Bab 3

2093 Words
Sampai di rumah, Tiana langsung pergi begitu saja dan masuk ke dalam rumahnya tanpa basa-basi seperti sebelumnya. Ibu dan Bapak Tiana yang menunggu di luar karena cemas anak gadisnya belum pulang lantas tersenyum melihat Tiana datang ditemani Yama. Tapi semua itu menimbulkan kecurigaan bagi mereka, anak gadisnya kenapa langsung masuk saja? Kenapa tidak bersalaman dulu dengan mereka? Ada apa ini? "Kalian kemana saja? Kok baru pulang sekarang?" tanya Bapak Tiana dengan alis yang menyatu. Yama pucat, ia menatap Bapak Tiana yang tampak menyeramkan dengan kumis tebalnya. Ia bingung ingin menjelaskan semuanya, ia masih belum siap. Namun jika ia berbohong, akan menimbulkan masalah lagi nantinya. "Tadi kami kehujanan Pak, dan saya menyuruh Tiana untuk meneduh di rumah saya, dan maaf baru mengantarkan Tiana pulang sekarang, karena daritadi hujan tidak berhenti.." Yama memejamkan matanya sejenak. Ia belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. "Oh yaudah kalau begitu mah, kamu mau mampir dulu apa langsung pulang?" tanya Ibu Tiana sambil tersenyum ramah. "Saya mau langsung pulang aja Bu, nanti kemaleman," ucap Yama sambil menatap ke dalam rumah Tiana yang tampak sepi.  "Hati-hati di jalan, Jang!*" ucap Bapak Tiana. Yama tersenyum kecil lalu pamit sebentar kepada orang tua Tiana. Setelah itu ia kembali menaiki motornya kemudian memakai helmnya. Dilihatnya sebentar rumah Tiana, lalu ia langsung mengendarai motornya untuk kembali pulang. ••••• Yama duduk disebuah kursi yang ada di balkon kamarnya, menatap pemandangan malam yang berbintang yang entah kenapa membuatnya semakin sesak, karena sedari tadi ia tidak bisa melupakan Tiana. Lelaki itu tidak bisa tidur, bayang-bayang Tiana yang menjerit membuatnya merasa sangat bersalah. Tangannya mengambil sebuah botol kaca yang berisikan tequila. Mengangkat botol itu ke atas, Yama mengamatinya dengan tatapan yang tidak terbaca. Karena minuman ini, dia membuat Tiana menjadi korban kebejatannya. Gadis yang lugu dan tidak bersalah itu sudah kehilangan masa depannya. Dan Yama tidak bisa berpikir lebih jauh apakah perbuatannya nanti akan membuahkan hasil? Kepalanya masih terasa pusing, saat ia mengantarkan Tiana tadi, semua yang ia tatap seperti memiliki bayang-bayang bahkan beberapa kali ia memukul pelipisnya menghalau semua itu, karena ia tidak ingin Tiana pulang sendirian, akhirnya dia memaksakan diri untuk mengantarkan Tiana. Dan untungnya ia dapat mengantarkan Tiana dengan selamat. Yama meneguk berkali-kali minuman itu sampai tandas. Saat minuman itu sudah habis, dengan kencang ia melemparkan botol kaca itu hingga mengenai pohon besar di depan rumahnya dan hancur berkeping-keping. ••••• Mendekati UN, anak kelas 12 sedang gencar-gencarnya belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Beberapa dari mereka ada yang semangat ambis karena sangat berharap diterima di universitas impiannya lewat SBMPTN, namun nilai UN juga sangat penting untuk kelulusan. Walaupun jalur masuk perguruan tinggi hanya ada tiga jalur yaitu SNMPTN, SBMPTN, dan Mandiri, sekolah sangat ingin mendapatkan rata - rata nilai UN yang cukup tinggi, selain untuk prestasi dan tentu saja untuk akreditasi sekolah. Berbeda dengan Yama, lelaki itu bahkan sekarang tengah memejamkan matanya di atas meja. Tidak mempedulikan guru yang sedang menerangkan di depan. Abrar—sahabat sekaligus teman sebangkunya—merasa gelisah karena sedari tadi Pak Yudha terus melihat ke arah bangkunya. Pak Yudha adalah guru yang galak, ganas dan juga mengerikan. Bagaimana tidak? Penampilan fisiknya yang gendut dengan kepala plontos dan juga kumis tebal membuat orang yang melihatnya bergidik ngeri. "Balaram Yamadipati!" panggil Pak Yudha dengan suaranya yang keras. Membuat Yama langsung membuka matanya dan mendongak ke depan melihat seluruh teman sekelasnya yang menatap dirinya. Lalu tatapannya tertuju pada guru matematika yang sudah berjalan menuju tempat duduknya. "Lo sih tidur! Bangke!" bisik Abrar kesal. Yama hanya bisa berdecam kesal. Pak Yudha menjewer telinga Yama dengan kencang yang membuat lelaki itu menjerit keras. "Berani kamu tidur waktu pelajaran saya?!" "Aduh, Pak! Udah, Pak! Sakit Pak!" ringis Yama sambil menyentuh tangan Pak Yudha yang tengah menjewernya. "Bangun! Cuci muka sana! Empet aing deleu bengeut maneh!**" ucap Pak Yudha kesal dan langsung melepaskan jewerannya. Yama langsung berdiri dan berjalan keluar kelas. Dia berjalan menuju kamar mandi, tapi sebelum sampai, ia melewati sebuah kelas, yaitu kelas 10 IPA 3, dia melihat beberapa anak yang sedang bermain di depan kelas. Ia mendekati kelas itu, lalu melihat ke dalam yang tampak ramai karena sedang freeclass.  Mata Yama terus meneliti satu satu murid di dalam sana. Namun yang ia cari belum juga ketemu. Tiba-tiba saja ia melihat Elis yang sedang membaca novel di dekat jendela. Bibirnya melengkung sangat manis. "Elis!" panggilnya kencang yang membuat penghuni di dalam kelas langsung menatap ke arah dirinya yang berdiri di depan pintu kelas. Elis yang merasa dipanggil pun mendekati lelaki itu sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya. "Kenapa Kak?" "Tiana mana? Kok gak sama lo?"  Elis menghembuskan napasnya pelan. "Dia ngechat aku, katanya gak bisa masuk gara-gara dia demam. Tapi katanya udah dibawa ke Puskesmas kok." Yama terdiam. Dadanya lagi-lagi terasa sesak dan nyeri. Tiana sakit? Itu semua pasti karena dirinya.  "Sialan lo Yam!" ucap Yama pelan sambil memukul kepalanya sendiri. "Kak Yama kenapa?" tanya Elis karena ia mendengar u*****n Yama. Lelaki itu menggeleng, lalu berjalan menjauhi kelas itu dan memasuki kamar mandi yang berada di sebelah kelas itu. Yama mencuci mukanya berkali-kali dengan kasar. Lalu menatap dirinya dicermin besar toilet itu. Tangannya mengepal lalu memukul tembok di sebelahnya. Ia merasa sangat bersalah kepada Tiana.  ••••• "Kunaon atuh, ceurik wae?***" ucap Ibu sambil mengelus punggung Tiana yang tengah meringkuk di atas kasur sambil terisak. "Cerita atuh Na.. kamu teh kenapa?" Farida—ibu Tiana—dibuat semakin bingung sebab anak sulungnya itu tidak menjawab apapun. Malah semakin menangis. Ada apa dengan Tiana? Tidak biasanya anak gadisnya itu menangis seperti ini. "Masih pusing? Apa yang sakit, Neng? Sok ngomong ka Ibu," tanya Farida pelan. Akhirnya karena tidak mendapatkan jawaban apapun, Farida memilih berdiri dari samping ranjang Tiana. Mengelus dengan lembut rambut hitam legam anaknya, wanita itu berkata, "Ibu ke kebun dulu ya, kerja dulu sebentar, nanti Hasan pulang sekolah abis zuhur, kalau ada apa-apa bilang ke dia."  Farida menatap sebentar anak perempuannya sebelum ia keluar dari kamar itu. Ketika merasakan Ibunya yang sudah pergi.  Saat itu pula tangisan Tiana tak terbendung lagi. Mencengkeram bantal yang berada di bawah kepalanya dengan erat, tubuhnya meringkuk seperti janin. Tiana benci dirinya yang lemah, kenapa dia tidak bisa melawan lelaki itu? Dan juga.. kenapa ia tidak bisa berhenti menangis? Kenapa bayang-banyang semalam selalu melintas dipikirannya? Tiba-tiba saja ponsel SAMSUNG jadulnya yang berada di samping bantal bergetar dan memunculkan nama seseorang yang paling ia tidak ingin bicarakan saat ini.   Kak Yama is calling..  Tiana memilih untuk tidak mengangkatnya. Ia malah mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap dan membenamkan wajahnya di bantal. Gadis itu merasa lega saat suara ponselnya tidak lagi terdengar. Tiba-tiba terdengar ringtone ponselnya berkali-kali. Ting .. Ting .. Ting .. Ting .. Ting ..Ting .. Tiana lantas mengambil gawainya dan melihat banyak pesan yang masuk. Ia membuka aplikasi w******p dan mendapati 6 pesan dari Yama yang baru masuk. Dan tepat dibawahnya ada 3 pesan masuk yang belum ia baca, padahal pesan itu terkirim dari jam 9 malam. Pesan itu dari Abrar. Karena penasaran akhirnya Tiana membuka pesan dari Abrar. Kak Abrar Halo Tiana         21.15 Lagi ngapain? Maaf ganggu nihh    21.15 Kamu tidur ya? Yaudah semoga mimpi indah niteee        22.12 Entah kenapa bibirnya melengkung samar ketika ia membaca pesan itu. Tapi tak lama senyum itu pudar, tergantikan dengan air mata yang lagi-lagi mengalir. Karena lelah menangis terus, Tiana tak sadar bahwa ia tertidur sambil memeluk ponselnya. ••••• Sementara itu, di kantin sekolah, Abrar tampak kesal sambil membanting ponselnya ke atas meja tempat biasa ia dan sahabat-sahabatnya nongkrong. Dan tentu saja Yama, Farid dan Dirga yang menatapnya merasa heran sambil menatap satu sama lain. "Lu kenapa bray?" tanya Farid. "Anjir muka kusut amat, kek belom keluar," ucap Dirga yang membuat Abrar menoyor kepala sahabatnya yang mempunyai pikiran kotor itu. "Gue tuh kesel! Tiana cuma ngeread chat gue masa, kenapa ya dia? Terus seharian ini, dia gak keliatan di sekolah." Yama yang tadinya sedang meminum teh manisnya tiba-tiba tersedak. Dirga yang duduk di sebelah Yama langsung memukul punggung lelaki itu dengan keras, hingga Yama mengaduh kesakitan. "Sakit b**o! Dendam ya lu sama gue?!" geram Yama. "Refleks Ma, yailah, kek cewek pms aja lu, sensian!" celetuk Dirga. Yama memilih diam dan tidak membalas. "Lo tau gak Yam, si Tiana kemana? Kenapa dia gak keliatan? Gak masuk?" tanya Abrar. "Tanya ke orangnya! Ngapain lu tanya ke gue?"  "Wah kagak bener nih orang, galak bener, lu kenapa sih? Ada masalah lu sama Sinta?" ucap Farid sambil menatap Yama. Tidak biasanya Yama bicara ngegas seperti itu. "Kan kata lo, dia itu seperti adik buat lo, gue liat juga lo deket sama dia, Yam... Apa salahnya sih gue tanya ke lo? Lagian lo itu harus bantuin gue, supaya gue bisa jadian sama Tiana! Lu kan sahabat gue!"  Yama yang mendengar ucapan Abrar seperti ada sedikit di dalam hatinya yang merasa tidak suka. Entah itu karena apa, Yama juga belum bisa memastikannya. "Tiana bukan adik gue! Gue balik ke kelas!" Setelah itu Yama pergi begitu saja meninggalkan tiga orang temannya yang bingung dengan sikap Yama hari ini. ••••• Saat bel pulang berbunyi, Yama dengan cepat menggendong tasnya di pundak kanan dan berjalan keluar sampai panggilan Abrar pun tidak ia hiraukan. Untung jam terakhir pelajaran, gurunya tidak masuk, jadi tanpa doa pulang yang selalu dipimpin ketua kelas, ia langsung saja pergi karena ada hal yang benar-benar membuatnya khawatir. Setelah sampai di parkiran, Yama langsung menaiki motornya—tak lupa memakai helm—dan melajukan motor itu ke tempat tujuan. Ia sempat berhenti di sebuah toko bunga, dan membeli setangkai mawar mewah, lalu berhenti lagi di sebuah minimarket untuk membeli beberapa cokelat dan juga makanan. Senyumannya mengembang seketika. Mudah-mudahan, dengan ini semua, ia bisa dimaafkan. Walaupun dalam hatinya ia tidak yakin. Beberapa menit kemudian, akhirnya ia sampai di rumah yang sering kali ia datangi. Lelaki itu membuka helmnya dan menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan lalu ia turun dari motornya yang terparkir di halaman depan rumah itu. Berjalan pelan mendekati pintu utama, jantung Yama berdetak cepat. Menetralkan napasnya sejenak, akhirnya tangannya terangkat dan bergerak mengetuk pintu itu. Matanya terpaku ketika melihat orang yang membukakan pintunya.  "Tiana.. gimana kabar lo? Udah baikkan?" tanya Yama sambil menatap Tiana yang mematung di hadapannya.  Baru saja Tiana ingin menutup pintunya lagi, namun ada yang menahannya dari luar. Siapa lagi kalau bukan Yama, orang yang paling tidak ingin ia temui. "Pergi!!" teriak gadis itu yang membuat Yama terperanjat kaget. "Please.. please kita harus bicara Na! Gue mohon!" ucap Yama sambil menahan pintu itu dengan tangan kirinya. Karena di tangan kanannya ia membawa barang yang sudah ia beli tadi untuk gadis di hadapannya itu. "Pergi! Pergi! Aku gak mau ketemu lagi sama kamu!" gertak Tiana. "Aku benci Kak Yama! Pergi! Aku gak mau Kak Yama ke sini lagi!" Lutut Yama melemas mendengarnya. Tangannya yang menahan pintu itu tiba-tiba meluruh dan suara pintu tertutup membuat ia memejamkan matanya. Lagi-lagi dadanya terasa sesak. Ucapan Tiana membuatnya sakit hati? Yama akhirnya menaruh bunga dan cokelat itu di depan pintu Tiana. Lalu ia berbalik, berjalan kembali menuju motornya. ••••• Dua minggu lebih setelah kejadian itu, Tiana benar-benar menjauhinya. Bahkan setiap kali ia menghampiri gadis itu di sekolah, Tiana selalu menghidar. Dan hari ini merupakan hari senin, dimana setiap paginya murid-murid SMA ADIPATI melaksanakan upacara. Panas. Sudah pasti. Bahkan Yama beberapa kali memilih tidak mengikuti upacara hingga selesai dan mengumpat di UKS dengan alasan sakit. Padahal dia hanya ingin berteduh saja. Dan beberapa kali juga anak PMR menegurnya. Seperti saat ini, ia dan Farid sedang duduk di bangku yang sudah disediakan anak PMR untuk murid-murid yang sakit. Dan ketika ada murid yang pingsan, sudah disediakan dua buah bangsal di sebelahnya. "Tiana pingsan! Tolong!"  Saat itu juga Yama menoleh dan mendapati seorang guru olahraga yang tengah menggendong Tiana yang sudah memucat. Yama mengamati terus hingga Tiana ditidurkan di atas bangsal UKS.  "Dia kenapa Pak?" tanya salah satu anak PMR yang bernama Azkia. "Gak tau Bapak juga, sepertinya belum makan, jarang sekali Tiana pingsan seperti ini. Yaudah saya balik lagi ke lapangan ya," ucap Pak Bimo dengan napas yang tersendat-sendat. Dan pria itu langsung pergi keluar dari UKS. "Buka dua kancing paling atas! Ambil minyak kayu putih!"  Dengan cepat anak PMR itu memberikan pertolongan kepada Tiana. Yama yang melihat itu merasa khawatir. Karena tidak ingin mengganggu, ia memilih duduk diam di tempatnya. "Kasian banget Tiana, pasti kalau Abrar liat, udah panik dia," celetuk Farid. Yama yang mendengarnya mengepalkan tangan secara tidak sadar. ••••• * : jang, berasal dari kata bujang. ** : sebel saya lihat muka kamu   *** : kenapa atuh kamu nangis terus?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD