KTA'S 05 - XOXO

2113 Words
Kedatangan Teddy berhasil membuat dua orang yang tengah mengobrol memilih untuk diam. "Haduh!" helanya kemudian menjatuhkan tubuhnya di kursi samping Nanta. "Gimana? Lancar?" tanya Bang Johan. "Dag dig dug ser. Sumpah, gue baru kali ini ngerasain hal kayak gini." Teddy heboh sendiri. "Wah! Kayaknya kita jadi, nih, makan gratis." Bang Johan mulai menggoda. "Doain aja, doain biar kesampean," sahut Teddy mengiakan candaan Bang Johan dan menyeriusinya. Bang Johan terbahak. "Oke, gue paling depan buat doain lo." Teddy beralih pada Nanta yang hanya menjadi penyimak antara obrolan keduanya sambil memutar-mutar rokok di apitan jarinya dengan lihai. "Lo gimana, Nan?" tanyanya kemudian. "Ya, saya yang jadi muazinnya," jawab Nanta asal. "Heh! Lo pikir salat, hah?!" "Ted, jaman sekarang ganteng doang nggak bakal bisa bikin baper bidadari surga," dalih Nanta sukses membuat Bang Johan berseru. "Wawww!!! Diajarin siapa, nih, lo bisa ngomong gini?" timpalnya kemudian. "Bang, dia mah jagonya ngegombal. Makanya kalo diajak mikir suka mendadak bego." Teddy menanggapi dengan tak kalah semangat. Obrolan seru mereka berhasil melarutkan sunyinya malam. Terlihat dari arah luar bagaimana mereka saling melempar candaan dan tak jarang justru Nanta yang terkena sasaran. Mereka tertawa seolah-olah melenyapkan beban yang bertengger di kedua pundaknya, juga melupakan segala tekanan yang selalu berdatangan dengan silih berganti. *** Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu terdengar seperti genderang di medan perang. Dengan malas kedua mata itu menyipit menatap ke arah pintu yang tampak terbuka dengan sedikit celah. Membiarkan segaris cahaya matahari masuk memantulkan cahayanya ke dalam ruangan. "Masuk," seru Nanta dengan malas. Tak peduli siapapun orangnya. Lagipula paling itu Teddy yang baru kembali setelah membeli bubur ayam tanpa kuah pesanannya. Nanta masih meringkuk dengan malas di atas tempat tidur. Ia yang tidak biasa begadang hingga menjelang pagi membuat paginya kehilangan semangat dan dipenuhi dengan rasa kantuk yang bergelayut di dua kelopak mata sekaligus bahunya. "Kamu tidur jam berapa? Tumben jam segini belum bangun." Suara itu samar-samar menyeruak ke dalam gendang telinga. Nanta yang masih ingin tenggelam di balik selimut gegas menyibakkan kain lebar itu dari tubuhnya. Lalu dipandanginya sosok cewek berdiri di samping tempat tidurnya dengan kedua sorot mata tertuju pada deretan buku di meja belajar. "Kamu begadang?" Pertanyaan itu Nanta biarkan menggantung di udara. Rasanya ia terlalu lemah meski untuk menjawab sepatah kata iya. "Ini flashdisk apa?" Laisa masih terus bertanya dan akan selalu bertanya jika ia menemukan benda baru yang masuk ke kamar Nanta. "Tugas," jawab Nanta tidak mau ambil pusing. Lalu bangkit dari posisi baringnya dan dengan sempoyongan menghampiri Laisa. Memeluk gadisnya dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Laisa dengan nyaman. Dan ini hal yang paling ia sukai. Tangan Laisa bergerak membelai rambut Nanta yang acak-acakan. "Jadi?" "Mumpung weekend. Aku mau tidur seharian," ucap Nanta masih belum mengangkat kepalanya. "Terus aku ke sini ngapain dong?" Laisa cemberut. "Ya, terserah kamu mau ngapain." "Terus tugas dari Pak Seto udah kamu kerjakan?" "Yeah." Nanta menarik napas panjang. Menghirup aroma buah ceri segar yang Laisa semprotkan ke area lehernya. Lalu melepaskan pelukannya dan menjatuhkan tubuh ke tempat tidur. Sedangkan Laisa hanya mampu menghela napas panjang dengan kedua sorot mata tertuju pada Nanta. Menatap lelaki itu yang memilih untuk kembali memejamkan mata dan melanglang buana bersama mimpi-mimpinya. Langkahnya mulai berkeliling mengitari ruangan persegi yang tidak terlalu lebar. Ada banyak hiasan foto-foto dan catatan kecil yang tertempel di papan tugas yang dibuat seunik mungkin. Laisa akui, Nanta laki-laki yang begitu kreatif meski hidupnya terlihat seperti kucing yang menghabiskan waktu selama sepuluh sampai lima belas jamnya untuk tidur. Lalu tangannya meraih satu bingkai foto kecil yang bertengger di atas lemari pakaian. Tanpa sadar bibirnya mengembang saat mengingat momen yang terjebak dalam foto itu. "Hari libur gini, kamu bukannya harus ke sanggar baca ya, Nan?" Laisa kembali bersuara. Berharap Nanta bangun lalu secepat kilat mengumpulkan nyawanya. Namun sayang, melihat Nanta yang sudah terlelap dan tidak ada sahutan apapun membuat ekspetasinya menguap ke udara. Laki-laki itu rupanya memang tampak kelelahan. Senyap. Hanya ada derap langkah diiringi dengan bincang-bincang samar dari luar. "Nan." Panggilan Teddy menyeruak ke dalam ruangan. Laisa menoleh ke arah Teddy yang asal masuk ke dalam kamar Nanta. "Yeee! Si kunyuk masih tidur," celetuk Teddy masih belum menyadari keberadaan Laisa yang berada di sudut ruangan dekat lemari pakaian. Tanpa ampun Teddy langsung menubruk tubuh Nanta hingga melenguh kesakitan. Nanta pun segera menyingkirkan Teddy dengan sisa-sisa tenaganya. "Nggak bisa, ya, lo nggak gangguin Nanta sehariii aja?" Laisa bersuara kontan membuat Teddy memutar kepalanya ke arah sudut kamar. "Eh, nyonya." Teddy segera berdiri. "Abis dia belum salat subuh," alibinya kemudian tidak masuk akal. "Sejak kapan salat subuh pindah jam tayang, Mahmud?" Laisa berseru sebal. "Yang ada lo tuh yang nggak salat subuh," tuduhnya balik. "Eh, sembarangan aja nih kalo ngomong!" Teddy membalas tak kalah seru. "Lagian nih, ya, Nantanya gue yang tersayang ini nggak mungkin ninggalin kewajibannya sebagai seorang muslim." Laisa menegaskan dengan volume suara naik satu oktaf. Ia pun merangkul erat Nanta dan dengan sengaja ingin membuat Teddy jengah. Teddy tertawa sambil berkacak pinggang. "Hahaha. Lo nggak tau aja gimana si Nanta kalo nggak ada lo," katanya berhasil meletupkan emosi Laisa. Dalam sekali waktu keduanya memang akan seperti macan betina dan singa jantan yang bertarung mempertahankan kekuasaannya. Laisa hendak mendekati Teddy, namun tangan Nanta yang terulur memeganginya. Mencegah Laisa untuk menangani Teddy. "Kalian kalo mau berantem keluar aja, deh. Saya ngantuk," serah Nanta tidak berniat menengahi. Apalagi kondisi kepalanya terasa ada banyak batu yang membebani. Laisa mendesis. Tampak semakin berang kepada Teddy, tapi harus mampu ia tahan kuat-kuat. "Lagian HP lo ke mana, sih, Nan? Punya HP nggak bisa lo gunain yang bener, apa?!" Teddy berbalik gemas pada Nanta. "Di laci. Mati," jawab Nanta setengah mati harus menahan rasa kantuknya. Teddy berdecak. "Ya dicas, lah!" gemasnya lagi seraya menarik lagi kecil di bawah meja. Lalu memungut benda kotak pipih itu. Teddy geleng-geleng kepala sambil menatap ponsel milik Nanta dengan layar penuh retakan. "Ini bukannya HP baru? Kok jadi buluk gini, sih?" tanyanya penuh selidik. Nanta menghela sabar. Kadangkala Teddy tak ubahnya Laisa yang juga kerap memperhatikan barang-barang miliknya. "Jatuh," jawabnya singkat. Kini tatapan Laisa yang tertuju ke arahnya. Kontan Nanta pun menolehkan kepalanya ke arah Laisa. Membalas tatapan Laisa dengan tatapannya yang masih berusaha menahan kantuk. "Nan—." "Cuma jatuh, La." Nanta sedang malas. Ia ingin tidur tanpa harus ada yang mengganggunya. "Kenapa bisa jatuh?" "Saku celanaku bolong." Nanta kembali menenggelamkan wajahnya ke bantal, lantas membalut tubuhnya dengan selimut tebal. Laisa mendesis. Teddy mengangkat kedua bahunya usai mencolokkan kabel soket ke ponsel Nanta. "Maklum aja, dia kecapekan," katanya pengertian. Lantas berlalu entah ke mana. Dering ponsel milik Laisa terdengar halus merambat hingga ke sudut ruang. Gadis itu segera menatap ponselnya yang menampilkan satu pesan dari Eliana. "Aku udah bawain kamu makanan di meja. Nanti dimakan, ya," ucap Laisa. Nanta hanya menganggukkan kepala. "Kalo gitu aku pergi dulu." Lima kata itu sukses membuat otak Nanta kembali bekerja dengan normal. Ia sontak bangun dari tidurnya. "Ke mana?" "Ke salon. Eliana udah nunggu di sana." "Salon mana? Sound sistem?" Laisa mendesis sebal. "Nggak itu juga. Emangnya aku tukang backsound musik?" "Oh." Nanta terbengong saat mulai mengerti kalau salon yang Laisa maksud bukan salon musik. "Aku mau potong rambut. Udah acak-acakan banget, nih. Nggak nyaman." "Ted." Mata Nanta tertuju ke arah pintu yang tidak menampakkan orang yang dicarinya. "Yeh, tuh anak pergi," keluhnya. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya. "Biar saya antar. Bentar, ya. Saya cuci muka dulu," ujarnya. "Nggak usah. Kamu kan capek." Laisa mencegahnya bersamaan dengan senyum yang mengembang penuh pengertian. "Nggak apa. Tunggu sebentar, ya." Nanta tetap memaksa. Ia lantas beranjak menuju kamar mandi dan kembali dengan wajah basah yang tampak segar. Rasa kantuknya terasa menguap begitu saja. "Yuk," ajak Nanta setelah mengganti celana boxer-nya dengan celana jins blue navy panjang. Dan merangkapi kaos tipis sebahunya dengan jaket belel kesayangannya. "Kamu mau sekalian potong rambut?" tanya Laisa. Nanta menggeleng. Ia terlalu sayang kepada rambut gondrong sebatas telinganya. "Nggak dong," balasnya sambil merapikan rambutnya yang menghalangi kening. "Kamu beneran nggak ngantuk?" Laisa memastikan. Nanta hanya mengangguk saja. Apalagi mau memejamkan mata seperti apapun rasanya tidak akan lagi mudah dengan pikiran terus tertuju pada Laisa yang pergi sendirian menuju tempat salon langganannya. Laisa berusaha mempercayakan Nanta untuk mampu menyetir motor tanpa harus terkantuk-kantuk. "Oke," putusnya. *** Kedatangan Nanta menghentikan laju motornya di lahan parkir yang tersedia berhasil menjadi daya tarik beberapa kaum hawa. Eliana terlihat melambaikan tangan ke arah Laisa dari balik sekat kaca lebar. Laisa pun membalas lambaian tangan sahabatnya itu sebelum perhatiannya tertuju penuh ke arah Nanta. "Jangan lupa makanan yang aku bawain buat kamu dimakan, ya. Aku nggak mau kamu sampe kena sakit maag cuma karena telat makan," peringatnya cerewet. "Iya, Sayang." Nanta membalasnya dengan manis. "Makasih," lanjutnya mengelus puncak kepala Laisa dengan hangat. "Awas loh kalo nggak kamu makan." Laisa mengancamnya. Nanta mengangguk. "Iya." "Ya udah, aku masuk dulu. Kamu hati-hati di jalan." Nanta mengangguk lagi. Kemudian menunjuk-nunjuk pipinya. "Jangan lupa mandi," ucap Laisa disusul dengan ciuman yang ia daratkan ke pipi Nanta yang halus. Entah, ia sendiri bingung dengan wajah Nanta yang belum ditumbuhi rambut lebat di sekitar kumis dan janggutnya. Tidak seperti Teddy yang bisa mencukur janggutnya tiga kali dalam sebulan. Nanta tersenyum sambil menatap Laisa yang berlalu menuju pintu kaca yang tak jauh di depannya. Laisa melambaikan tangan sejenak sebelum masuk ke dalam. Dan dengan senang hati ia pun membalas lambaian tanga Laisa. Bunyi dering ponsel dari dalam saku celana membuat Nanta segera mengalihkan perhatiannya. Ia memungut benda pipih itu yang baru terisi daya dua puluh persen dan terpaksa ia lepaskan dari soketnya. "Ya, Fan?" sahutnya untuk seorang gadis di seberang. "Iya, ada di kosan. Masih saya pelajari data-datanya," lanjutnya menyahut penelepon. "Oke," tutupnya kemudian. Lalu melesat kembali ke kosannya. Kembali menyibukkan diri dengan layar LCD monitor laptop yang sejujurnya cukup melelahkan. Sesampainya Nanta menarik kursi dan berhadapan langsung dengan laptop kesayangannya. Laptop yang dibeli dengan hasil jerih payahnya sendiri, demi menghindari perasaan cemburu dari sang kakak tertua hanya karena keberpihakan Bapak yang lebih dominan kepadanya. Tangannya meraih benda kecil dari saku kemeja yang semalam ia pakai. Lalu menyambungkan ujungnya pada soket yang tersedia. Namun seketika ia terdiam saat bola matanya jatuh pada paper bag yang tersimpan rapi di dekat deretan buku. Ia meraih benda itu lalu mengeluarkan kotak makan dari dalamnya. Nanta memandangi kotak makan itu beberapa saat, bersamaan dengan senyuman yang melekat di bibirnya. Ada sticky note yang menempel pada tutup kotak makan itu. Selamat makan. Jangan lupa cuci tangan dan berdoa sebelum makan, ya. Semoga suka sama sandwich yang aku buat dengan sepenuh hati. Oh iya, s**u full cream-nya jangan lupa kamu minum, ya. Biar semakin kuat menjalani hari-hari. Semangat, Sayang. Xoxo :* Tawa kecil keluar dari mulut Nanta. Sesuai yang Laisa ingatkan, ia bangkit meraih sehelai handuk dan berlalu menuju kamar mandi untuk mencuci tangan. Ah, sekaligus mencuci badan. Rasanya akan membuat tubuhnya semakin nyaman dan rasa kantuk pun tidak lagi menggelayuti kedua matanya. Sepuluh menit kemudian ia kembali dengan hanya mengenakan boxer pendek sepaha dan kaus tipis sebahu seperti biasanya, juga sehelai handuk yang menggantung di pangkal lehernya. Setelah menggantung handuk tangannya menarik kursi dan kembali duduk di depan laptop sambil melahap sandwich buatan Laisa dengan amat nikmat. Tak lama kemudian Teddy muncul dan berdiri tepat di ambang pintu. Memandangi Nanta dengan sorot matanya yang tertuju lurus. "Kok chat gue nggak dibales sama Tiffany, ya?" tanyanya bingung. "Masa cuma di-read doang?" lanjutnya kemudian duduk di tepi ranjang. "Lagi sibuk kali. Dia kan aktivis," jawab Nanta dengan mata masih sibuk menggulirkan tombol kursor di layar laptop. "Gue juga aktivis kali." Teddy tidak mau kalah. "Entah. Tadi sih dia telepon saya buat cepet pelajari data-data yang dia kasih di flashdisk-nya." Teddy berdecak. Napasnya terlihat menghela pasrah. "Setiap hubungan jangan cuma pikirin enaknya aja. Apalagi setiap hubungan itu banyak yang nggak enaknya." Nanta mulai memberi wejangan pada Teddy. Teddy menghela napas dengan berat lagi. Lalu merebahkan tubuhnya. Terdengar dering ponsel, membuat Nanta tak lagi memedulikan keberadaan Teddy. Dengan agak malas ia meraih benda pipih itu yang menampakkan sebuah pengumuman. "Oh iya, Minggu depan ada acara dialog interaktif di aula fakultas. Setiap jurusan diminta sepuluh perwakilan," ucap Teddy seakan sedang menjelaskan isi pesan yang masuk ke kotak masuk ponsel Nanta. "Oh." Nanta hanya menggumam lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia pun lanjut memfokuskan diri membaca beberapa artikel yang Tiffany beri. "Dan lo, Hans, Adi sama Rezky udah masuk ke daftar peserta yang wajib ikut." "Loh." Nanta menoleh terkejut. Ia tak pernah berminat untuk ikut acara semacam itu. Alasan lainnya karena ia yakin otaknya tak akan mampu. Bukan, bukan karena tak mampu mempelajari banyaknya materi hukum. Melainkan tak mampu menahan emosi karena ketimpangan dalam hal menegakkan keadilan. "Itu Pak Samir yang nunjuk. Dari jurusan langsung. Apalagi Pak Samir tau banget sama gaya tulisan lo di blog sama di mading. Dia fans lo, tuh." "Bah! Ngaco!" "Terserah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD