Alfi Bertemu Orang Tua Dania

1266 Words
Ratih langsung menelan ludah saat mendengar permintaan Dania. Dia menatap Dania dengan tatapan kurang nyaman. "Maksudku, aku hanya minta tolong kepada Mas Alfi untuk pura-pura menjadi calonku. Hanya pura-pura, Tih. Tolong aku." Dania memegang lengan Ratih dengan kedua tangannya. Dia menatap Ratih dengan tatapan memelas. "Dania, bukannya aku tidak mau membantu, tetapi bukannya suatu hal yang di awali dengan kebohongan akan berakhir dengan tidak baik. Kenapa kamu tidak jujur saja kalau kamu memang dimiliki calon. Berbicara dari hati ke hati dengan orang tuamu, supaya mereka mengerti. Lagipula kebohongan ini pasti akan menciptakan masalah baru di depan nanti." Ratih menatap mata Dania, mencoba memberinya pengertian. Dia bukannya tidak mau membantu, tetapi ada rasa tidak rela jika suaminya harus diakui sebagai calonnya orang lain meskipun itu sahabatnya sendiri. Dia memang merasa bersalah, apakah dia harus mengorbankan perasaannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa mereka tidak main perasaan di depan nanti? "Ratih, Aku harus minta bantuan siapa lagi? Aku tidak punya sahabat bahkan teman laki-laki pun aku tak punya. Satu-satunya sahabat dekatku cuma Kamu. Tolong aku, Tih. Kumohon." Dania menelungkupkan kedua tangannya di depan d**a, masih memohon belas kasih sahabatnya.Air mata sudah menggantung di sudut mata Dania. Saat itu dia benar-benar sedang dilanda ketakutan. Dia takut kalau benar-benar dijodohkan dengan si Amin. Ratih memandang Dania. Sebenarnya ia sangat tidak tega, apalagi Ratih yang menjadi penyebab dari meninggalnya Fadil yang akhirnya membuat masa depan Dania menjadi kacau. Tetapi apakah ia rela membiarkan suaminya untuk berpura-pura menjadi calon suami Dania? Ratih menghela nafas panjang. Dia terdiam sejenak sambil memandang ke bawah. Pikirannya menerawang. Lalu Dia mulai berfikir, mungkin ini saatnya dia menebus rasa bersalahnya terhadap Dania. Tak apa dia harus meminjamkan suaminya sebentar, toh itu hanya pura-pura. meskipun ini sangat berat, Ratih berharap ini adalah keputusan yang tepat dan tidak membuat dia menyesal di kemudian hari. Ratih juga berharap, apa yang dilakukannya kali ini bisa sedikit membuat rasa bersalahnya berkurang.Ya, ini keputusan berat bagi Ratih, tetapi menurut Ratih ini satu-satunya cara untuk mengurangi rasa bersalahnya. "Apa sudah tidak ada cara lain? Kamu sama sekali tidak memiliki sahabat laki-laki yang bisa kamu mintai tolong?"Ratih mencoba untuk mencari solusi lain terlebih dahulu, dan berharap masih ada yang bisa dia lakukan selain harus meminjamkan suaminya. "Selama ini aku hanya menulis di rumah, tidak pernah kemana-mana kalau tidak penting. Aku tidak suka berinteraksi dengan orang yang yang belum aku kenal. Kamu juga tahu sendiri aku sulit adaptasi dengan orang baru, jadi aku benar-benar tidak punya kenalan laki-laki yang bisa aku mintai tolong." Dania menyandarkan bahunya di sandaran kursi, pandangannya menerawang. Dia sudah membayangkan hal terburuk jika dia tidak bisa membawa seorang laki-laki datang ke rumah nanti malam. Kalau dia menjadi istri amin, dia yakin dia akan menjadi bulan-bulanan si duda Anak tiga itu "Sebenarnya ini berat buatku. Namun, demi kamu, Aku akan coba bilang sama Mas Alfi untuk berpura-pura menjadi calon suamimu. Namun, kamu harus berjanji. Hanya kali ini saja, maksimal 2 kali bertemu. Bukannya apa-apa, Dan. Aku hanya menjaga dari hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Tidak apa-apa kan?” Akhirnya itu yang diucapkan Ratih. Dia berharap, keputusannya kali ini bisa sedikit menebus rasa bersalahnya. Mendengar penuturan Ratih, Dania langsung menarik tubuhnya ke depan, dia membelalakkan kedua mata bulatnya, tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Ratih. "Ratih, kamu serius? Kamu mau membantuku? Aku janji, ini hanya sekali dua kali saja. Setelah itu aku akan mencari alasan ke Bapak dan Ibuk. Eh tapi tunggu, ini beneran kan? Kamu benar-benar mau membantuku?” Ratih mengangguk sambil tersenyum. Dia berharap Dania benar-benar akan menjaga kepercayaan Ratih. Dania langsung menghampiri Ratih dan memeluk sahabatnya yang sedang duduk di kursi kayu. Perempuan bertubuh tinggi dan ramping itu memeluk Ratihi erat dengan mata berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka, kalau sahabatnya sungguh sepeduli itu padanya. Dalam hati dania berjanji, dia akan membalas kebaikan Ratih suatu saat nanti. "Terima kasih, Ratih. Aku tidak akan pernah melupakan pengorbananmu ini. Kamu memang benar-benar sahabat sejatiku," ucap Dania sambil menepuk-nepuk bahu Ratih. *** Malam itu, bu Dewi memasak banyak makanan dengan hati bahagia. Wajahnya sumringah dan berbinar, karena sebentar lagi dia bisa bertemu dengan calon menantunya. Ya, begitulah anggapan Bu Dewi. Pukul 07.00 malam, berbagai makanan sudah tersaji di atas meja makan. Rasanya sungguh seperti menyambut tamu agung. Dania tersenyum getir memandang wajah bahagia kedua orang tuanya. Ya, wajah mereka memancarkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebenarnya. Namun, pantaskah kebahagiaan yang tulus itu diperuntukkan untuk sebuah sandiwara? "Dan, kok kamu nggak berdandan. Sana dandan dulu, pakai baju terbaikmu," kata Bu Dewi sambil memandang putrinya yang saat itu tengah duduk di kursi sambil memainkan ponsel. "Bagi Dania, ini sudah baju terbaik, Bu. Begini saja sudah cukup," jawab Dania cuek. Dania hanya memakai rok panjang warna hitam, dan hem polos warna pink dengan lengan pendek. "Hemh, memang dasarnya bandel. Ya sudahlah terserah kamu. Terus mana calon suamimu? Kok belum datang juga?" tanya Bu Dewi sambil mempersiapkan teko dan juga gelas. "Sebentar lagi bu, dia sudah di jalan kok." Dania sudah menelepon Ratih, Ratih mengatakan kalau Alfi sudah jalan sejak beberapa menit yang lalu. Tidak lama setelah itu, terdengar suara pintu diketuk. "Eh, itu calon menantu ibu. Biar ibu yang membukanya," ucap Bu Dewi antusias. "Jangan Bu, biar Dania saja. Ibu duduk di sini saja sama bapak, biar Dania yang ke depan." Dania segera berlari kecil ke depan, dan benar. Alfi sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum lebar. "Mas Alfi, terima kasih banyak ya Mas. Mas Alfi sudah mau membantu saya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak," ucap Dania sambil menunduk. "Enggak apa-apa, apa salahnya membantu? Lagipula kamu kan sahabat terbaiknya Ratih. Tidak mungkin aku tidak mau membantu. Oh iya, Aku harus pakai nama samaran apa nama asli?" tanya Alfi sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya karena kedinginan. "Nama asli aja, Ya sudah ayo masuk dulu, Mas. Bapak dan Ibu sudah tidak sabar menunggu. Ayo!" ajak Dania, dan Alfi pun mengangguk lalu mengikuti Dania menuju ke ruang makan. Ibu dan Bapak Dania langsung berdiri sambil mempersembahkan senyum termanis mereka saat mereka melihat Alfi. Alfi menghampiri Bapak dan Ibu Dania, lalu menjabat tangan mereka dengan sopan. "Jadi ini orang yang bisa mengambil hati anak ibu. Ayu duduk dulu, Nak." Bu Dewi terlihat bahagia. Dia bahagia karena sebentar lagi dia akan memiliki menantu, hal yang sudah lama dia inginkan bahkan sejak dania masih berumur 20-an. Alfi hanya menunduk sambil tersenyum. Mereka berempat duduk menghadap ke meja makan. Dania duduk bersebelahan dengan Alfi, sedangkan bapak dan ibu dania berada di hadapan mereka. "Bolehkah Bapak tahu siapa nama kamu, Nak?" tanya pak Hardi. "Nama saya Alfi, Pak." "Sudah lama kenal anak saya?" "Kurang lebih 2 tahun, Pak." Ya, mereka memang sudah kenal selama 2 tahun, sama dengan usia pernikahan Alfi dan Ratih. "Cukup lama ya, oh iya. Nak Alfi, ayo diicipi masakan ibu." Kali ini giliran Bu Dewi yang angkat bicara. "Iya, Bu. Terimakasih," alfi menjawab dengan sopan dan menunduk. Dania hanya diam sambil terus berdoa semoga Bapak dan ibunya tidak bertanya macam-macam. Takutnya mereka akan curiga bahwa Alfi Hanya calon pura-puranya Dania. "Mas Alfi aku ambilkan makanannya ya?" Dania meletakkan nasi di piring Alfi. "Nak Alfi umur berapa?" tanya Pak Hardi. "Saya 30 tahun, Pak." "Kamu lebih muda dari anak saya. Apakah kamu sudah siap menikah?" Pak Hardi langsung bertanya tepat pada intinya tanpa basa-basi. Alfi langsung menelan ludah dan membelalakkan matanya. Begitu juga dengan Dania, dia langsung gemetar. Dania sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya akan langsung menanyakan hal seperti itu. Dania melirik Alfi dengan nafas memburu. Kira-kira Alfi akan menjawab apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD