Part 4

1100 Words
Cuaca nan begitu dingin membuat seorang gadis mungil yang tengah berjalan sendirian di jalanan nan sepi merapatkan mantel bulunya. Meski begitu, dinginnya cuaca masih saja terasa begitu menusuk hingga ke tulang. Kepalan tangannya tersembunyi di dalam saku mantel. Tubuhnya terlihat sedikit mengigil. Karena keterbatasan uang, terpaksa Aurora berjalan kaki ke rumah Jason yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya. Maka dari itu, ia terpaksa bangun lebih awal guna memasak untuk sang ibu dan adik, baru lah dia bersiap-siap untuk pergi bekerja, dan mulai berjalan kaki agar cepat sampai di rumah Jason. Terbiasa berjalan jauh tak membuatnya mengeluh meski kakinya terasa pegal. Ini semua demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa sekarang dan di masa mendatang. Untuk mendapatkan kehidupan yang layak tentu membutuhkan perjuangan. Untuk mengusir keheningan pagi ini, gadis itu memutuskan menghidupkan lagu di hp opponya. Hp yang dibelinya dua tahun lalu, hasil dari kerja kerasnya selama tiga tahun sebagai waiters dan pengantar barang. Baru saja menikmati lagu dalam keheningan, tiba-tiba sekumpulan preman berbau alkohol pekat menghadang jalannya. Mereka terlihat menyeringai aneh di bawah pencahayaan lampu jalan. Gadis tersebut tidak merasa takut sama sekali dihadang preman bertubuh kekar itu. Yang ada, dia malah mendengus kesal. "Jangan menghalangi jalanku!" desisnya tajam. "Jangan galak-galak, cantik. Temani kami bersenang-senang dulu pagi ini." "Oh, bersenang-senang ya…" kekeh Aurora manis seraya mengeluarkan tangannya dari saku mantel. "Sepertinya dia setuju bermain dengan kita," kata salah seorang dari mereka dengan kekehan senangnya. "Ya. Tapi bermain dalam artianku." seringai Aurora dan langsung menendang perut preman yang hendak menyentuh rambutnya. Tingkahnya membuat mereka geram dan berakhir menyerangnya secara bersamaan. Aurora mengelak dengan mudah dan membuat mereka semua babak belur meski membutuhkan waktu yang lama karena dia belum sempat sarapan hingga kekuatannya berkurang dari biasanya. "Kalian membuat perjalananku tertunda saja! Kalau aku di pecat, maka kalian akan ku cari sampai ke ujung dunia!" bentaknya kesal. Ditendangnya kaki preman yang barusan di bantingnya dengan kuat. Para preman itu bersujud di dekat kaki Aurora karena tidak sanggup melawan lagi. Bahkan kesadaran mereka kembali sepenuhnya setelah di hajar hingga babak belur. "Maafkan kami, dewi. Kami tidak akan mengulanginya lagi." Kening Aurora mengernyit jijik mendengar mereka memanggilnya Dewi. Tanpa berkata sepatah kata pun, Aurora kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Setengah jam kemudian baru lah dia sampai di depan gerbang mansion Jason yang telah terbuka. Aurora menyapa satpam yang berjaga dengan sopan. Tak luput menyapa para maid yang berpapasan dengannya. Untungnya para pekerja di sini ramah, meski tidak seluruhnya. Ia merasa banyak pekerja perempuan yang masih muda memusuhinya, terbukti dari tatapan sinis dan sikap kasar mereka. Aurora langsung pergi ke kamar Bella karena kata Jason, dia langsung pergi ke kamar anaknya saja kalau sudah sampai di mansion. "Kenapa terlambat?" Aurora meringis mendengar pertanyaan datar Jason. Padahal dia hanya telat 15 menit. "Bella sudah menunggumu sejak tadi." lanjut Jason. "Maaf. Tadi aku di hadang oleh preman." sahut Aurora tertunduk. Jason berjalan mendekati Aurora, meneliti tubuh gadis itu dengan intens. "Kau tidak terluka 'kan?" "Untungnya tidak karena aku bersembunyi dari mereka. Makanya aku membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sini." Ungkapnya bohong. "Hah, syukur lah." Jason sedikit menjauh dari Aurora. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di rumahku. Aku tidak ingin kejadian tadi terulang lagi padamu." Aurora menjadi bimbang. Kalau dia tidak pulang, maka bagaimana nasib ibu dan adiknya? Siapa yang akan memasakkan keduanya makanan? Siapa yang akan mencuci pakaian mereka? "Kenapa diam, Ra?" tegur Jason. Aurora menghela nafas panjang sembari tertunduk dalam. "Aku tidak bisa, Jason." "Kenapa?" "Ada ibu dan adik yang harus ku jaga. Ibu tidak bisa berjalan sementara adikku masih sd dan tidak bisa memasak." Jason sempat terdiam sebelum menjawab. "Kalau begitu, mulai sekarang ibu dan adikmu tinggal di sini saja." Aurora yang tadinya tertunduk langsung mendongakkan kepalanya menatap Jason. "Kau tidak bercanda 'kan, Jason?" tanyanya terbata-bata saking tidak menyangka akan mendengar hal itu keluar dari mulut majikannya. Jason tersenyum, menepuk pelan bahu Aurora. "Aku tidak bercanda, Ra." "Tapi aku tidak ingin keberadaan mereka menganggumu, Jason." "Mereka tidak akan mengangguku, Ra." "Ta--" "Tidak ada tapi-tapian. Nanti akan ku suruh orangku untuk membawa ibu dan adikmu ke sini." "Terimakasih." Aurora refleks memeluk tubuh tegap Jason hingga pria itu menegang kaku sebelum akhirnya membalas pelukan Aurora dan menghirup dalam aroma menenangkan yang menguar keluar dari tubuh gadis itu. "IBU!!" Seruan girang Bella membuat kedua orang itu menjauh secara refleks. Mereka saling bertatapan canggung sebelum membuang tatapan ke arah Bella. Gadis kecil itu menarik-narik ujung mantel Aurora dengan wajah cemberut yang terlihat menggemaskan. "Kenapa ibu terlambat datang ke sini? Bella kangen, ibu." Aurora tersenyum, berjongkok, dan memeluk gadis kecil itu lembut. "Maaf, ya. Tadi ibu ada sedikit hambatan di jalan." Ditatapnya gadis cilik berusia 2 tahun itu dengan tatapan menyesal. "Bella mau 'kan memaafkan ibu?" Bella mengangguk semangat lalu mencium pipi Aurora. "Bella memaafkan ibu." "Lagipula mulai sekarang, ibu akan tinggal bersama kita." celetuk Jason, membuat Bella semakin terpekik kegirangan. "Ayah pergi kerja dulu, ya? Bella jangan nakal selama ayah pergi." nasihat Jason pada putri kecilnya. "Iya, ayah. Bella tidak akan nakal." Jason mengusap puncak kepala anaknya. Menatap Aurora penuh harap. "Jaga anakku dengan baik, Ra. Kalau ada sesuatu yang penting, hubungi saja aku." Aurora mengangguk. Seperginya Jason, Bella menceritakan banyak hal ke Aurora. Hati Aurora terasa menghangat tiap kali berinteraksi dengan Bella. Terbesit dalam benaknya untuk hidup bersama Bella sampai kapan pun. **** Goumin mengendarai mobilnya dengan cepat karena terlambat bangun akibat tidak bisa tidur, memikirkan suara yang sangat familiar di pendengarannya. Mobilnya mengerem mendadak kala tidak sengaja menabrak seorang anak kecil. Dia segera turun dari mobil untuk mengecek keadaan anak kecil tersebut. "Kau harus ganti rugi, paman!! Kau membuat kakiku berdarah!!" amuk anak kecil itu garang. "Hei, adik kecil. Kau lah yang telah menyebrang secara mendadak di depan mobilku, aku tidak akan ganti rugi!!" balas Goumin kesal. "Kalau kau tidak mau ganti rugi 50 juta, aku akan berteriak sekarang juga!!" Goumin mendesis kesal. "Kecil-kecil kok sudah pandai merampok." sinisnya. "Oh, kau menantangku ya?" anak laki-laki kecil itu mengerutkan keningnya. Membuka mulutnya dan... "TOLONG!! PA--" Goumin langsung menutup mulut anak kecil itu seraya melotot kesal. "Jangan berteriak! Aku akan memberikanmu uang 50 juta." Melepaskan bungkamannya dan berdiri. Anak kecil itu tersenyum dan ikut berdiri. Melipat tangan di depan mobil mewah Goumin, sementara pria itu sendiri masuk ke dalam mobil dan kembali ke luar dengan sebuah cek. "Ini ceknya, kau tulis sendiri nominalnya karena aku tidak punya alat tulis sekarang," kata Goumin malas. Anak laki-laki itu langsung menyambar cek tersebut dan berlari kencang, menjauhi Goumin yang melongo tidak percaya. "Ck! Aku memberikan cek secara cuma-cuma karena uangku terlalu banyak bukan karena takut dengannya," katanya songong. -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD