuatu. "Lu ga nipu gua kan?" Ucapnya berteriak. "Menipu itu dosa Paman. Saya takut sama Allah. Memang Paman tidak takut?" Ucap Rayyan berusaha sepolos mungkin. "Kebanyakan bacot lu. Sini dulu duitnya." "Paman saja yang berikan terlebih dahulu tasnya." "Lu mau nipu gua?" "Lha gimana kalo ternyata Paman yang mau tipu saya?" "Ya Udah ini" Preman itu melempar tas selempang batik pada Rayyan. Rayyan pun menangkap tas itu agar tetap mendarat di tangannya. "Terima kasih Paman." Ucap Rayyan sopan menundukkan kepalanya sambil memberi lima lembar uang cantik itu kepada sang preman. Sedangkan si preman hanya bisa terbengong-bengong. Sungguh tak menyangka dia menemukan sosok langka dalam dunia yang berat. Baru kali ini ada seseorang yang berlaku sopan saat ada penjambretan. "Owh ya Paman ini kartu nama saya, kalau paman ingin pekerjaan halal, silahkan hubungi saya ya paman. Sebaiknya Paman pikirkan keluarga Paman, kasihan jika mereka selalu mendapat rejeki yang haram dari cara Paman mendapatkan uang. Datanglah ke rumah saya." Ucap Rayyan sambil berlalu. Di halte... "Assalamualaikum, Zahra.. Kamu sudah lama ya nunggu nya?" Ucap seorang gadis dengan hijab syar'i berwarna merah maroon. Tubuh gadis itu tergolong mungil. Wajah cantiknya khawatir saat menatap Zahra yang pikirannya sedang berpetualang entah ke mana. "Waalaikum salam Afifah." "Ayo naik ke mobil. Kita ke rumah ku. Maaf ya... Kamu pasti kepanasan. Jakarta memang terik, beda banget kan sama di bogor yang teduh." Ucap Afifah sambil membawa tas besar Zahra ke dalam mobil, kemudian meletakkannya di bagasi belakang. "Sebentar Afifah. Saya sedang menunggu seseorang." Ucap Zahra khawatir menatap ke arah larinya sosok pria dan seorang preman. Zahrah benar-benar khawatir jika terjadi sesuatu pada orang yang menolongnya. "Siapa memang nya?" "Tadi aku dijambret, dia sedang menolong aku untuk mengejar jambret itu." Ucap Zahra khawatir. "Ya Allah... Tapi kamu ga kenapa-kenapa kan Zahra?" Afifah begitu khawatir setelah mendengar penuturan Zahra tentang tragedi penjambretan. Gadis itu memutar tubuh sepupu jauhnya. Bahkan netra hitamnya seolah menyelidik untuk memastikan kondisi Zahra memang benar baik-baik saja. Mereka masih memiliki hubungan darah walau cukup jauh. Nenek mereka kaka beradik. "Aku tidak apa-apa." Ucap Zahra lembut. "Alhamdulillah..." Ucap Afifah bersyukur. "Assalamualaikum.. Maaf ya lama menunggu. Ini tas kamu. Silakan dicek semoga saja tidak ada yang hilang." Suara bariton seorang Pria memecah percakapan Zahra dan Afifah. Mereka pun segera menoleh ke arah pria yang menggenggam tas selempang milik Zahra. "Terima kasih ya." Ucap Zahra saat menerima tas selempangnya. Kemudian dia mengecek isi tasnya. "Alhamdulillah. Masih utuh... Makasih banyak ya." Ucap Zahra penuh syukur. "Nama saya Rayyan." Rayyan pun menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman. Namun Zahra tak menyambut uluran tangan tersebut. Gadia itu hanya sedikit menundukkan kepalanya saat menyebutkan nama nya. "Nama saya Zahra. Dan ini sepupu saya Afifah." Ucap Zahra menunduk. Merasa uluran tangannya tak disambut. Rayyan sadar akan sikap lawan bicaranya yang menjaga aqidah. Di jaman seperti ini, justru dia merasa salut pada sosok yang menjaga akidahnya. "Maaf ya. Saya tidak bermaksud... Baiklah kalau begitu saya permisi. Semoga suatu saat kita bertemu lagi. Assalamualaikum." Ucap Rayyan kemudian pria tampan itu bergerak menuju mobil putihnya. "Waalaikum salam." Ucap Zahra dan Afifah bersamaan. "Ya Allah. Hamba tak pernah melupakan wajah itu. Wajah pria yang sudah mengambil kesucian hamba. Namun mengapa naluri hamba mengatakan bukan dia. Hamba melihat seorang yang sama namun dalam balutan sosok dan jiwa yang berbeda. Tidak mungkin hamba langsung menuduhnya. Ya Allah bukakanlah jalan yang mudah pada hamba." Zahra membatin... BUKAN DIA...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD