KTAS 06 - Best Of It

2044 Words
Benar yang dikatakan Teddy kemarin, Pak Samir menunjuknya untuk ikut dialog interaktif kebangsaan yang akan diadakan minggu depan di aula fakultas. Tidak ada alasan yang tepat untuknya agar bisa menolak ajuan Pak Samir. Meskipun pagi ini ia sudah memohon-mohon pada Pak Samir untuk menghapusnya dari daftar peserta dialog. "Sudah, tidak apa-apa, Ananta. Ini akan menjadi pengalaman bagus kamu selama kuliah," kata Pak Samir membujuk. "Tapi, Pak, saya nggak pernah tertarik. Takutnya saya malah mengacau," alibi Nanta. Tentu akan dijawab dengan mudah oleh Pak Samir. "Tapi saya tertarik dengan tulisan-tulisanmu yang kamu unggah di blog. Saya menyukainya." Pak Samir masih kekeh. "Untuk hal ini, kamu cukup kritis dari teman-temanmu yang lain. Sayangnya, kamu kurang begitu berambisi. Padahal kalau kamu mau memiliki ambisi sedikit saja, kamu bisa menjadi yang terbaik di antara teman-temanmu. Saya berani jamin kalau nilai-nilai kamu pun nggak akan kalah saing dengan teman-temanmu yang lain," ujar Pak Samir dengan jujur. Nanta menghela berat. Ia hanya menyukai dunia tulis, bukan dunia debat. Ia hobi menulis, bukan hobi berbicara. Kecuali bercerita banyak pada Laisa meski harus diawali dengan pertanyaan dari gadisnya. "Sudah, di sini saya akan menumbuhkan ambisi yang ada dalam diri orang-orang seperti kamu. Karena memang itu tugas saya sebagai kepala jurusan." Pak Samir menepuk bahunya. "Kamu tahu kakak tingkatmu, si Adi itu, yang pandai berdebat?" Nanta mengangguk. "Awalnya dia pun sama seperti kamu. Kuliah ogah-ogahan dan nyaris terkena DO. Tapi pada suatu ketika, saya ajukan dia untuk ikut berdebat, karena saya tahu kemampuannya dalam berdebat. Dan ketika debat itu, dia berhasil mengekpresikan emosi dan jiwanya untuk ikut aktif mengkritisi materi debat." Pak Samir bangkit dari duduknya. Lalu meraih jas hitam yang tersampir di stand hanger dekat meja kerjanya. "Akhirnya dia tertarik. Sampai beberapa kali menjadi mahasiswa terbaik di ajang lomba debat nasional," lanjutnya. "Sudah. Saya harus mengisi kelas," ucapnya berpamitan. Meninggalkan Nanta di ruangan luas yang cukup senyap. Ia akhirnya mengekor Pak Samir dan pria tua itu tahu. "Sebenarnya kamu itu cerdas. Jadi saya ingin melihat kecerdasan kamu secara langsung di ajang dialog interaktif minggu depan." "Baik, Pak. Akan saya coba." Nanta berserah. Ia terlalu lemah jika terus memohon kepada Pak Samir untuk bisa mengundurkan diri dari peserta dialog interaktif. Pak Samir tersenyum. Menepuk-nepuk bahu Nanta lantas berbelok menuju lorong koridor arah Barat. Sementara Nanta menghentikan langkahnya dan duduk di bangku panjang bawah tangga. Bersandar dan menghela berat. Mungkin ini kesempatannya untuk menunjukkan pada Bapak bahwa dirinya mampu. Ah, ia mendesah panjang. Menyandarkan tubuh pada tembok di belakangnya, lalu mengarahkan matanya ke atap gedung. Seolah sedang menatap harapan yang tampak mengawang di atas sana. "Ngapain lo? Nyari cicak?" Seseorang menepuk pundaknya, disusul dengan mendaratkan pangkal paha bagian belakangnya ke kursi. Nanta menoleh ke arah Hans yang menyelipkan sebatang kretek di bibirnya. Dan laki-laki dengan selisih usia satu tahun dengannya menyodorkan sebatang kretek lagi pada Nanta. "Sore ini, kita kudu nyiapin bahan debat. Bukan debat juga sih, masa debat anggotanya sepuluh orang. Kayak mau tawuran antar kelas aja." Tanpa basa-basi Hans menceletuk. "Lo udah tau kan infonya?" tanya Hans. Nanta mengangguk singkat. "Iya," sahutnya lekas. "Tapi tenang aja. Biasanya kalo dari jurusan kita ada Adi sama Yoseph yang nyiapin bahannya. Mereka kan couple debat." Nanta kembali mengangguk-anggukkan kepala tanpa memberikan komentar lebihnya. "Oh iya, tadi gue liat cewek lo. Buset! Cakeup bener." Hans nyaris berseru. Nanta menyunggingkan senyum tipis. "Saya belum ketemu," jujurnya. "Hadeuh! Pacar macem apa, sih, lo?" Hans menggerutu. "Kalo nggak mau, mending buat gue aja yang sejalan sama dia," kelakarnya kemudian terkekeh. "Ya, kalo dia mau sama Bang Hans ambil aja. Masalahnya kan dia mau atau nggak?" balas Nanta telak. "Yeuh! Ngeremehin gue, lo," kesal Hans. "Nggak gitu juga. Cuma ya lebih baik menghindari daripada mengobati." Nanta terkekeh. Sekarang giliran Hans yang geleng-geleng kepala tidak habis pikir. "Tadi abis ngapain, Bang?" tanya Nanta. "Abis ketemuan sama Bu Anita. Mau ngajak nge-date nanti malam." "Bah! Pengen digibeng kali kau sama suaminya." "Gue gibeng balik." Hans berlagak menantang. Namun kemudian merengut sambil pura-pura menganggukkan kepala untuk menyapa ketika melihat Pak Seto lewat lalu menaiki tangga. Nanta hanya bisa menahan tawa. "Panjang umur tuh orang. Baru juga dibilangin." Hans menggumam setelah Pak Seto benar-benar hilang dari pandangan matanya. Ia mengelus dadanya yang hampir jebol. "Udah, ah. Nanti sore kita ketemuan di warung Abah. Gue masih ada kelas," pamit Hans. "Jangan bolos terus, lo. Laisa lebih butuh cowok yang masa depannya cerah," ucapnya lagi sebelum benar-benar pergi. Ah, benar juga yang dikatakan Hans. Meski belum tentu Laisa akan menjadi jodohnya. "Seenggaknya saya nggak bikin anak orang susah," gumam Nanta gegas melangkahkan kaki menuju ruang kelasnya, sebelum akhirnya Pak Bustomi melarangnya untuk masuk hanya karena telat satu menit. Dari arah lahan parkir yang tertuju langsung pada lobi gedung fakultas Rezky muncul, tangannya bergandengan dengan tangan Eliana sambil bercanda ria entah apa yang menjadi candaannya. "Eh, nih, anak. Main nyelonong aja, nggak nyapa apa-apa," seru Rezky pada Nanta yang berlalu melewatinya begitu saja. "Malas kali. Ntar yang ada malah jadi nyamuk," sahut Nanta sambil terus melangkahkan kaki. Rezky berdecak sambil geleng-geleng kepala, lalu tangannya bergerak cepat membetot tas yang melekat di punggung Nanta. Hingga tubuhnya nyaris terjengkang. "Eh, Batok. Giliran lo dibegiin nggak mau," protes Rezky. "Ya ngapain, kan saya juga bisa sendiri," elak Nanta tak mau kalah. "Dah lah, sue abu kopra!" maki Rezky agak sebal. Eliana hanya terkekeh. "Kamu nggak sama Laisa?" tanya Nanta menyejajarkan langkahnya dengan Eliana. "Ada juga kita yang harus nanya lo," balas Rezky nyaris memekik. "Kan udah keliatan saya lagi sendiri." Nanta membalas dengan roman yang sukses membuat Rezky semakin jengkel. "Udahlah. Terserah lo! Anak setan nggak usah diladeni." Rezky menarik Eliana mendahului langkah Nanta menuju kelas. Nanta terkekeh sendiri. Berhasil membuat teman-temannya kesal ternyata memiliki sensasi yang tak biasa. Terasa seperti beban emosi yang ada di pundaknya perlahan mengalir dan berpindah pada emosi Rezky. *** Sepeninggal Pak Bustomi, Adi dan Hans datang bergantian mengisi kelas. Kedua bola matanya segera tertuju pada Nanta yang sedang berada di pojokan kelas dan tengah sibuk sendiri mencorat-coret buku kecil dengan penanya. "Nanta." Tanpa basa-basi Adi langsung memanggil. Sukses membuat semua kepala yang ada di ruangan itu menoleh ke arahnya. Tangan Teddy lekas meraih earphone yang menyumpal rapat-rapat telinga Nanta. Ia menoleh dan menatap Teddy dengan penuh tanya. "Dicari kating kesayangan, tuh," celetuk Teddy mengarahkan kepalanya sekilas pada dua orang yang tengah berdiri di ambang pintu. "Sama lo juga, Ted." Hans menunjuk Teddy. "Sini ikut," lanjutnya. Teddy mengalihkan pandangannya pada Nanta. Seolah bertanya, "Mau ngapain sih, tuh anak?" Dan Nanta membalasnya hanya dengan mengedikan bahu, seolah menjawab, "Nggak tau, udah ikut aja." Teddy menurut lantas dengan malas-malasan ikut menghampiri Hans dan Adi. "Kenapa, Bang?" tanyanya setelah berdiri tepat di hadapan Hans. "Udah, ikut aja." Hans menggiring ketiga adik tingkatnya menuju suatu tempat. Dan tepat di lobi gedung fakultas tiga cewek dan dua cowok ikut bergabung dengan mereka. Kelimanya Nanta tahu mereka hanya sebatas nama. Ia tak pernah benar-benar mengobrol, lagipula menyapa pun rasanya sungkan. Mereka berjalan menuju pohon rindang yang tepat ada di taman belakang gedung fakultas. Taman yang cukup luas dengan danau buatan di hadapannya. Lalu duduk melingkar di atas rerumputan hijau, saling berhadapan satu sama lain. "Sorry nih, ya, kalo gue ambil waktu kalian. Gue udah minta ijin kok ke dosen kalian. Karena memang sepuluh orang yang gue pilih atas ketersediaan kalian ini diperkenankan untuk menyiapkan bahan pembahasan dalam dialog interaktif." Adi memulai setelah pembukaan. "Apalagi waktu yang tersedia cuma satu minggu kurang," lanjutnya. "Ya, cukuplah, ya, buat kita nyiapin bahan sekaligus mempelajarinya. Sedikit-banyaknya kita juga perlu riset dan terjun langsung ke lapangan. Karena kita harus tau keadaan lapangan secara langsung." Hans ikut menambahkan. Adi kembali berbicara. Menjelaskan skema dialog interaktif dengan otak cerdasnya. Iya, tentu. Nanta memperhatikannya dengan seksama. Bagaimana seorang Adyaksa Hanenda mampu beradaptasi di atas ketidakhendakannya saat bermula memasuki jurusan ini. Jurusan yang akan lebih banyak melibatkan diri demi kepentingan banyak orang di atas kepentingannya sendiri. Sepertinya Pak Samir berhasil memantik api semangat yang redup pada diri Adi. Dua jam berlalu dan diskusi baru selesai. "Jadi besok kita harus berangkat ke lokasi buat riset?" Teddy bertanya sambil menyelonjorkan kakinya yang pegal. "Ya, besok siang kita kumpul di tempat parkir depan perpustakaan." "Berapa hari, Bang?" lanjut cowok yang duduk di samping Nanta. "Nggak lama, cuma dua hari. Lusa pagi kita pulang. Tapi itu pun tergantung sama proses riset kita." Yoseph menjelaskan. "Ini udah selesai kan, Bang?" tanya Nanta yang langsung ditimpali oleh Hans. "Buru-buru amat sih, Nan. Santai dulu, napa." "Teddy sama Rezky aja santai, kok." Adi ikut menambahkan. "Maklum, Bang. Ada kelas, udah empat kali saya nggak masuk," jelas Nanta. Hans menggeleng-gelengkan kepal. "Belum lebih parah dari si Adi dulu," katanya membandingkan. "Ya, jangan dong," balas Nanta bernada pasrah. Hans hanya tertawa. Gegas Nanta pamit dari sana bersama Teddy dan Rezky. Meninggalkan tujuh orang itu dan berjalan menuju ruang 20 di gedung fakultas. "Nggak nyangka, gue yang pas-pasan gini ditunjuk buat ikut dialog interaktif kayak begini." Teddy bergumam merasa tersanjung sendiri. "Lo berdua tau sendiri kan, acara kayak gini tuh, acara buat orang-orang ambis. Liat aja tuh tadi mukanya si Karin, si Radit sama siapa lagi dah tuh, au dah," lanjut Teddy heboh sendiri. Nanta setuju dengan pendapat Teddy. "Tapi bukannya kamu juga ambis?" Namun ia menyanggahnya. "Gue bukan ambis, gue cuma menerima yang udah jadi jalan gue," jelas Teddy meluruskan. "Nih, yang paling ambis di antara kita dia, nih." Teddy menarik Rezky ke dalam rangkulannya. "Iyalah, biar masa depan gue jelas." Rezky membela diri. "Halah! Sok lo!" Teddy memaki agak kesal dengan sikap Rezky. "Ngapa, sih? Syirik mulu!" balas Rezky tak mau kalah. "Ambis doang nggak cukup, Ky. Harus ada tanggung jawabnya juga sebagai action." Nanta menyentil. "Iye, paham!" "Kalo ambis doang, ntar yang ada malah jadi kayak pejabat. Mereka ambis, tapi nggak tau tanggung jawabnya seperti apa. Makanya buta." Nanta masih melanjutkan. "Wih! Bibit unggul calon korlap demo, nih!" Teddy berseru nyaring sambil mengguncangkan bahu Nanta. "Ya, nggak gitu juga kali." Nanta segera melepaskan diri. Terlalu lama dekat-dekat dengan Teddy akan membuat organ tubuhnya terguncang hingga berpindah tempat. Teddy terkekeh. Seiring dengan langkah kakinya mereka lantas berbelok menaiki puluhan anak tangga menuju lantai dua. "Cabin lo kenapa, tuh?" Teddy menepuk-nepuk pundak Nanta saat kakinya hendak berbelok ke sebuah tikungan yang tertuju langsung pada lorong koridor ruang 20. "Cabin?" Nanta mengernyit. "Calon bini!" Teddy setengah membentak dengan gemas. "Pingsan g****k!" Rezky menambahkan sambil menoyor kepala Nanta. Ia pun ikutan gemas. Mata Nanta segera mengedar ke arah yang Teddy tunjukan. Sukses membuat ayunan langkahnya gegas menghampiri Laisa yang tergeletak di tengah koridor. Namun langkahnya harus kalah cepat dengan kedatangan Panji yang segera membopong Laisa dan membawanya menuju unit kesehatan kampus. Nanta hanya mengikutinya sambil memberi jalan dari ramainya kerumunan mahasiswa di koridor saat baru selesai mengikuti jam kelas. Sesampainya dengan hati-hati Panji merebahkan tubuh Laisa di atas brankar. Satu perawat datang untuk memeriksa kondisi Laisa. "Dia hanya kelelahan, jadi butuh istirahat yang cukup," jelas suster itu setelah memeriksa Laisa. Nanta yang berdiri di samping pintu berjalan mendekat. "Makasih banget, Bang," ucapnya pada Panji. Laki-laki itu menoleh. Menatap Nanta dari balik kacamata retro klasik yang bertengger di pangkal hidungnya. "Lo ada jam kelas, kan?" tanyanya tanpa berniat membalas kata terima kasih yang Nanta ucapkan. "Iya." Nanta mengangguk. "Kalo gitu biar gue yang jaga dia. Lo masuk kelas aja," ucap Panji yang jika diputar ulang kata-katanya lebih tertuju pada pengusiran. Nanta menolehkan kepala ke arah Laisa. Sangat tidak memungkinkan jika dirinya harus melayangkan kepalan tangannya ke wajah Panji. Ah, tapi tidak. Bagaimanapun keadaannya selama Laisa tak tergores ia tidak akan melayangkan tinjunya. Ditatapnya wajah pucat itu bersamaan dengan perasaan cemas yang muncul. "Tenang aja. Nggak bakal gue apa-apain dia." Panji berusaha meyakinkan. "Tapi rasanya saya yang lebih memiliki kewajiban untuk menjaganya," ucap Nanta tentu tidak ingin membiarkan Laisa berdua dalam satu ruangan dengan laki-laki lain. "Iya, gue tau, gue paham karena lo pacar Laisa—." "Syukurlah kalo udah paham. Maaf, Bang. Saya nggak mau cari masalah dengan Bang Panji, tapi mungkin Bang Panji bisa meninggalkan kami berdua. Sebelumnya terima kasih sudah membantu." "Lo harus perjuangin masa depan lo. Biar dia nggak hidup susah," ucap Panji setengah mati menahan kesabarannya. Lalu menarik kursi dan duduk di samping Laisa. "Jadi, lebih baik lo masuk kelas. Biar Laisa gue yang jagain," bubuh Panji. Nanta menghela. Lantas keluar dari ruangan itu. Jemarinya bergerilya dengan cepat untuk menghubungi Eliana. Meminta cewek itu untuk menjaga gadisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD