Mas Tukang Ojek

1432 Words
Via meletakkan ke meja kerja yang penuh dengan tumpukan soal yang belum tersentuh. Setelah mengawas Try Out non stop dari jam tujuh, dilanjutkan sampai jam dua siang. Bahkan di jam istirahat yang berdurasi 15 menit, dia tak sempat mengisi perutnya, sebab ada wali murid yang datang ke sekolah menanyainya ini dan itu. "Pulang, yuk, Via!" ajak Maryam, teman sesama pengajar. "Iya, aku butuh tidur, kepalaku sakit." Via merapikan mejanya, mematikan laptop-nya lalu memasukkan benda itu ke dalam tas. “Itu makanya, buruan nikah, biar hidupmu gak monoton,” ledek Maryam. Dia melirik sang suami yang sudah melambaikan tangan padanya lewat jendela kaca. Indah pemandangan itu bagi Via, ditunggui suami setiap pulang sekolah, adalah hal romantis yang kecil tapi besar maknanya. "Belum ada yang cocok." Via menjawab seadanya. "Kau itu terlalu pemilih, banyak Ustadz di sini yang menaruh hati padamu. Tapi kau menolak bahkan sebelum mereka mengutarakan perasaannya." Maryam tak mengada-ada, apa yang dikatakannya benar adanya. "Aku suka yang berbeda." Mata bulat Via menerawang. Mereka berjalan beriringan ke luar ruangan majelis guru. Berbeda, ya, Via suka yang berbeda. Entah seperti apa, yang jelas tak sama dengan kebanyakan laki-laki yang mengejar dan menaruh hati padanya. "Seperti apa?" "Tidak tau, tapi yang beda aja. Belum jumpa." Via berkata jujur. "Aku doakan semoga ketemu. Aku duluan, ya ...!" Maryam menggandeng suaminya sambil tersenyum pada Via. Via mengangguk, sambil memperhatikan interaksi pasangan penganten baru itu. Via tersenyum tipis, dia bahagia melihat Maryam bahagia. Via berjalan lambat ke gerbang pondok pesantren. Untung saja hari ini jam mengawasnya habis jam dua, Via benar-benar benar lelah. Terkadang Via ingin mengejar waktu dan mengambil cuti pulang ke kampung halamannya. Namun, pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan dan tidak bisa libur sembarangan. Melalui menutup pagar gerbang pondok pesantren kembali. Duduk di bangku kayu yang dibuat untuk tempat menunggu ojek, di bawah pohon Akasia tua yang sudah berumur hampir satu abad. Baru saja Via mendesah pelan, sebuah motor mendekat padanya. Pemilik motor membuka helmnya dan menyapa Via yang mengingat-ingat. "Ojek, Mbak?" tawarnya. Baru Via ingat, dia Mas yang pernah mengantarnya sebulan yang lalu. Namun baru muncul kembali sekarang. "Iya, tapi singgah ke toko buku boleh, Mas? Ntar saya tambah uang tip, deh." Laki-laki yang mengaku tukang ojek itu adalah Raihan. Kali ini penyamarannya sangat sempurna, motor bebek tua dan jaket lusuh yang warnanya sudah memudar. Raihan merasa seperti orang gila, membeli dengan harga mahal jaket asistennya yang pelit itu karena yang punya tak mau memberikan alasan jaket itu banyak historinya. Namun, saat Raihan menyogok dengan uang lima ratus ribu, asistennya langsung mengangguk dengan senyum sumringah. Via sudah duduk manis di belakang dan sedikit memberi jarak agar bahunya tidak bersentuhan dengan Raihan. Sedangkan laki-laki itu, menghirup wangi samar yang menguar dari gadis di belakangnya, gadis yang tak bisa membuatnya tidur dan merubah dari orang waras menjadi orang gila. Raihan merasakan jantungnya berdentum beberapa saat yang lalu, saat menatap mata polos Ibu guru yang hari ini memakai jilbab warna abu-abu pucat. Raihan merasa dirinya bersorak dengan pertemuan ini, dia tak bisa mengelak lagi, bahwa dia sudah jatuh cinta pada wanita ini. "Mangkal di mana, Mas? Jarang terlihat," kata Via yang tak tahan rasa penasarannya. "Oh, saya jarang mangkal, Mbak. Palingan narik ojek sekali-sekali pas ada waktu," jawab Raihan, dia senang dengan perhatian kecil sang pujaan hati. Dia melirik spion motor, mengamati wajah gadis itu yang pipinya memerah kena sinar matahari. "Tempat tinggal saya agak jauh, Mas. Kita ke koss-an saya dulu buat ngambil uang, habis itu kita ke toko buku. Bisa kan, Mas?" Tentu saja bisa, Raihan akan mengantar gadis itu kemana pun, bahkan ke langit ke tujuh. "Mas?" "Oh, baiklah, Mbak." Raihan tergagap. Motor melaju mulus, berjalan pelan, seolah-olah Raihan menikmati detik yang mereka lalui berkendara berdua. Ya tuhan, bahkan statusnya hanya tukang ojek. Via memberikan komando, mengarahkan jalan mana yang dilalui. Sepuluh menit kemudian, mereka berhenti di rumah kecil dikelilingi pohon rindang dan taman bunga. Melalui turun perlahan. "Mas, lima menit." Katanya dengan senyum tak enak, dia merasa perlu ke kamar kecil karena perutnya melilit sakit. Raihan mengangguk, matanya awas gadis itu. Lima menit, sepuluh menit, sampai dua puluh menit, gadis itu tidak muncul juga. Raihan menimbang, apakah dia harus melihat sendiri gadis itu? Hatinya merasa tidak enak. Akhirnya Raihan memutuskan untuk menyusul gadis itu. Berjalan sambil mempertimbangkan situasi yang sepi. Raihan mendorong pintu masuk itu perlahan, masuk hati-hati sambil memanggil gadis itu. "Mbak?" Tak ada sahutan, Raihan semakin curiga. Dia mendengar bunyi kran air yang dibuka. "Mbak?" Raihan memanggil lagi. Tetap tak ada sahutan dari dalam. Namun pintu kamar mandi terbuka. Mata Raihan terbelalak, saat gadis itu tersungkur di lantai keramik kamar mandi dalam keadaan pingsan. Baju dan kerudungnya sudah basah, bibirnya pucat pasi. "Mbak?" Raihan menepuk pipi pucat itu tapi tidak ada jawaban. "Sial." Raihan akhirnya mengangkat gadis itu ke pangkuannya. Tak peduli dengan bajunya yang ikutan basah. *** Raihan tak Kehilangan akal, setelah menggendong wanita itu lalu merebahkannya di ranjang berukuran Queen, Raihan langsung keluar mencari sesuatu yang bisa membuat gadis itu siuman. Mata jeli Raihan, menangkap sekantong plastik obat beserta sebuah minyak kayu putih yang tergeletak di meja kerja gadis itu. Raihan meraih minyak kayu putih tersebut dan masuk kembali ke dalam kamar Via. Raihan menghela nafas, dia tak punya pengalaman sama sekali dalam merawat orang sakit. Tapi dia merasa minyak kayu putih ini bisa membantu. Raihan mengusapkan sedikit minyak kayu putih itu di bawah hidung Via. Melihat kondisinya, wanita itu memang terlihat lemah dan pucat. Sedetik kemudian, Via mulai bergerak. Matanya terbuka perlahan. Awalnya sayu lalu berganti dengan jeritan kaget. "Astagfirullah, apa yang Mas lakukan di sini?" Via meraup selimut dan menutupi dirinya yang masih berpakaian utuh. Dia baru menyadari saat dingin menerpa kulitnya karena baju gamisnya yang basah. Raihan diam saja memandang wanita itu sambil mengerutkan dahi. Dia seolah-olah laki-laki yang kurang ajar, padahal niatnya hanya menolong. "Mas?" "Saya cuma menolong Mbak, Mbak menyuruh saya menunggu selama lima menit, tapi di menit ke dua puluh Mbak nggak kunjung keluar, tentu saja saya curiga dan masuk ke dalam rumah. Ternyata Mbak saya dapati sudah pingsan di kamar mandi," kata Raihan seadanya. Via melepas nafas lega. "Mag saya kambuh, Mas. Saya belum sempat mengisi perut dari tadi pagi." Raihan hanya mengangguk. Dia laki-laki yang memiliki keahlian dalam mencairkan suasana. Saat ini dia hanya memandang Via tanpa kedip. Sehingga membuat wanita itu salah tingkah. "Maaf, Mas! Tinggalkan saya sendiri? Hmmm ... tak baik jika kita berdua di dalam rumah, orang bisa salah paham. Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih sama mas karena telah menolong saya." Raihan memandang wajah cantik itu, bahkan mereka belum berkenalan. "Maaf, Mbak namanya siapa kalau boleh tau?" "Saya Via, Mas." "Saya Raihan." Raihan mengulurkan tangan dengan semangat, tapi wanita itu menangkupkan tangan di depan dadanya. Raihan menarik kembali melihat agak malu. "Saya akan membantu belikan makanan." "Tidak usah, Mas. Saya punya makanan di rumah. Hmmm ... bisa mas pergi?" Via menggigit bibir ranumnya dengan rasa tidak enak, namun berbeda dengan Raihan, pemandangan itu malah merontokkan jantungnya turun ke dalam perut. Raihan langsung bangkit. "Oke, saya permisi. Sampai jumpa lagi." "Makasih sekali lagi ya, Mas." Raihan tak menjawab. Dia buru-buru meninggalkan wanita itu sebelum setan di tubuhnya mengambil alih. Demi Tuhan, wanita itu, dia terlalu suci dan terlalu murni untuk disentuh. Raihan memang bukan laki-laki suci, dia pernah berpacaran layaknya orang lain yang berpacaran, namun dia bersumpah, sampai saat ini dia masih menjaga keperjakaannya dengan baik. Dia bukan laki-laki yang mudah tergoda dengan wanita. Pacar satu- satunya adalah Grace, yang telah berkhianat padanya bahkan di saat mereka sudah merencanakan untuk menikah. Raihan tersenyum masam. Dia berjalan ke arah motornya, namun kilas balik gadis polos itu terbayang-bayang di matanya. Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukannya selain memiliki gadis itu untuk dirinya sendiri? Raihan mengacak rambutnya. Bahkan, sejak kehadiran wanita itu dia sudah berubah menjadi laki-laki kurang waras. Meninggalkan pekerjaannya yang menumpuk dan menyamar jadi tukang ojek. Raihan menertawakan dirinya sendiri. Mulai saat ini, dia harus memiliki tak-tik untuk mendapatkan wanita bernama Via itu. Apa pun akan dilakukannya. Raihan memandang jendela kamar Via pandangan optimis. Lalu, dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Di tempat lain, Via berjalan perlahan sambil menekan ulu hatinya yang terasa sakit. Di dapur mungil itu, sudah tersedia makanan yang siap santap. Dia wanita yang rajin memasak tapi malas memasak masakannya sendiri. Via mengambil air hangat dan sebutir obat pereda nyeri dalam sekali teguk. Perutnya harus nyaman dulu baru bisa diisi. Via kembali berjalan ke dalam kamar. Melepas jilbab dan gamis syar'inya. Rambut panjang hitam legam dan agak basah itu dibiarkan terurai. Dia membuka lemari pakaian dua pintu di samping ranjang, mengeluarkan baju kaos lengan panjang dan celana trainning. Dia butuh tidur sejenak, sambil menunggu perutnya nyaman kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD