"Ayya nggak mau sekolah!"
Abra menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat gadis cilik itu cemberut dan sudah akan menangis. Jam di tangannya menunjukkan angka delapan lewat sepuluh. Ayya merengek di saat yang tidak tepat karena dia ada jadwal ke lokasi pagi ini.
Abra berjongkok di depan gadis cilik itu.
"Hari ini Ayya ke sekolah dulu ya, nanti sore Mbok Nah yang jemput. Om harus kerja” bujuknya.
"Ayya nggak mau sekolah!!! Huaaa...."
Baiklah anak ini mulai menangis dan sebelum orang-orang berdatangan Abra segera membujuknya dengan cara lain.
"Nanti kita beli es krim lagi mau? Tapi Ayya masuk dulu ya ke dalam, yuk om anter masuk” ajaknya seraya menggandeng Ayya masuk ke lobby sekolah.
"Nggak mau!!...huaaa!!! Ayya nggak mau sekolah, hiks... hiks..."
Getaran dari ponsel di saku Abra membuatnya merutuk pelan. Dari timnya di kantor. Kalau dia bolos bahkan belum genap seminggu masuk, bisa-bisa dia dipecat sekarang juga. Dibiarkannya ponselnya terus berdering.
"Om harus kerja, mbok Nah baru datang nanti siang jadi nggak bisa nemenin Ayya main. Sekarang Ayya sekolah dulu ya, nanti mbok Nah jemput Ayya kesini"
Abra sudah kehilangan cara untuk membujuk keponakannya itu agar mau ke sekolah. Karena bukannya diam Ayya justru semakin keras menangis.
"Hiks... hiks....hiks.."
"Tante Nindyaaa!"
Gadis cilik itu berlari masih dengan airmata yang membasahi pipi chubby-nya.
Abra sontak menoleh ke belakangnya, arah Ayya berlari dan menghambur ke wanita yang sedang berjalan ke arah mereka, dengan menyampirkan jas dokternya di tangan kanan. Sepertinya dia baru pulang kerja melihat penampilannya yang terlihat lelah. Nidya segera berjongkok melihat Ayya yang menangis berlari ke arahnya. Gadis cilik itu segera menghambur dalam pelukannya.
Diusapnya pelan punggung kecil itu,"Kenapa sayang?"
"Ayya nggak mau sekolah, hiks... hiks.."
Nindya mendongak dan menatap Abra yang berjalan ke arah mereka. Segera dia berdiri dan membawa Ayya dalam gendongannya.
Laki-laki itu menatapnya datar dalam diam. Kemudian merutuk kecil ketika ponselnya kembali bergetar.
"s**t"
"Ya... Aku sudah di jalan
Abra kembali melihat Nindya dan Ayya sebentar sambil terus berbincang di telepon.
"Lima belas menit lagi"
"Jangan mengumpat di depan anak kecil!” tegur Nindya ketika mendengar laki-laki itu kembali mengumpat setelah mematikan panggilan di ponselnya.
Abra hanya menatapnya sekilas, lalu beralih ke Ayya, dan kembali menatap Nindya. Menjelaskan tanpa kata apa maksudnya.
Tahu apa yang laki-laki itu pikirkan, Nindya segera berujar.
"Ayya bisa ikut denganku hari ini"
Abra mengangguk setelah berpikir sebentar. Menyerahkan tas Ayya yang dibawanya ke Nindya. Pelan diusapnya kepala Ayya yang masih bersembuyi di lekuk leher Nindya.
"Aku akan menghubungimu nanti"
Nindya tertegun mendengar laki-laki itu mengganti sapaannya, dari saya ke aku. Dia hanya mengangguk kecil. Kemudian Abra segera berjalan ke mobilnya di tepi jalan.
"Ayya mau ke tempat tante?” tanyanya setelah Abra pergi.
Anak itu mengangguk dengan gumaman kecil. Nindya tersenyum tipis dan mengajak Ayya ke apartemennya. Dia tidak kuat kalau harus pergi jalan-jalan setelah semalaman tidak tidur karena shift malam. Paling tidak dia bisa beristirahat sebentar dan membiarkan Ayya bermain di apartemennya atau memutarkan film disney untuk anak itu.
***
Hujan mengguyur Bandung sejak sore tadi. Tidak terlalu deras sebenarnya tapi membuat orang malas untuk keluar. Nindya sedang memasak ayam kecap saat ponselnya di meja berdering.
Abraham calling...
Dilihatnya Ayya yang tengah asyik menonton Happy Feet sebentar. Ini memang sudah pukul setengah delapan malam dan dia belum mengantar Ayya pulang. Mungkin dia akan meminta pada Abra agar mengizinkan Ayya tidur disini saja dan langsung mengantar ke tempat sekolahnya besok pagi. Toh sebelumnya Ayya memang beberapa kali menginap disini. Pakaian dan mainannya sebagian juga ada disini.
"Halo” suaranya terdengar lirih bahkan di telinganya sendiri.
"Ayya masih denganmu?"
Suara Abra terdengar di ujung sana. Tanpa basa basi.
"Iya, emm... malam ini biar Ayya menginap di tempatku, aku akan mengantarnya besok ke sekolah” katanya pelan.
Entah kenapa dia jadi ikut-ikutan menggunakan kata ‘aku’ serta mengubah bicaranya menjadi tidak terlalu kaku.
Dia berdoa dalam hati berharap Abra akan mengizinkannya. Lagian laki-laki itu justru tidak perlu menjaga Ayya malam ini.
"No! Kalian dimana?” katanya tegas membuat Nindya mengerut tidak suka.
"Kenapa??!"
"Kalian dimana?"
Nindya mendengus kesal mendengar Abra tidak menjawab pertanyaannya.
"Kalian dimana?” ulang Abra dengan nada lebih tegas.
"Apartemenku” katanya kemudian dengan nada kesal yang tidak disembunyikan.
"Kirimkan alamatnya"
"Apa?? Kau tidak perlu kemari, biar kuantar Ayya pulang” katanya segera.
"Kirimkan alamatnya sekarang"
Tuttt..
"Halo?... halo?"
"Ck dasar menyebalkan!” omel Nindya melihat panggilan di ponselnya yang sudah terputus. Dengan setengah hati dia mengirim alamat apartemennya ke Abra.
Bel di pintu apartemennya berbunyi ketika Nindya tengah menyuapi Ayya makan malam. Sosok menjulang Abra berdiri di balik pintu saat Nindya membukanya. Laki-laki itu menggunakan kemeja biru laut yang tidak dimasukkan.
Nindya menebak dalam pikirannya berapa umur laki-laki itu sebenarnya. Pasalnya dengan rambut yang kini dicukur pendek, ditambah shaving yang bersih membuatnya tampak lebih muda daripada tampilan rambut gondrong dan bakal janggut yang dibiarkannya tumbuh di rahangnya seperti kemarin. Nindya membuka pintu lebih lebar dan tanpa berkata apapun dia kembali ke dalam dengan membiarkan pintu terbuka.
Abra ikut duduk di sofa, bergabung dengan Nindya dan Ayya yang menatapnya dengan mulut penuh mengunyah makanan.
"Habis ini Ayya pulang sama om ya?” bujuknya.
Mata bulat Ayya yang memandang Abra beralih ke Nindya, seolah meminta persetujuan. Barulah ketika melihat Nindya mengangguk gadis cilik itu kembali menatapnya dan ikut mengangguk.
"Dimana kamar mandinya?"
Tanpa beralih dari menyuapi Ayya, Nindya menunjuk pintu di sebelah dapur.
"Sudah selesai, minum susunya"
Ayya memerima sodoran gelas s**u putihnya sambil tetap menatap layar tv yang menampilkan pinguin-pinguin di kutub itu.
Nindya sedang di dapur dan menuangkan nasi ke piring ketika Abra keluar dari kamar mandi.
"Sudah makan?” tanyanya kemudian.
Merasa tidak sopan kalau tidak menawarkan makan ke laki-laki itu. Disaat dirinya mengambil makan.
"Mau makan disini?” tawarnya.
Abra hanya menatapnya tanpa menjawab. Laki-laki itu menarik kursi di meja lalu duduk disana.
Nindya mengambil piring satu lagi dan menuangkan nasi, lalu mengambil ayam kecap dan tumis sawi. Abra menerima piring yang disodorkan padanya tanpa bicara.
"Kopi?"
Abra mengangguk sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Nindya ikut duduk dan memakan makananya. Mereka duduk berhadapan dalam diam. Hanya suara tv yang memenuhi ruangan itu.
"Terima kasih"
Nindya mendongak mendengar suara Abra di depannya. Dia mengangguk kecil kemudian mengambil piring dan cangkir mereka dan mencucinya. Laki-laki itu masih duduk disana. Terlihat memikirkan sesuatu.
"Aku sudah bertemu dengan pengacara Syahna. Apa selama ini dia tidak pernah mempertemukan Ayya dengan papanya?"
Nindya menghentikan sebentar gerakan mencucinya.
Tanpa menoleh dia mengangkat bahu pelan.
"Setauku tidak. Mereka menikah hanya setahun. Mertua Syahna tidak terlalu menyukainya"
"Memangnya kenapa?” Nindya balas bertanya ketika melihat Abra yang gantian terdiam.
"Mantan suaminya Syahna itu, apa kau pernah bertemu dengannya?” tanya Abra lagi.
"Tidak, aku hanya pernah melihatnya dari foto"
Pandangan Abra menerawang jauh entah kemana. Laki-laki itu berusaha mengurai kekusutan benang di pikirannya.
"Dia tahu kalau Syahna hamil?"
Kali ini Nindya tidak langsung menjawab. Mengeringkan tangannya setelah selesai mencuci dan berbalik, menyandarkan tubuhnya di meja. Membuat Abra mengalihkan pandangannya pada wanita itu. Keduanya saling menatap sebentar sebelum Nindya mengalihkan pandangannya.
"Tidak” jawabnya pelan.
Lalu kembali menambahkan setelah jeda beberapa saat,"Mereka tidak berpisah baik-baik. Dan Syahna sudah lebih dulu pergi dari rumahnya saat dia belum tahu kalau dirinya hamil, dia tidak pernah memberitahu suaminya kalau dia hamil Ayya”
Kali ini ganti pandangan Nindya yang menerawang.
"Apa... Syahna masih mencintai suaminya itu?” pertanyaan Abra terdengar ragu di telinganya sendiri.
Nindya terkejut dengan pertanyaan laki-laki itu. Dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Walaupun Syahna selalu menceritakan segala hal padanya. Tapi perasaan wanita itu sebenarnya hanya dia sendiri yang tahu.
Ketika Nindya tidak juga menjawab Abra kembali bersuara.
"Jadi selama ini mereka cuma hidup berdua” kalimat Abra barusan lebih seperti pernyataan daripada kalimat tanya.
"Sejak kapan kalian saling kenal?"
Samar kerutan di dahi Nindya terbentuk karena topik perubahan dari pembicaraan Abra.
"Hmm? Oh itu... kami bertemu pertama kali di rumah sakit, semakin akrab saat aku jadi dokter kandungannya. Dia cerita padaku bagaimana rumah tangganya. Wanita jadi mudah akrab kalau sudah share masalah pribadi seperti itu” jelas Nindya sambil menyandarkan tubuhnya ke meja pantri.
Sedikit bingung kenapa laki-laki itu mengubah arah pembicaraan.
"Kami sudah seperti saudara, Syahna menganggap mamaku seperti mamanya sendiri” tambah Nindya.
Abra hanya mengangguk kecil tanpa menatapnya.
Nindya menatap laki-laki itu ragu,"Apa kau sudah memutuskan?"
Ketika melihat kening laki-laki itu berkerut, Nindya segera menambahkan.
"Untuk tinggal disini merawat Ayya"
Terdengar hembusan nafas panjang dari Abra, laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Ketika aku sudah memilih kembali kesini dari awal, berarti aku sudah tidak bisa menarik lagi keputusanku"
"Kau terlihat terpaksa melakukannya” entah keberanian darimana Nindya mengatakan itu.
Sedetik kemudian dia baru sadar apa yang diucapkannya. Dan sebelum bisa menarik pertanyaannya Abra sudah menatapnya tajam terlebih dulu.
Keduanya kembali terdiam, dengan pandangan tertuju pada gadis cilik yang berbaring di sofa.
"Tidur?” tanya Nindya
Ayya yang berbaring ternyata sudah tertidur pulas. Abra mengangkat dan menggendongnya. Membuat gadis cilik itu menggeliat pelan namun dengan masih terpejam. Menyandarkan kepalanya di bahu Abra.
Nindya menyodorkan tas Ayya dan mengantar keduanya sampai depan pintu.
"Pulang dulu"
"Hati-hati"
Tanpa keduanya sadari mereka mulai melunturkan ego masing-masing demi tanggung jawab bersama.
Ayya.
***