3. Seth

1022 Words
Katia membuka kunci pintu rumahnya yang langsung disambut oleh gongongan anjing kesayangannya. “Heiiiii Max…Sorry aku lama,” Katia mengelus kepala lembut Max. “Kamu pasti pingin keluar ya.” Ia berjalan menuju pintu belakang dan membukakan pintu untuk Max keluar. Sebelum masuk kembali ke dalam kamarnya, melemparkan tas ke atas meja belajarnya dan dengan satu loncatan menghempaskan badannya keatas kasur. Kurang tidur dan lelah, tak lama kepala Katia menyentuh bantal, dirinya langsung tertidur pulas. Dirinya baru terbangun ketika merasakan adanya hidung basah Max mengendus endus tangannya, membuatnya berkedip dalam kegelapan. Hmm..Jam berapa ini? pikirnya. Matanya melirik kearah jam di dinding kamarnya. Hah? Sudah jam 9 malam? Max mendengking merengek minta makan. “Ya ya.. akan kusiapkan makananmu, boy, sabar ya,” kata Katia bangun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju dapur.. Sepertinya Mike belum pulang karena suasana rumah masih sepi. Gadis itu membuka lemari penyimpanan makanan Max dan menuangkannya butiran dog food ke dalam mangkuk anjing itu di dekat kulkas yang langsung dilahap nya dengan rakus. Melihat anjingnya yang asik lapar, dirinya merasa ikut lapar. Setelah menyimpan kembali makanan Max, gadis itu membuka kulkas dan menemukan kotak kontainer plastik berisi meatloaf masakan ayahnya. Di masukkannya tuperware itu ke dalam microwave. Sambil menunggu meatloafnya selesai di panaskan, pikirannya kembali melayang pada kejadianpagi tadi. Kepertemuannya dengan sosok pria yang membawa aroma hujan.  Keberadaan pria itu membuatnya ingin kabur tapi juga ingin tinggal di saat yang bersamaan. Membawa perasaan takut tapi juga penuh gairah. Sungguh membingungkan. “Rufff..” Gongong max mengagetkan Katia. “Hah? Ada apa max?” Anjing itu berlari kearah pintu belakang dan berdiri di sana sambil menggeram. Telinganya tegak berdiri seolah menunjukkan ada sesuatu yang tidak disukainya di kebun belakang rumah. Katia baru menyadari ternyata pintu belakang lupa di tutupnya dan masih terbuka lebar. Melihat Max masih menggeram di  dalam rumah membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. Setengah berlari, buru buru di hampirinya pintu itu dan menutupnya rapat-rapat. Sambil mengintip dari lubang kaca jendela pintu belakang, Katia mengelus lengannya yang tiba tiba terasa dingin.  Mata lebarnya membelalak ketika bayangan gelap yang semula dikiranya adalah bayangan pohon itu mulai bergerak cepat di perbatasan kebun dan hutan membentuk sosok seorang manusia yang sedang berlari. Tangannya langsung meraih tombol lampu kebun, menyalakannya dan seketika itu pula bayangan bayangan itupun menghilang. Krekk… Suara pintu depan yang tebuka membuat Katia hampir melompat karena kaget. “Hai Kat. Sedang apa kamu di situ?” tanya Mike. Kehadiran ayahnya membuat Katia menghela nafas lega. “Ohh..Kau mengagetkanku, Dad. Kukira tadi kulihat ada orang menyelinap masuk ke kebun belakang. Aku melihat  bayangan disebelah sana,” tunjuknya ke arah perbatasan hutan. Mike berjalan menuju pintu belakang dan membuka pintunya. Matanya terarah pada bagian yang ditunjuk anaknya tanpa menemukan apa apa. “Apapun yang kamu lihat sepertinya sudah tidak ada lagi di sana. Mungkin binatang, Kat. Ada yang melaporkan melihat beruang berkeliaran di dalam hutan,” katanya kearah anak gadisnya yang berdiri di belakang ayahnya. Katia melirik ke arah anjingnya, yang tampak setuju dengan jawaban Mike, karena anjing itu sudah tidak lagi menggeram dan tampak relax menjilati kakinya sendiri. “Hmm..iya..sepertinya sudah hilang, sih.” “Baiklah. Yukk kita makan, sepertinya meatloafnya sudah siap disantap” kata Mike sambil menutup pintu belakang rapat rapat. “Bagaimana sekolah?” tanya Mike ketika mereka sudah duduk di ruang makan. “Ada murid baru di kelas Biology” “Ditengah semester begini? Katia mengangguk.  “Tapi sepertinya dia bukan dari jurusan seni rupa. Ada sesuatu yang aneh darinya..” “Maksudnya?” tanya Mike ketika anaknya tidak melanjutkan ucapannya. “Entahlah.. Rambutnya berwarna abu keperakan, sangat berbeda dengan orang sekitar sini. Dan aroma yang dibawanya kadang membuatku merasa seperti pernah bertemu dengannya sebelumnya.” Katia menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Atau mungkin aku hanya kurang tidur, Dad. Jadi agak ngelantur.” Mike menatap wajah anaknya lekat-lekat sementara tangannya mencengkeram sendok yang di pegangnya dengan erat seolah hendak mematahkannya menjadi dua. Sesuatu yang ditakutinya sejak kelahiran anaknya mulai merambat di dadanya.  “Aku tidur dulu ya Kat, hari ini ramai sekali di klinik dan aku sangat capek,” pamit Mike tiba tiba. “Tapi kau hampir belum menyentuh makananmu, Dad. Apakah kau baik baik saja?” tanya Katia bingung. “Aku sudah makan tadi sebelum pulang, jadi tidak terlalu lapar. Tolong simpankan lagi ya makananku di kulkas.”  Tanpa memberi kesempatan untuk anaknya protes, Mike sudah melangkah masuk ke dalam kamarnya Katia yang nampak kebingungan dengan tingkah ayahnya, hanya bisa mengerutkan dahi. Biasanya setelah makan mereka akan menonton tv bersama sambil ngobrol, namun malam ini sesuatu di wajah ayahnya berubah setelah dirinya menceritakan tentang pemuda berambut perak yang di temuinya di kampus. Sementara itu, di dalam kamar, Mike duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam foto dan sebuah buku jurnal milik istrinya. Tenang saja Helen, tidak akan kubiarkan apapun terjadi pada putri kita, aku berjanji, bisiknya dalam hati. Dahinya yang keriput mendadak tampak tua terbebani oleh  rahasia yang disimpannya selama 20 tahun terakhir ini. Cerita anaknya akan munculnya pemuda berambut perak mendatangkan kewaspadaan dalam dirinya. Semua tenang tenang saja selama ini. Apakah aku mungkin terlalu berlebihan. Belum tentu dia adalah sosok yang sama. Lebih baik aku tidak buru buru menyimpulkan.   Disimpannya kembali foto dan jurnal yang di pegangnya kembali ke dalam laci sebelum menguncinya rapat rapat. *** Kegelapan malam mulai merayap  ketika Seth duduk di ruang tengah rumahnya yang tampak kosong. Pertemuannya dengan gadis itu meninggalkan penyesalan yang mendalam. Sudah 20 tahun lamanya dirinya mencarinya. Namun kini setelah berhasil, Seth merasa bahwa keputusannya untuk datang sendiri ke dunia mungkin bukanlah hal yang bijaksana. Bekas luka yang terpampang panjang di wajah gadis itu membuat hati Seth berdenyut. Membawa penyesalan dalam karena telah mengakibatkan luka permanen yang kini menghiasi wajah cantiknya. Wajah yang sangat dikenalnya sebagai wajah milik pasangannya. Serafina. Bukan lagi bayi seperti yang diingatnya, gadis itu sudah tumbuh menjadi sesuatu yang menakutkannya. Ditatapnya kedua tangan nya yang masih terasa hangat oleh badan gadis itu ketika dirinya memeluknya. Kehangatan yang merembes masuk ke dalam tubuhnya. Menggali terowongan kedalam hatinya yang beku. Membuatnya merasa rentan. Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya selama ini. Rambut merah Katia pagi itu terasa lembut di dadanya, membawa bau manis di hidungnya. Diingatnya bagaimana dirinya berusaha menahan keinginannya memeluk Katia terlalu kencang seolah takut akan meremukkan badan mungilnya. Heran bagaimana emosi bisa menguasainya hanya karena melihat gadisnya itu disudutkan oleh seorang pemuda. Gadisnya. Miliknya. Apa yang terjadi padaku…Maafkan aku harus menunda rencana kita, Serafina. Seth memejamkan matanya sebelum sebuah benda bulat keperakan muncul di kepalanya dan bersinar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD