Bab 5

1349 Words
Aini tau sebenarnya dia salah, hanya mengucapkan terima kasih sambil membungkuk lalu pergi begitu saja. Tapi mau bagaimana lagi, dia takut lama-lama di sana melihat Leo. Selama ini dia berhasil menghindari Leo walaupun bertemu itu pasti banyak orang jadi kemungkinan Leo tidak bisa macam-macam dengannya. Tapi tadi, mereka hanya berdua. Jika tidak ada orang tadi untuk menghentikan tindakan Leo demi menolongnya, dia tak tahu bagaimana nasibnya sekarang. Sembari berjalan cepat demi sampai di rumah lebih awal untuk sedikit menghilangkan lelah walau dia tahu kecil kemungkinan letihnya akan hilang. Atau mungkin semakin bertambah penat di kala dia lengah. (**) Sesampainya Aini di rumah, bahkan belum sempat dia meletakkan barang-barangnya, ibu tiri dan saudara tirinya bahkan sudah langsung menyuruh dia untuk masak makan siang tanpa memedulikan bahwa Aini mungkin masih letih. “Lo harus masak sesuai selera dan lidah gue!” ucap Zaline, kakak tirinya yang berlagak bos, karena setelah ibunya meninggal dia terpaksa tinggal dengan papinya. Mau tidak mau, dengan setengah hati, karena harus ada yang membiayai juga yang mengasuhnya. Saat itu dia masih berumur 15 tahun. Dia belum bisa membedakan mana orang yang jahat dan benar-benar baik. Semula ia tidak mengira bahwa kakak tirinya juga jahat, sama seperti ini tirinya. Dia tidak pernah melihat ibu tirinya, namun dia tahu bahwa papinya dulu selalu mengutamakan maminya Zaline daripada ibunya dan dia yang seorang istri dan anak yang sah. Karena dia mendengar dari ibunya bahwa mami tirinya adalah mantan papinya dahulu sebelum dia mengenal sang ibu. Nia, adik satu ayah beda ibunya yang masih SMA kelas satu juga berani memarahinya. Padahal saat adiknya itu masih SD dan belum akan masuk SMP masih dijaga dan digendong-gendong olehnya, namun sekarang untuk melihatnya saja adiknya itu seolah jijik. Entah apa kesalahannya, dia tak pernah tahu. “Aku masih baru pulang, Mi. Tidak bisakah sebentar lagi? Aku akan membuatkannya,” ujarnya dengan memelas. “Tidak ada nanti! Kamu tau kalau kami sudah lapar? Jangan ngelunjak kamu!” ucap mami Zaline dengan wajar murka. “Cepat! Kelamaan banget sih lu pulang kuliahnya. Gue udah lapar banget ini!” seru Nia kesal. “Cepetan! Lama banget sih!” ikut memarahi sambil menarik lengan Aini hingga buku yang dipegangnya terjatuh. “Ups! Ga sengaja,” ujarnya sambil menutup mulutnya tanda dia merasa senang. “Kalian kenapa sih? Aku salah apa?” tanya Aini hampir terisak. “Pake nangis lagi,” ujar Nia sambil mendorong Aini sampai terjatuh. “Udah ga usah banyak omong. Lu salah karena ibu lo, yang nikah sama papi lo duluan membuat gue bukan jadi anak kandung papi lo dan gue menderita,” jawab Zaline sambil menarik rambut Aini. Tiba-tiba Niar, mami tirinya menghampiri. “Kami salah apa sama kamu, Ni? Kenapa kamu tidak pernah menerima tante juga saudara kamu? Zaline memang bukan anak papi kamu tapi Nia adalah adik kamu,” ucap Niar tersedu-sedu. Aini yang tidak paham menjadi panik setelah mendengar bentakan ayahnya. “Ada apa ini?” tanyanya. “Ini, Mas, Aini seperti biasa selalu merendahkan Zaline,” ucap Niar berakting di depan suaminya. “Iya, Pi, dia menghinaku lagi,” ucap Zaline, “bahkan dia memarahi Nia,” imbuhnya. Nia yang diam saja akhirnya berbicara, “Dia tak mau membuatkanku makan siang, padahal aku ingin sekali buatannya, Pi” ujarnya sambil melirik Aini yang tergagap tidak percaya mereka kembali menyalahkannya atas semua yang bahkan dia tidak lakukan. “Kamu selalu begitu. Anak tidak tahu diuntung. Selalu menambah bebanku,” ucap Hendarmo kepada putrinya. “Bukan aku, Pi. A–aku cuma—” Belum sempat Aini menjawab, papinya sudah memotong ucapannya, “Kamu memang tidak jauh berbeda dengan ibumu, yang selalu berbuat masalah. Dan menghalalkan segala cara mendapatkan keinginannya. Kamu selalu membuat onar. Zaline memang bukan saudara kandungmu, tapi apa salahnya kepadamu, Aini? Bahkan Nia adalah adikmu. Aku menyesal mengasuhmu setelah ibumu meninggal. Karena mengasuh anak bar-bar sepertimu membuatku selalu sakit kepala.” Ayahnya geram tanpa dia tahu bahwa Aini terpaku mendengar ucapan ayahnya barusan. Dia terdiam dan hampir saja sebuah kata kebenaran keluar, namun melihat Zaline yang mengancamnya, dia akhirnya mengatupkan kembali bibirnya. “Maafkan Aini, Pi, Aini salah. Aini tidak akan mengulanginya lagi. Permisi,” ucap Aini dingin lalu berlalu. Hendarmo tidak mengerti kenapa anaknya Aini semakin lama semakin sulit diatur juga semakin lama suka sekali membantah dan menghina saudaranya. Dia tahu Aini tadi terluka karena ucapannya tapi dia harus tegas karena jika tidak, Aini bisa saja semakin menjadi dan dia tidak ingin anak-anaknya bermusuhan, tanpa dia tahu bahwa semua ini adalah rencana Niar untuk menghancurkan ia dan putri kandungnya sendiri. “Maafkan papi ya, Zaline, Nia. Mungkin Aini tidak mengerti bahwa tindakannya salah.” Hendarmo memohon kepada dua putrinya yang lain. “Tidak apa, Pi,” ucap keduanya serentak. “Sudahlah, Pi, mungkin Aini sedang banyak masalah. Nanti kita juga bisa bicara baik-baik. Lebih baik sekarang kita makan aja dulu, kan sudah pada lapar,” ajak Niar sambil mengedipkan matanya kepada anak-anaknya. Setelah mereka makan dan berbincang sejenak, Hendarmo ingin ke kamarnya dan tidak sengaja melihat putrinya, Aini, tertidur di atas meja belajarnya. Dia melihat sejenak dan menutup kamar putrinya. Semua perhatian itu tidak luput dari penglihatan Niar selaku istri sahnya sekarang. Akhirnya dia ke kamar Aini, dan membangunkannya. “Hei, bangun kamu tukang tidur! Dasar pemalas!” gertak Niar. Namun, karena kelelahan Aini tidak bangun. Karena kesal akhirnya Niar menarik tangan Aini hingga mengerjap. “Kenapa, Mi?” tanyanya dengan suara agak serak. “Kenapa, kenapa? Kamu bereskan semua rumah karena aku dan Zaline akan keluar sebentar, sementara Nia pergi les ke sekolahnya,” suruh Niar. “Tapi aku masih ngantuk, Mi,” ujar Aini. “Dasar pemalas!” Niar menarik Aini hingga berdiri dan membalikkan badannya lalu mendorong Aini. Ketika dia melihat bayangan suaminya akan muncul dia menjatuhkan dirinya lalu pura-pura mengaduh. “Aini, mami kan cuma ingin bangunin kamu aja. Kenapa sih kamu dorong mami?” katanya mulai mengadu. “Bukannya mami yang dorong Aini, ya?” ujar Aini polos tanpa tahu bahwa ayahnya sudah di depan pintu kamar. “Aini, kamu apakan istri saya, hah?” seru sang papi keras sambil membantu istrinya berdiri. “Papi lihat kamu semakin hari semakin menjadi ya?! Dasar tidak tahu diri!” Plak! Sebuah tamparan dilayangkan ayahnya kepadanya. Selama ini memang ibu tiri dan Zaline menyiksanya meski Nia tidak ikut-ikutan memberikan kekerasan, tapi ucapan demi ucapan yang menohok selalu diterimanya. Dan hari ini dia tidak percaya bahwa ayahnya menamparnya walaupun sebenarnya tidak pernah membela dia bahkan kerap kali dimarahi tapi ayahnya tidak benar-benar memarahinya dengan menggunakan tangan. Sekarang dia melihat bahkan merasakan sendiri demi membela istrinya dan anak tirinya, dia menelantarkan anak kandungnya sendiri. “Papi menyesal memiliki anak seperti kamu. Kamu sama dengan ibumu! Setelah kamu lulus kamu keluar dari rumah ini, di rumah ini tidak terima anak sepertimu,” ucap ayahnya. “Pi, jangan begitu. Bagaimanapun dia adalah anakmu,” kaya Niar mulai lagi berakting dan Aini sudah muak dengan semua ini. Selama ini dia diam, bukan karena takut, hanya tidak ingin ribut, tapi ternyata ayahnya membawa-bawa ibunya dalam perdebatan ini. “Baik, jika suatu saat papi menerima kebenarannya, maka papi akan menyesal seumur hidup. Dan setalah itu aku tidak akan memaafkan papi,” ujar Aini dengan wajah terluka namun sorot matanya dingin. Seketika Hendarmo seperti melihat mantan istrinya di diri anaknya walau Aini mewarisi wajahnya versi wanita. “Kamu bicara apa sih, Aini?” sela Niar, “tidak seharusnya kamu begitu,” ucapnya lagi. “Tante tidak usah berpura-pura, jika suatu saat tante kesusahan maka aku yakin orang itu bukan papi yang pertama kali tante cari. Dan jika suatu saat papi jatuh, aku yakin tante akan meninggalkanya. Berhentilah berpura-pura!” ucap Aini dingin. “Aini,apa yang kamu katakan?” tanya Niar. Hendarmo yang dari tadi diam akhirnya bersuara. “Lakukan sesukamu, tapi jangan ganggu keluargaku. Pergilah jika kau sudah lulus. Aku juga tidak ingin memiliki putri sepertimu. Karena jika kamu selesai, maka tugasku selesai menjagamu,” Ucap Hendarmo lalu keluar dari kamar Aini diikuti Niar dari belakang sambil menoleh ke arah Aini, mengejek mengatakan secara tak langsung bahwa Aini kalah. Setelah mereka keluar, Aini meluruh ke lantai dan menangis di sana sampai ia tertidur. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD