Bab 2

2079 Words
“Nggak," elak Tiana. Dirinya heran, kenapa Ibunya bisa cepat sekali menyimpulkan bahwa ia ada rasa pada Yama? "Bohong!"  "Nggak Bu, lagian Kak Yama udah punya pacar kok." Ibu Tiana yang mendengarnya hanya bisa mengangguk lalu mengajak anaknya masuk ke dalam rumah.  "Bapak mana Bu?" tanya Tiana. "Lagi bantuin Pak Dadang panen Ubi." "Wah, bikin ubi cilembu dong nanti, ya Bu ya?" ujar Tiana sambil membayangkan manisnya ubi cilembu. "Iya nanti Ibu buatkan, sekarang kamu mandi dulu sana." Tiana hanya mengangguk menuruti perintah ibunya. ••••• "Sialan! Udah tiga jam kita keliling tapi kamu belum dapet satupun baju, Sin?" geram Yama ketika merasakan kakinya keram berkeliling mall tanpa mendapatkan hasil. "Ah kamu berisik, bentar lagi juga ketemu, beb. Kamu gak mau lihat aku tampil cantik pas prom night?" ucap Sinta sambil menggandeng tangan Yama memasuki sebuah toko baju ternama. "Yang ini bagus gak?" tanya Sinta sambil memakai sebuah baju yang baru saja ia pilih. Yama hanya berdeham sambil memainkan ponselnya. "Ih serius! Kamu malah main hape mulu sih!" geram Sinta dengan cepat merenggut paksa ponsel di tangan Yama. "Sinta balikin hape aku! Kamu apaan sih?!” Ucap Yama merebut kembali ponsel miliknya. "Kamu gak sayang lagi ya sama aku? Kalau gitu aku mau kita put—" "Kamu mau bilang putus? Hanya karena ini kamu mau putus? Nggak inget kalau kita udah pacaran dari pertama masuk SMA? Segitu gampangnya kamu bilang putus setiap kali aku melakukan kesalahan, kalau itu mau kamu yaudah—" Sinta yang tersadar langsung saja menggelengkan kepalanya dan memeluk Yama. "Nggak, aku kelepasan, aku gak mau kita putus, maafin aku Yam," ucap Sinta. Yama memejamkan matanya lelah. Lalu ia berusaha melepaskan pelukan Sinta karena tidak enak dilihat orang lain. "Oke oke, kalau kamu gak mau kita putus, lepasin dulu pelukannya, malu kan dilihat orang banyak." Sinta yang mendengarnya langsung mendongak ke atas melihat wajah Yama. "Beneran?" "Iya." Sinta pun melepaskan pelukannya. Lalu membeli barang bagus yang sudah ia pilih. Kemudian mereka mencari makan malam. Selalu saja seperti ini, kadang Yama merasa bosan. Tapi entah kenapa dia tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Sinta. •••••  Setelah mengantarkan Sinta pulang, Yama langsung mengendarai motornya menuju villa. Yama tergesa-gesa memasuki villanya karena ka merasa gelisah. Dilihatnya jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Villa tampak sepi karena Bik Odah sudah pulang ke rumahnya. Yama tinggal sendirian ditemani satpam yang berjaga. Lelaki itu menekan kepalanya yang terasa pusing. Meremas rambutnya dengan kencang ketika rasa itu datang. "Obat.. obat gue.." ucapnya limbung. Dengan cepat ia masuk ke dalam kamarnya. Membuka laci nakas dan menemukan sebuah obat yang sangat sering ia konsumsi. Ia pun langsung menelan satu obat itu ke dalam mulutnya. Dan saat itu pula ia merasa tenang. ••••• "Sin, lo lihat deh itu! Gila si Yama kenapa dekat banget sih sama tuh bocah kampung," ucap Devi berusaha mengompori Sinta. Sinta melihat ke arah yang ditunjuk oleh Devi.  Dan benar saja, di bangku kantin ia melihat Tiana dan temannya yang sedang duduk bergabung dengan gengnya Yama. Sinta yang melihat itu merasa tidak senang. Dengan cepat ia mendekati mereka dengan tangan yang terkepal. Tanpa aba-aba Sinta pun duduk di sebelah Yama yang membuat semua orang yang duduk di sana kaget. Sedangkan Devi dan kawan-kawannya saling menatap dan tersenyum. Sinta tuh gampang banget gue komporin, batin Devi. "Eh ada Sinta," ucap Dirga sambil meminum es teh manisnya. "Cie, yang gak mau jauh-jauh dari Yama, nempel teross," celetuk Abrar yang membuat Farid dan juga Dirga tertawa. Sedangkan Yama hanya tersenyum kecil, mata lelaki itu menatap Tiana yang tampak tidak nyaman. "Sin, lepas dulu tangannya, aku pengen makan," ucap Yama sambil berusaha melepaskan tangannya dari Sinta. Tapi Sinta enggan dan malah mempereratnya. "Aduh, gue kalau lihat lo berdua jadi pengen cepet-cepet punya pacar," ucap Farid. "Tinggal lo cari cewek, banyak Rid. Atau jangan-jangan lo belok ya?" tuduh Abrar dengan wajah yang menahan tawa melihat ekspresi kaget Farid. "Enak aja lu b*****t! Gini-gini gue juga masih suka apem daripada pisang." Tiana yang mulai merasa tidak nyaman memilih untuk berdiri dengan Elis di sampingnya. "Tiana pergi dulu ya sama Elis, Kak Yama." "Kok lo pamitnya ke Yama doang sih?!" geram Sinta. "Ya kan dia dekatnya sama aku, Sin. Farid, Dirga sama Abrar gak terlalu dekat dengan dia." ucap Yama. "Kamu ngapain dekat-dekat sama dia? Kamu suka ya sama dia?" tuduh Sinta. "Kamu apaan sih Sin? Aku nganggap Tiana itu sepeti adik sendiri, ngapain sih harus bahas kek ginian?!" geram Yama yang membuat semuanya kaget. "Ayo Lis, kita pergi," bisik Tiana sambil mencengkeram lengan sahabatnya itu. Tiba-tiba saja tangannya ada yang menahan membuat Tiana harus berhenti sejenak. Tiana menoleh dan mendapati Abrar yang tengah tersenyum sambil memegang tangannya. "Minta nomor teleponnya dong, Na. Bolehkan Yam, gue deketin adik lu ini?" ucap Abrar sambil menatap Tiana intens. Yama hanya menatap datar keduanya. "Gimana? Boleh gak minta nomor telepon kamu?" "Cepat kasih Na, biar kita cepat-cepat pergi dari sini," bisik Elis yang membuat Tiana menganggukkan kepalanya. Tiana merogoh ponselnya yang usang dari dalam saku bajunya. Lalu ia menyebutkan beberapa digit nomor sebelum ada nomor asing yang menelponnya. "Itu tadi nomor aku ya, jangan lupa disave." Abrar melepaskan cekalannya. "Nanti malam aku hubungi kamu Na!" Tiana hanya bisa diam sambil terus berjalan. "Wuih, gak santai lu Brar. Langsung gass ...” ucap Dirga sambil menepuk bahu temannya itu. "Iya dong, daripada nanti ada yang naksir lagi sama dia. Mending gue pepet duluan."  Farid dan Dirga terkekeh mendengarnya. Sedangkan Yama terdiam dengan wajah datar.  "Sin, tolong pesankan aku teh manis ya," ucap Yama. Sinta mengangguk kemudian berjalan menuju kantin. Dengan cepat Yama merogoh ponselnya dari saku celana. Mencari kontak Tiana dan memencet ikon pesan di sana. Yama  Nanti pulang tungguin gue di depan pagar Na, pulang bareng sama gue lgi ya.. ••••• Tiana sengaja pulang lebih lama karena ia menghindari Yama hari ini. Dilihatnya jam yang ada diponsel menunjukkan pukul 5 sore. Ia melihat sekolah mulai sepi, tadi ia piket kelas dan Elis mengajaknya untuk bermain Uno sebentar. Tiana menghembuskan napasnya lega ketika tidak menemukan motor Yama di depan pagar. Tapi kelegaannya itu tidak berlangsung lama karena ia melihat motor Yama yang terparkir di sebelah gerobak siomay dengan Yama yang tengah memakan siomaynya. Tiana langsung berjalan cepat sambil menutup mukanya dengan tangan agar Yama tidak melihatnya. Tapi harapannya pupus ketika ia mendengar suara motor yang mendekatinya. "Cepat naik Na!" ucap Yama. "Aku naik angkot aja Kak." "Lu udah baca pesan gue kan, naik Na, udah mendung ini." Dengan terpaksa Tiana menaiki motor Yama. "Sejam gue tungguin lo di sana, gue kira udah pulang, tapi kata temen sekelas lu, lu lagi ada jadwal piket," ucap Yama sambil memberikan Tiana helm. Tiana pun dengan cepat memakainya.  "Maaf, aku kira Kak Yama pulang duluan." "Hm." Yama pun mengendarai motornya membelah jalanan. Dan hujan turun ketika mereka berada di tengah jalan membuat semua seragam mereka basah. "Na, ke rumah gue dulu ya, kalau ke rumah lu masih jauh, di rumah gue, lo bisa neduh sambil ganti baju." "Tapi nanti Bapak cariin aku kalau aku pulang malam." "Nggak, nanti gue yang jelasin ke Bapak lo." Tiana pun hanya bisa diam mengikuti perkataan Yama. Sampai di villa, Tiana dan Yama pun langsung masuk ke dalam rumah. Bik Odah tidak kelihatan, sepertinya wanita paruh baya itu tengah berada di belakang. Yama mengajak Tiana masuk ke dalam milik orang tuanya. Di sana banyak baju milik sang Mama. "Na, lo ganti baju dulu sana. Gue buatin teh ya." Tiana hanya mengangguk, dengan cepat ia pun masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa lama kemudian, Tiana keluar dengan handuk yang melilit di tubuhnya. Dan betapa terkejutnya melihat Yama yang sudah memakai kaos biasa dengan celana pendek duduk di atas kasur sambil menatapnya tanpa berkedip. "Kak Yama! Kenapa di sini?!" ucap Tiana kaget, baru saja ia ingin masuk ke dalam kamar mandi lagi, namun dengan cepat pula Yama menarik tangannya hingga Tiana terjatuh di atas tubuh lelaki itu. Jantung Tiana berdegub dengan kencang. Yama menatap Tiana dengan jakun yang naik-turun. Beberapa kali lelaki itu harus menelan ludah karena melihat tubuh Tiana. Tanpa sadar tangannya mengelus punggung Tiana yang membuat gadis itu terbuai. Hidungnya mengendus leher Tiana yang harum. Tiana menahan napas. "Kak jangan gini.." lirih Tiana. "Na.." ucap Yama dengan suara seraknya. "Kak Yama lepasin!" bentak Tiana ketika ia merasakan gelagat Yama yang kurang ajar. "Tiana please.." Tiana kaget ketika mencium bau alkohol dari mulut Yama. Lelaki ini mabuk! Tiana dengan kekuatannya ia berusaha melepaskan diri dari kungkungan Yama. Tapi tetap saja Yama lebih kuat. Sampai ketika ia merasakan tubuhnya terbanting di kasur dan Yama menindihnya dengan cepat. Tiana tau, dia tidak bisa melakukan apapun lagi. ••••• Tiana terisak membelakangi Yama yang tengah terlentang sambil menatap langit-langit kamar. Meremas kuat selimut yang kini ia gunakan untuk menutupi dirinya dan Yama, Tiana masih saja belum bisa menghentikan tangisannya. "Maafin gue, Na.."  Tiana benci. Tiana benci suara itu sekarang. Rasanya ingin sekali ia memukul lelaki itu sampai mati. Tapi Tiana tidak tega, Yama adalah orang yang selalu melindunginya di sekolah jika ada anak-anak iseng yang kerap membullynya. "Kebiasaan gue yang belum lo tau, kalau gue stress pasti pelarian gue itu alkohol, gue.. gue benci Na, Gue benci Ayah gue, dia mau nikahin selingkuhannya, gue frustasi, Na!" ucap Yama pelan. Tiana semakin erat meremas selimutnya. "Kak Yama seharusnya tidak melakukan itu!" ucap Tiana dengan suara yang tercekat. "Kenapa harus aku Kak?" lirihnya. Yama memejamkan matanya mendengar suara gadis manis itu yang terdengar sangat menyayat hatinya.  "Maaf Na.. maaf.." lirihnya "Apa.. apa dengan permintaan maaf, Kak Yama bisa mengembalikan semuanya?!"  Tanpa terasa setetes air mata keluar dari sudut mata lelaki itu. Benar apa perkataan Tiana, apa dia bisa mengembalikan semuanya seperti semula? Tentu saja tidak, bodoh! "Aku.. mau pulang," lirih gadis itu. "Tiana.. gue janji, gue akan tanggung jawab, secepatnya gue akan putusin Sinta.." ucapnya penuh keyakinan. Tiana menggigit bibir bawahnya. "Aku takut.. aku masih mau mengejar cita-cita.. aku takut kalau aku nanti—" Tiana semakin terisak. Dia tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia takut, ucapannya akan terkabul, karena orang sering berkata bahwa ucapan adalah doa.  "Tiana.." lirih Yama. Lelaki itu tau apa yang ada dipikiran gadis di sampingnya. "Keluar Kak!" "Na.." "Keluar!!" Dan saat itu juga Yama memutuskan untuk pergi meninggalkan Tiana. Tak lupa juga ia sudah mengenakan pakaiannya tadi. Lelaki itu menutup pintu dengan pelan. Tubuhnya luruh begitu ia mendengar suara teriakan Tiana dari dalam kamar. Air matanya menetes begitu saja. Tangannya mencengkeram erat rambutnya. Bego! Apa yang lo lakuin! teriaknya dalam hati. Beberapa menit kemudian, Yama terkejut ketika melihat pintu kamar yang terbuka diiringi dengan keluarnya gadis itu. Yama bangkit dan berdiri dihadapan Tiana. Ditatapnya lekat wajah gadis itu yang tampak semban namun tatapan matanya kosong. Tiana sudah rapi dengan pakaian sekolahnya yang masih sedikit basah. "Ganti baju Na.. seragamnya masih basah," ucap Yama. Tiana masih menatap lurus tanpa mau menatap wajah lelaki itu. Dengan keras ia mendorong bahu Yama hingga dirinya bisa mendapatkan akses untuk menjauh dari lelaki itu. Namun baru beberapa langkah, tangannya langsung dicekal oleh lelaki itu. "Lo mau pulang? Biar gue anterin!" Tiana menghentakkan tangannya hingga cekalan tangan Yama terlepas. Tanpa kata Tiana berjalan ke arah pintu keluar. Dan Yama terus mengejarnya hingga mereka benar-benar sampai di halaman depan villa mewah itu. "Gue anterin pulang Na! Udah malem, gue gak mau lo kenapa-napa di jalan, please Na.. ngomong.." lirih Yama karena sedari tadi Tiana memilih bungkam. Tiana memilih untuk tetap diam.  Yama yang melihatnya langsung berdiri di hadapan Tiana, karena gadis itu ingin kembali melangkah pergi. Dicengkeramnya bahu gadis itu dengan lembut, ditatapnya mata yang selalu berbinar namun kini hanya ada pandangan kosong di dalamnya. Yama dapat melihat perlahan air mata gadis itu kembali jatuh. Tak tahan, akhirnya ia memberanikan untuk menyentuh pipi Tiana dan menghapus air mata itu dengan pelan. Tiana langsung menepis tangan Yama dengan keras. Ditatapnya mata Yama dengan tajam. Yama pun menatapnya juga, tapi.. dengan penuh kasih sayang? "Please Na.. gue anterin pulang.." Tiana yang melihat ada ketulusan dimata Yama langsung mengangguk pelan. Lelaki itu tersenyum lebar sebelum melangkahkan kakinya mengambil motor yang terparkir di depan villa.  Tak lama Yama datang. Tanpa kata Tiana langsung naik di belakang Yama, sepanjang perjalanan Yama merasa cemas. Bagaimana tidak? Gadis itu hanya mengenakan seragam sekolahnya yang setengah lengan dengan rok selutut ditambah dengan angin malam yang membuat suasana semakin dingin.  Dilihatnya Tiana dari kaca spion. Dan lagi.. gadis itu menangis pelan, sesekali menghapus  air matanya yang sudah keluar. Yama memegang erat stang motornya karena ia merasa begitu b******k sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD