2. Pertemuan

2025 Words
Katia menyandarkan kepalanya yang pening ke d**a penolongnya. Pandangannya masih kabur, tapi aroma tubuh orang itu memenuhi rongga hidungnya, perlahan memulihkan rasa sakit di kepalanya. Bau yang mengingatkannya pada musim kering yang baru terguyur hujan pertama kalinya, sejuk dan dingin. Tanah dan rumput, mengingatkannya pada paduan aroma yang terasa familiar di otaknya. Ketika pengelihatannya kembali,  ditatapnya d**a bidang yang disandarinya. Kaos keabuan yang dipakai penolongnya itu ditutupi oleh jaket kulit hitam yang pas di badannya.  Katia mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah laki-laki yang masih memegangi siku dan menopang tubuhnya. Badannya yang kurus tapi kekar,  tinggi menjulang diatas kepala Katia. Wajah pria itu terlihat gelap karena memunggungi sinar matahari pagi yang menyilaukan. Disipitkannya matanya agar bisa melihat dengan jelas. Hal pertama yang di sadarinya adalah mata  hitam pria itu yang tajam menatapnya dengan pandangan menusuk seolah bisa menembus pikirannya.  Angin meniup rambut perak keabuan acak-acakan milik pria itu. Membawa aroma hujan kembali merebak di hidung Katia searah hembusan angin yang menerpa wajahnya. Gadis itu berusaha keras untuk menahan keinginannya mengelus dan merapikan rambut abu pemuda itu yang kini terjatuh di mata kelamnya yang tajam. “Kamu tidak apa?” suara pemuda itu terdengar merdu sekali di telinga Katia. Dia menarik tangannya dari siku Katia, tapi masih menopang badan gadis itu dengan tangan satunya, seakan takut membuat gadis mungil yang sedang dipeluknya terjatuh.  Tersadar bahwa dirinya masih bersandar ke d**a pemuda itu, Katia seketika merasa malu dan melangkah mundur sejengkah menjauh dari badan tegap penolongnya. “Ah.. thanks.Aku tidak apa apa,” jawab Katia tersipu malu. Dahi pemuda itu berkerut ketika memandangi luka di wajah Katia. Sadar sedang diamati, gadis itu bisa merasakan pipinya memanas, membuatnya menundukkan pandangannya menatap sepatunya. Rambut kemerahannya dibiarkan menjuntai menutupi wajah. Seolah berusaha menyembunyikan bekas luka yang pasti menjijikan untuk dilihat dari jarak sedekat itu. Tidak biasanya dirinya malu atas bekas lukanya, tapi pandangan mata pemuda itu membuatnya merasa sadar akan kekurangannya. “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman,” kata pemuda berjaket kulit itu sambil mengulurkan tangan, “Aku Seth. Baru pindah ke kota ini dari Baycity. Ini hari pertamaku.” Katia mendongak sambil mengulurkan tangannya menjabat tangan Seth. “Katia,” jawabnya singkat. Dirasakannya jantungnya yang tadinya berdegup kencang seketika menjadi tenang ketika tangan mereka bersentuhan. Seakan keberadaan Seth membawa ketenangan tapi juga kegelisahan padanya disaat yang bersamaan. Waktu seakan berhenti bergerak bagi Katia. Digenggamnya erat tangan Seth seolah enggan melepaskan. Seth lah yang pertama melonggarkan genggaman tangannya menyadarkan Katia bahwa dirinya masih berpegangan erat, membuat salaman mereka terasa lebih lama dari seharusnya. “Sorry,” ujar Katia malu. Pria itu tersenyum melihat pipi Katia yang kembali memerah. Baru kali ini ada seseorang yang mampu membuat dirinya salah tingkah. Apa yang terjadi padaku? Ok, Aku perlu relaks, dia hanya seorang murid baru, pikir Katia. “Umm..Bisakah kamu mengantarku ke kantor administrasi, Katia?” tanya Seth setelah beberapa detik berlalu dengan canggung. “Ah..Ya tentu saja,” Jawabnya sambil mengerjapkan mata seolah berusaha melepaskan dirinya dari sihir memikat Seth. “Ikuti aku” Katia bergegas berjalan di depan Seth berusaha keras untuk tidak menoleh ke belakang. Dilihatnya Donna sedang menunggunya, berdiri dekat pintu masuk sekolah. Dahi gadis berambut hitam itu berkerut memandangi apa yang barusan terjadi. “Kat, kamu tidak apa apa? Aku membalikkan badan dan tiba tiba melihat kalian sedang berpelukan,” bisik Donna begitu Katia ada di sampingnya. “Shh..Bukan berpelukan. Dia menangkapku tepat ketika aku hampir tersungkur,” Katia balik berbisik. Gadis itu kemudian menoleh kearah Seth sambil menunjuk teman baiknya, “Kenalkan ini Donna.” “Donna, ini Seth. Dia murid pindahan baru.  Aku mau mengantarkannya ke ruang admin, akan kususul kamu di kelas pertama,” ujar Katia setengah mengusir Donna. Donna dan Seth bersalaman, lalu seolah mengerti maksud temannya itu, Donna mengedipkan mata kearah Katia sambil tersenyum dan berjalan masuk. Katia kembali melangkah menyusuri beberapa ruang kelas sebelum menunjukkan ruangan yang dituju. Seth kembali menunjukkan senyumannya dan mengucapkan terima kasih kepada Katia, membuat gadis itu kembali tersipu.  Berusaha agar tidak terperangkap lagi oleh pesona senyuman Seth, Katia berpamitan untuk kembali ke kelasnya dengan alasan jam pelajaran akan dimulai. Jantung Katia masih berdebar keras ketika dirinya berdiri di depan lorong kelasnya yang sudah sepi. Hanya terlihat beberapa murid berjalan tergesa gesa menuju kelas mereka masing masing. Disandarkannya punggungnya ke dinding tembok berusaha meredakan perasaan aneh yang muncul akibat pertemuannya dengan pria berambut keperakan itu sebelum masuk ke dalam kelas. Baru saja dirinya hendak masuk ke dalam kelas, badan besar Brandon menghalangi langkahnya. Sial, umpat Katia. Mau apa lagi dia?, pikirnya. “Karen dan aku sudah putus.” Kata Brandon sambil menyandarkan tangan satu nya di dinding mengurung gadis itu di tempatnya berdiri. “Oh jadi? Apa hubungannya denganku?” “Aku masih tidak bisa melupakan ciuman kita minggu la--” “Tunggu dulu !” sela Katia “Kita tidak berciuman. Kamu yang mencoba menciumku, ingat? Aku mendorong badanmu sebelum hal itu terjadi. Entah apa yang kamu ceritakan ke Karen, tapi tidak ada apa apa yang telah terjadi atau akan terjadi diantara kita.” Katia mengingat kembali kejadian hari kamis minggu lalu yang berujung labrakan Karen. Dirinya  dan Brandon sedang bertemu di perpustakaan membicarakan tugas Biology yang mengharusnya mereka kerjakan berdua sebagai partner. Suasana perpustakaan sudah sepi karena ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk menjelaskan tugas agar dimengerti oleh Brandon. Dirinya sempat mengutuk Mr Harvey, guru biologynya, yang memasangkan nya dengan Brandon yang sepertinya menghabiskan sepertiga dari hidupnya  untuk bercermin mengecek wajahnya. “Konsentrasi Brandon, apakah kamu mendengar perjelasanku?” tanya Katia ketika Brandon untuk yg berulang kalinya mengangkat cermin kecil di kotak pensilnya. “Karen mengatakan kalau wajahku mulai terlihat gendut, apakah benar?” Katia dengan kesal dan dengan sinis menjawab, “Tenang saja, kamu masih merupakan pemuda terpopuler  di sekolah ini. Semuda gadis selalu membayangkan untuk menjadi pacarmu. Sekarang mari kita fokus ke permasalahan yang lebih penting.” Jawaban Katia membuat Brandon menoleh ke arah Katia. Brandon memandangi Katia sejenak sebelum mencondongkan wajahnya kearah bibir gadis itu. “Apa apaan!” ujar Katia mendorong hidung Brandon sambil tersentak berdiri, “Oke aku menyerah, Brandon. Aku capek, dan aku mau pulang sekarang. Jangan kuatir soal Biology, nanti aku lanjutkan saja di rumah sendiri” Katia bergegas merapikan barang barangnya dan pergi meninggalkan Brandon yang masih melongo. ***  “Kurasa kita bisa menjadi pasangan yang popular di kampus.” Kata Brandon membuyarkan lamunan Katia. Tangannya masih bersandar di dinding menghalangi badan Katia dari pintu masuk kelas. “Setelah kuamat amati kamu jauh lebih cantik dari Karen,” imbuhnya. “Hanya bekas luka itu saja yang mengganggu, tapi akan dengan mudah ditutupi oleh rambutmu... atau make up.” Brandon mengangkat tangannya berusaha mengubah poni Katia agar menutupi bekas luka yg terpampang di pinggir wajahnya. Katia menampik tangan Brandon dan mendorong Brandon agar membiarkan dirinya lewat. Brandon mengalah dan membiarkan gadis yang hanya setinggi dadanya itu lewat tepat ketika Mr Harvey muncul dengan diikuti seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya. Katia ikut melirik kearah guru pelajaran pertamanya. Detak jantung Katia kembali berdegup dengan kencang melihat sosok jangkung yang berjalan di belakang Mr Harvey. Murid baru itu! Gadis itu langsung berlari kecil melewati Brandon dan masuk ke dalam kelas pertamanya. Dengan tergesa Katia menghempaskan tubuh kecilnya ke kursi kosong di sebelah Donna. Tak berapa lama kemudian Brandon mengikuti, disusul Mr Harvey dan Seth. Donna melirik kearah temannya sambil berbisik, “Beruntung sekali kita, ternyata dia sekelas dengan kita di pelajaran pertama.” Katia tersenyum mengakui bahwa dirinya juga senang dengan adanya murid baru dikelasnya. Tinggal di kota kecil memang membuatnya kenal hampir seluruh siswa yang ada di kampus itu. Brandon menghempaskan badannya ke kursi yang terletak di barisan depan dan duduk sambil setengah bersungut. Kesal, karena telah ditolak mentah mentah oleh gadis berwajah cacat. Diliriknya Katia yang sedang berbisik bisik dengan Donna, sambil mengutuk gadis itu dalam hati. Katia yang tidak sadar sedang diamati Brandon, terlihat melirik ke sosok yang sedang berdiri di depan kelas. Brandon melihat kearah yang sedang di amati oleh Katia dan tersentak kaget menatap mata Seth yang melihat kearahnya dengan pandangan sedingin es. Brandon yang memiliki badan kekar seketika merasa lemas dan tidak bisa bergerak. Kerongkongannya mendadak kering seperti ada yang menghambat saluran napasnya. Selama beberapa detik dirinya tidak bisa berbuat apa apa kecuali menatap wajah pemuda asing yang tidak dikenalinya. Begitu pria asing itu mengalihkan pandangannya, barulah Brandon menemukan dirinya bisa bernapas lega lagi. Apa yang barusan terjadi?, pikir Brandon Mr Harvey memperkenalkan Seth kepada kelasnya dan menunjuk kearah sebuah bangku kosong di deretan paling belakang sebelah Maria. “Seth kamu boleh duduk di sana, Maria tolong bagi buku cetak kamu dengan Seth sementara dia belum mendapat buku barunya. Oke?” Wajah Maria yang bulat tampak tersenyum lebar dan mengangguk. Gadis bertubuh gemuk itu tampak girang karena terpilih untuk berbagi buku dengan murid baru yang tampan. Seth berjalan kearah yang ditunjuk Mr Harvey melewati Katia. Aroma badan Seth membuat Katia kembali merasakan sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Sesuatu yang membawanya kedalam kehidupannya yang lalu. Mengingatkannya akan sebuah memori yang tidak bisa di aksesnya. Suara bisikan teman temannya yang membicarakan kehadiran Seth mengembalikan Katia pada kesadarannya. Hampir semua siswi tampak terpesona dengan daya tarik misterius yang terpancar dari Seth. Ada sesuatu yang liar dan menarik dari diri Seth yang membuat mereka semua penasaran. Sepanjang pelajaran, pikiran Katia melayang ke sosok pria yang duduk di belakangnya. Walaupun tidak membalikkan badan, tapi bisa dirasakannya tatapan mata Seth yang tajam tertuju kearahnya,membuat bulu di tengkuknya berdiri.  Membuatnya duduk tanpa berani bergerak sepanjang pelajaran. Begitu My Harvey membuyarkan kelas, ia bergegas berdiri, menarik tangan Donna kearah pintu dan berharap di mata pelajaran berikutnya dirinya tidak sekelas dengan Seth. Walau lega karena harapannya terkabul, di saat yang bersamaan dirinya juga tidak bisa menghilangkan bayangan pemuda itu dari pikirannya. Jam makan siang akhirnya tiba, membuat semua orang semburat keluar dari kelas mereka masing masing dan berjalan menuju kantin termasuk Katia dan Donna. “Hei Kat, apakah kamu sudah dengan tentang Karen dan Brandon?” tanya Donna. Katia menoleh memandangi temannya. “Ada apa lagi tentang mereka?” tanya Katia. “Akhirnya mereka putus. Ada yang bilang Brandon yang akhirnya meminta putus ke Karen. Mungkin muak dengan kedangkalan Karen.” Donna berkata sambil tersenyum kecil. “Oh.. itu..” jawab Katia pendek.  Jika ada satu hal yang membuat Donna tersulut adalah apapun yang bersangkutan dengan Karen. Tinggal tidak terlalu berjauhan, mereka semua dulunya berteman cukup dekat, sebelum Karen akhirnya mendapatkan teman-teman baru dan mulai mendapatkan kepopulerannya.  Sementara Donna dan dirinya tetap bertahan dijalur murid invisible yang kurang populer. Ditambah, ternyata pemuda yang ditaksir Donna sejak smp, Ben, ternyata naksir juga kepada Karen. Katia duduk di meja kosong di ruang kantin diikuti Donna ketika dilihatnya tubuh kurus dan jangkung yang tampak menjulang di antrian kantin sekolah. Gadis itu melambai kearah Ben yang langsung berjalan kearah kedua temannya sambil nyengir. Tubuh Ben yang kurus terlihat kontras dengan wajah baby facenya yang bulat menggemaskan. “Hei guys,” sapa Ben sambil meletakkan tray makannya diatas meja. Memiliki jurusan yang sama dengan Katia, Donna dan Ben langsung berbincang seru tentang acara kelas seni rupa yang akan digelar di kampus bulan depan. Mereka berdua akan berkolaborasi memamerkan beberapa jenis patung buatan mereka. Sementara dirinya sendiri berniat untuk memamerkan lukisannya. Yang kini harus dibuatnya ulang karena hancur saat Karen melabraknya minggu lalu. Katia tampak tidak mendengar apa yang kedua temannya sedang perbicarakan. Dirinya sedang menoleh ke sekeliling kantin mencari sesosok yang tidak bisa hilang dari pikirannya sejak pagi. “Heh… Kat.. kat..” Ben menyenggol siku Katia setelah beberapa saat memanggilinya tanpa ada respon dari Katia. Katia menoleh bengong kearah Ben, “Hah? Apaan?” “Percuma Ben, Katia sedang kasmaran mencari ksatria di jaket kulitnya,” sindir Donna setengah nyengir. Ben yang tampak langsung paham akan siapa yang dibicarakan Donna menanggapi.  “Ohh murid baru itu ya? Aku tadi sekelas dengannya di pelajaran sejarah. Heran apa sih gantengnya, semua gadis di kelasku tadi juga jadi salah tingkah,” kata Ben sembari memasukkan sepotong kentang goreng ke mulutnya. “Aku malah lebih tertarik dengan gossip yang katanya Karen dan Brandon putus, bener gak sih?” tanya Ben kemudian. Katia melirik kearah Donna yang memutar matanya ke atas mendengar nama Karen disinggung. “Memang kenapa kalau mereka putus? Kamu mau mendekati Karen?” tanya Donna gusar. Ben nyengir, “Mungkin, kenapa tidak? Aku juga tidak kalah gantengnya dari Brandon atau murid baru itu.” Donna tergelak mengejek mendengar perkataan Ben. “Oh iya..” sela Katia. “D, sebelum aku lupa, aku tidak pulang bareng ya seminggu ini, aku harus membersihkan sampah sekolahan dulu,” ucap Katia ke arah temannya. “Jangan khawatir, Ben dan aku akan membantumu agar cepat selesai” Kata Donna tersenyum. “Benarkah?” “Tantu aku akan membantumu, walaupun kamu sudah menghancurkan hidung sempura kekasih masa depanku.” Ben berkata sambil mendorong bahu gadis itu bercanda. “Jangan khawatir tentang hidung Karen. Tangankulah yang harusnya kau khawatirkan,” canda Katia mendorong balik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD