KTA'S 08 - The Feeling

2116 Words
"Hai, udah siap?" Kedatangan Tiffany bersama satu pertanyaannya membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya. Termasuk Nanta dan terutama Teddy yang langsung terpaku. "Loh, kok—." Pertanyaan yang hendak Teddy lontarkan segera terpotong oleh tepukan tangan Adi di bahunya, seraya menjawab, "Dia yang mau nampung kita di rumahnya." Dan seakan sudah tahu perihal apa yang Teddy tanyakan. "Oh." Mulut Teddy membulat tanpa sadar. "Oke, oke," lanjutnya mengangguk-anggukkan kepala. Nanta menyenggol pelan lengan Teddy, lalu merilik dan tersenyum penuh arti. Teddy yang mengerti segera meminta Nanta untuk diam. "Beneran udah siap, kan? Udah nggak ada yang ketinggalan?" Tiffany bertanya lagi. Dan dengan kompak dijawab, "Iya, siap!" Lalu dilanjut dengan sebuah candaan, "Nggak ada. Si Teddy aja ditinggal." Semua terbahak, kecuali Teddy yang menatap Hans dengan sebal. Nanta menepuk-nepuk bahunya pelan. "Sabar," bisiknya kemudian. Tapi Teddy abai, ia segera menghampiri Tiffany yang hendak menaiki bus. "Fan," panggilnya lantas berdiri di samping cewek yang menjadi gacoannya. Tiffany menoleh lalu menghentikan langkahnya. "Mau duduk sapa siapa? Sama gue, yuk," ajak Teddy jauh dalam lubuk hatinya sangat tidak mengharapkan penolakan dari cewek di hadapannya ini. "Belum tau." Dua kata itu sukses menumbuhkan harapan di hati Teddy. "Usaha terooossss, Ted!" Hans berteriak dari balik jendela bis yang terbuka lebar-lebar. Seluruh sorot mata tertuju pada Teddy seraya memandangnya dengan tatapan aneh. Sambil menahan malu yang bercampur marah, Teddy berusaha abai. Ditatapnya Tiffany dengan sedikit senyuman yang terangkat penuh rasa canggung. "Sorry, gue nggak ada maksud lain. Cuma ya, si Nanta udah sama yang lain, jadi gue sendiri," ujar Teddy beralasan. "Bohong banget sih, Ted." Hans kembali menyelatuk. Tiffany tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mau kan?" tanya Teddy lagi. Disusul dengan anggukan kecil kepala Tiffany yang nyaris membuat Teddy sujud syukur di tempat. Tapi untung, hal itu tidak Teddy lakukan melihat tatapan mata Nanta yang seakan menyuruhnya untuk tidak melakukan hal-hal berlebihan. Gegas ia menaiki bis dan membuntuti Tiffany. Entah apa yang menjadi alasannya bisa semenginginkan ini pada cewek yang kini duduk di sampingnya. Netranya menatap Tiffany yang tampaknya mulai menyibukkan diri dengan iPod di tangannya. Lalu menoleh ke belakang di mana Nanta tengah duduk tepat pada jok paling belakangan, dengan satu tangan menempelkan telepon genggam ke salah satu telinganya. Teddy kembali mengadakan tatapannya pada Tiffany. Ah, sial. Kenapa rasanya bisa secanggung ini? Ia menggerutu sebal sendiri dengan detak jantungnya yang mulai sulit untuk di kompromi. Padahal tidak ada hal lain yang Tiffany lakukan selain sibuk dengan benda pipih di tangannya sambil memilih lagu-lagu yang menjadi favoritnya, tapi Teddy justru menjadi salah tingkah sendiri. "Rumah lo di Bandung?" Teddy berusaha memulai seraya mengatur nada bicaranya sebiasa mungkin. "Iya, bokap orang Bandung." Tiffany menjawab sambil mengangguk kecil. "Oh." Kendaraan bongsor yang ditumpanginya perlahan beranjak dari tempatnya. Membawa debar jantungnya yang kian berdebur tidak karuan. Teddy kembali menelengkan kepala ke arah Nanta. Menatap satu sahabatnya itu yang tengah ikut sibuk berdiskusi dengan teman-temannya yang lain, meski separuhnya justru asyik bernyanyi-nyanyi alakadarnya. "Pun aku merasakan getaranmu Mencintaiku sepertiku mencintaimu Sungguh kasmaran aku kepadamu." Lirik lagu yang terdengar fals meluncur begitu saja dari sepasang bibir Hans. Cowok itu rupanya tengah duduk tepat di deretan kursi tiga seat samping Teddy. Teddy menolehkan kepala menatap Hans dengan sebal. Sementara Hans justru tersenyum lebar seperti tidak ada masalah apapun. "Gimana suara gue? Bagus, kan?" tanya Hans dengan lagaknya yang menyebalkan. Ia sendiri memiliki tujuan tertentu untuk Teddy. Lalu tersenyum miring. Teddy mendengus. "Bisa diem nggak sih, lo, hah?" responnya gemas setengah mati. Andai tidak ada Hans yang hadir dalam hidupnya pasti ia akan merasa damai dan duduk di samping Tiffany dengan tenang, seperti pasangan yang sedang melakukan pendekatan pada umumnya. "Haduh! Dah, lah. Gue cabut dulu." Hans beranjak dari duduknya lantas berlalu menghampiri Nanta. Teddy menghela napas. "Lo nggak diskusi sama yang lain?" tanya Tiffany. Teddy menggelengkan kepala. "Jujur aja, gue nggak ngerti apa yang lagi mereka omongin." Lalu terkekeh kecil. Merasa bodoh sendiri sudah mengatakan hal itu pada cewek sepintar Tiffany. "Ikut aja kali. Nanti juga lama-lama lo akan paham," saran Tiffany. Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan. "Fan, udah pernah muncak?" "Pernah." "Gunung mana yang udah lo daki?" "Cuma sekali, sih. Itu pun cuma di sekitaran deket rumah." "Loh, kenapa?" "Fisik gue nggak kuat." Tiffany tersenyum getir. Sorot matanya seperti menampakkan kelemahan yang selalu ia sembunyikan rapat-rapat. Teddy kembali memanggut-manggutkan kepala, mengerti dengan keadaan Tiffany. Sesaat ia teringat pada Nanta. Perlahan suasana mulai hening, seluruh penumpang minibus elf memilih untuk geming. Bunyi-bunyi nyanyian fals ikut lenyap bergantian dengan kedua mata yang terlelap. Meski deru mesin terdengar meraung, saling mengejar laju roda. Tangan Nanta bergerak membuka kaca jendela. Tak lama kemudian angin sejuk menerpa wajahnya dengan damai. "Kretek, Bang?" Disodorkannya sebatang rokok ke arah Adi yang tampak masih serius dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Adi hanya mengangguk. Tidak menoleh, namun tangannya menerima rokok yang Nanta julurkan padanya. Nanta menyalakan pemantik api, membakar ujung rokoknya sebelum bergantian dan memberikan pemantiknya pada Adi. Asap dengan cepat mengepul ke udara, melayang lekas terbawa angin yang berhembus dari jendela. "Lo tau Panji?" tanya Adi dengan suara pelannya. Standar, dengan oktaf suara yang normal. Ia kembali memberikan korek itu pada Nanta yang langsung menerimanya dan memasukkan koreknya ke dalam saku kemeja kotak-kotaknya. "Ketua BEM Fakultas?" tanya Nanta memastikan. "Iya. Panji Sugeng Mandala." Adi membenarkan. "Kenapa?" Tatapan Nanta jatuh pada rasa penasaran. Adi mengembuskan napas panjang. Mengepulkan asap yang segera lenyap. "Di jurusan HTN, dia jagonya debat. Setau gue bokapnya pejabat," jelasnya. "Anaknya DPR dia." Dari jok tepat depan Nanta, Hans ikut menyahut lalu tertawa. "Makanya, minggu lalu pernah gue gebrak soal demo KRUHP sama UU Pelemahan KPK, tapi dia nggak nanggepin. Ya, karena itu, bokapnya sendiri yang ikut ngesahin." "Update ye, lu." Rezky ikut menyambung. Hans kembali tertawa. "Makanya, kalo soal pemilu lo cari tau dulu latar belakang calonnya. Jangan asal colok aja. Masih mending kalo colok anu, masih ada enak-enaknya. Nah ini, asal colok ya kita yang sekarat, boro-boro nikmat." Rezky terbahak. Mendengar penuturan Hans kabel-kabel di dalam otaknya seakan dengan cepat tersambung begitu saja. "Iya, iya. Bener juga lo kalo ngomong." "Mau colok anu juga kita masih harus milih." Nanta menambahkan. "Nah tuh, lo paham." Hans semakin mengiyakan. "Jadi, jangan cuma dikasih cepek yang cuma bertahan tiga hari, tapi justru bikin lo sengsara satu periode lamanya. Karena nggak ada janji yang benar-benar bisa ditepati oleh orang-orang yang hanya berambisi, tapi nggak tau sama tanggung jawabnya," lanjutnya. Yoseph menepuk-nepuk bahu Hans. "Haduh! Kakak ini bijak sekali, ya?!" serunya bangga. "Ya emang harus bijak, kalo nggak bijak gimana lo bisa bajik?" Hans merespons dengan mantap. "Ah, iya. Benar sekali!" Yoseph mengacungkan ibu jarinya ke arah Hans. Hans justru berdecak sebal saat ibu jari Yoseph nyaris meninju hidungnya. "Tangan lo bau t*i, nggak usah gitu juga kali!" omelnya. Yoseph hanya terkekeh. *** Laju roda dari kendaraan bongsor itu berhenti tepat di halaman luas depan rumah bergaya Eropa klasik. Tampak di teras luasnya beberapa orang yang dapat dipastikan merekalah yang menjadi tuan rumah sedang berdiri dengan wajah berseri-seri. Tiffany segera meluncur ke pelukan sang ibunda, memeluknya dengan erat, melepas beban rindu yang terasa kian berat. Lalu bergiliran memperkenalkan teman-temannya yang sudah menjadi ritual paling wajib untuk dilakukan. "Hayuk atuh, kita masuk. Ambu udah siapin makanan enak buat kalian." Ambu terlihat bersemangat menyambut tamu-tamunya, lalu menggiring mereka ke ruang makan. "Aduh, Ambu. Hatur nuhun pisan, hampurana ngarepotkeun Ambu jiga kieu." Radit menyahut sopan. "Bae atuh, Jang. Teu nanaon pisan. Iraha deui bisa kieu si Tiffany balik mawa babaturanna." Ambu memaklumi dan tampaknya memang tidak keberatan dengan datangnya sepuluh orang ke rumahnya. Tawa hangat merebak, seperti harum semerbak bunga di pagi hari hari. "Bi ... Bibi!" Ambu masuk ke rumahnya seraya berteriak memanggil wanita berusia kepala tiga yang lantas muncul tergopoh-gopoh dari samping rumah. "Tulung bantuan si ujang jeung si eneng mawaan barangna, ka kamarkeun, un?" titah Ambu. "Muhun." Wanita yang dipanggil dengan sebutan Bibi mengangguk patuh. "Mang Anu, bantuan si Bibi, yeuh!" Ambu berteriak lagi memanggil pria dengan usia tak jauh berbeda dari si Bibi dan tampak tengah sibuk mengurus tanaman di samping rumah yang lain. "Muhun, Nyonya." Mang Anu pun bergegas melaksanakan tugasnya. "Kadieu, A, Teteh. Mamang nu mawaan barangna," pinta Mang Anu dengan sopan. "Oh, muhun, Mang. Hatur nuhun pisan," respon Nanta yang tanpa ia sadari mendapatkan perhatian khusus dari seorang cewek di kejauhan ruang tengah. Teddy menghampiri Nanta, menepuk bahunya dan merapatkan tubuhnya. Lalu berbisik, "Lo bisa bahasa Sunda?" "Iya, bisa. Kenapa emang?" Nanta menatap Teddy dengan raut aneh. "Lo sebenernya orang mana, sih? Orang Jawa apa orang Sunda?" lanjut Teddy yang kerap dibuat bingung dengan latar belakang kehidupan Nanta. "Saya asli Jawa." "Coba ngomong Jawa," perintah Teddy. Nanta justru terdiam menatap satu sahabat paling gila yang selalu hadir dalam hidupnya. "Coba lo ngomong 'Saya pergi tamasya, berkeliling-keliling kota, sambil melihat-lihat, becak-becak coba culik saya'," lanjut Teddy. Nanta menghela sabar. "Saya nggak bisa bahasa Jawa," akunya. "Nah, gimana ceritanya orang Jawa nggak bisa ngomong Jawa?" "Saya besar di Bandung. Lima belas tahun saya di Bandung. Sejak lahir," jelas Nanta segera berlalu meninggalkan Teddy. "Eh, nih bocah." Teddy menggerutu. Getar ponsel yang terasa merambat ke pangkal pahanya dari dalam saku celana membuat Nanta memilih menepi lebih dulu. Terlihat id contact person yang ia namakan secara khusus muncul mengisi layar ponselnya. Ia menarik napas pelan sebelum menyapa si pemanggil di seberang sana. "Hallo." "Ya." "Kamu udah sampe?" "Baru sampe, nih." "Kok jawabnya lemes gitu?" "Iya, minta disemangatin sama kamu katanya." Di seberang gadisnya tertawa. "Okey. Semangat ya, my honey bunny sweety." "Lebay, ah." Nanta terkekeh. "Ya biarin, terserah aku." "Iya, apa sih yang nggak kalo buat kamu?" "Tuh kan, kamu juga lebay." Nanta tertawa lagi. "Udah ya, La. Saya masih ada urusan." "Hm, okey. Hati-hati, ya. Jangan lupa kabarin aku kalo ada apa-apa." "Iya, Sayang." "Dahhh ...." "Dahhh." Tut! Panggilan berakhir. Lagi, ia ingin menyerah. Namun sepertinya, Laisa terlalu istimewa untuk ia lepaskan begitu saja. Ia kembali, menghampiri teman-temannya yang terlihat sudah siap untuk menyantap banyaknya hidangan yang tersedia di meja makan. "Hayuk atuh, Jang. Dahar heula," ajak Ambu pada Nanta. "Muhun, Ambu," sahut Nanta membungkuk sopan lalu duduk tepat berhadapan langsung dengan Tiffany. Sesaat ia melempar senyuman tipis pada cewek itu. "Anggap saja seperti di rumah sendiri, ya." Ambu kembali berbicara. "Jadi teu usah malu-malu," lanjutnya. "Muhun, Ambu," jawab yang lain bergantian, termasuk Yoseph yang terlahir sebagai anggota suku Manado tulen. "Nggak usah dipaksain, Seph." Hans tergelak. Yoseph malah terlihat malu-malu dengan senyuman tipisnya. Sedangkan semua tampak tertawa mendengar cara penuturan Yoseph dalam bahasa Sunda yang terasa kikuk. Perbincangan hangat turut hadir melengkapi jam makan malam yang secara ajaib dapat mengusir hawa dingin karena turunnya kabut dari pegunungan. Kebun teh yang tampak di kejauhan pun mulai diselimuti kabut putih. Usai makan malam mereka berhambur menuju kamar, merebahkan tubuhnya yang terasa kaku setelah seharian melakukan perjalanan nyaris lima jam lamanya. Berbeda dengan Nanta yang justru lebih memilih menikmati hawa dingin di teras rumah dengan ditemani kretek di jarinya. "Nggak masuk?" Seseorang menegurnya. Nanta berbalik dari hadapan pagar setinggi pinggang di depannya. "Eh, nggak. Lagi cari hawa aja," jawab Nanta sekenanya. "Emang nggak dingin?" tanya cewek itu. "Saya suka suasana seperti ini." "Oh ya?" Raut tidak percaya tampak jelas terpampang. "Hm." Nanta hanya menggumam singkat. "Bisa bahasa Sunda belajar dari mana?" Obrolan berusaha ia buka. "Ya, nggak jauh-jauh dari teman main." Nanta menjawab dengan sekenanya lagi. Cewek itu berjalan menghampiri dan berdiri di sampingnya. Asap yang mengepul di udara segera Nanta jauhkan dari jarak cewek itu. "Fan, gimana sama perkembangan KRUHP?" tanya Nanta. "Mengkhawatirkan, para oligarki masih berusaha keras untuk mewujudkan rencana busuknya. Mereka seakan lupa kalau di sini, rakyatlah yang berkuasa." Sebelah sudut bibir Nanta tersungging tipis. "Menurut kamu apa yang melatarbelakangi tindakan mereka?" "Tentu kepentingan mereka, Nan. Kepentingan mereka yang sama sekali nggak memikirkan kepentingan rakyat jelata." Cerdas, batin Nanta. Lalu tertawa kecil. "Saya kagum dengan semangat kamu," ungkapnya menepuk-nepuk bahu Tiffany pelan. Tiffany ikut tertawa. "Terima kasih. Tapi gue nggak butuh pujian," katanya menolak dipuji. "Kamu butuh. Tapi berharap untuk nggak perlu diungkapkan." Nanta menyanggah. Tiffany tertawa kecil. "Gue lebih butuh cowok yang bisa seperti bokap gue," ungkapnya pedih. "Ke mana pun lo cari, bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun. Lo nggak akan pernah bisa ketemu, Fan." "Loh, kenapa? Bukannya kalo memang cinta dia akan berusaha mewujudkan segala yang gue mau?" "Yang kamu mau belum tentu menjadi yang kamu butuhkan, Fan. Dan nggak bakal ada cowok sejati yang mau merubah dirinya, sekalipun demi cewek yang dia cinta." Tiffany terdiam. Lalu tersenyum menatap Nanta. "Tapi gue lagi nyaman sama seseorang, biarpun kami jarang ngobrol," ungkapnya dengan jujur. "Oh ya?" "Heem." Nanta mendesah sambil mengepulkan asap rokok ke udara setelah menghisapnya dalam-dalam. "Ah, beberapa perasaan memang sebaiknya disimpan dan beberapa yang lainnya, silakan untuk diungkapkan jika dirasa keberadaannya justru kian meresahkan." "Right, nanti gue ungkapkan. Untuk sekarang gue cari time yang pas dulu." Tiffany tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD