4. Pelindung?

2195 Words
Katia berjalan tidak sabar kearah kelas pertamanya sadar bahwa Seth juga akan ada di kelas yang sama. Donna yang masuk duluan sudah duduk di kursinya ketika gadis itu masuk ke dalam kelas. Diliriknya kursi sebelah Maria tempat Seth duduk kemarin. Masih kosong. Gadis itu menghempaskan badannya disebelah Donna sambil menghela nafas kecewa. Pandangannya tiba tiba menatap kearah Karen yang duduk di deretan depan kelas. Gadis itu sedang menoleh ke belakang juga, kearah Maria. Bengkak di hidungnya sudah mereda walaupun lebam masih terlihat di balik perbannya.    Dilihatnya Karen bergegas mengemasi barang barangnya, dan berdiri dari kursinya. Gadis itu berjalan melewati meja Katia menuju deretan belakang kelas. Rok mini yang dipakainya melambai mengikuti langkahnya menunjukkan jenjang kakinya yang panjang bak seorang model. Karen berhenti di samping meja Maria. “Minggir, gendut!” desisnya galak. “Cari tempat duduk lain!” Maria tampak kaget oleh gertakan Karen tapi tidak berani melawan dan bergegas membereskan bukunya sebelum menyingkir dari tempat duduknya. Karen menghempaskan pantatnya di kursi Maria sementara gadis bertubuh gemuk itu memandangi sekeliling kelas mencari kursi kosong. Akhirnya Maria memutuskan untuk duduk di deretan depan mengambil bekas kursi milik Karen. “Wanita gila,” ujar Donna melirik kearah Karen.  “Kasihan Maria” Katia mengeluarkan buku buku dari tasnya tepat ketika tubuh jangkung Seth masuk ke dalam kelas. Hampir semua murid wanita di kelas itu mendongakkan wajahnya seperti kawanan meerkat di gurun pasir. Katia tersenyum mendapati dirinya melakukan hal yang sama. Pandangannya diam diam mengikuti Seth yang hendak berjalan ke kursi kosong yang kini ada di sebelah Karen. Pemuda itu berjalan melewati Katia sambil membalas tatapan Katia dengan matanya yang tajam, membuat gadis itu menundukkan wajah kembali ke atas bukunya. “Hai seth!” sapa Karen centil, “Kenalkan, aku Karen. Sebagai student ambassador universitas dan ketua tim cheerleader, aku akan mendampingimu di masa transisi mu sebagai murid baru, oke? Jangan sungkan untuk bertanya kepadaku tentang apapun.” Katia mencuri pandang kebelakang penasaran melihat reaksi Seth. Wajah dinginnya memandang Karen beberapa saat sebelum segaris senyum tipis tertarik dari bibirnya kearah gadis itu. Membuat Katia di bakar api cemburu hanya karena senyuman Seth tidak ditujukan untuknya. Katia memalingkan muka ke depan kelas memendam perasaan aneh yang baru di rasakannya itu. Ughh..bodo amat, dia bukan siapa siapa ku, kenapa juga aku marah, pikirnya dalam hati. Kedatangan gurunya ke dalam kelas mengalihkan perhatian Katia dari Seth. Guru biologynya itu meminta kelas untuk mengumpulkan tugas kelompok yang di tugaskan beberapa minggu yang lalu. Tugas yang seharusnya dikerjakan Katia bersama Brandon. Katia bangkit dari kursinya membawa kertas berisi tugas yang akhirnya di kerjakan olehnya sendiri tanpa bantuan pria itu. Brandon menyambar lengan Katia ketika gadis itu melewati dirinya. “Aduh..apaan sih?” tanya Katia kaget. Brandon hanya membelalakkan matanya sambil menatap kertas yang dibawa Katia seolah menanyakan partisipasinya dalam mengerjakan tugas itu. “Jangan khawatir, nama mu sudah kumasukan ke dalam tugas kita,” jawab Katia sambil menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Brandon. BRAKK! Tiba tiba papan putih di depan kelas terjatuh dari dinding dan menghantam lantai kelas hingga terbelah menjadi dua. Suasana di kelas langsung menjadi riuh oleh terikan nafas murid yang terkesiap melihat  papan kayu yang biasanya tersekrup rapat ke tembok itu tiba tiba jatuh tanpa ada sebab. Diliputi rasa heran, Brandon tanpa sadar melirik kearah Seth yang duduk di belakang kelas. Darah Brandon seakan berhenti mengalir ketika dilihatnya tatapan dingin pria itu tertuju padanya. Tangannya terangkat menggapai lehernya yang mendadak terasa sempit dan membuatnya susah untuk berhafas. Samar Brandon bisa mendengar gurunya berkata,”Sepertinya sudah lama pihak pemeliharaan kampus tidak mengecek keamanan fasilitas kita. Jangan kuatir, akan kusampaikan hal ini ke pengurus. Sekarang mari kita buka halaman 121” Karen menyodorkan buku teks miliknya kepada Seth, membuat pria itu memalingkan wajahnya dari Brandon. Seolah terlepas dari sebuah sihir yang mencengkeramnya, seketika itu juga keringat dingin mengucur dari dahi Brandon dan dirinya kembali bisa bernafas lega. Pemuda berambut cepak itu memalingkan wajahnya kembali kedepan kelas keheranan kenapa hal yang sama terjadi padanya untuk kedua kalinya sejak kedatangan murid baru itu. Ada sesuatu yang aneh pada pria itu, pikirnya dalam hati. Pelajaran pertama berakhir tanpa insiden lain hingga Katia menatap punggung Seth yang menghilang masuk ke kelas kedua sementara dirinya berjalan menuju kelas lain. Didapatinya dirinya berulang kali menatap jam diatas papan tulis berharap agar jam makan siang lekas tiba. Setelah melirik jam ke sekian kalinya, akhirnya gurunya membubarkan kelas yang langsung diikuti oleh suara buku buku yang di tutup dan langkah kaki murid keluar dari kelas. Termasuk Katia.  Setengah berlari, Katia menerobos masuk kerumunan murid di depan kantin. Dirinya menoleh menelusuri kerumuman murid mencari Donna atau Ben yang langsung ditemukannya sedang duduk di tempat biasa. Dilihatnya Ben melambai kan tangan kearahnya. Seakan sudah dilatih, tanpa sadar Katia menoleh ke sekeliling kantin mencari sosok jangkung Seth yang tentu saja tidak nampak. Merasa kecewa, dirinya mulai bertanya tanya apakah pemuda itu sengaja menghindarinya. Tangannya menggaruk dahinya yang tidak terasa gatal menyentuh bekas lukanya yang memanjang, mengingatkan gadis itu akan raut wajah Seth ketika menatapnya kemarin. Mungkin dirinya merasa jijik oleh bekas luka ini, helanya dalam hati.  “Hei Kat, coba lihat sketsa ini. Bagaimana menurutmu?” tanya Donna ketika Katia duduk di sampingnya. Kedua teman baiknya itu tampaknya sedang mendiskusikan tentang pameran seni untuk kelas Creative Art mereka yang akan diadakan diakhir semester.    Katia menarik kertas sketsa patung yang di gambar Ben dan mengamatinya sejenak. Dipaksanya otaknya agar berkonsentrasi kepada gambar dihadapannya. Terbiasa bekerja dengan alat las, sepertinya temannya itu memutuskan untuk membuat patung dari sejenis metal setinggi 2 meter. “Apakah kau sudah mulai mengerjakannya? Kita hanya diberi waktu sebulan untuk menyelesaikannya.” tanya Katia kearah temannya. “Sudah kumulai rangkanya.. Kalau aku mengerjakannya sesuai jadwal harusnya beres seminggu sebelum pameran,” jawab Ben “Menurutku ini akan menjadi karya terbaikmu selama ini.” Kata Katia mengagumi design Ben. “Bagaimana denganmu, D?” Donna menunjukkan kertas bergambar sketsa miliknya. Sebuah patung abstrak yang menyerupai gadis yang sedang menari tergambar di coretan sketsa Donna. Katia merasa sedikit minder dengan hasil kerja teman temannya.  “Bagaimana dengan lukisanmu Kat? Apakah ada yang masih bisa diselamatkan?”   Katia menggelengkan kepalanya. “Sayangnya semuanya rusak. Aku harus memulai ulang.”  “Sorry, Kat,” ucap kedua temannya bergantian. Katia menghela nafas berusaha tidak memikirkan nya. “Oh well.. Apa boleh buat. Untungnya aku masih punya waktu untuk membuat gambar baru” Donna dan Ben merasa iba pada temannya karena mereka tahu betapa keras dirinya berusaha menyelesaikan lukisan wajah ibunya. Mengingat dirinya  tidak pernah bertemu ibunya dari lahir. *** Pulang sekolah, Katia berjalan menuju kantor kepala rektor sendirian. Kedua temannya berencana mulai mengerjalan proyek seni mereka sehingga tidak bisa menemani. Diketuknya  pintu kantor  kepala rektor kampus. “Masuk!” jawab Mr Dudley. Katia membuka pintu perlahan. Pria bertubuh gemuk dan pendek itu sedang duduk di belakang meja kerjanya. Lehernya tertutup oleh lipatan dagu yang menggantung hampir sampai ke dadanya. Matanya yang sipit memandang kearahnya.  “Siap untuk hari kedua?” Katia mengangguk sebelum bertanya, “Uhm.. Mr Dudley, bolehkah aku minta ijin besok? Ada pelajaran tambahan di kelas Creative Art besok karena kami sedang mempersiapkan project seni untuk bulan depan.” “Baiklah Katia, besok kamu boleh tidak melakukan hukumanmu. Tapi tidak ada alasan untuk bolos di hari kamis dan jumat. Setuju?” ujar Mr Dudley . Katia mengangguk. “Setuju. Thanks Mr Dudley” ujar Katia bergegas keluar. Katia sedang mengodok odok tong sampah besar terakhir di dekat tempat parkir ketika di dengarnya suara gaduh dari arah sebelah pintu masuk. Penasaran, dirinya melangkah mendekati arah suara. “Kembalikan tasku, please,” jerit suara seseorang tercekat seperti hendak menangis. “Aku sudah menyerahkan semua uang yang aku miliki kepada kalian. Tidak ada apa apa di dalam tasku kecuali buku.” “Haha..lihat sepertinya bocah ini mau menangis,” tawa seorang pemuda mengejek. “Uang yang kamu berikan mana cukup untuk menggantikan barangku yang kamu hancurkan?!” gertak pemuda yang lain. Katia mengenali suara kasar kedua pemuda itu. Orang yang sedang menumpahkan isi tas anak malang itu adalah Jeff dan temannya Brad. Berumur 3 tahun diatas Katia, kedua pemuda itu terkenal sebagai berandalan di kota kecilnya. Mereka bukan murid kampus itu tapi sering nampak nongkrong disana meminta uang orang yang sedang apes lewat di depan mereka.   Ada yang pernah bercerita bahwa Jeff dikeluarkan dari sekolah karena memukuli salah satu gurunya  hingga babak belur dan harus dirawat di rumah sakit. Bahkan menurut gossip pria bertato ular di lehernya itu juga terlibat dalam pengedar dan pemakai obat terlarang. Entah apa yang membuat bocah malang itu terlibat berurusan dengan Jeff dan temannya. “Aku tidak sengaja menabrak mobilmu dengan sepedaku Jeff. Sumpah kau bahkan tidak bisa melihat goresan sama sekali,” pinta anak itu memelas sambil berlutut memohon. Katia merasa kasihan melihatnya, namun dirinya juga tidak berani menghadapi Jeff seorang diri di tempat parkir yang sepi begini. Mungkin aku bisa memanggil Mr Dudley,  pikir Katia Duag!!! Jeff menendang perut anak yang sedang berlutut itu sekuat tenaga. Badan kecil anak itu terjengkang kebelakang sementara Brad tertawa terkekeh-kekeh sambil menepuk-nepuk lututnya, tampak menikmati kesengsaraan bocah yang berukuran setengah badannya.  “Heh!!! Stop!!” tanpa sadar Katia otomatis berteriak. Yang segera disesalinya, namun sudah terlambat.Kedua berandalan itu menolehkan kepalanya kearah Katia yang berdiri dengan tangan terkepal. “Lihat Brad, mungkin gadis ini ingin menambah koleksi luka di wajahnya” Jeff berkata sambil menyengir. “Kalian sebaiknya pergi dari sini atau…uhm…aku akan melapor!”  ujar Katia ragu ragu sambil melangkah mundur. Dirinya bersiap untuk berlari namun dengan cepat Jeff melompat ke depan dan menyambar lengannya. “Upss… jangan buru buru akan pergi, sayang.” Jeff berkata sambil mengelus pipi Katia. Dengan berang Katia menampik tangan Jeff dan menarik lengannya. Namun usahanya untuk melepaskan pegangan Jeff tidak berhasil karena pria itu mencengkeram lengan Katia lebih kencang menusuk kulit putih Katia dengan kukunya yang kotor dan hitam. “Lepaskan lenganku!” ujar Katia kesakitan. Jeff mengeluarkan pisau lipat kecil dari saku celananya dan mulai memainkannya kearah pipi Katia. “Jangan bergerak, sayang!” desis Jeff tepat di samping kuping Katia. Dirinya bisa mencium bau rokok dan alcohol dari mulut jeff, membuatnya merasa mual. “Jangan sampai pisau ini melukai sisi wajahmu yang masih utuh.” Katia bisa melihat Jeff menempelkan ujung pisau itu ke sisi wajahnya. Dirinya mulai memejamkan mata sambil berpikir bagaimana cara nya bisa keluar dari situasi yang berbahaya itu ketika tiba tiba didengarnya Jeff mengerang kesakitan. Katia membuka matanya kebingungan karena kini Jeff sedang meringkuk berlutut di depannya memegangi tangan kanannya  yang tampak terpelintir aneh dengan pisau lipat Jeff tergeletak di dekat kakinya. Sesuatu menyentuh bahunya membuat Katia tersentak. Gadis itu menoleh dan melihat Seth berdiri di belakangnya. Sesuatu di kepala pria itu terpancar terang menyilaukan pandangan mata Katia  “Mundur Kat,” ujar Seth menarik bahu Katia kebelakang. Menurut, dirinya melangkah mundur ke balik badan Seth sementara Brad tampak bengong kebingungan tidak yakin apa yang barusan terjadi. Panik, Brad menerjang maju hendak menyerang Seth. Tangannya terkepal siap menghantam wajah Seth yg masih terpaku kearah Jeff. Tepat sesenti sebelum pukulan Brad menghantam muka Seth, tiba tiba dirinya terasa kaku tidak bisa bergerak. Matanya melotot seakan keluar dari lobang kepalanya sementara Seth mengalihkan pandangannya ke arah Brad yang nampak mulai ketakutan. “Jangan pernah kembali ke sekolah ini. Atau berani mendekati gadis yang berdiri di belakangku.” Seth berbisik lirih menekan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Matanya yang dingin menatap Brad hingga pria itu mengangguk sambil bergidik ngeri. Tanpa menyentuh, Seth menghempaskan badan Brad yang masih kaku kearah dinding gedung. Menubruk dinding dengan keras sebelum membuatnya terjungkur kedepan. Seth mengalihkan pandangannya ke bawah ke anak laki laki yang ditolong Katia. “Kumpulkan barangmu dan pergilah!” perintahnya. Tanpa berkata apa apa, anak itu langsung bangkit berdiri dan menyambar tas serta barang barangnya sambil berlari. Jeff pun ikut lari terbirit b***t sambil memegangi tangannya yang nampak remuk diikuti oleh Brad. Cahaya di kepala Seth perlahan memudar. “A..Apa yang barusan kamu lakukan kepada mereka? Dan apa yang bersinar di kepalamu?” tanya Katia dari balik punggung Seth. Pria itu masih memunggungi Katia,memikirkan apa yang akan dikatakannya pada gadis itu.Dirinya sudah berusaha sekuat tenaga untuk meredam kekuatannya saat berada di dunia, namun melihat apa yang dilakukan berandalan itu kepada gadis miliknya membuatnya lepas kendali. “Seth!” panggil Katia ketika tidak mendapatkan respons dari pria itu. Seth membalikkan badannya dan berjalan melewati Katia. “Ambil barangmu ayo kuantar pulang,” ujar nya singkat. Katia membuka mulutnya untuk meminta penjelasan lebih lanjut, namun diurungkannya niatnya itu ketika melihat Seth yang terus berjalan menuju mobilnya. “Tunggu, aku harus ambil tas ku dulu,” teriaknya sambil berlari ke dalam gedung. Dengan tergesa gesa di tariknya tas janjingnya yang diletakkannya di dalam loker sebelum berlari keluar ke tempat parkir mencari Seth. Pemuda itu sedang menunggu di dalam mobil sedannya yang berwarna hitam yang tampak mewah dan baru.  “Masuk!” perintah Seth jendela mobil ketika Katia masih berdiri dipinggir tempat parkir. Katia buru buru membuka pintu penumpang dan masuk ke mobil Seth. “Apakah kamu akan menjelaskan padaku apa yang barusan terjadi?” tanya Katia ketika mobil yang dinaikinya mulai melaju meninggalkan sekolah. Seth terdiam sejenak berpikir, “Tidak untuk saat ini, Katia” Dahi Katia berkerut hendak protes, tapi dirinya memutuskan untuk menahan pertanyaannya karena tidak ingin menyinggung pria itu. Setelah seharian mencari sosok pria itu, Katia sudah merasa lega bisa duduk di sebelahnya seperti ini. Dipejamkan matanya untuk menghirup aroma yang dicarinya sejak pertama kali bertemu dengan Seth dan merasa aneh karena hanya berada di dekat Seth membuat Katia merasa utuh. Mereka menghabiskan 15 menit perjalanan dalam kesunyian sebelum Seth membelokkan mobilnya ke jalan komplek rumah Katia. “Bagaimana kamu bisa tahu dimana aku tinggal?” tanya Katia heran. “Aku tahu banyak hal tentangmu Katia.” Bibir pria itu terangkat menjadi sebuah senyuman tipis sebelum melanjutkan, “Kita sudah sampai. Sampai jumpa besok.” Seth memarkirkan mobilnya di tepi jalan depan rumah Katia.  “Terima kasih sudah mengantarku.” Ujar gadis itu sambil keluar dari mobil. Tanpa berkata apa apa, mobil Seth berlalu meninggalkannya sendirian berdiri di pinggir trotoar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD