bc

Pentatown

book_age16+
2
FOLLOW
1K
READ
adventure
kickass heroine
brave
no-couple
female lead
captain
soldier
friendship
dystopian
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Kontes Menulis Innovel II - The Girl Power

Dikarenakan sebuah misi yang merenggut banyak nyawa, Hazel Pearl, sang kapten tim tentara wanita menelan pil pahit kehilangan anggota sekaligus jabatannya. Suatu hari, sebuah kabel komunikasi di bawah tanah Kota Pentatown dilaporkan rusak dan monster bawah tanah tanpa logika dituduh sebagai penyebabnya. Jennifer Cloud ditunjuk sebagai kapten baru dan Hazel menjadi bawahannya. Hazel pun mengajak Rosamund White yang merupakan orang kepercayaannya dan Louisa Becker sang teknisi andal dalam misi bawah tanah untuk memperbaiki kabel tersebut. Namun, apakah semuanya akan berjalan baik-baik saja di bawah kepemimpinan kapten yang baru?

chap-preview
Free preview
Tragedi Tak Terduga
Kontes Menulis Innovel II - The Girl Power Delapan puluh tentara berjalan beriringan di sebuah lorong sempit minim penerangan. Helm yang mereka gunakan dilengkapi senter dan juga inframerah—berjaga-jaga jika semua cahaya yang ada di sini hilang. Sang kapten berjalan paling depan, memandu para anggota agar tetap berada di rute yang benar. Sudah tiga hari mereka menjalankan misi bawah tanah kali ini. Belakangan banyak laporan masuk mengenai kerusakan kabel komunikasi dan alat-alat penting yang dipasang di bawah tanah. Kota Pentatown tidak semaju itu untuk membangun kota di atas awan. Mereka tetap membutuhkan tanah yang mereka pijak untuk bersosialisasi. Masalahnya, ada monster tak berotak yang mendiami ruang di bawah kaki mereka. Monster tanpa logika, kata mereka memberi julukan. Monster jelek yang memiliki enam kaki, ceper, kepala plontos tanpa wajah dan telinga itu benar-benar meresahkan. Mereka berkembang biak dengan sangat cepat sehingga sesering apa pun para tentara Pentatown membunuhnya, mereka akan tetap selalu ada. Monster-monster itu sangat bodoh. Sepertinya benar-benar tidak tahu soal apa pun selain menyerang manusia secara berkelompok. Terkadang saat mencari makan berupa hewan-hewan kecil yang juga mendiami bawah tanah, mereka menyenggol alat-alat penting, juga merobek beberapa kabel sehingga mengganggu komunikasi masyarakat Pentatown. Alhasil, beberapa tentara harus diturunkan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Juga, akan diturunkan satu kompi untuk menyerang balik monster-monster itu dan memukul mundur mereka agar mendiami bagian tanah yang lebih dalam dan jauh di bawah sana. Itulah yang sedang dilakukan oleh Tim Alpha Red kali ini. Alpha Red adalah nama tim khusus untuk tentara wanita, sedangkan Alpha Blue ditujukan untuk tim khusus pria. Para wanita dan pria tidak berjuang bersama karena leluhur Pentatown sangat menjunjung tinggi moral dan tata krama. Masyarakat Pentatown tidak mengizinkan perbuatan zina dalam bentuk apa pun. Pelakunya benar-benar ditindak keras. Bahkan, ada beberapa monster yang sengaja dipelihara untuk memakan para pelaku perzinahan. Hal ini membuat masyarakat tidak berani melakukan perbuatan tersebut. Umumnya masyarakat Pentatown menikah karena perjodohan. Tingkat kesejahteraan para warga cukup tinggi, membuat para orang tua tidak khawatir jika anaknya dijodohkan. Mereka bahkan menganggap itu hal yang baik karena akan terhindar dari perzinahan—sesuatu yang sangat mereka tentang dan tak ingin lakukan. Begitu juga dengan sang kapten Tim Alpha Red—Hazel Pearl. Dia sudah memasuki usia layak menikah, yaitu 27 tahun. Sebenarnya pemerintah Kota Pentatown tidak memaksa warga untuk menikah di usia tertentu. Namun, 27 dianggap usia yang pas untuk membina rumah tangga. Calon suaminya adalah seorang lulusan kampus ternama dan sekarang bekerja sebagai peneliti di distrik Vellach, sebuah tempat bergengsi di mana semua orang-orang hebat bekerja dan tinggal di sini. Hazel pun kemungkinan akan pindah ke sana jika sudah menikah nanti. Wanita muda itu benar-benar punya masa depan cemerlang. "Kita istirahat di sini!" Teriakan Hazel menggema saat mereka keluar dari lorong dan menemukan sisi bawah tanah yang cukup luas untuk diduduki. Mereka bahkan bisa berbaring dan tidur sejenak sebelum perjalanan dilanjutkan. Ia memerintahkan tim logistik untuk menyebarkan ransum. Bosan, tetapi tidak ada hal lain yang bisa dimakan. "Apa itu?" tanya Cate, seorang tentara di Tim Alpha Red pada teman di sebelahnya. "Ini selai untuk ransum," jawab Mel. Senyumannya terlihat aneh, seperti sedang bercanda atau menggoda. Cate penasaran. "Coba kulihat." Mel mengangsurkan wadah bekas ransum yang berisikan "selai" tersebut kepada Cate. Cate melihatnya dengan teliti, merasa ada yang aneh. Ia kemudian menghirup aromanya dan seketika membuang wadah tersebut ke lantai. "Ugh … bau sekali! Apa itu?" Suara Cate terdengar sampai ke telinga Hazel, membuatnya mendadak diam dan menunduk. Begitu juga dengan Mel. Hazel mendekati kedua tentara di bawah kepemimpinannya itu dan melihat sebuah wadah berisi ransum dan cairan aneh tercecer di sekitarnya. "Apa itu?" Cate melirik Mel, memintanya untuk menjawab. "I-itu, darah monster, Kapten," jawab Mel tergagap. "Kau mengambil darah monster jelek itu?" tanya Hazel tak percaya. Mel semakin menunduk, mulai merasa takut. "I-iya, Kapten." Hening sejenak, membuat semua orang bahkan tak berani mengusik ransum mereka. Rosamund—Wakil Kapten—mendekat untuk mencari tahu penyebab dari keheningan ini. Tawa Hazel tiba-tiba menggelegar, membuat beberapa tentara terkejut mendengarnya. "Kau mengerjai Cate dengan darah monster itu, Mel?" tanya Hazel di sela tawanya. Bahu Mel akhirnya mengendur, merasa lega karena kapten tidak marah karena perbuatannya. "Betul, Kapten." Hazel kembali tertawa terbahak-bahak, kali ini diikuti oleh Rosamund yang sudah tahu duduk perkaranya. Setelah itu, tawa pun bersahut-sahutan. Cate pun ikut mengeluarkan tawa sembari mencubit pelan perut Mel. Tentara muda itu pura-pura kesakitan sambil ikut tertawa. Tidak seperti kebanyakan pimpinan peleton, kompi, batalion, atau resimen; Hazel memang terkenal baik dan ramah. Ia mengayomi bawahan dengan baik, tetapi juga menghukum tegas yang melanggar aturan. Itu sebabnya, banyak tentara muda berlomba-lomba ingin berada di bawah kepemimpinannya. Misi sesulit apa pun tak jadi masalah untuk mereka. "Terkadang aku berpikir, bagaimana kalau kita kehabisan ransum? Mungkin kita harus memakan daging monster jelek itu," kata Hazel, membuat para tentara bergidik mual. "Kalau kita terjebak di sini, kurasa memang tidak ada pilihan. Apa pernah ada orang yang tak bisa keluar dari sini sebelumnya?" tanya Rosamund. Hazel mengedikkan bahu. "Aku belum pernah mendengar kasus itu. Jangan sampai terjadi. Setiap ada yang tak pulang lebih dari lima hari, pasti kantor atas segera mengirimkan bantuan." "Itu benar. Mereka tidak akan membiarkan kita terjebak di sini dalam waktu yang lama," sambung Astrid—tentara tertua di Tim Alpha Red. Astrid berusia tiga tahun lebih tua dari Hazel. Meski lebih tua dan lebih banyak pengalaman bertempur dibanding Hazel, kemampuannya hanya sebatas rata-rata. Itu sebabnya dia tak pernah dipromosikan menjadi pimpinan sebuah tim, meski hanya peleton. Selain menaruh hormat pada Hazel dan Rosamund yang merupakan kapten dan wakil, para tentara muda yang lain juga cukup menghormati wanita ini. "Itu artinya, kita tidak perlu memakan monster tanpa logika, 'kan?" Candaan Hazel kembali mengundang tawa. Berbeda dengan tentara yang lain, Astrid tidak terlalu suka bercanda ketika menjalankan misi. Ia selalu serius dan tekun, kadang merasa heran kenapa bukan dia yang membawahi Hazel. "Aku kemari ingin melapor, bukan mendengar candaan," tegur Astrid sarkas. Hazel mengulum bibir menahan tawa, kemudian mengangguk. "Baik, akan kudengarkan." Astrid menunjukkan alat pendeteksi pergerakan monster tanpa logika kepada Hazel. "Ada sinyal di dekat jembatan itu. Izinkan aku membawa beberapa tentara untuk mengeceknya." Alat pendeteksi tersebut bekerja seperti pendeteksi radiasi. Semakin mendekat ke sebuah tempat atau benda yang memiliki radiasi maka jarum akan bergerak sangat cepat dan mengeluarkan suara yang cukup nyaring. Alat itu dibuat oleh tunangan Hazel. Itu merupakan penemuan terbaru yang membuatnya mendapatkan gelar profesor di usia yang sangat muda. Alat itu mendeteksi pergerakan monster berdasarkan jejak, bau, bahkan darah. Meski begitu, akurasi alat ini sekitar 70%. Maka, ada kemungkinan 30% deteksi itu salah. Sebab, jejak dan darah yang terdeteksi mungkin sudah ada berhari-hari sehingga masih menggerakkan jarum di alat tersebut. Itu sebabnya, para tentara tak boleh 100% mengandalkan alat tersebut. Hal inilah yang tak dipahami oleh Astrid meski sudah Hazel jelaskan. "Kita sudah tiga hari berada di sini. Tentara kita sudah cukup lelah. Kalaupun ada monster di jembatan itu, mereka pasti sudah menyerang kita terlebih dahulu." Wajah Astrid tampak tak terima. Sejujurnya dia tak suka dipimpin oleh orang yang lebih muda. Kenapa dia tidak ditempatkan di sebuah batalion atau resimen saja? "Baiklah." Astrid segera pergi tanpa memberi hormat. Hazel hanya menghela napas melihat kelakuannya. Rosamund pun heran mengapa sulit sekali bagi Astrid untuk menuruti perintah kapten. "Aku harus menghubungi kantor atas. Kaumau ikut?" tanya Hazel pada Rosamund. "Tidak pakai alat komunikasi yang dibawa Louisa saja?" Rosamund bertanya balik. Di bawah sini memang terdapat beberapa kanal telepon yang bisa dipakai untuk menghubungi kantor atas. Kanal telepon tersebut sengaja dibangun jika alat komunikasi yang dibawa oleh para tentara tidak dapat digunakan. Kebetulan posisi kanal telepon tersebut dekat dengan tempat istirahat mereka saat ini. "Aku tak ingin mengganggu istirahatnya." Hazel menunjuk pada seorang gadis muda yang tidur memeluk peralatan yang ia bawa bersamanya. "Oh …." Rosamund baru menyadarinya. "Aku tak tahu dia sedang tertidur. Dia pasti sangat kelelahan memperbaiki ini-itu." "Benar. Louisa satu-satunya teknisi di sini. Dia bekerja lebih keras dari kita semua. Lebih baik berjalan kaki sedikit dan menggunakan kanal telepon saja." Hazel pun berjalan diikuti oleh Rosamund. Mereka berbelok ke kiri di sebuah persimpangan dan berjalan sedikit sebelum menemukan bilik kanal telepon yang terkunci. Hazel merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kunci dari sana. Ia memilih kunci yang tepat dan berhasil membuka bilik. Ia menekan tiga tombol dan menunggu respon dari kantor atas. "Kapten Tim Alpha Red melapor. Kami sudah tiba di simpang menuju pintu portal keluar. Harap perintah dari atasan." Seseorang membalas di seberang sana dan Hazel menunggu dengan sabar perintah yang akan diturunkan. "Baik, siap laksanakan!" Hazel meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya. Ia kemudian keluar dan mengunci kembali bilik agar tak ada monster gila yang mencoba merusak kanal telepon mereka. Ia dan Rosamund kembali sambil berbincang santai. "Jadi, bagaimana pertunanganmu?" tanya Rosamund. Semua orang di kompi sudah tahu bahwa kapten mereka akan segera menikah dalam waktu dekat. "Kami akan menggelar pesta pertunangan sepulang aku dari misi ini," jawab Hazel, mencoba tetap tenang agar pipinya tak merona merah. "Kau sungguh beruntung. Aku benar-benar iri." "Oh, jangan iri. Ayahmu pasti akan menjodohkanmu dengan pria yang baik juga. Atau, kaumau aku carikan peneliti dari distrik Vellach? Sean pasti punya banyak kenalan di sana," tawar Hazel. Rosamund tertawa malu. Menceritakan tentang romansa terkadang menjadi hal tabu bagi para wanita muda. Sejak kecil mereka memang jarang berinteraksi dengan lawan jenis. Sekolah khusus perempuan, bahkan sampai menjadi tentara pun berada di tim khusus wanita. "Boleh jug—" "HEY, APA YANG KALIAN LAKUKAN?" Ucapan Rosamund terputus saat sang kapten berteriak di sampingnya. Ia melihat arah pandang Hazel dan terkejut melihat sekumpulan tentara sedang berdiri di atas jembatan. Bukankah kapten tidak memerintahkannya? Kenapa mereka bisa ada di sana? Para tentara yang diteriaki Hazel terdiam dan menghentikan langkah. Mereka tampak bingung. Kenapa Hazel marah pada mereka? Bukankah Astrid bilang kapten yang memerintahkan mereka untuk mengecek jembatan ini? Mereka semua kemudian menatap Astrid dan menanti jawaban. "ASTRID, APA KAU YANG MEMBAWA MEREKA KE SANA?" Hazel berteriak kalap, apalagi saat menghitung cepat jumlah tentara yang berada di jembatan. Ada separuh kompi yang mengikuti perintah palsu Astrid. "KAU TIDAK PANTAS MENJADI KAPTEN. UNTUK APA KE BAWAH TANAH JIKA TAK BEKERJA SAMPAI TUNTAS?" Astrid menjawab Hazel dengan teriakan yang tak kalah lantang. Tentara yang dibawa Astrid mulai ketakutan. Terburu-buru, mereka mundur karena takut mendapat hukuman dari kapten. Astrid menatap mereka dengan murka. "DASAR PENAKUT! KALIAN SEMUA SAMA PECUNDANGNYA DENGAN KAPTEN KALIAN!" Hazel tidak memedulikan Astrid. Ia mengkhawatirkan kondisi jembatan yang dinaiki tersebut. Ia menatap jembatan itu lekat-lekat. Pantas saja terdeteksi pergerakan monster di sana. "BERHENTI, JANGAN ADA YANG BERGERAK. KUMOHON BERHENTI!" Terlambat, semua yang terjadi sudah berada di luar kemampuan Hazel. Tiang-tiang penyangga jembatan itu lapuk, sepertinya karena para monster menggigitinya untuk mencari hewan atau serangga kecil di sana. Perlahan tapi pasti, satu per satu tiang penyangga itu hancur. Beratnya beban mempercepat kerusakan jembatan tersebut. Dan dalam hitungan ketiga, jembatan itu roboh dan menjatuhkan semua orang yang berada di sana. "TIDAAKKK …!" Hazel tak tahu lagi siapa yang berteriak. Orang-orang di jembatan atau yang tidak berada di sana. Mereka semua jatuh ke bagian bawah tanah yang lebih dalam dan gelap. Suara-suara mereka perlahan tenggelam dan tubuh mereka pun akhirnya sudah tak lagi terlihat. Astrid dan semua tentara yang mengikutinya telah gugur begitu saja. … "Bodoh sekali!" Hazel bergeming di tempatnya berdiri meski beberapa lembar kertas baru saja dilemparkan ke wajahnya. Kertas-kertas tersebut merupakan laporan misi yang menewaskan separuh kompi yang ia bawa tiga hari yang lalu. Ia bahkan tak diizinkan beristirahat. Begitu mereka pulang, ia langsung diperintahkan untuk membuat laporan dan menghadap atasan. "Kalau mereka mati karena diserang monster masih bisa dimaklumi. Apa yang kaulakukan sampai-sampai anggotamu mati dalam jumlah banyak seperti ini?" bentak Jenderal Cloud. Pria tua itu benar-benar murka kali ini. "Seperti pada laporan yang Anda baca, mereka tidak mematuhi perintah. Tapi, saya tidak akan membela diri. Mereka seperti itu karena saya terlalu baik sehingga mereka mengira bisa melanggar perintah saya," jelas Hazel. Jenderal Cloud memukul meja. "Sekarang kau sadar apa kesalahanmu, 'kan? Kausuka bercanda dengan bawahanmu saat bertugas. Kaukira itu pantas? Jelas saja Astrid mendiktemu dan dia harus mati karena ulahmu!" Hazel menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya ia sangat lelah hari ini. Namun, mau tak mau ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang menghilangkan banyak nyawa bawahannya. "Aku benar-benar kecewa. Kecewa sekali. Jabatanmu akan diturunkan secara tidak hormat. Kau bukan lagi seorang kapten, hanya tentara biasa. Paham?" Hazel mengubah posisi dari istirahat menjadi tegak, lalu memberikan salut hormat. "Siap, saya paham, Jenderal!" Ia kembali ke posisi istirahat setelahnya. "Bukan hanya kau, wakilmu juga. Kalian berdua seharusnya tidak pergi bersama waktu itu. Kenapa pula dia harus menemanimu melapor ke kantor atas? Kalian berdua sama lengahnya." Mati-matian Hazel menahan ekspresi wajah agar tidak berubah kecewa. Ia bisa menerima turun jabatan, tetapi tidak dengan Rosamund. Ia tidak rela jika wakilnya itu harus turun jabatan juga seperti dirinya. "Keluar! Aku muak melihat wajahmu." Hazel kembali memberi hormat, lalu keluar dari ruangan. Di luar, sudah ada seorang pegawai wanita yang menunggunya. Ia meminta semua atribut dan senjata yang dibawa oleh Hazel. Kini, Hazel hanyalah tentara biasa yang tak diberikan senjata jika tidak dalam masa berperang. Dengan berat hati dan helaan napas, Hazel melepaskan atribut jabatan kaptennya. Sepucuk Colt M1911 pun ia pindah tangankan kepada si pegawai. Itu adalah pistol kesayangannya. Sangat tak terduga harus terpisah darinya seperti ini. "Anda sudah berjuang dengan baik, Kapten." "Aku sudah bukan kapten lagi," lirih Hazel. "Setidaknya izinkan aku memanggilmu Kapten untuk terakhir kalinya. Semoga suatu hari nanti, kau bisa meraih kembali jabatanmu. Walaupun kita sama-sama tahu hal itu agak mustahil," ucap si pegawai wanita. Hazel mengangguk. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa ini adalah kiamat bagi karier militernya. Namun, itu akan dia pikirkan nanti. Tubuh dan pikirannya benar-benar lelah. Ia harus tidur meski hanya sebentar. Semoga saat bangun, keadaan akan semakin mudah untuknya. … Rosamund menghampiri Hazel yang baru saja tiba di upacara pemakaman empat puluh anggota kompi yang gugur dalam tugas. Sebenarnya, mereka tidak diizinkan untuk masuk ke areal pemakaman. Maka, mereka hanya berdiri saja di luar di bawah rintikan hujan. "Sepertinya mereka ingin menghapus kita dalam daftar tentara. Kita bahkan tidak boleh menghadiri pemakaman bawahan kita," kata Rosamund. Hazel hanya mengangguk sebagai respon. Tidur ternyata tak mampu mengangkat beban batinnya. Saat terbangun, semua malah terasa semakin berat. Ia menangis sesenggukan selama tiga puluh menit lamanya, lalu duduk meringkuk di sudut kamar sampai pagi menjelang. Ia belum makan apa pun sejak pulang. Padahal ia sudah mengidamkan steik daging domba dengan lelehan mentega dan kentang rebus serta hiasan kacang polong di atas piring. Bisa minum air putih tanpa muntah saja sudah sangat hebat rasanya. "Kau baik-baik saja?" tanya Rosamund saat menyadari Hazel hanya diam saja. Kini, Hazel menggeleng sebagai jawaban. "Pasti berat bagimu—" "Bagimu juga. Tidak usah berpura-pura tegar, Rosie," sela Hazel. Rosamund terdiam. Hazel benar, ia pun mengalami hal yang sama, tetapi berusaha sekuat tenaga untuk tak menampakkannya. Ia menghela napas panjang. Baru saja suara letusan serentak senjata terdengar, mengantar kepergian empat puluh tentara yang mati sia-sia. Keluarga mereka menangis sesenggukan, beberapa bahkan sampai jatuh pingsan. Para tentara tersebut berusia masih sangat muda, banyak di antaranya baru saja lulus dari akademi militer dengan hasil memuaskan. Rentang usia mereka sekitar 23 sampai tiga puluh tahun. Sebagian besar bahkan belum menikah. Hazel memejam, tak sanggup melihat satu per satu peti dimasukkan ke liang lahat. Begitulah akhir kisah mereka. Benar-benar tragis dan membuat nestapa. "Berani sekali kalian datang kemari!" Hazel membuka mata dan melihat salah satu keluarga korban berdiri di dekatnya dan Rosamund. Wajahnya menunjukkan ekspresi kecewa bercampur jijik. Ia seperti melihat seorang pembunuh anak-anak di hadapannya. "Seharusnya kalian ikut mati! Masih berani kalian menunjukkan wajah di sini!" "Ma-maaf …." gumam Hazel dengan suara serak dan hampir tak terdengar. "Tidak akan! Seumur hidup aku tidak akan memaafkan kalian berdua! Putriku sangat berharga. Kalian kira permintaan maaf bisa mengembalikannya?" bentak pria itu. Ia adalah ayah dari salah satu tentara yang tewas. Mata Hazel mulai berkaca-kaca. Pria itu tampak sangat membencinya. Ia menatap pria itu lekat-lekat, lalu menutup mulut saat menyadari bahwa itu adalah ayah Mel. "Meski begitu, kami tetap merasa bersalah dan menyesal, Tuan," ucap Rosamund seraya menunduk. Pria itu menggeram kesal, lalu meninggalkan Hazel dan Rosamund dengan u*****n kasar. Kedua wanita itu menerima dalam diam, tak berniat untuk membalasnya. "Kita harus pergi, Haze. Semua keluarga mereka akan membunuh kita jika kita tetap di sini," ajak Rosamund. Hazel menurut ketika Rosamund menuntunnya. Mereka berjalan pelan dengan langkah berat. Hujan membuat jalanan becek dan sepatu mereka membawa lumpur saat diinjak. Sepatu bot membuat langkah mereka semakin terbebani. Namun, tentara harus terus siap sedia dengan seragamnya di jam bertugas. "Kau ingin minum sesuatu yang hangat?" tanya Rosamund. Hazel mengangguk. "Teh kamomil sepertinya enak." Mereka memasuki sebuah bar yang tampak sepi. Sepertinya semua orang memilih untuk berdiam diri di rumah saat hujan seperti ini. Seorang bartender menghampiri kedua wanita yang duduk di meja bar dan menanyakan pesanan mereka. Biasanya mereka memesan bir meski di siang hari, tetapi tidak untuk hari ini. Bartender menyajikan dua gelas teh kamomil hangat untuk kedua tentara wanita itu. Mereka mengucap terima kasih sebelum menyesap minuman. Tubuh mereka seketika hangat, tetapi hati keduanya tetap membeku. Musik jaz sedih perlahan mengalun dari jukebox. Seperti tahu bahwa pelanggan di bar tersebut sedang kalut. Kedua wanita itu diam dalam waktu yang cukup lama, membiarkan teh mereka mendingin begitu saja. Di luar masih hujan, bar pun tetap sepi. Keadaan sepertinya tak akan pernah membaik, meski mereka terus berusaha melakukan yang terbaik. Rosamund meraih sebuah koran di atas meja dan membaca berita yang tertulis di sana. Judul berita utama mengerutkan wajah dan bibirnya. KEMATIAN SIA-SIA EMPAT PULUH TENTARA MUDA. SIAPAKAH YANG HARUS DISALAHKAN? SANG KAPTEN DAN WAKILNYA? Rosamund menghela napas, kemudian menutup kembali koran itu. Ia tak ingin membaca kelanjutan berita yang sudah pasti menyalahkan dirinya dan Hazel tersebut. Semua prestasi yang mereka torehkan selama ini ternyata sia-sia saja. Ia tak ingin bilang karena kesalahan itu saja, tetapi apakah mereka tidak bisa diberi kesempatan? Lagi pula peristiwa itu tidak murni kesalahan mereka berdua. Seandainya saja Astrid mau mendengarkan, ini semua tidak akan terjadi. "Sudahlah …." Rosamund berpaling pada Hazel dengan wajah heran. "Aku tahu apa yang kaupikirkan. Kita tidak sepenuhnya salah, tapi bagaimanapun nyawa mereka semua adalah tanggung jawab kita." Rosamund terdiam. Ia cuma bisa menunduk setelahnya. Kejam? Begitulah cara kerja dunia. Dia dan Hazel, juga adalah korban yang tak dipedulikan mentalnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
99.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.2K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook