03 : Eat You Alive

2649 Words
[Author PoV]   Beberapa hari yang lalu….   "Kenapa bisa koran-koran murahan ini menggosipkan kau gay hah?!" teriak pria paruh baya itu.  Lima belas menit telah berlalu. Pria bermata hazel itu tertunduk, siap menerima semua tuntutan. Pikirannya benar-benar kalut. Dia masih belum mererima pemberitaan tentang preferensi seksualnya itu. Bisa-bisanya informasi itu terbongkar dan menjadi pemberitaan media beberapa hari ini. Selain itu, dia juga masih terpukul atas hubungan asmaranya yang berakhir setelah kehamilan istri kekasihnya. Benar, dia gay. Gosip itu tidak sepenuhnya bohong. Namun, ya ampun, Tuhan pun belum tentu menghukumnya. Mengapa pria di depannya itu harus semarah ini padanya? Tidak tahukah dia, bahwa hidup anaknya itu akan segera hancur karena semua kegilaan ini? Dia sedang patah hati, terpuruk karena kekasih itu. Lalu, yang lebih menyesakkan lagi, sekarang seluruh dunia tahu tentang hal yang selama ini disembunyikannya. Kepalanya begitu sakit memikirkan itu semua. "Yah—" Tangan pria paruh baya di depannya itu seketika terangkat ke udara, hendak menghentikan perkataan yang terucap dari Brian, pemilik mata hazel yang juga anaknya itu. Atmosfer dalam ruangan itu kembali mencekam.  Brian mengela napas. Ayahnya itu memarahinya seolah Brian masih anak sekolah dasar. Oh, ayolah… adakah seseorang yang bisa mengingatkan ayahnya kalau Brian sekarang sudah tiga puluh dua tahun? Kemarahan ayahnya hari itu adalah hal paling memalukan yang pernah dia hadapi. "Apakah kau gay?" suara itu terdengar lirih, tetapi menyentak langsung pada pokok permasalahan. Oke, Brian mulai jengah dengan omong kosong ini. Seharusnya dia tidak menerima kedatangan ayahnya di kantor siang ini. Membuatnya tambah sakit kepala saja. Namun, demi para ibu yang sedang mengandung di luar sana, dia tidak akan pernah mengakui kenyataan sialan itu di hadapan keluarganya atau siapa pun yang mengenalnya sebagai ahli waris Wright Enterprise. Dia malu. "Ya—maksudku, tentu saja tidak!"  Tuan Abraham tersenyum tipis dan merasa lega. Akhirnya, dia bisa mengklarifikasi secara langsung berita miring yang belakangan selalu muncul di media dan dibicarakan para pekerja di kantornya. Tuan Abraham mencoba memercayai anak semata wayangnya itu, meski detektif bayarannya sempat mengatakan bahwa anaknya memang benar seorang gay. Tidak mungkin Brian akan berbohong padanya kan? Dia sudah mendidik anaknya itu dengan baik sebagai ahli waris paling berpengaruh di dunia. "Bagus. Sekarang, katakan padaku. Apakah kau sudah memiliki kekasih?" •••   Dalam ruang temaram yang dingin itu, Kianna terbangun. Dia teringat orang yang telah membawanya secara paksa tadi serta perjalanan panjang yang dilaluinya hingga ke apartemen ini. Tubuhnya terasa lelah.  Pupilnya melebar mencoba berfokus melihat siluet manusia yang terbentuk oleh cahaya bulan yang menyusup dari balik jendela di hadapannya. Wanita itu merasa jengah. "Berhentilah main-main, Wright. Aku mau pulang!" Dia tidak tahu darimana keberaniannya itu. Padahal, dia begitu tak berdaya saat pria itu menatap matanya di parkiran tadi. Namun, dia belum menyadari, Brian sudah memikirkan berbagai cara kotor untuk memaksanya menyetuji tawaran itu. Selayaknya keluarga Wright, Brian selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Pria itu segera berbalik, lalu tersenyum dan menunjukkan dominasinya pada wanita di hadapannya itu. Sudah jadi rahasia umum bagi seluruh penghuni apartemen bahwa putra tunggal Wright itu tidak benar-benar tertarik pada wanita. Bagi Brian, mereka hanya makhluk pemuas gairah. Mereka bisanya selalu merepotkan, cerewet, dan cengeng saat sedang jatuh cinta.Jelas sekali, Brian tidak ingin berurusan dengan makhluk seperti itu. Namun, pertanyaan Tuan Abraham beberapa waktu lalu itu terus mengganggunya. Identitasnya sebagai seorang gay adalah sesuatu yang harus segera disembunyikan. Dia tidak mempunyai pilihan. Lagi pula, kekuasaan dan citranya sebagai ahli waris keluarga Wright kini sedang dipertaruhkan karena artikel-artikel sialan itu. Kianna merupakan wanita pilihannya. Model itu seharusnya terlihat biasa-biasa saja bagi Brian. Namun, entah mengapa, Brian merasa tertarik pada mata emerald-nya saat pertama kali bertemu. Mata itu terasa begitu familiar, seolah mengingatkan Brian pada seseorang. Lagipula Brian tidak ingin menyewa jalang atau gadis rendahan lain untuk berperan sebagai kekasihnya. Hal itu hanya akan membuat citranya semakin terpuruk. Brian bisa berkorban untuk masalah ini. Dia tidak akan membiarkan fakta bahwa dia adalah gay terungkap, ayahnya akan menghapusnya dalam daftar pewaris utama jika sampai hal itu terjadi, dan meski Brian memiliki backup beberapa perusahaan yang di bangunnya sendiri, ayahnya tidak akan membiarkannya hidup tenang walaupun hanya sedetik. Aib seperti ini akan membesar di masyarakat danmerusak citra sempurna ayahnya—Abraham Wright, dan baginya cacat seperti itu hanya memiliki dua jalan keluar. Keluarkan serta hancurkan. Tidak peduli siapapun yang membuat cacat itu. Brian akan meletakkan viagra dalam minumannya sendiri demi membuatnya b*******h. Persetan dengan kenyataan bahwa dia tidak memiliki nafsu sedikit pun padanya. Yang dia lakukan sekarang hanyala bercinta dan membuat dirinya menjadi sehetero mungkin untuk di percayai ayahnya—sialan jika seluruh kekuasaan dan kekayaan keluarga Wright sudah di tangannya, Brian bersumpah, dia tidak akan pernah menyentuh wanita lagi seumur hidupnya. Brian menuangkan sampanye pada gelas di meja sebelahnya, meletakkan viagra dalam minuman itu, lalu meminumnya dalam satu tegukan. Dia lantas  berjalan mendekat pada Kianna. “Apa yang mau kau lakukan?” meski Kianna tahu jantungnya berdetak cepat dan tak keruan seperti sedang membunuhnya pelan-pelan. Tapi dia tetap tidak ingin di kuasai pria itu, fakta bahwa kesepakatan yang dikatakannya tidak lebih dari omong-kosong membuat Kianna tidak perlu memikirkan dua kali untuk langsung menolaknya. Brian Wright tidak lebih dari pria gila yang selalu memaksakan kehendaknya pada semua orang. Brian tersenyum, dia memandang Kianna lekat, terasa begitu menusuk. "Apa yang akan kulakukan, pasti sama dengan apa yang telah kau inginkan sejak pertama bertemu denganku." katanya dengan suara yang dalam dan lebih berat dari seharusnya. “Pria brengsek.” Kianna mendesis, perutnya berdenyut merasakan d******i dari tatapan dalam pria itu. Brian semakin mendekat, dia tersenyum licik lalu tiba-tiba menindih Kiana dalam dekapannya dan menahan tangannya di sisi wanita itu seolah ingin memenjarakannya. Kianna tersentak, dia yang semula terduduk tiba-tiba terdorong ke tempat tidur dengan napas cepat yang tidak mampu dia kendalikan. “Lepaskan aku!” Kianna mati-matian mengendalikan dirinya dari sisa-sisa mabuknya, dia berusaha menarik tangannya dalam genggaman Brian yang kuat untuk memberontak danmelepaskan diri dari semua ini sebelum semuanya semakin jauh Brian terkikih sinis. “Melepaskanmu?” Dia menundukan wajahnya pada Kianna. “Kau adalah milikku, sayang.” Hawa panas membakar Brian. Entah mengapa, dia merasa suhu tubuhnya memanas saat melihat iris emerald milik wanita itu. Diam-diam dia ingin menghentikan perbuatanya. Namun, tidak ada sedikit pun bagian tubuh Brianyang mendukung itu, mata emerald milik wanita itu sudah menariknya semakin dalam. "Kau mengerikan!”  Kianna tidak bisa menyembunyikan suaranya yang bergetar takut, dia tidak menyangka bahwa pria yang dia pikir menyukainya justru menjebaknya dalam hubungan rendahan seperti ini dengan cara yang sama rendahannya pula—berpura-pura menjadi kekasih? Yang benar saja. Namun Brian justru bersumpah, suara itu malah terdengar seperti desahan yang menggoda di telingannya.Egonya tergelitik atas pertahanan Kianna yang mengusik harga dirinya, dia terprovokasi, dan hal itu berhasil membuat semua yang berada pada Kianna tiba-tiba terlihat menggairahkan. Brian terkejut. Jujur saja, dia tidak pernah terpikir untuk merasakan hal ini sebelumnya. Dia sudah menerima dirinya dan kelainannya. Dia juga tidak mau repot-repot untuk memperbaikinya atau melupakannya. Tapi bertemu sosok Kianna lima hari lalu di dalam rapat, membuat Brian tiba-tiba saja berpikir, mungkinkah dia bisa merasakan perasaan itu juga pada seorang wanita? Gila. Brian setuju, dia juga merutuki pikirannya yang terasa aneh melihat iris emerald itu menatapnya dengan sejuta kalimat pujian setiap kali menatapnya. Harusnya Brian merasa biasa saja mengingat dia selalu mendapatkan tatapan itu dari semua orang, tapi Kianna benar-benar sebuah pengecualian besar. Hari itu, tepat pada saat dia pertama kali bertemu dengan Kianna di ruang rapat, Brian yakin bahwa dirinya sudah terguncang dengan begitu kuat, hingga nyaris melupakan patah hatinya untuk sesaat. Tidak masuk akal! "Memang, karena itu semua wanita bertekuk lutut padaku. Karena aku mengerikan.” Brian menjawab dengan suara kecil, lalu semakin mempersempit jarak mereka dan mulai menghidu aroma tubuh Kianna yang menjadi begitu memabukkan. “Aku membenci—” Kianna lantas tercekat.  Entah dorongan apa yang membuat Brian tiba-tiba membungkamnya dalam ciuman menggebuh yang membuat kepala Kianna seratus persen kehilangan kemampuannya dengan jantung yang bergetar kuat hingga terasa akan segera meledak, yang jelas, baik Kianna maupun Brian yakin bahwa mulai dari detik itu, mereka tidak akan bisa melarikan diri lagi.   •••   Terasa tidak penting lagi bagi Kianna untuk memikirkan apa maksud Brian untuk memintanya menjadi kekasih pura-puranya. Terasa tidak penting lagi bagi Kianna untuk tahu alasan mengapa Brian memilihnya, bukannya wanita lain dalam kesepakakatan gila yang dia bicarakan. Terasa tidak penting lagi bagi Kianna untuk memikirkan kenapa dia bisa sejatuh ini pada Brian setelah bibir itu menguasainya dan membakarnya dalam api gairah yang mengerikan. Dan Demi Dewa Eros, bahkan terasa tidak penting lagi bagi Kiannakenapa dia bisa membalas ciuman itu dengan sama menggebuhnya seolah hari esok adalah hari terakhirnya hidup di dunia ini.    Kianna sudah jatuh ke dalam perangkap Brian, tenggelam dan menghilang. Ciuman itu membakarnya, meruntuhkan akal sekatnya, dan meluluh-lantakan pertahanannya. Semakin buruk dengan fakta bahwa Kianna sudah mabuk dan hampir tidak sadar atas segalanya.   "Ngh—" Kianna melenguh, meremas kemeja Brian kuat untuk memintanya berhenti.   Pria itu langusng setuju, dia segera menjauhkan wajahnya dari Kianna dan membiarkan wanita itu mengambil napas dengan terengah-engah. Wajahnya merah padam, bibirnya sedikit membengkak dan peluh sudah bermunculan di dahinya. Dia tampak sangat berantakan. Brian menyapukan jarinya di dahi Kianna, menghapus sisa-sisa peluh serta menatap iris emerald itu lekat. Dia ingin menyampaikan sejuta hal yang tidak bisa dia sampaikan melalui ucapan pada Kianna. Tetang perjanjian itu, malam ini, serta perasaan aneh yang sedang dia rasakan saat ini. Brian mungkin sudah tidak waras karena terkejut merasakan bagaimana mencandunya bibir Kianna dalam bibirnya. Lembut, beraroma cherry dan sangat manis—apa bibir semua wanita berasa seperti itu? Jika iya, itu berarti Brian sudah melewatkan rasa menakjubkan seperti ini di sepanjang kehidupannya.   “Terimahlah perjanjian itu Kianna.”   Kianna tersentak saat Brian berbisik dengan suara lembut di atas wajahnya, hazel itu memandangnya lekat. Tidak ingin melepaskannya barang sedikitpun.  Kianna menggigit bibir bawahnya bingung. “Aku tidak tahu...” Brian kembali mengusap wajahnya, dia merasa gila mendengar suara halus wanita itu. Dia yakin dia masih seratus persen gay—meski ada sedikit perasaan yang mengganjal dalam dirinya akibat Kianna, tapi itu seharusnya tidak langsung membuat Brian bisa semembutuhkan ini pada Kianna. Sebenarnya apa yang sedang terjadi padanyaa? “Kau hanya harus jadi kekasihku, dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Tidak perlu memikirkan hal lainnya.” “Tapi—” “Aku memintamu.” Brian tersenyum kecil, masih menatap Kianna dengan sorot mata penuh keyakinan. Membuat wanita itu  kali ini tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perasaan yang mengikat jantung serta akal sehatnya. Seluruh tubuhnya berteriak, memaksa Kianna untuk segera menyetujui perkataan Brian dan melanjutkan semua ini tanpa memikirkan apapun lagi. Meskipun Kianna berjuta kali mengatakan tidak menginginkannya, namun seluruh tubuhnya dengan pengaruh yang kuat, menang. Tidak ada pilihan, Kianna membuat mereka semua berteriak histeris saat dia ikut menarik bibirnya—tersenyum pelan, lalu menarik tengkuk Brian dan mempertemukan bibir mereka kembali. Dia kalah. Kianna bisa merasakan Brian tersentak, namun detik berikutnya tersenyum dan membalas ciumannya dengan lumatan keras yang membuat Kianna memumbung tinggi hingga ke angkasa. Tangan Brian tidak tenang, dia mengusap pinggang Kianna dengan gerakan pelan. Turun, menggapai pangkal pahanya lalu menyusup masuk dalam gaun Kianna yang sudah sejak dari makan malam tadi mengganggu penglihatannya. Lagi-lagi tidak terdengar benar, tapi Brian sungguh tidak menyukai Kianna yang menunjukan lekuk tubuhnya pada semua orang. Itu membuatnya frustasi—dan sialan, marah. Kianna melengguh, tangannya merosot hingga dadaBrian. Dia melepaskan kancing kemeja pria itu perlahan, lalu menarik benda itu dan melemparkannya ke belakang. Surga dunia terlihat, Kianna tidak bisa mengatakan apapun saat tubuh menakjubkan Brian akhirnya terbuka. Otot perut yang terlatih, lengan yang kokoh serta bahu yang tegap—meski Kianna lagi-lagi sudah sering melihat postur tubuh seperti itu, tapi sejauh ini, dia pikir hanya tubuh Brian yang terlihat menggairahkan. Sial!   Mata pria itu menatapnya awas, Kianna tidak benar-benar bisa menarik diri dari hazel itu. Kembali berciuman, feromon Brian yang memabukan membuat Kianna tidak sadar bahwa Brian mulai menarik gaunnya ke atas untuk meloloskan benda itu sesegera mungkin. Jantungnya semakin menggila, tanpa suara, Brian menunduk lalu mengisap leher wanita itu dengan kuat. Dia mengembuskan napas hangatnya di sekitar rahang Kianna dan berbisik, membuat wanita itu merintih pelan. “Kau akan menikmatinya.” Tak lama kemudian, mereka berdua sudah sama-sama polos dengan napas yang terengah. Brian menyatukan dahi mereka dan memejamkan mata menikmati sensasi mengejutkan lainnya dari sentuhan kulit polos mereka, dia yakin—demi Tuhan, bukan viargra sialan itu yang melakukan hal ini. Perasaan aneh itu pelakunya, dia sudah membuat Brian kehilangan kendali dirinya sejak tadi. Brian menatap tubuh polos tanpa mampu berkata-kata, menakjubkan—hanya satu kalimat yang terlintas di pikirannya. Kulit bersih yang terasa menggiurkan, ukuran d**a yang tidak terlalu besar namun mungkin akan cukup nyaman dalam genggamannya, pinggangnya yang ramping, kakintya yang jenjang serta intinya yang menggairahkan. Lagi-lagi dia melewatkan kenikmatan dunia seperti ini. Brian lantas mengecup bibir Kianna sekilas, lalu turun pada cekungan lehernya kemudian menuju salah satu dadanya yang seperti sudah berteriak meminta Brian untuk melakukan hal yang sama. Kianna menggigit bibirnya menahan lengguhan, tangannya bergerak reflek memeluk kepala pria itu. Meremas rambut belakangnya gemas saat Brian dengan sengaja mengulum d**a kirinya dengan gerakan yang memabukan. Persetan pada dunia! Tangan Brian kembali bergerak, mengusap paha Kianna dan menyentuh intinya. “Ungh.” Kianna tersentak, menggelinjang saat Brian menggodanya. “H-hentikan.” Kianna menghempaskan wajahnya pada bantal di samping untuk mengalihkan sensasi itu. Tangannya tiga kali mencoba menahan tangan Brian yang semakin cepat menggodanya. Tapi Pria itu memang berencana membuatnya putus asa, setelah pergerakang jari-jarinya, dia kembali membungkam Kianna. Menjelajahi bibir wanita itu dengan lidahnya, menginvasi rongga mulutnya yang terbuka dengan tergesah. “Bri aku—” Gelombang itu mendadak datang. Kianna lantas kelabakan, dia menahan napas dan mencari pegangan pada lengan Brian, mermasnya tidak tahan dan mendesah kuat saat akhirnya mendapatkan pelepasan itu. Napasnya terengah, Brian menatapnya dengan senyum menggoda. “Kau menikmatinya?” Kianna tidak menjawabnya, dia masih belum bisa menghilangkan sensasi luar biasa itu dari tubuhnya. Brian yang menatap itu kembali mengusap peluh di pelipis Kianna, dia menuruni wajah wanita itu dan berbisik dengan suara yang berat. “Kita akan memulainya dari sini.” Tepat setelah mengatakan itu Brian langsung memposisikan dirinya pada inti Kianna, memperjuangkannya dengan perlahan sampai merasakan bahwa dirinya tertahan begitu mencoba masuk dan menyatukan diri. Brian mengernyit, namun tetap mendorong dengan kuat. Saat dirinya akan segera masuk, dia merasa bahwa dia baru saja menembus sesuatu yang membuat Kianna tiba-tiba memekik dengan raut wajah kesakitan. "Kau—“ Brian terkejut, tidak mampu melanjutkan kata-katanya setelah merasakan aliran kecil menentu pangkal pahanya. Dia nyaris kehilangan suaranya. Matanya menatap lurus pada mata emerald wanita itu. Kianna tidak menjawab, di antara rintihannya, dia hanya mengangguk ragu—ini menjadi hal yang memalukan, karena di umurnya yang kedua puluh enam tahun, dia bahkan belum pernah tidur dengan pria mana pun.  Salahkan ayahnya—yang memiliki keturunan Asia, yang berpesan pada Kianna serta saudara-saudanranya untuk menjaga hal itu hingga menikah. Meski akhirnya Kianna tidak mampu menjaga amanat itu, namun tidak dipungkiri dia cukup bangga dengan dirinya sendiri mengetahu bahwa dia sudah menjaga dirinya dengan baik selama ini. “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu kalau kau masih perawan.” Kata Brian menyesal, meski entah kenapa, Brian justru merasa begitu tersanjung mendengar kabar itu. Memulai percintaan straight nya dengan seorang perawan dan supermodel yang luar biasa menggairahkan, mengetahui dia adalah pria pertama dalam hidup wanita itu, serta sekarang mereka akan terjebak dalam sebuah hubungan. Tidak bisa di pungkiri, Brian Wright akan senang hati mengakui dirinya adalah seorang gay yang paling beruntung di dunia ini. Dia tersenyum menyeringai, berbisik pada Kianna dan kembali mengecupi bibirnya. "Tidak akan lama lagi," Kianna melengguh keras, hampir akan menangis saat Brian tiba-tiba menarik dirinya, menyatukan tubuh mereka dalam sentakan yang cukup kuat, lalu menahan dirinya di sanauntuk beradaptasi  "Kau tidak apa-apa?" bisiknya. Kianna meringis. "Apa aku bisa bergerak sekarang?" Kianna ragu-ragu mengangguk. Brian perlahan kembali bergerak. Memulai irama yang manis untuk penyatuan mereka. Begitu pelan dan mendalam, membuat Kianna nyaris gila dengan nafsu yang sudah menyelimuti isi kepalanya. Ruang temaram itu semakin panas. Kianna mengerang untuk yang kesekian kalinya, membuka mata dan memperhatikan hazel itu seakan mencari sesuatu di sana. Kianna sekali lagi mengutuk jantungnya yang berdebar begitu kuat. Dia membenci tubuhnya yang memberikan reaksi berlebihan saat Brian menatapnya dengan seringai kecil yang khas. Bibir itu kembali membungkamnya, membawanya menuju puncak dengan irama yang kontras dengan perpaduan desahan dan erangan mereka. Bibir itu melumatnya kasar, seolah tidak membiarkan Kianna bernapas barang sedikit pun. Lidah yang bertaut dan gigi yang bertemu membuat Kianna kembali meremang. "Ahh..." Lenguh Kianna, merasakan puncak itu datang, membuat tubuhnya serasa jatuh jauh menuju bumi yang paling dalam. Dia sontak membuka matanya, melihat mata hazel itu terdiam dan memandangnya sungguh-sungguh tanpa dapat diartikan. "A-ada apa?" Brian menjauh, otaknya semakin gila mendengar desisan Kianna padanya. Egonya berkata dengan sombong, wanita itu, dan apa pun yang akan dilakukan wanita itu, akan segera menjadi miliknya. Dia tahu ayahnya memasang penyadap di ruangan ini. Brian benci mengakuinya, tapi dia sungguh tidak ingin seseorang pun mendengar desahan wanita itu selain dirinya.  "Berhenti mendesah. Aku tidak mau suaramu didengar orang." Bisik Brian dengan nada tak suka. Kianna mendongak dan menatap Brian. Dia ingin sekali tertawa mendengar kalimat bodoh itu. Jelas-jelas tidak ada orang di sini? Batin Kianna, namun Brian tahu-tahu kembali menciumnya dengan penuh gairah. Brian mengunci tangan Kianna dalam genggaman yang ditariknya ke atas, lalu menyelusupkannya pada rambut hitam legam miliknya. Dia kembali bergerak cepat. Sebuah pelepasan di ujung mata segera ingin menjemput mereka dan membawa keduanya membumbung tinggi secara luar biasa melelahkan. "Arghh!" Kianna mengerang keras sekali lagi, menggigit bibir untuk menyamarkanya dan membiarkan cairan hangat itu meledak dalam perutnya. Keduanya terengah. Brian bertumpu, berbalik terlentang di samping Kianna dan  membiarkan wanita itu mulai kembali menormalkan napasnya yang tadi terasa begitu mencekik sembari mencerna hal gila yang baru saja terjadi. Brian tanpa sadar tersenyum. Kianna meliriknya, lalu ikut tersenyum. Dia tak habis pikir, bisa-bisanya terperangkap pada pesona Brian secepat ini? Mereka bahkan baru bertemu lima hari yang lalu dan mengenal secara personal, tadi malam. Tapi dengan pesona seperti itu, Kianna yakin dia sudah tak bisa mengalihkan tatapan sayunya dari mata hazel Brian. Dia sudah terjebak dalam fantasi liar yang telah dibuatnya, dan sekarang dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti dan keluar. Brian berbalik melihat Kianna. Entah mengapa Brian terlihat begitu menggairahkan dengan senyum dan keringat yang memenuhi pelipisnya. Rona matanya terlihat begitu bahagia. Dia menarik tangan Kianna dan mengecupnya. "Terima kasih." Sial. Kianna mulai membenci suara baritone yang selalu membuatnya merasa terperangkap itu. Dan terkutuklah Dewa Eros, mengenai kesepakatan yang dibicarakan Brian sebelumnya—meskipun Kiana sadar bahwa kesepakatan itu hanya akan berpotensi besar menghancurkan popularitasnya di mata penggemar, serta mungkin hatinya di masa yang akan datang, Kianna tidak merasa penting lagi untuk memperdulikan. Terjatuh dalam pesona seorang Brian Wright sudahcukup membuatnya kesulitan untuk bernapas, dia tidak mau mencoba peruntungan lagi dengan menolak pria itu setelah semua yang terjadi malam ini dan mengahabiskan waktu sulit dalam penyesalan yang tidak berarti.   •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD