02 : Hunt you down

2159 Words
  [Kianna PoV] Itu The Well-Tempered Clavier karya Johann Sebastian Bach. Salah satu komposisi paling menakjubkan yang membuatku jatuh cinta dengan piano dari semenjak sekolah menengah atas. Begitu lembut dan memabukan, membuatku harus kuat-kuat menahan degup jantungku yang terasa mengila. Aku berhasil menghentikannya saat mengingat bahwa aku masih berada dalam situasi yang sepenuhnya belum aku pahami.  Dia mau membuat kesepakatan denganku? Apa maksudnya itu? Hanya beberapa menit dan suara piano itu menghilang di keheningan malam. Aku masih berdiri di depan bangkuku, tetap memandangi pria itu dengan lekat. Perkataannya terngiang di dalam kepalaku—aku membenci sosoknya yang bisa lekat membekas dalam otakku dan juga dia yang selalu mengunciku dalam tatapannya seakan aku tak bisa lagi dari beranjak kehidupannya. "Apa kata mu?" kataku akhirnya. Dia lagi-lagi berhasil memengaruhi fungsi tubuhku. Dia kembali menatapku, berdiri dari bangku pianisnya, lalu menyembunyikan kedua telapak tangannya di saku celana dan melangkah mendekatiku. Langkahnya terhenti lima langkah di depanku, tetapi napasnya terdengar begitu kuat hingga ke tempatku. Matanya masih memandangku dalam. Dia lalu menarik bibirnya dan tersenyum padaku. Aku sedang memikirkan semua hal yang tidak masuk akal, yang bisa seorang Brian Wright lakukan. "Berkencanlah denganku, Miss Heavens.” Demi siapa pun penghuni surga! Aku sudah terlampau sering mendengar ajakan seperti itu. Namun hanya stau kali seumur hidupku perkataan itu membuat seluruh angin malam berhambur menyerang dan menusukku hingga tulang. Oh, Tuhan. Badanku terasa sulit digerakan dan napasku tiba-tiba tersenggal.Wajahku panas sekali, aku bertaruh demi apa pun, wajahku sekarang pasti seperti seorang gadis perawan yang dipaksa oleh orangtuanya untuk menikah dengan pria tua hidung belang tidak tahu diri beristri banyak! Dia kembali melangkah mendekatiku, menarik pinggangku, dan menggenggam telapak tanganku secara cepat. Aku tidak memberontak, tidak mungkin juga melakukannya. Aku sudah gila akibat pria yang lebih gila ini. Suara lembut orkestra yang mengalun membuatku terkejut. Apa sebenarnya yang mau dia lakukan sekarang? "Ayahku menginginkanku untuk mengenalkan kekasihku padanya. Kuharap kau mau berkerja sama denganku." bisiknya di telingaku. Aku lantas kehilangan suaraku. Jantungku berdetak semakin terguncang, seolah tubuhku baru saja terjatuh dari langit-langit dan tidak sampai dua detik berikutnya, sudah kembali terlempar ke inti bumi dengan sangat tidak terhormat dengan rasa kesal yang menyakitkan. Apa katanya? "J-jadi, kau ingin kita pura-pura berkencan agar ayahmu tidak tahu kalau kau sebenarnya tidak memiliki kekasih?" ugh, aku merasa kesal dengan perkataanku sendiri. Sialan, aku baru saja ingin berspekulasi bahwa dia telah begitu terpesona olehku dan sedang menjalankan rayuannya untuk mengajakku menjalani hubungan dengan kencan ini. Astaga! Ingatkan aku untuk tidak berspekulasi seperti itu lagi di hari yang akan datang. Dia diam dan aku masih mencoba mencerna apa yang dia katakan. Aku mundur darinya beberapa langkah, lalu memegangi kepalaku yang tiba-tiba berdenyut dengan salah satu tanganku. Oh, jangan sekarang darah tinggi sialan! Aku harus meluruskan semua ini dan  bukan pilihan bagus untuk tampak seperti wanita penyakitan di sini. Aku menarik napas."Dengar, kita tidak saling kenal. Apa kau gila? Bagaimana bisa kau memintaku membuat omong kosong seperti itu? Apa aku terlihat mau melakukannya?” Pria bungkam, seperti tidak ingin membenarkan atau membantah perkataanku. Aku mendengus kasar. Tuhan tahu bagaimana aku begitu menantikan reaksi yang harusnya dikeluarkan pria itu setelah mengatakan hal bodoh itu padaku—penyesalan. Namun, hingga beberapa waktu kemudian, dia tetap bergeming, tatapanya tetap tidak berubah. Entah apa yang sebenarnya sudah dia rencanakan kepadaku yang jelas aku tidak habis pikir dengannya, juga pada diriku sendiri yang sempat berpikiran gila.  Aku kembali menatapnya. "Aku seorang model, sir… supermodel. Aku benar-benar tidak ingin terikat pada siapa pun sekarang. Kesepakatanmu itu hanya akan menghancurkan hati para fans dan nilai jualku, kau tahu?"  "Maafkan aku, tapi aku tidak bisa menyetujui kesepakatanmu." Hazel itu menatapku datar, begitu sulit diterjemahkan. Kediamannya membuatku frustasi, aku ingin sekali tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dari kesepakatan bodoh yang dia katakan barusan. Aku ingin tahu kenapa harus aku yang dia inginkan bekerja sama, mengapa tidak wanita yang lain? Harusnya dia sudah tahu kalau seorang public figure akan berpikir dua kali untuk memulai suatu hubungan.  Tapi hingga beberapa saat kebungkamannya, dia tetap tidak membuka suara untuk menjelaskan maksudnya padaku. Aku lantas mendesis kesal, setelah menarik tas ku dari bangku, aku langsung menatapnya dengan sorot mata kecewa—atau lebih buruk dari itu Aku menghelah. "Terima kasih atas makan malamnya. Selamat tinggal."  Aku langsung berjalan tergesa menuju pintu, untuk keluar dari kegilaan ini sesegera mungkin. Namun, sebelum aku bisa mencapai pintu, dua orang bodyguard tiba-tiba menghalangi langkah ku dengan badan mereka. "Maaf Miss, Mr. Wright berpesan, Anda tidak boleh keluar dari tempat ini selain dengannya." Ucapnya sopan.Namun, entah mengapa, sikapnya itu justru membuatku kesal.Kepalaku berkedut, oh, aku benar-benar ingin memecahkan kepalaku dan ke luar dari semua ini. Kami sudah selesai, tidak ada hubungan dan bukan relasi. Kuharap semua orang di ruangan ini bisa mengerti keadaannya. "Maafkan aku, eum—Alexander. Boleh aku menitipkan pesan untuk tuanmu?" ucapku tenang menahan emosi setelah melihat name-tag di sudut kantong kiri kemeja salah satu bodyguard yang berdiri di hadapanku. Dia menjawabku ramah. "Silahkan, Miss." "Katakan padanya—we are fuckin’ done dan jangan menghalangi jalanku! Aku benar-benar lelah. s**t!” Tanpa pikir panjang, setelah mengatakannysa, aku langsungmenginjak kaki bodyguard itu dengan heelsku dan mendorongnya ke arah bodyguard satu lagi untuk menyingkir. Aku segera mendorong pintu dengan kasar dan berlari menuju mobilku, mengabaikan semua panggilan para bodyguard yang mencoba mengejar ku hingga lama kemudian, mobilku segera melaju kencang membelah New York city  yang malam itu tampak lengang. Rasanya, aku butuh beberapa gelas wiski sebelum bisa tidur malam ini. Aku benar-benar benci pada jantungku yang seolah kecewa atas sikap Brian tadi. •••   "Woooooo!” Aku berteriak di antara dentuman musik elektro yang memekakkan telinga. Semua orang bergerak di dalam kafe Salsa-Bar seolah tidak ada hari esok, malam ini. Aku tertawa lepas melihat beberapa pasangan mulai berciuman, karena terbawa suasana yang menggairakan di lantai dansa. Segelas wiski di tanganku juga ikut menggoda untuk melepaskan beban yang membuatku gila satu harian ini. Jessica mungkin akan membunuhku setelah tahu aku berada di sini lagi, dia sudah mengatakan padaku kalau besok ada penerbangan ke Atlanta. Sial, tapi siapa yang peduli? Panjang umur siapa pun yang membuat kenikmatan dunia malam seperti ini, aku harus menghabiskan waktu di sini sebelum aku benar-benar gila karena kejadian tadi. Aku tertawa, meminum wiskiku sekali tegak dan langsung merangkul sang DJ yang sedari tadi berada disampingku—Addinson Blackwell, priaku, ikut menarik minumannya dan bersulang dengan ku. "Apa yang kau lakukan di sini? Tumben." teriak Add bertanya. Suaranya hampir tidak terdengar, ditelan musik yang dirangkainya sendiri. Aku mengangkat bahu dan menyeringai padanya. "Aku merindukanmu." teriakku, menjawabnya. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya mendengar jawabanku. Tanpa pertanyaan lain, dia kembali pada pekerjaannya, larut pada berbagai tuas dan piringan hitam di turntable set-nya. Orang-orang di bar ini semakin bersemangat menikmati musik seiring dentumannya yang semakin keras. Aku juga ikut larut pada suasana malam itu dan kembali menuangkan wiski dalam gelas lalu menegaknya. Di luar kesadaraku, aku kembali mendekat pada Addison dan berteriak. "Add aku bilang, aku merindukanmu! Kau tak mau menciumku?!" Otakku kacau, aku sedang merindukan pria ini, dan dalam lima hari belakangan aku dilarang Jessica untuk menghubunginya.  Saat mengetahui pria ini sedang berada di bar ini, aku langsung menuju ke sini untuk menemuinya. Kami sudah tidak bertemu hampir satu bulan karena proyek photoshoot yang dijadwalkan Jessica untukku juga world tour-nya Add. Add sudah ku anggap sebagai sahabat, saudara laki-laki, bahkan pacarku sendiri sejak aku berusia dua belas tahun. Kami adalah tetangga yang juga teman satu sekolahan. Dia berada tiga tahun di atasku, setelah mengalami masa-masa buruk sewaktu sekolah maupun merintih karir, Add adalah satu-satunya tempat pelarianku setelah disakiti oleh semua orang. Dia pula orang pertama yang mendukung mimpiku menjadi model, juga orang pertama yang memberiku nasihat serta pelukan hangat jika ada hal buruk yang menimpahku. Pertemuan kami terjadi saat keluarganya pertama kali pindah ke dekat rumahku di Virginia. Dia sedang bermain sepeda saat melihatku sedang di rundung oleh beberapa orang karena ayahku yang baru meninggal akibat penyakit kusta saat itu. Langsung saja dia menolongku mengusir orang-orang itu, serta meneraktirku ice cream. Semenjak itu, kami menjadi sangat dekat. Aku pernah mengatakan bahwa aku menyukainya, tapi dia hanya menjawab bahwa dia tidak ingin mencintaiku lebih dari seorang adik karena dia begitu menyayangiku dan tak ingin aku terluka. Aku terharu sekaligus terluka mendengarnya, namun aku sadar bahwa Add dan aku memang tidak ditakdirkan untuk lebih dekat lebih dari sahabat. Maka mulai dari saat itu hingga sekarang kami selalu menjadi sahabat yang saling menyayangi dan melindungi—meski aku tetap saja sering menggodanya. "Kau sedang meminum alkohol, dan kau tahu aku membenci itu.” Jawabnya sarkastis yang membuatku tertawa lagi. Add paling tidak suka jika aku sudah meminum alkohol saat bersamanya, karena menurut Add, jika aku sudah mabuk dan di luar kendali, aku akan mengatakan serta melakukan hal-hal yang bodoh tanpa sadar. Seperti beberapa bulan lalu, setelah pesta penghargaan Add, aku hampir saja menghabiskan malam dengan manager Add di mobil. Jika bukan karena Add yang kebingungan karena aku tiba-tiba menghilang dari pesta, aku mungkin sudah berakhir dengan pria asal Canadia yang menjadi manager Add itu. Add mencari kami di basement dan menemukanku sedang melucuti baju Warren yang juga setengah sadar di dalam mobil. Dia menarik Warren dan sempat menghajarnya sebelum melihatku muntah dan membawaku ke kamar di apartemen nya. Aku ingat, besok setelah kejadian itu Add langsung memecat Warren dan mengatakan kalau dia menatap Warren lagi, hidup pria itu tidak akan tenang. Aku jelas saja terkejut dan merasakan kasihan pada pria itu. Tapi Addison tetap Addison, dia tetap tidak mau mempekerjakan pria itu kembali meski Jessica sudah mengatakan bahwa akulah yang menggoda pria itu terlebih dahulu. Dia berkata, dia tidak bisa bekerja dengan orang yang hampir melecehkan adiknya. "Sekali saja, aku benar-benar merindukanmu!" teriakku sambil menunjuk bibirku sendiri seakan siap menciumnya, tapi Add hanya menatapku jengah. "Hentikan Kianna.” Sesaat, aku lupa produser musik sekaligus DJ dengan yang jadwal tur dunia yang lebih padat dari jadwal photoshoot-ku ini tidak memiliki selera humor. Dia selalu menanggapi kejahilanku dengan dengusan kesal dan tatapan biasa seolah setiap aku bertemu dengannya, aku hanya akanmelakukan hal itu padanya. Ah, omongan ini tiba-tiba membuat kepalaku menjadi semakin berat saja. Apakah aku harus menghubungi Jessica untuk menjemputku di sini?  "Add, ada di mana kamar mandinya?" tanyaku pada Add, kembali berteriak. Dia menoleh. “Ada apa? Kau mau muntah?" Aku menggeleng."Tidak, mau cuci tangan." “Di bawah, ujung lorong kiri.” Tunjuk Add. “Kau mau aku minta seseorang untuk menemani?” “Tidak. Aku bisa sendiri.” •••   "Kau tahu, Brian Wright orang kaya raya itu sedang ada di sini loh. Si Jhon berkata kita harus berdandan secantik mungkin. Mungkin salah satu dari kita akan dibawanya ke apartemen atau rumahnya yang sangat luas dan mewah itu, lalu menghabiskan malam bersamanya." "Benarkah Selly? Astaga! Aku harus berdandan lebih cantik lagi kalau begitu. Eh, haruskah kita memasukkan obat ini ke dalam minumannya? Kata Belle ini akan membantu agar dia semakin cepat terangsang." "Idemu boleh juga, aha, aku minta satu dong. Jaga-jaga kalau dia memilihku." Aku ke luar dari bilik setelah suara wanita-wanita tadi tidak terdengar lagi. Aku baru saja selesai buang air kecil dan sedikit khawatir jika wanita-wanita tadi mengenaliku lalu menahanku di toilet. Aku pernah mengalami hal seperti itu karena ulah haters sebelumnya. Wanita-wanita yang membicarakan Brian Wright tadi terdengar begitu antusias. Sudah kubilang, dia bisa memilih wanita lain kan? Mengapa dia tiba-tiba memilihku yang bahkan belum genap satu minggu dia kenal? Aku merasa aneh dan sedikit penasaran dengan tawaran yang diberikannya padaku tadi. Brian Wright tidak tampak seperti pria ceroboh yang memutuskan apa pun secara praktis. Dia pasti punya penilaian dan pertimbangannya sendiri dalam setiap keputusannya. Dan untuk penawaran itu, aku bertanya-tanya—apa pertimbangan yang dia pikirkan? Lalu apa keputusan yang dia siapkan? Aku menatap cermin lama, mengembuskan napas dalam, lalu memperbaiki rambutku yang berantakan. Ada satu fakta baru yang baru kuyakini sekarang ini. Perkataan Jessicatentang gosip kalau Wright itu gay kurasa salah. Brian tidak tampak seperti seorang penyuka sesama jenis. Dia menatapku sama seperti para hetero lakukan. Tetapi mengapa sampai ada gosip seperti itu? Apa mungkin dia korban artikel yang dibuat haters juga? Aku mendesa pelan, menatap pantulan diriku dengan lekat. Sepertinya, sudah cukup bersenang-senangnya. Perkataan Jessica yang kuhubungi beberapa menit lalu benar, aku harus segera pulang agar dia tidak menjadikanku santapan makan siangnya jika besok pagi aku terlambat bangun dan melewatkan penerbangan kami karena mabuk di bar malam ini. Aku segera membereskan riasanku dan mengambil ponsel di tasku. Setelah mendapat pesan dari supir Jessica yang mengatakan bahwa dia sudah sampai, aku langsung mengirim pesan pada Add agar dia tidak kelabakan saat tidak menemukanku nanti. Me : Aku pulang dulu. Aku tidak mau membuat kacau dengan terbangun bersama mu di ranjang yang sama besok pagi. *lol. Bye Add.   •• Aku meninggalkan toilet setelah memasukan ponselku ke dalam tas. Tiba-tiba kakiku seperti punya kendali sendiri untuk membawaku melewati sisi barat bar, aku jarang sekali melewati sisi ini, karena biasanya hanya pria-pria berjas saja yang menguasai sisi ini. Add pernah berkata padaku bahwa sisi ini kekuasaan anggota khusus bar ini, hingga jarang sekali orang  yang bukan anggota langganan bar melewatinya. Mataku menangkap pria-pria berjas itu sudah ramai dikelilingi para jalang yang ingin melemparkan tubuh mereka. Aku mempercepat langkahku, tak ingin pria-pria itu menduga aku salah satu dari mangsa mereka karena aku sedang memakai dress yang terbuka. Lagipula bukan salahku jika aku berakhir di sini akibat Brian Wright yang tidak—tunggu! Langkahku lantas terhenti tepat beberapa langkah dari tempat pria-pria berjas itu begitu menemukan presensi pria yang baru saja aku pikirkan itu berada persis di tengah para pria berjas itu, selayaknya seorang bos. Hazel-nya menatapku lekat, seakan memang telah lama menunggu kehadiranku di sana. Semua orang di sekelilingnya ikut terdiam, langsung melihat ke arah pandangan bosnya itu dan sedikit terkejut menemukan ku berdiri kaku di hadapan mereka. Bulu kuduku meremang saat bibirnya menyeringai padaku. Dia meneguk minuman yang di genggamnya dengan gerakan pelan, lalu menatapku dengan tatapan yang membuat jantungku kembali bekerja di luar kendali. Tulang pipiku terasa terbakar. Aku segera membuang pandanganku darinya, mencoba mengabaikannya seolah sama sekali tidak melihatnya, lalu berusaha keras untuk melangkahmeninggalkan tempat itu secepatnya. Pikiranku berteriak, sadarkan dirimu Kianna! Aku berjalan cepat menuju parkiran, menemukan mobil, dan tergesa berusaha membuka pintu mobil. Aku baru saja ingin bernapas lega, saat sebuah tangan mencekal tanganku dan menghalangi gerakanku memasuki mobil. Ya Tuhan! Napasku berhenti seketika. Mataku membelalak.Seseorang yang ku hindari tiba-tiba sudah berada di depanku, menarik tanganku, lalu menyudutkanku pada sisi mobil. Hazelitu tidak berubah, tetap menatapku dalam, awas, dan penuh perhitungan. Aku pasti akan jatuh terduduk jika dia lebih lama lagi menatapku seperti itu. Aku berulang kali menyumpahi jantungku yang seketika berdetak berlebihan. Napas pria itu terdengar terlalu kuat, mengenai wajahku yang berjarak tidak lebih dari delapan senti darinya.Venomnya tercium kuat. Dia lagi-lagi menyeringai."Selamat malam, Miss Heavens." Aku hampir kehilangan kendaliku saat mendengar suaranya. Pikiranku begitu kacau, seiring laju detak jantungku yang semakin tak keruan. Aku berupaya sekuat tenaga untuk tidak terpengaruh olehnya. "A-apa yang kau inginkan?" dengan ucapanku yang terbata seperti itu, aku yakin dia akan semakin mendominasiku. Dia terkikih dan tubuhku tenggelam saat dia semakin mendekatkan wajahnya padaku lalu berbisik dengan suara baritonnya tepat di telingaku. "Kau.Aku.Malam ini.Di apartemen ku." Tolong, siapa saja selamatkan aku!   •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD