01 : Baby I’m preying on you tonight

2619 Words
[Kianna PoV] 2 jam 34 menit 15 detik—waktu yang terasa mencekik, hampir membuat napasku sesak dengan tubuh yang sekarat. Adonis—kata yang pertama kali terlintas di otakku saat menatapnya. Dadaku tidak bisa berhenti berdetak dengan gila dan aku nyaris kehilangan kendali diri. Pria itu berhasil membuatku mendenggelamkan diri dalam pesonanya yang sangat tak masuk akal, dan bahkan tidak bisa menyelamatkan diri. Dia lebih dari sekedar luar biasa. Tidak ada kalimat yang bisa ku katakan untuk menjelaskan bagaimana menakjubkannya dirinya, sama seperti gedung miliknya ini, dia tidak terdeskripsikan. Belum lagi fakta bahwa dia seorang seorang Penguasa, kaya raya, pemilik segalanya, dan—sialansedang berada tepat di hadapanku dengan wajah serius yang sangat menggairahkan. Tidak ada yang lebih buruk dari itu. Meja pembatas yang memberikan kami jarak besar bahkan tidak mempengaruhi dampak yang telah di perbuat pesonanya. Dia berhasil membuatku semakin kehilangan diriku,  kehilangan kemampuanku berbicara, serta sekarang kemampuanku mengendalikan jantungku. Semengerikan itu, Brian Wright memang semengerikan itu.  Ada begitu banyak pria yang ku kenal. Mereka juga menakjubkan, menggairahkan dan mungkin sama-sama berkuasa, namun hanya Brian Wright yang membuatku sejak tadi menebak-nebak, apa tepatnya yang di perbuat seorang Brian Wright hingga membuat hampir sebagian dari ruangan ini tidak melepaskan tatapan barang sedetikpun darinya. Kedua iris mata berwarna hazel yang indah. Rahang tegas yang menunjukan bahwa dia memiliki kekuasaan terbesar, bahkan dalam setiap detail kehidupannya. Bibir tipis, merah—seksi yang setiap kali terangkat akan menciptakan seringaian menakjubkan yang memang bisa membuat semua orang bertekuk lutut dihadapannya. Bahu tegap, tangan kokoh, tubuh tinggi besar—yang demi Tuhan, hanya Brian Wright saja yang mampu memadu-padankan semua itu menjadi kombinasi yang sempurna.  Terima kasih kepada tuhan. Namun tatapan yang dia berikan, selalu terlihat kelam. Membuatku penasaran kenapa tatapannya terlihat seolah-olahdia sedang memberikan batasan dirinya dengan orang lain, dan mengunci rapat-rapat alas dibalik hal itu. Aku penasaram dan benar-benat tidak habis pikir, kenapa semakin aku memikirkannya, semakin aku ingin tahu lebih jauh tentang pria ini? Ada apa dengannya, apa yang dia pikirkan, apa yang dia inginkan, apa yang sedang terjadi padanya, apa yang dia—sembunyikan. “Bagaimana menurutmu nona Kianna Heavens?” Aku tersentak lagi, kali ini seseorang yang sedang berbicara di depan proyektor yang memanggil namaku. Akuberdehem sesopan mungkin, berusaha untuk menutupi fakta bahwa aku kembali kedapatan tidak fokus—dan sedang menatap Brian Wright dengan tatapan lekat, seperti tidak akan ada waktu lagi untuk bertemu dengannya. Beberapa orang dan para model di sebelah Jessica menertawaiku dengan pelan, mereka berbisik memperolokkudengan suara yang cukup membuatku ingin segera bangkit dari kursi ini dan menampar mulut mereka satu-satu. Sial. Jessica yang juga menatapku mendengus dengan kesal, dia tahu apa yang sedang ku pikirkan, karena itu dia langsungmengancamku untuk tidak berpikir bodoh membalas orang-orang itu dalam ruangan ini dengan tatapannya. Yes, she’s always that mean. “Lanjutkan saja Wolcon.” Saat aku akhirnya mencoba mengalah—karena aku tidak di berikan pilihan oleh Jessica— dan akan menjawab orang di depan proyek itu, Brian Wright bergumam. Aku menoleh, semua orang di ruangan itu menoleh. Ekspresinya mendingin—tidak ada senyum ataupun seringaian di sana. Raut wajahnya keras dan semua orang yakin bahwa si penguasa itu sedang kesal. Dia menggerakan tangannya pada salah satu staff-nya di belakang, membisikinya beberapa hal lalu kembali menatap Wolcon—pria yang sejak tadi membicarakan inti pertemuan kami di ujung meja, di depan layar putih yang menampilkan beberapa penjelasan singkat inti pertemuan ini. Wolcon, nama pria setengah baya yang memanggilku tadi terdiam, seperti menunjukan ketidak setujuannya atas apa yang dilakukan Brian barusan. Tapi tidak sampai satu menit, dia sudah menunduk sekilas, mengucapkan maaf dari isyaratnya dan menyetujui perintah dari Brian tanpa mengatakan apa-apa, lalu kembali melanjutkan pembicaraannya yang sempat terintrupsi seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Semua orang ikut kembali mendengarkan penjelasan Wolcon yang selanjutnya..  Aku melirik Brian yang menatap ke arah proyektor dengan senyum kecil yang tidak bisa ku cegah. Perlakuannya hampir saja membuatku berteriak kegirangan. Dia membelaku, dia membelaku dihadapan semua orang, dia membelaku dari pria menyebalkan itu—astaga! Aku mengontrol detak jantungku yang tanpa terduga kembali bergetar dengan kuat. Aku melirik ke arahnya kembali. Raut wajahnya mengganggu ingatanku, baru saja menjadi bagian utama dalam kepalaku, mengambil alih seluruh perhatianku hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga jam pertemuan kami. Aku menggigit bibir pelan, jantungku hampir saja meledak mendengarkan suaranya yang tadi mengintrupsi.Demi Tuhan, aku masih belum bisa menerima serangan seperti tadi dari pria yang hari ini sudah membuat ku hampir kehilangan kewarasaan. Dia harusnya sadar, dia bisa membuat semua orang memiliki penyakit jantung hanya dengan mendengar suaranya. Aku berbalik, mengembalikan perhatianku pada Wolcon, menghindari kondisi jantungku yang semakin buruk. Namun tindakan itu justru membuatku mendapat serangan lainnya. “Terpesona?” Aku menoleh ke sebelahku dan tercekat, entah bagaimana bisa pria itu sudah tersenyum kecil dan dengan tenang duduk di sebelahku tanpa di ketahui semua orang yang bukan staff nya. Dia menatapku lekat Aku duduk di barisan terakhir di belakang semua orang.Namaku, Jessica dan Paul—orang dari agensiku sudah ada di sini, tepat dihadapan tempat duduk Brian, hanya perlu memutar, melewati bangku-bangku staff nya untuk sampai di tempat dudukku. Dia membuat tubuhku merinding—tidak dapat di gerakkan, dan untuk suatu alasan lain aku kembali tersadar, bahwa aura kelamnya mendominasiku. Membawaku jauh sekali dalam pikiran tidak masuk akal yang belum pernah aku alami. Ayo bangun Kianna! Aku mencoba menyadarkan diri kuat-kuat dari semua hal konyol itu, lalu sedetik kemudian membalik tatapanku pada pembicaraan Wolcon untuk menghindari pengaruhnya. Aku bernapas, mulai berpikir; apa yang sedang terjadi pada diriku sebenarnya? Bagaimana mungkin pria yang barusan memporak-porandakan isi kepalaku bisa berada di sebelahku dan malah terang-terangan menunjukan bahwa dia sedangmenginginkanku? "Jadi, Miss Heavens. Apa kau mau menerima tawaran dari perusahaan kami?" Aku terasarkan. Benar, satu-satunya alasan rasional mengapa dia terlihat begitu menginginkanku adalah untuk hubungan relasi kerja yang menguntungkan. Aku yakin dia sudah mendengar beberapa artikel baik tentangku beberapa bulan belakangan. Mendengarkan suara Wolcon yang bertanya dari ujung meja, semua orang lantas berbalik ke arahku—dan bisa ku pastikan kalau saat ini mereka sangat keheranan mendapati Brian Wright sudah duduk di sebelahku. Aku menggigit bibir bawahku lagi, entah ke mana perginya semua pengalamanku lima tahun ini. Aku merasa kembali seperti model yang baru di tawari bekerja tiga jam yang lalu. Jessica menatapku dengan alis yang berkerut, sama seperti semua orang. Tapi dia mengambil peran untuk segera menyenggol bahuku dan menyadarkanku. Aku reflek mengangguk, tersenyum kecil—sopan, membuat Paul mendesah langsung lega. “S-sure, saya merasa terhormat bisa menerimanya Mr. Wolcon.” Kataku dengan suara tercekat. Semua orang lantas tersenyum, memberikanku tepukan tangan formal atas terpilihnya aku—yang kata Jessica barusanmenjadi brand ambassador milik Wright Enterprise tahun ini. Aku tidak benar-benar tahu apa artinya itu, apakah berarti karirku akan berada di masa kejayaan yang lebih tinggi atau justru aku akan terjatuh dan tenggelam dalam pesona tidak masuk akal milik Brian Wright. Aku mendengus. Sialan, sebenarnya apa yang terjadi padaku hari ini? Sejauh ini pertemuan besar ini berjalan dengan baik, mereka sudah menyimpulkan bahwa akan ada dua puluh empat orang model yang akan menjadi pemeran utama commercial Wright Enterprise sepanjang tahun ini. Ada tiga orang brand ambassador—dua pria dan aku, lalu ada delapan agensi yang bekerja sama. Semuanya terlihat cukup puas dengan keputusan itu, tapi ada beberapa agensi yang menyayangkan tidak terpilihnya model mereka. Aku senang tentu saja, tapi Jessica lebih senang lagi. Dia bahkan mengabaikanku yang masih mencoba untuk mencari kesadaran. Sesuatu berbisik membantah perkataanku barusana, memangnya ada yang bisa mengabaikan Brian Wright? Dan aku setuju untuk membenarkannya, karena tanpa sadar aku baru saja berjalan menuju batas kesabaran ku.Senyum—seringaian yang diberikan Brian Wright telah mengambil alih seluruh tubuhku. Aku tidak bisa menolak untuk kembali berbalik padanya. Menemukan tatapan kelam dalam mata hazel itu membuatku mati-matian harus menahan diri untuk tidak melakukan hal diluar normal. Maksudku, sialan, kami baru bertemu dan bisa-bisanya aku sedang berfantasi menarik dirinya ke suatu ruangan remang—menggoda, mengabaikan semua orang dan mengajaknya handil dalam sesi panas percintaan. Ya Tuhan, apa aku sedang dalam pengaruh chocktail yang baru ku minum? Kenapa aku terlihat seperti w************n yang butuh kehangatan dari semua orang? Aku mendesis, bahkan tidak sadar tiba-tiba Brianmenarik kaki kursiku dengan sepatunya, mendekatkanku dalam gapaiannya. Tidak lagi menggoda, tapi dia benar-benar ingin menguasaiku. “Kianna Heavens.” Suara baritonenya menyentakku lebih dalam pada fantasi gila itu. Jantung sialan! “Aku ingin memiliki mu.” Demi Tuhan—aku melotot terkejut. Apa yang baru saja dia katakan?! Dia ingin memilikiku, Brian Wright, pria penuh kekuasaan itu mengatakan ingin ingin memilikiku? Oh, aku akan segera meminta Jessica membunuhku. Dia terburu-buru dan penuh d******i, aku belum memberikannya tanggapan dari kata-katanya, tapi seenak hati dia menggerakan tubuhnya mendekat. Nyaris seperti akan membungkan bibirku dengan mengabaikan kenyataan bahwa semua orang bisa saja berbalik dan melihat kesalahpahaman ini. “Kau—” Aku terperanjat mendapati tanganya menggapai pahaku yang tidak tertutupi gaun, mengelus kedalam dengan sangat pelan. Napasnya memberat, frustasi dan dia benar-benar membutuhkan pertolongan. Sial sial. Jelas bukan hanya diriku yang membutuhkan dalam situasi ini. Ayolah Kianna! Tidak lucu terpengaruh pada pria yang yang baru kau temui seperti ini!, batinku membentak. Tapi sebagian diriku tentu saja memberontak, mereka mengataiku untuk segera tersadar bahwa situasi yang terjadi ini salah—rendahan dan memang pria bermata hazel segelap lautan itu menggoda, tapi itu tidak cukup kuat untuk membuatku begitu saja melemparkan diri. "Sorry sir." Kataku berusaha untuk tenang, menutupi kegugupan ku. Aku segera menyingkirkan tangannya dari pahaku.Dia menatapku sama kelamnya saat aku mengalihkan tatapan pada Wolcon. Terluka, aku tidak setuju dengan presepsiku sendiri. “Anda tidak pantas melakukan ini.”Suaraku menantangnya. Tapi pria itu tidak terprediksi, wajahnya mengeras, namun sebelum menanggapiku, semua orang tiba-tiba bangkit dan mulai berjabat tangan. Pertemuan telah selesai. Dia bangkit dari duduknya, memberiku jabatan tangan. "Miss Heavens, senang bekerja sama denganmu.”  Aku mengernyit, di mana tatapan tidak suka tadi? “Terima kasih Mr. Wright?” kataku tidak yakin setelah menjabat tangannya dan tatapannya kembali berubah. Apa aku baru saja melihat maksud tertentu dalam tatapan itu?  Dia tersenyum. “ Seminggu lagi kita akan bertemu, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Aku meneguk ludahku susah payah, setelah menarik tanganku, aku cepat-cepat menarik Jessica yang sedang berbincang dengan Paul. Membawanya pergi meninggalkan ruangan rapat itu tanpa repot-repot memikirkan kesopanan pada orang lain.  Aku berusaha menenangkan jantungku yang berdegup kencang. Melihat seringai penuh kekuasaan milik Brian Wright untuk terakhir kali, aku tidak bisa memastikan apakah napasku masih cukup untuk umurku beberapa tahun ke depan atau tidak. Sial, Adonis itu berbahaya. ••• "Brian Wright, anak tunggal dari Abraham Wright, orang terkaya di dunia selain Bill Gates. Properti, entertainment, food-place, hotel, resort, oil station, mall bahkan beberapa bandara di Amerika, Inggris, Prancis, dan beberapa negara lainnya termasuk dalam daftar kekayaan mereka. Gosipnya mereka memiliki keturunan tidak langsung juga dengan John D. Rockefeller. Kau tau, Ann? Itu berarti mereka orang yang sangat-amat kaya raya! Tidak ada orang waras manapun yang tidak bertekuk lutut padanya.” "Dia sudah tiga tahun berturut-turut masuk dalam jajaran pria lajang yang paling di inginkan di bumi abad ini, dan selalu saja mendapat posisi pertama. Bayangkan saja, dia tampan, memiliki tubuh yang menggoda, mata yang indah, kaya raya, financial yang stabil—tapi diumurnya yang sudah kepala tiga dia belum juga terlihat berkencan dengan wanita. Aku jadi ingat pernah mendengar kabar yang mengatakan bahwa Brian mengidap kelainan seks—Gay. Tapi sampai saat ini, Brian Wright belum pernah membantahnya. Aku tahu dia sibuk dengan hartanya yang tidak akan habis bahkan hingga sepuluh generasi itu, tapi harusnya dia mengencani seseorang, paling tidak untuk menjaga reputasinya.” Malam tenang di tengah kepadatan jadwalku yang membuat gila, bersama perkataan Jessica via sambungan telpon beberapa menit lalu menjadi tema perusak mood ku hari ini. Sudah lima hari berlalu dari pertemuan sialan itu, dan aku masih belum mendapatkan kehidupan tenang normalku seperti sedia kala.  Jessica sebagian penyebabnya, setiap detik dia selalu saja membicarakan Brian. Kekayaan Brian, ketampanan Brian, badan seksi Brian, mata indah Brian, tatapan dalam Brian,serta suara baritone Brian—sialan, aku hampir saja gila setiap hari mendengarkannya. Jantungku bergetar! Itu masalahnya, dia membuatku tidak waras hanya karena aku tidak bisa melepaskan setiap inci keberadaannya dalam kepalaku. Dia mengambil alihkepalaku dan aku benar-benar frustasi, kesal, dan tidak tahu lagi jenis perasaan apa yang aku rasakan setiap kali mendengar namanya disebut atau setiap kali Jessica memujinya. Menyebalkan! Dan meskipun aku membenci hal itu, aku tetap tidak bisa membantahnya. Jessica memang benar akan semua hal yang di katakannya tentang Brian. Hazel yang merupakan harta karun terbaik yang pernah terciptakan di dunia, pengaruhnya yang tidak terelakan dan—demi Tuhan, suaranya... aku merasa bahwa suara itu adalah suara yang telah diciptakan untuk terus-menerus berdengung di setiap pendengaran semua orang. Astaga aku mulai gila lagi! Anggur putih selalu menyambutku dengan sangat baik ketika aku mulai terasa tidak waras. Merasakan bagaimana Sauvignon Blanc mengalir dan membasahi kerongkonganku dengan lembut, aku merasa untuk beberapa saat menjadi tenang. Memikirkan pria dengan jutaan pujian itu membuatku selalu tidak bisa berkonsentrasi. Masih terekam jelas dalam ingatanku bagaimana dia mempermaikanku hari itu, memanfaatkan dominasinya untuk membuatku seperti bertekuk lutut dihadapannya meski setelah dia melakukan pelecehan terhadapku, itu tidak lagi terasa penting. Apa yang membuatku begitu terjatuh? Tatapannya?Wajahnya? Kekayaannya? Suara seksinya? Atau pengaruhnya? Aku benar-benar belum pernah terjebak seperti ini. Dia berhasil membuat berpuluh-puluh pria yang ku kenal hilang begitu saja dalam kepalaku, dan membuatku sungguh-sungguh membenci perasaan itu. Lalu apa yang harus aku lakukan dengan perkataan Jessica sebelumnya? Bagaimana jika rumor yang mengatakan bahwa dia adalah seorang Gay itu benar? Batinku langsung berteriak, yang benar saja, lelucon apa itu? Brian Wright jelas-jelas bisa memuat semua wanita tergila-gila padanya. Tidak ada alasan yang membuatnya memilih menjadi Gay sedangkan semua wanita bisa dia dapatkan dalam satu kali seringaian. Dia bahkan bisa membuat bualan bodoh di hadapan semua orang tentang ingin memiliki ku. Ya Tuhan! ~You can't tell lie lie lie~ Baru beberapa detik setelah menikmati wine ku yang kedua, suara ponsel mengintrupsiku. Aku mendengus, sial, jika kali ini Jessica yang ingin bercerita tentang Brian lagi, aku bersumpah akan mencekiknya besok. "Apa—" "Kianna Heavens." Aku terdiam, jantungku kembali nyaris terhenti. "Ya?” Aku tidak yakin dengan suara yang kuucapkan, aku mencoba sebisa mungkin agar tidak tedengar gugup.  “Senang bisa mendengar suara mu.” Aku bisa merasakannya sedang tersenyum di balik sambungan telpon ini. Pikiranku tidak terkontrol, begitu banyak hal yang membuatku cukup terkejut mendapati dia menelponku di malam seperti ini. Dari mana dia mendapatkan nomorku, dari mana dia tahu aku sedang lenggang, dari mana dia—tunggu tunggu! “Apa yang kau inginkan?” aku bertanya langsung, masih menekan suara jantungku yang terlalu cepat. "Tidak ada, hanya mencoba nomor yang diberikan asistenku." Ucapnya tenang dan datar. Aku menghela, benar dugaanku. Dia pasti meminta seseorang untuk mencari informasi pribadiku sebelumnya. "Kalau begitu selamat, kau sudah mencobanya dan berhasil. Selesai kan? Selamat tinggal." Sentakku cepat. Aku benci tubuhku yang mulai gugup mendengar suara beratnya. " Aku ingin berbicara padamu." Katanya, kali ini dengan nada memerintah. Aku terteguh, dia baru saja terang-teranganmenunjukan sikap alaminya. Tapi aku menentangnya, meski aku masih belum mampu mengendalikan jantungku, namun dia tidak bisa seenak hati membuatku mematuhinya. Kami berdua, masih orang asing. "Ku rasa kau tidak cukup berkuasa untuk mengancamku Wright." Suara tawa kecil di balik ponsel terdengar, aku menerka-nerka bagaimana Brian Wright dalam tawa itu? "L’Artusi, jam sepuluh. Sampai jumpa Kianna."   •••   "Apa yang kau mau?"Aku menyembunyikan kegugupanku dengan berdengus. Demi Tuhan, mengapa Adonis ini bisa berjuta kali lebih tampan setiap kali aku melihatnya? Terakhir kali aku mengingatnya adalah di lima hari yang lalu, dalam pertemuan dan mengenakan balutan pakaian formal pekerja kantoran yang menunjukan seberapa besar kekuasaannya. Namun pada malam ini, dia membuatku tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk mengumpat keras. Dia menggunakan kemeja cream yang manis dan tampak begitu sempurna pada tubuhnya yang terbalut celana kain berwarna coklat kelabu. Rambut coklatnya yang tidak tertata rapi, memberikanku sebuah gambaran mempesona lain dari dirinya. Dua kancing teratas kemejanya, terlepas, kain-kain yang menutup lengannya digulung hingga ke siku, dan dia telah menggejutkanku dengan kesan bebas yang begitu menggoda saat ini. Tapi dia hanya menatapku. Setelah memesan, dia hanya menatapku tanpa melakukan apa-apaseolah sedang ingin mencari tahu semua hal yang sedang aku coba sembunyikan. Aku menggigit bibir, gugup. Setidaknya beri tahu apa alasanmu mengundangku kemari! Para pelayan selanjutnya datang membawa pesanan kami. Suasana canggung yang seakan-akan dia bisa saja memangsaku itu seketika hancur. Seorang chef di belakang rombongan itu, menunduk pada Brian, memberikan hormat dan kemudian tersenyum ramah. "Brian, lama tidak berjumpa!"Katanya. Aku terkejut melihat Brian yang baru saja merubah raut wajahnya. Dia terang-terangan tersenyum ramah pada chef itu. "Senang bertemu denganmu Patrick." Brian berdiri, menyambut chef itu dengan  pelukan. "Sudah lama kau tidak datang ke sini—Oh! Coba lihat ini? Kau bersama wanita? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu bersama wanita." Patrick terkejut melihatku. "Kau berlebihan Patrick.” Brian memberiku senyuman kecil, sebuah isyarat. Aku bangkit dari dudukku, tersenyum sesopan yang aku mampu dan menjabat tangan Patrick—chef kami malam ini dengan ramah. “Kianna Heavens, senang bertemu denganmu.” Kataku. Patrick tersenyum, dia mengangguk. "Patrick Scott—panggil saja Patrick miss Heavens, Brian pasti beruntung sekali mendapatkan supermodel seperti anda. Ngomong-ngomong saya salah satu penggemar anda.” Aku tersenyum sopan lagi, kembali duduk di bangkuku, membiarkan mereka melanjutkan dengan beberapa obrolan ringan. Aku tidak menyangka akan ada orang yang mendapat perlakuan ramah dari pria itu. Sejauh ini, yang aku pikir, Brian itu tipe yang semena-mena pada semua orang. "Ku harap kalian menikmati sajianku, selamat menikmati.” Lalu sekitar dua menit kemudian Patrick izin untuk pergi, meninggalkan kami berdua dengan suasana canggung yang rupanya masih ada. Brian mempersilahkan aku menikmati makananku lebih dulu, tapi dia jelas tahu mengapa aku menolak melakukan hal itu. Aku ingin tahu apa tujuannya memintaku datang ke sini.Jika  dia ingin mengundangku dalam kencan, aku akan menolak untuk mengakui keadaan ini disebut seperti itu. Tidak kencan dengan penjagaan penuh oleh bodyguard yang hampir mengelilingi restaurant kosong yang hanya berisi kami berdua di dalamnya. Aku menghembuskan napas. "Biar aku ulangi, apa yang kau mau?" Dia tidak memperdulikan omonganku, malah dia tetapmelanjutkan makananya seolah aku tidak berkata apa-apapunpadanya. "Dengar Wright. Aku tidak mengenalmu—kita bahkan tidak benar-benar mengenal okay? Aku hanya ingin meluruskan ini semua. Apa yang membuatmu memintaku datang ke sini? Jelas bukan hanya sekedar undangan makan malam kan?” aku mengernyit, entah bagaimana suarakuterdengar naik dan membentak. Namun dia hanya meliriku, kembali meminum winemerahnya dengan tenang tanpa merasa perlu menjawab perkataanku. Pria itu kemudian tiba-tiba berdiri, berjalan mendekati mendekati grand piano berwarna putih gading di salah satu sisi ruangan. Dia mulai memainkan jarinya di sembarang tuts, membuat perpaduan nada yang aneh, lalu duduk di bangku pianis. Wajahnya yang terkesan begitu tertarik padaku, terlihat melalui penutup piano yang tersanggah. Bibirnya tertarik—seringaian itu muncul lagi. Dia sedang mengintimidasiku. "Aku ingin buat kesepakatan." Katanya, sebuah komposisi lalu mulai dimainkan   •••    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD