Bidadari yang Tersesat

1067 Words
Faras Raihan, nama yang terkesan sebagai sebuah nama Islami, bertolak belakang dengan kepribadian dan penampilannya. Pria berusia tiga puluh tahun itu, merupakan seorang fotografer handal yang biasa membidikkan kameranya pada artis dan model Ibu kota. Dia bukan pria yang dekat dengan agama, bukan pria yang menghabiskan hidupnya untuk belajar agama. Dia adalah pria yang modern, aturan keluarganya yang agamais tak mampu mengekangnya. Dia memilih jalannya sendiri, bahkan saat ke dua orang tuanya memaksa untuk mengikuti mereka. Raihan, begitu biasanya dia dipanggil. Saat ini tengah melalang buana ke sebuah desa lepas demi mencari objek yang tidak membosankan. Hasil jepretannya sudah tak diragukan lagi, dia adalah fotografer handal, yang satu karyanya saja akan diburu majalah ternama. Namun, saat ini, wanita cantik dengan gaun terbuka dan wajah yang ditempeli make-up tebal sudah tidak menarik. Dia butuh objek baru untuk membangkitkan semangat dan hobinya. Entah apa, mungkin foto natural dari seseorang yang tak akrab dengan kamera. Atau, apa saja, yang jelas bukan wanita seksi. Raihan baru saja menepikan motornya di pertigaan jalan. Bingung mau memilih jalan yang mana. Dia baru saja menempuh jalan ini, jalan yang sangat jauh ke kota. Sengaja dia mengikuti ke mana motornya membawa, akibat rasa suntuk dan bosannya. Tiba-tiba saja suara dan lembut membuatnya tertegun. Suara lembut yang alami tanpa dibuat-buat layaknya semua wanita yang selama ini menggodanya. Di sana, seorang gadis dengan kerudung panjangnya, berjalan tergesa-gesa dan langsung duduk di belakangnya, sambil berseru panik. "Jalan, Mas! Saya sudah terlambat mengajar!" perintahnya. Raihan hanya melongo tak percaya. Beberapa detik dia berpikir, dia menyalakan motornya kembali. Benda Itu melaju perlahan. Dia bahkan tak menanyakan apa-apa pada wanita yang telah duduk manis di belakangnya. "Tukang ojek baru ya, Mas? Sekarang baru terlihat di sini, biasanya tidak ada. Jam segini memang susah mencari ojek, syukurlah ada Mas, saya jadi lega, " celoteh gadis itu. Tukang ojek? Astaga, apakah dia mirip tukang ojek? Gadis ini tidak mengerti gaya. Alih-alih membantah, Raihan memilih bungkam. "Mas, belok kanan! Kita ke pesantren Al-Huda!" perintah gadis itu. Raihan bagai kerbau dicucuk hidungnya, menuruti setiap perintahnya. Kondisi jalan cukup lengang menjadi ramai karena gadis muda yang duduk di atas motor Raihan. "Pagi ini selalu sepi pangkalan ojeknya," katanya lagi entah pada siapa. Raihan menilai, wanita itu hobi berbicara, bahkan pada orang asing. Oh, Raihan tahu sekarang, mungkin simpang tiga tadi adalah tempat mangkalnya para tukang ojek. Begitu juga salah paham oleh salah satu dari mereka. "Stop! stop! Mas … aduh! Malah terlewat!" seru gadis itu, dia turun dengan hati-hati sambil memegang roknya yang bewarna biru muda. Dia merogoh tas kecilnya sambil menggerutu. Saat yang dicari sudah ditemukan, sang gadis mengangkat wajahnya. "Berapa, Mas?" Raihan tidak bisa menjawab karena lidahnya terasa kelu. Dia bersumpah, pemilik suara itu sangat cantik, tanpa make-up tanpa polesan apa pun. "Mas?" Dahinya berkerut. "Oh. Seperti biasa aja," jawab Raihan gugup. Dia heran, kenapa harus gugup? wanita ini bukan siapa-siapa, tak seharusnya dia begitu. Gadis itu menyerahkan uang sepuluh ribu. "Ambil saja kembaliannya, saya sudah terlambat." Dia langsung balik kanan. Raihan masih terpukau melihatnya, kenapa ada bidadari yang tersesat ke dunia? Tiba-tiba dia menarik dan membidikkan kameranya ke arah wanita itu, walaupun lensanya tidak menangkap wajah wanita itu, namun jilbab panjang yang berkibar itu cukup indah untuk dijadikan objek. Seumur hidup, baru kali ini dia tertarik dengan wanita yang memakai jilbab. Wajah itu, seharusnya dia mengeluarkan kameranya lebih cepat. *** Raihan memandang datar pemandangan matahari terbenam di lapangan. Jika biasanya dia akan membidikkan kameranya ke berbagai arah, namun tidak untuk saat ini. Dia seperti orang yang kehilangan nafsu makan. Benda andalan itu tergeletak begitu saja di atas tempat tidur di hotel dia menginap. Raihan menghisap rokoknya dalam. Pria pendiam tak banyak bicara itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya, seorang seniman yang sedang naik daun berpose profesional di lapangan. Raihan melakukan pekerjaan dengan tidak semangat, dia menjadi lesu dan bosan. Sebulan berlalu, setelah wanita berjilbab panjang itu yang telah duduk di belakangnya dan menyangka dia adalah tukang ojek. Sebulan itu pula Raihan melalui hari dengan uring-uringan, dia sendiri tidak mengerti dirinya sendiri, bukan berarti dia tidak terbiasa dengan wanita cantik yang menggunakan hijab, malah ada juga beberapa modelnya yang dari awal memang muslimah. Ada yang berbeda pada wanita yang mengaku bekerja sebagai guru itu. Tapi dia sendiri tidak tau itu apa, soal kecantikan memang dia sangat cantik, tapi penyebabnya bukan itu. Sejauh apa pun dia berfikir, dia tidak menemukan jawaban atas keanehan dirinya. Raihan mencabut puntung rokoknya ke tong sampah, mengusap rambut pendeknya bosan. Apa dia harus pergi lagi ke desa itu? Supaya dia bisa mencari jawaban sendiri. Namun, cara itu merepotkan dan merendahkan harga dirinya, dia adalah pekerja yang sangat sibuk, tak biasa menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna. Raihan menenggak air putih di atas nakas dengan sekali teguk, serentak dengan terbukanya kamar hotel berada. Raihan langsung mendengus, sambil mengusap gelas di tangan. Wanita cantik itu tampak tidak peduli, dengan santai dia duduk di pinggir ranjang. "Ada apa ke sini?" tanya Raihan melirik sekilas. Yang ditanya bangkit perlahan, bunyi ketukan sepatu memenuhi kamar. "Kau terlihat tidak ingin menerima tamu." "Aku lelah." "Aku melihat kau semakin aneh beberapa hari ini." Wanita bertubuh tinggi semampai itu meraih kotak rokok yang tergeletak pasrah di atas nakas. Raihan tidak melirik tidak suka. "Kau merokok lagi?" "Sepertimu." "Grace, bisa tinggalkan aku sendiri?" Raihan menatap bosan wanita cantik yang berdiri di sampingnya. Wanita itu tersenyum dingin, kemudian mencampakkan rokoknya yang baru dibakar sebagian. "Apa tidak ada lagi sedikit saja rasa di hatimu padaku?" "Hubungan kita sudah berakhir, dua tahun yang lalu. Dan aku bukan laki-laki yang akan mengulang masa lalu yang sama." "Semua yang kau lihat waktu itu tidak benar. Aku dan Jonathan tidak memiliki hubungan khusus." Grace mulai tampak sendu. "Tidak seharusnya kita mengungkit itu lagi, aku menerimamu hanya sebatas partner kerja, tidak lebih." "Kau tak memberiku kesempatan menjelaskan," "Grace, sudahlah. Aku membicarakan masalah ini terus menerus." Grace terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Berjuang demi cintanya selama ini tetap tidak membuahkan hasil. "Aku yakin kau masih mencintaiku. Aku mengintaimu terus, Rai. Kau tak dekat dengan perempuan manapun dua tahun ini." "Aku tak ingin lagi berpacaran, usiaku sudah tiga puluh tahun." Suara Raihan datar. "Tidak bisakah kita mencoba lagi?" Grace menatap penuh harap, air mata putus asa mulai menganak di kelopak matanya. Raihan mendesah lelah, dia bangkit. Memegang kedua bahu Grace, mengangkat wajah cantik yang menunduk itu. "Lupakan aku! Tidak ada lagi cinta, Grace. Jika itu yang ingin kau dengar." Raihan lalu menyambar kameranya, meninggalkan gadis itu menangis tergugu sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD