1 | di lokasi shooting

2247 Words
"Cut!" Cue yang diteriakkan oleh sutradara itu menjadi tanda kalau prosesi shooting dari sebuah scene yang sebelumnya diambil telah selesai. Dan kali ini, selesai dengan hasil memuaskan, alias tidak perlu ada pengulangan lagi bagi artis yang berperan dalam scene tersebut. Sutradara sudah merasa puas dengan adegan yang menampilkan chemistry kuat antara kedua pemeran utama. Mereka yang diharuskan berakting berpelukan dan tersenyum satu sama lain selayaknya pasangan yang sedang jatuh cinta, berhasil menunjukkannya dengan sempurna. They look like they're really in love. Akting mereka patut mendapatkan sebuah pujian. Artis yang ada di balik akting dengan chemistry yang kuat itu adalah Harlan Erlangga dan Valerie Nathania. Tidak ada orang yang tidak tahu dengan Harlan, sebab namanya yang sedang naik daun sebagai aktor yang sering membintangi banyak film maupun series, terutama yang bergenre rom-com. Harlan pun memiliki banyak barisan penggemar, mulai dari kalangan remaja hingga kalangan ibu-ibu, membuat semua film atau series yang dibintangi oleh Harlan selalu laku keras. Sedangkan Valerie, dibandingkan dengan Harlan, ia masih bisa dibilang junior. Baik itu secara perjalanan karir, maupun secara usianya yang memang jauh lebih muda daripada Harlan. Meski begitu, kemampuan akting Valerie sangatlah bagus dan ia bisa mengimbangi Harlan. Sehingga series yang sedang mereka garap sekarang berhasil mendapat banyak perhatian karena chemistry yang mereka tunjukkan di depan kamera. Teriakan "cut" dari sutradara tadi, selain menjadi tanda jika prosesi shooting mereka hari ini telah selesai, juga menjadi tanda bagi Harlan dan Valerie yang semula berpelukan untuk saling menarik diri. Keduanya tersenyum antara satu sama lain. Sama-sama merasa sedikit canggung karena adegan romantis sebelumnya untuk alasan yang bisa dibilang berbeda. Harlan berdeham guna menghilangkan kecanggungannya. Lantas, ia memberikan sebuah usapan lembut pada puncak kepala Valerie. "Good job today, Val." Valerie tersenyum, sedikit tersipu. Kepalanya terangguk. "You too, Kak." Mereka pun berjalan menjauhi set karena shooting untuk hari ini sudah selesai. Keduanya berjalan mendekati sutradara yang sudah menunggunya untuk melakukan review terhadap adegan yang diambil tadi. Septa, sutradara dari series mereka ini tersenyum puas melihat hasil rekaman pada monitor yang ada di depannya. "Yak seperti biasa, you guys did it very well," komentar laki-laki yang baru berusia tiga puluhan itu. "It's a wrap for today ya guys...see you tomorrow!" Septa mengajak Harlan dan Valerie untuk melakukan fist bump secara bergantian. "Thanks, Bang." Harlan dan Valerie mengatakan itu secara bersamaan. "Yoi." Septa mengangguk. Kemudian ia beralih menatap Harlan. "Oh ya, Lan, jangan lupa besok lo take dari pagi yak, scene lo buat besok banyak soalnya. Jangan telat." Harlan mengacungkan dua ibu jarinya pada Septa. "Siap." Usai berpamitan dengan Septa dan beberapa kru lain yang ada di set, Harlan dan Valerie kembali berjalan bersama menuju ruang ganti mereka masing-masing untuk bersiap pulang. Kebetulan, hari ini shooting mereka hanya sampai sore saja. Bahkan mereka sudah bisa pulang di saat matahari masih belum terbenam. Sesuatu yang sebenarnya sangat langka, mengingat biasanya mereka baru selesai menjelang tengah malam. Tetapi dikarenakan mereka hanya perlu shooting beberapa episode lagi sebelum series-nya mencapai ending, jadwal mereka jadi tidak terlalu padat. "Langsung pulang, Val?" Iseng, Harlan bertanya begitu pada Valerie. Perempuan berambut bergelombang itu menggelengkan kepala. "Mau pergi dulu sih, Kak. Mumpung kelar shooting-nya masih sore ini." "Ohhh. Mau kemana emang? Nge-mall?" "Enggak sih, mau ke kafe. Ngumpul sama rombongan study group aku." "Mau belajar?" "Ya iya dong, Kak Harlan. Kan kubilang mau ngumpul sama rombongan study group, berarti mau belajar bareng. Kalau aku bilangnya mau ngumpul sama rombongan cheerleaders, baru deh namanya mau latihan cheerleaders." "Emangnya beneran belajar gitu?" Valerie tertawa hingga kedua matanya sedikit menyipit. Manis sekali. Harlan jadi sampai sedikit salah fokus karena tawa Valerie yang terlihat dan terdengar menyenangkan. "Kok nggak percaya gitu sih, Kak? Emangnya muka aku tuh bukan muka orang rajin belajar ya?" "Nggak gitu." Harlan ikut tertawa kecil. "Tapi jaman aku dulu, belajar bareng tuh cuma omdo aja. Kalau udah ngumpul, bukannya belajar, tapi malah main." "Aku juga sering gitu sih, Kak. Tapi nanti emang beneran mau belajar kok, soalnya minggu depan udah mulai UTS." Harlan manggut-manggut. "Semangat ya, Val. Yakin deh pasti kamu bisa peringkat satu lagi." "Aku nggak yakin sih sebenernya...but thank you, Kak!" Ah, lagi-lagi Harlan dibuat hampir gagal fokus karena manisnya Valerie ketika menyipitkan mata karena tersenyum. Ia bahkan sampai harus mengalihkan pandangannya dan mengingatkan diri sendiri untuk tidak memikirkan Valerie dengan cara yang seperti itu. Beruntungnya, mereka sudah sampai di depan ruang ganti masing-masing. "Duluan ya, Kak." Valerie berpamitan sebelum masuk ke ruang gantinya. Yang dibalas Harlan dengan sebuah anggukan dan sebuah senyuman yang menunjukkan lesung pipinya. Harlan masih berdiri di tempatnya hingga Valerie sudah sepenuhnya masuk ke dalam ruang ganti dan menutup pintunya rapat-rapat. Selepas perempuan itu benar-benar hilang dari pandangan, Harlan menghembuskan napas dan menepuk-nepuk dadanya. "Makin gila lo, Harlan," gumamnya yang mengutuk diri sendiri karena bisa-bisanya jantungnya berdetak kencang saat adegan berpelukan dengan Valerie tadi. Dan bisa-bisanya pula, Harlan berkali-kali dibuat terpesona oleh sosok Valerie Nathania yang entah kenapa semakin hari kian menarik hati. Harlan butuh seseorang untuk menggetok kepalanya, untuk mengingatkan kalau tidak seharusnya ia memiliki perasaan semacam ini kepada Valerie yang masih anak SMA, dan ada jarak usia lebih dari sepuluh tahun di antara mereka. *** "Lo naksir Valerie ye, Lan?" Harlan yang baru saja minum langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Eno, yang tak lain dan tak bukan adalah manajernya selama lima tahun belakangan. Bukannya prihatin atau membantu Harlan yang batuk-batuk akibat tersedak, Eno justru menambahkan dengan nada meledek, "Ouch. Kalau kager, berarti suka beneran." Begitu katanya. "p*****l lo, Lan." Harlan melotot pada Eno usai batuknya reda. Wajahnya yang putih jadi memerah sekarang. Eno sendiri tidak bisa memastikan, merahnya wajah Harlan itu akibat tersedak atau...akibat tertangkap basah karena tebakan Eno tadi benar. "g****k ya, lo?!" Kesal Harlan. "Lah, kok ngamok?" "Ya...abisnya, gila aja kalau gue naksir Valerie. Ngaco lo." "Nggak usah denial." Eno menyeringai. "Gue udah kenal lo dari kapan hari ye anjir. Tau lah gue gimana gerak-gerik lo kalau udah naksir cewek. Udah gue perhatiin nih, manis banget lo kalau lagi sama Valerie." "Gue emang selalu manis kalau sama cewek," balas Harlan ogah-ogahan. "Tau sih kalau lo emang titisan buaya rawa, tapi beda aja gitu. Lo kan juga udah ngejomblo lama banget, which is very unexpected. Ya walaupun nggak jarang lo nyari one night stand untuk menuntaskan birahi lo yang setidaknya datang sebulan sekali, tapi lo udah lama nggak naksir atau pdkt-in cewek. Nah, ke Valerie nih...beda, Lan." Rasanya Harlan ingin melempar Eno dengan sepatunya. Kalau ada penghargaan manajer terkurang ajar, Eno pasti bisa jadi pemenangnya. Sudah muncul tiba-tiba di ruang ganti Harlan, mengagetkannya sampai tersedak dengan sebuah pertanyaan di luar dugaan, belum lagi mengutuk dan meledek Harlan dengan aibnya. Kalau saja sebelum Eno jadi manajer Harlan mereka belum berteman akrab, Harlan pasti sudah lama mengganti posisi laki-laki bermulut tanpa rem itu sebagai manajernya. Sebab Harlan paling merasa malas jika merasa tertangkap basah oleh Eno seperti ini. Dan entah karena mereka seusia atau karena mereka sudah lama saling mengenal, Eno selalu saja tahu apa yang terjadi pada Harlan. Terkadang, hal itu sedikit menjengkelkan. Untuk yang dikatakan oleh Eno panjang lebar tadi, Harlan memilih diam. Ia melanjutkan membereskan barang-barangnya yang sempat tertunda dan bersiap untuk pulang ke rumah. Tapi, tentu saja Eno tidak akan berhenti begitu saja merecoki Harlan. "Emang bener nih tebakan gue." Harlan mendelik pada Eno. "Apaan lagi sih, anjir? Kagak jelas lo." "Lo naksir Valerie." "Ngaco." "Kuping lo merah, berarti iya." Harlan refleks memegangi salah satu telinganya dan begitu ia melihat pantulan dirinya di cermin, memang benar jika sekarang kedua telinganya memerah. Umpatan pelan keluar dari bibir Harlan. Satu hal yang sangat tidak ia suka dari dirinya, jika sedang malu, salah tingkah, atau tertangkap basah, telinganya pasti akan memerah seperti ini. Eno tersenyum puas, senang karena semakin yakin jika tebakannya benar. "Valerie cantik sih, Lan, gue tau. Cantik banget malah. Tapi dia masih kelas tiga SMA woy! Masa lo mau mepet anak di bawah umur sih? At least tunggu sampai dia lulus lah berapa bulan lagi, biar lo nggak dicap p*****l sama netizen." Harlan menoleh pada Eno, mengacungkan jari tengahnya pada laki-laki yang parasnya lebih cocok jadi artis ketimbang jadi manajer itu. "Bacot." Hanya satu kata itu yang disebutkan oleh Harlan sebelum dirinya membawa barang-barangnya dan pergi dari ruang ganti, meninggalkan Eno yang tertawa di belakangnya. Jujur saja, Harlan sedikit jengkel karena topik pembicaraannya dengan Eno tadi. Bukannya mau mengakui kalau tebakan Eno benar, karena selama ini saja Harlan selalu denial terhadap perasaannya yang muncul pada Valerie. Hanya saja, ia dibuat merasa tertampar akibat Eno yang memperjelas perbedaan besar antara Harlan dan Valerie. Perbedaan yang pada akhirnya membuat sosok Harlan Jagat Erlangga, si lelaki berwajah bak pangeran dan dapat menaklukkan hati wanita manapun, jadi denial dengan perasaan sendiri. Padahal, selama ini Harlan selalu maju untuk mendekati perempuan yang menarik perhatiannya. Hanya Valerie lah yang jadi pengecualian, sebab Valerie berbeda dibandingkan deretan perempuan yang pernah didekati atau dipacari oleh Harlan. Karena kesal dan jengkel pada Eno, Harlan pun memilih berjalan duluan menuju mobil, yah walaupun pada akhirnya ia akan tetap semobil juga dengan Eno sih. Ketika melewati ruang ganti Valerie, Harlan sempat melirik. Tapi sepertinya Valerie sudah pulang duluan sehingga Harlan tidak bisa berbasa-basi untuk sekedar menawari Valerie pulang bersama. Harlan pun melanjutkan jalan menuju mobilnya yang ada di tempat parkir lokasi shooting. Berhubung hari ini lokasi terakhir shooting adalah rumah yang biasanya memang digunakan, jadilah tempat parkirnya ada di halaman depan rumah yang cukup besar ini. Untuk menuju halaman depan tempat mobilnya terparkir, Harlan harus melewati taman yang ada disana. Taman itu juga sering digunakan sebagai lokasi shooting dalam beberapa scene pada series yang dibintanginya ini. Dahi Harlan spontan berkerut begitu melihat ternyata masih ada yang shooting di taman. Padahal, hari ini shooting sudah selesai, termasuk untuk scene pemain lain. Karena penasaran, Harlan pun mendekati kru yang sedang sibuk mengatur camcorder serta lighting untuk set tersebut. "Siapa yang take, Bang? Bukannya hari ini kita udah selesai?" Tanya Harlan pada salah satu kru yang berdiri paling dekat dengannya. "Oh, ini bukan lagi shoot buat series, Mas Harlan. Kita lagi shoot buat video klip." "Video klip apaan?" "Video klip buat lagu soundtrack utama yang muncul di series nanti. Sebentar lagi lagunya kan rilis." "Ah, gitu." Harlan mengangguk mengerti. Bukan hal yang baru lagi sih jika penyanyi yang mengisi soundtrack film atau series membuat video klip lagi tersebut di tempat yang sama dengan lokasi film arau series itu diambil. Bahkan, Harlan juga tidak akan heran jika nanti dirinya dan Valerie selaku pemeran utama juga diminta untuk hadir dalam video klip itu. Hanya saja, Harlan baru tau jika proses pembuatan video klipnya dimulai hari ini. Dan ia juga belum tahu siapa penyanyi yang akan mengisi soundtrack utama dalam series yang dibintanginya bersama Valerie. Harlan pun jadi kepo ingin tahu siapa penyanyi yang belum juga memasuki set. Maunya sih menunggu hingga penyanyi itu muncul, namun Harlan tidak mau membuang waktu dan ingin cepat sampai di rumah untuk beristirahat serta bertemu dengan Apollo, kucing peliharaannya. Toh, nantinya juga Harlan akan tahu ketika lagunya sudah dirilis. Ketika Harlan membalikkan tubuh untuk melanjutkan langkah menuju mobilnya, ia dibuat terkejut dengan kehadiran seseorang yang langsung Harlan yakini sebagai 'si penyanyi' yang baru keluar dari mobil dan sudah berpenampilan rapi selayaknya orang yang sudah siap shooting. Selain tahu dari penampilannya, Harlan juga tahu kalau orang itu—tepatnya perempuan itu—penyanyinya karena perempuan berambut pirang tersebut adalah Gemani Artanya Danakitri, atau singkatnya Gema. Si penyanyi pendatang baru yang belakangan ini namanya sedang naik daun karena lagu-lagu karyanya yang bagus dan langsung menjadi galau anthem orang Indonesia. Dan...Harlan mengenal perempuan itu lebih dari sekedar si penyanyi pendatang baru yang sedang terkenal. Yah, walau sekarang mereka lebih tepat dibilang orang asing sih, karena sudah sekian tahun lamanya tidak bertemu. Bisa dibilang, ini adalah kali pertama Harlan melihat Gema secara langsung lagi, setelah bertahun-tahun berlalu. Dan rasanya Harlan ingin tertawa karena mereka justru dipertemukan dengan cara seperti ini. Dibanding dengan kali terakhir mereka bertemu yang sudah belasan tahun lalu, Gema jelas sudah banyak berubah. Tubuhnya sudah jauh lebih tinggi, giginya sudah tidak lagi ompong, dan rambutnya yang semula hitam kini telah dicat dengan warna terang. Harlan tidak tahu bagaimana mendeskripsikan warna rambutnya, entah itu blonde, atau rose gold, dia tidak benar-benar tahu. Yang pasti, mau berubah seperti apapun, perempuan itu tetap lah Gemani Artanya Danakitri yang sama dengan yang dikenalnya dulu. Harlan diam di tempatnya berdiri, tatapannya tertuju lurus pada Gema yang kini berjalan mendekati set. Ia sengaja menunggu hingga Gema menyadari keberadaannya. Dan ketika pada akhirnya tatapan mereka bertemu, sudut bibir Harlan tertarik membentuk sebuah seringai menyebalkan. Gema yang semula tersenyum ramah menyapa para kru, langsung kehilangan senyumnya dan memasang raut wajah tidak ramah pada Harlan. Seolah Harlan adalah seonggok kotoran yang mengganggu. Harlan semakin ingin tertawa. Dengan sengaja ia berjalan mendekati Gema yang hanya diam di tempatnya. "Wow. Just wow, Gemani Artanya Danakitri. Long time no see and... you've changed a lot. I almost can't recognize you." Harlan menyapa Gema dengan nada ramah yang dibuat-buat. "Apa kabar? Masih kutuan?" Gema menarik napas dalam dan menghembuskannya. Ia menyunggingkan senyum yang tidak sampai ke mata pada Harlan. Bahkan, senyumannya itu bisa dikategorikan sebagai senyuman sinis. "Well, don't act like you know me. Because you know what? I don't remember knowing you." Usai mengatakannya, Gema berjalan melewati Harlan begitu saja, tanpa menoleh sedikit pun lagi padanya. Sikap Gema itu membuat Harlan berdecih dan memberikannya sebuah tatapan permusuhan. "Cih, masih aja songong." Begitu gumam Harlan, tanpa sadar jika Gema juga memikirkan hal yang sama tentangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD