Bab 4

1082 Words
Aini dan Salsa melanjutkan makan di kantin setelah accident kecil yang diakibatkan manusia b******k yang tak lain adalah Leo. Dia adalah lelaki tidak tahu malu yang tetap saja meminta padahal sudah salah, begitulah pikir Salsa. Untung saja dia tidak memiliki mantan yang seperti Leo, keras kepala. Bisa-bisa dia yang gila, dan anehnya Aini sabar banget. Salsa dan Lia selalu salut padanya. Ibarat sebuah keluarga, Lia itu meledak-ledak tetapi bisa mengendalikan tindakan, seperti seorang ayah. Aini adalah ibu yang sabar dan dirinya adalah anak yang tidak tahu diri. Eh, tapi gue tau kok,batinnya. “Beneran, Ni, kamu gak apa-apa? Kalau tadi kamu ga halangin aku, udah aku tonjok dia,” kata Salsa membuka pembicaraan di sela mereka sedang memakan bakso dan mie ayam pesanan yang baru saja datang. Aini mengangguk, tanda bahwa ia tidak apa-apa. “Biarin ajalah dia. Mau gimanapun, manusia kaya gitu emang ga tau malu aja,” ucap Aini. Memang di antara kedua temannya, hanya dirinya yang tidak bisa bela diri, dia bisa tetapi tetap saja tidak bertenaga. Berbeda dengan keduanya yang menguasai bela diri. Lia yang jago Karate dan Salsa yang menguasai Taekwondo. “Kamu kalau memang butuh cerita, kita selalu ada, Ni,” kata Salsa serius menatap Aini dengan sendu. Dia tahu sahabatnya tidak akan pernah bercerita apa pun, sekalinya mereka paksa pun tidak akan pernah menceritakan kelakuan siapa pun di belakangnya. Hanya saja kadang Lia suka memaksa dengan mengancam sedikit, agar Aini mau berbagi dengan mereka, tidak menyimpannya sendiri. “Lagian ini ya Ni, orang kaya gitu emang perlu dikasih pelajaran sekali. Biar gak semena-mena sama orang lain. Geram banget gue tuh.” Salsa emang agak ceroboh, yang kadang suka merugikan, tapi namanya Salsa selalu punya cara buat menyelesaikannya. ” tenang aja ya, kalau dia sekali lagi ganggu kamu. Habis dia! Lagian urat malunya udah putus kali itu orang. Kesambet tau rasa dia,” omel Salsa sambil memakan bakso pesanannya dengan menusukkan garpu ke bakso itu seakan itu adalah Leo. Aini yang melihat itu bergidik ngeri. “Kamu juga lagi gak kesambet kan, Sa? “ tanya Aini pelan. “Enak aja kamu! Aku waras. Pake banget, Ni. Kamu ini!” protes Salsa. Aini mengangguk. “Kali aja. Soalnya aku liat kamu kaya gitu,” ucap Aini tersenyum simpul. “Ya sudah kita makan, lalu pergi ke mana aja deh. Yuk?” ajak Salsa. “Sorry, Sa, kayanya aku ga bisa. Aku harus pulang karena besok mau ngantar rekomendasi dari Pak Juna, ke perusahaan yang akan jadi tempat magangku,” ujar Aini. Salsa mengangguk paham. Dia tahu perjuangan Aini, jadi dia tidak akan mengecewakan temannya. “Perlu ditemani gak besok?” tanya Salsa menawarkan. “Gak usah, Sa, bisa kok. Deket juga pun, bisalah aku. Maaf ya, ga bisa nemenin kamu shopping, baru ingat aku,” ucap Aini. “Oke, ga masalah. Habisin makanannya dulu ya!” titah Salsa. Mereka makan tanpa suara setelah pembicaraan terakhir, untuk menyelesaikan makan siang yang sempat tertunda beberapa saat. Setelah menghabiskan makanannya, mereka akan melanjutkan aktivitas siang ini yang masih bisa dikerjakan. Salsa yang ingin berbelanja serta Aini yang ingin pulang, walau sebenarnya dia malas untuk pulang karena tidak ada yang menunggunya di rumah. Tapi mau bagaimana lagi, dia harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok. Karena jika tidak, nanti bisa berantakan dan semakin lama dia menyusun skripsi makan semakin lama pula dia akan sidang. “Jadi kamu bagaimana, Ni? Mau diantar gak?” tanya Salsa. “Gak usah, Sa, biar aja aku sendiri. Bisa kok sekalian mau jalan kaki ke depan komplek lewat kampus ini ke toko buku. Soalnya Gramed jauh, ‘kan?” kata Aini. “Oke deh, aku duluan ya. Bye,” seru Salsa sambil melambaikan tangannya. Mereka berpisah di parkiran. Setelah mobil Brio merah Salsa keluar dari gerbang, barulah Aini berjalan keluar gerbang sendiri sambil berjalan kaki. Tiba di pertengahan jalan sebelum memasuki komplek pertokoan di depan kampus mereka, seseorang memanggil Aini, kebetulan suasana sepi jadi Aini langsung mendengar siapa yang memanggilnya. Ia menoleh, seketika dia mempercepat jalannya. “Aini!” teriak Leo memanggil namanya. Leo mengejar Aini yang berjalan cepat, tapi apalah daya jelas langkah Aini kalah oleh Leo yang seorang lelaki yang dengan mudahnya menarik sebelah lengan Aini. “Tunggu!” serunya. Tetapi Aini yang sudah muak menghempaskan tangan Leo hingga terlepas. “Awas, aku mau pergi. Kamu ngapain sih ngikuti mulu? Ga tau malu!” kata Aini kesal. Lalu berlalu dengan gesit, tapi Leo dengan sigap langsung memegang kedua tanganya dan menguncinya. “Kamu ga bisa langsung pergi gitu aja, kamu yang gak tau malu. Harusnya kamu bangga, gue masih mau ngejar kamu dan minta maaf, juga memohon biar kamu balik sama gue. Karena gak bakalan ada yang mau sama kamu. Perempuan kayak kamu payah,” ucapnya dengan sekali tarikan nafas. Aini yang mendengar terhenyak, perempuan payah, ya memang dia payah. Tapi tak seharusnya Leo begitu mengatakannya secara lantang padanya. Akhirnya, dia tersadar lalu melepaskan cekalan Leo di kedua tangannya. “Memang, lalu mengapa? Pergilah! Perempuan payah ini memang gak berguna,” ucap Aini, hampir saja dia menangis tapi ditahannya karena dia tahu air matanya keluar akan semakin membuat Leo bahagia. Maka, sebisa mungkin dia menahannya. Leo terpaku, Aini yang dulu akan menangis atau menunduk sendu tetapi kini tidak. Aini yang sekarang menatapnya berbicara dan berani melawan perkataannya. Dia hampir saja kehabisan akal. Leo melonggarkan cekalannya, melihat itu Aini dengan cepat melepaskan. Namun, belum sempat terlepas Leo tersadar dan menahan satu lengan Aini. “Kamu gak bisa lari,” katanya menahan amarah. Leo menyeret sebelah tangan Aini. “Aww, sakit!” keluh Aini. Tapi dia tidak akan menangis. Leo menyeret Aini terus, hampir sampai di sebuah gang, Aini berteriak “tolong” hingga seseorang memberhentikan mobilnya tepat di samping Leo. Leo yang melihat itu berhenti sejenak ketika seseorang keluar dari mobil itu. “Lepaskan tanganmu! Kamu gak ubahnya binatang jika seperti itu, binatang saja tidak pernah begitu. Kamu memperlakukan manusia tidak berharga,” ucap Dave, ya orang itu adalah Dave. Aini yang berdiri masih menunduk. Dia takut nanti orang itu juga menyelakainya. Akhirnya ketika cekalan tangan Leo lepas, dia mendongak sedikit melihat orang yang menolongnya. “Terima kasih” ucapnya. Sejenak Dave terpaku melihat keayuan wajah Aini yang manis dan hidungnya yang bangir kecil. Hidung mancungnya seperti orang Arab. Namun, Aini yang tidak bisa melihat wajah Dave karena menggunakan kacamata akhirnya tersadar dan membungkuk mengucapkan terima kasih sekali lagi. Lalu cepat berlalu. Tinggalah Leo dan Dave. Entah apa yang akan terjadi atau mereka bahas, Aini tidak peduli. Yang dia pedulikan dia pulang, dan sampai rumah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD