Muncul Getaran Hati

2146 Words
"Kalau Saya, Bagaimana Dik Dania aja Pak. Kalau dik Dania sudah siap, saya juga siap," ucap Alfi sambil melirik Dania. Lalu dia tersenyum, persis orang yang benar-benar sedang ada hubungan. Sungguh, luar biasa sekali akting Alfi. Masalah yang timbul selanjutnya, itu adalah urusan Dania. Dania tersenyum, Lega. Ternyata Alfi benar-benar total dalam membantu. "Syukurlah, Bapak senang dengarnya. Ayo dimakan, Nak Alfi. Jangan sungkan-sungkan," ucap Pak Hardi. Mereka berempat melanjutkan makan malam bersama. Sambil diselingi dengan candaan. Sambil sesekali Alfi melirik ke arah Dania sambil tersenyum. Pak Hardi dan Bu Dewi sangat senang melihat kedekatan mereka. Mereka merasa lega, karena akhirnya anaknya akan mendapatkan jodoh, dan mereka akan terbebas dari nyinyiran. "Bapak, Ibu, ini sudah malam. Saya mohon pamit. Terima kasih sudah menyambut saya dengan sangat istimewa, dan Maaf sudah merepotkan bapak dan ibu," ucap Alfi sopan. "Saya yang seharusnya berterima kasih, karena Alfi sudah mampir ke gubuk kami. Oh iya, besok Nak Alfi bisa datang lagi kan? Mau menemani Dania untuk berkunjung ke rumah neneknya? Dia sudah lama sekali tidak kesana." Pak Hardi sengaja mencari kesempatan agar anaknya memperkenalkan sang calon kepada neneknya, supaya sang nenek ikut merasakan lega karena mengetahui Dania sudah memiliki calon. Dania langsung tersentak, dia langsung menoleh kearah Alfi. Laki-laki berbelah dagu itu hanya mengangguk ke arah Dania tanda bahwa dia setuju. "Iya pak, tentu saja. Saya akan datang lagi besok. Saya permisi dulu, Bapak, Ibu." Setelah menjabat tangan pak Hardi dan Bu Dewi, Alfi segera pergi meninggalkan rumah Dania. Wajah pak Hardi dan Bu Dewi tampak begitu bahagia, tapi tidak dengan Dania. Wajahnya memancarkan kecemasan dan gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan. Bagaimana dia akan meminta izin ke Ratih? *** Pukul 08.00 pagi, Alfi sudah sampai di rumah Dania. Seperti apa yang sudah ia ucapkan, Alfi mau mengantarkan Dania ke rumah neneknya. Orang tua Dania tidak tahu, betapa kerasnya Dania berusaha minta izin Ratih untuk membiarkan Alfi mengantarkan dia ke rumah neneknya. Dania sungguh merasa tidak enak hati, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Setelah berbasa-basi sebentar, Alfi dan Dania segera meluncur ke rumah nenek dania yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari rumahnya. "Mas Alfi, aku bener-bener mohon maaf sudah merepotkan mas Alfi sejauh ini. Aku janji ini yang terakhir, nanti aku akan cari alasan atau aku akan pura-pura putus. Supaya Mas Alfi tidak terlibat lagi," ucap Dania merasa bersalah. "Nggak apa-apa, Dan. Aku tahu posisi kamu," Ckitzzzz... Alfi mengerem motornya mendadak, karena mobil yang ada di depannya mendadak berhenti. Reflex, Dania memeluk Alfi karena kaget. Saat itu, Dunia seakan berhenti. Jantung Dania berdetak dengan irama tidak karuan. Untuk sepersekian detik, Dania mematung dengan posisi itu. Dia merasakan sebuah kenyamanan. Ya, itu pertama kali dia memeluk seorang laki-laki setelah 7 tahun yang lalu, rasanya tidak ingin dia melepaskannya. "Dan," ucap Alfi lembut sambil menepuk lengan Dania, tanda kalau semua sudah baik-baik saja. Dania langsung tersentak, lalu buru-buru melepaskan pelukan. "Maafkan aku, Mas. Tadi aku reflex. "Iya nggak apa-ap, kita jalan lagi ya?" Alfi segera melajukan motornya setelah keadaan sudah kondusif. Pagi itu cuaca mendung. Mereka masih setengah perjalanan, hujan sudah turun. Awalnya masih gerimis kecil, lama lama semakin lebat. "Dan, kita neduh dulu ya? Aku nggak bawa mantel," ucap Alfi sambil memelankan laju motornya. "Iya mas," ucap Dania. Lalu Alfi segera berbelok ke arah sebuah toko yang saat itu sedang tutup. Mereka berteduh di emperan toko itu. Mereka segera turun dari motor, dan duduk di kursi panjang yang kebetulan ada di depan toko. mereka duduk bersebelahan sambil memandang hujan yang turun semakin deras. Dania menggosok-gosokkan 2 telapak tangannya sambil menaikkan bahunya mengenai leher. "Dan, kamu kedinginan? Sebentar aku ambilkan jaket di Jok motor." "Nggak usah mas, nggak apa-apa. Udah biasa seperti ini." "Nanti kamu masuk angin, malah repot kita," ucap Alfi sambil mengambil jaket dari jok motor. Alfi mengambil jaket tebal warna hitam, membuka resletingnya, dan menyelimut kan jaket itu ke tubuh dania dari belakang. Dania kembali terpaku, kembali ada desiran dalam dadanya. Jantungnya kembali berdegup dengan sangat kencang, seolah Ia baru saja lari maraton. Mungkin sikap Alfi itu memang biasa saja, tetapi cukup membuat Dania meleleh. Ya, dia adalah perempuan yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari laki-laki, merasa sangat tersentuh dengan perhatian kecil seperti itu. "Terimakasih, Mas." Dania menatap Alfi sejenak sambil tersenyum. "Biasanya aku selalu teliti kalau mau jalan, selalu menyiapkan mantel dulu. Entah kenapa hari ini tidak. Mungkin lain kali kalau kita keluar lagi aku bisa menyiapkannya?" "Kita? keluar lagi?" Dania menautkan alisnya. Sebenarnya Kalau boleh jujur, Dania juga masih mengharapkan bisa keluar lagi dengan Alfi. Entahlah, ia merasa nyaman sekali dibonceng naik motor oleh Alfi. "Ya, kita kan tidak tahu. Jangan-jangan, tiba-tiba kamu membutuhkan bantuan ku lagi." "Sebenarnya aku benar-benar tidak enak sama Ratih, Mas. Tidak seharusnya aku mau minta bantuan seperti ini." "Kalau cuma mengantarkan kamu saja dia tidak pernah keberatan." Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar, diikuti dengan kilat yang bertubi-tubi. Dania reflek menggeser tubuhnya ke arah Alfi, dan antara sadar dan tidak, Dania memeluk Alfi. Ya, Dania memeluk Alfi sambil memejamkan mata. Dania memangangat takut dengan petir dan kilat meskipun dia sudah dewasa itu. Saat Dania memeluk Alfi, desir-desir di dalam dadanya itu kembali muncul. Akhirnya dia kembali merasakan desir itu, Setelah sekian lama hatinya membeku. Ternyata alfi merasakan hal yang sama. Ada perasaan yang berbeda saat dia dipeluk oleh Dania seperti itu. Dia merasa nyaman dan merasa menjadi pelindung bagi wanitanya. Tanpa di duga, Alfi pun menyambut pelukan itu, dan ikut menepuk-nepuk pundak Dania. "Aku takut petir, Mas." Dania mengeratkan pelukannya pada Alfi. Dia mencoba menenggelamkan kepalanya di badan Alfi. "Iya, aku tahu. Ratih sering bilang." Alfi masih mengelus lembut punggung Dania, untuk mengurangi rasa takutnya. Ya, Alfi sangat menikmati momen itu. Dania memang merasa bersalah, sungguh. Tetapi dia masih belum ingin melepaskan pelukan itu. Dania masih menikmati nyamannya berada pada pelukan seorang laki-laki. Apalagi mengetahui Alfi juga menyambut pelukan itu. Rasanya, Dania ingin terus seperti itu. Saat itu, dan Ia benar-benar lupa akan Fadil. Pintu hatinya seakan terbuka begitu saja. Bayang-bayang Fadil, tidak lagi menggelayuti dalam pikirannya. Dalam hati dania merasa, mungkin Fadil merestui ini. Mungkin Fadil ikhlas di alam sana melihat Dania kembali merasakan kenyamanan di dekat laki-laki lain. Dania tersenyum dipelukan Alfi. Andai saja kamu bukan istr temanku, Mas. Mungkin aku tidak keberatan untuk benar-benar menjadikanmu menjadi calon suamiku. Mas Alfi, maafkan Aku yang merasa nyaman berada dipelukanmu. Ratih, maafkan Aku. Maafkan Aku yang merasa nyaman berada di pelukan suamimu. Aku tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri. Ponsel Alfi bergetar. Mereka berdua buru-buru saling melepaskan pelukan dengan canggung. Alfi menatap layar handphonenya. Ratih. Iya, Ratih yang menelpon. Dengan ragu-ragu, Alfi mengangkat telepon istrinya. "Mas, Kamu lagi di mana?" "ini masih di jalan, Sayang. Ada apa?" "Masih sama Dania?" "Iya lah, kan memang mengantar dia ke rumah neneknya." "Kalau sudah selesai kepentingannya, segera pulang ya Mas." "Iya, aku pasti akan segera pulang." "Ya sudah, hati-hati. Jaga diri dan jaga hati. I love you," ucap Ratih. Dari nada suaranya, terdengar kalau Ratih sedang merasa tidak nyaman. Kalau dipikir-pikir, wanita mana yang rela jika suaminya pergi dengan wanita lain. Meskipun hanya bertujuan untuk membantu, meskipun itu sahabatnya sendiri. "I love you too, sayang. Nanti kalau kepentingannya sudah selesai pasti aku segera pulang. Hati-hati di rumah ya." Klik. Sambungan telepon dimatikan. "Ratih?" "Iya." "Dia khawatir?" "Iya. Dia memintaku untuk menjaga hati," ucap Alfi sambil menunduk. Mungkin dia merasa bersalah telah memeluk Dania tadi. Mungkin tadi hanya terbawa suasana saja. "Maafkan aku, Mas. Aku tidak tahu diri," ucap Dania yang menyadari kesalahannya. Ya, sepertinya dania memang mulai main hati. "Sudah, Jangan terlalu dipikirkan. Sudah reda hujannya, Ayo kita lanjutkan perjalanan." "Iya." *** Kata orang, Cinta memang urusan hati. Kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta sama siapa, karena hati kita yang lebih tahu dimana ia harus melabuhkan diri. Namun, bukankah seharusnya kita yang harus mengendalikan cinta? Bukan kita yang dikendalikan oleh cinta. Malam itu, Dania tidak bisa tidur. Dia masih terbayang-bayang senyum Alfi, dia masih merasa mencium wangi jaket Alfi. Dia masih bisa merasakan nyamannya memeluk Alfi dari belakang. Ah, rasanya ia ingin kembali mengulang masa itu. Dania tahu ini adalah hal yang salah, tetapi dia tidak bisa menahan perasaannya sendiri. Handphone dania bergetar, tertera nama Alfi di sana. Dunia yang saat itu sedang berbaring, langsung melonjak kegirangan. Hanya membaca namanya saja sudah mampu membuat Dania deg-degan. Sambil tersenyum, diangkatlah telfon dari Alif. "Dan," "Iya?" jawab Dania cepat dengan nada suara lembut. "Kamu baik-baik saja?" "Iya lah, kenapa?" "Berangkat dan pulang kan kita kehujanan terus. Takutnya kamu masuk angin atau apa. Syukurlah kalau kamu baik-baik saja." Denia tersipu. Kenapa rasanya seperti ini mendapatkan perhatian dari suami sahabat sendiri? "Aku baik-baik saja mas. Mas Alfi juga aman kan?" "Iya. Kira-kira, Bapak memintaku untuk mengantarkan Kamu lagi apa enggak?" "Hah? Enggak tau. Memangnya Mas Alfi mau, kalau Bapak minta mas Alfi untuk mengantarkan aku? "Mau." wajah Dania langsung bersemu merah meskipun saat itu tidak ada satu orang pun yang melihat. Dania melompat-lompat seperti anak TK yang baru mendapatkan bintang dari Bu gurunya. "Nanti kalau bapak ingin bertemu dengan Mas Alfi, aku kabari ya?" "Iya. Sudah dulu ya? Selamat tidur," ucap Alfi menutup percakapan. "Terimakasih, selamat tidur juga, Mas Alfi." Dania menekan lingkaran merah yang ada di ponselnya pertanda mengakhiri panggilan. Wanita 33 tahun itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Ya, kecantikan Dania terpancar saat dia bahagia. Baru kali ini dia merasakan bahagia sebesar ini. Dia sedang terlena oleh cinta, hingga Dania lupa janjinya pada sahabatnya sendiri, bahwa saat itu adalah terakhir dia minta bantuan pada Alfi. "Dan, Kamu belum tidur?" Sebuah suara terdengar seiring dengan munculnya kepala Bu Dewi di balik pintu. "Belum, Bu. ada apa?" "Tumben hari ini kamu nggak menulis?" Tanya Bu Dewi saat dia melihat tidak ada laptop yang terbuka seperti biasanya. "Sini, Buk. Masuk dulu," ucap Dania sambil menepuk-nepuk tempat tidur abu mudanya. Bu Dewi pun tersenyum lalu segera masuk ke dalam kamar Dania. Kamar berukuran 4 * 5 meter itu selalu membuat Dania nyaman. Ya, di situlah Dania tinggal seharian dan jarang sekali keluar rumah. Bukan apa-apa, dia memang menikmati kesendirian dan tidak suka keramaian. Kamar itu adalah tempat ternyaman bagi Dania. Dimana dia selalu menghayalkan seorang ksatria atau bahkan pangeran yang akan mengentaskan dirinya dari kesendirian. Ya, khayalan dan halusinasi itu selalu dia tuangkan dalam bentuk tulisan. Dania adalah seorang penulis novel. Bagi mereka, para tetangga yang nyinyir pasti mengatakan kalau Dania adalah seorang pengangguran yang hanya mendekam di kamar sja, padahal mereka tidak tahu kalau dirinya sedang bekerja di dalam. Bukankah pekerjaan yang menyenangkan itu adalah melakukan hobi yang dibayar? "Dan, Ibu lihat kamu dari tadi senyum-senyum terus. Lagi bahagia banget ya?" "Masa sih Bu, nggak juga." "Dan, Alfi kapan akan melamarmu?" Dania yang saat itu sedang memainkan ponselnya langsung membeku serta memutar bola matanya. Dania tahu, cepat atau lambat pertanyaan ini pasti akan keluar dari mulut orangtuanya. "Nunggu moment yang pas Bu. Kalau sekarang, terus terang Dania belum siap Bu." "Huft ... Ibu itu heran. Sudah ada calon di depan mata, masih aja di tunda." Dania tersenyum ke arah ibunya. Senyum getir tentunya. "Ibu sabar dulu. Nanti pasti Dania menikah Bu. Ibu jangan khawatir. Dania menyiapakan diri dulu." Hanya itu yang bisa Dania katakan. Dania tahu, dia akan diteror pertanyaan seperti itu setiap hari. Yang harus Dania lakukan hanyalah menguatkan diri. Ya, cuma itu. *** "Dan," suara Alfi mengalun merdu di ponsel Dania. "Iya?" Dania menjawab lembut dengan menempelkan ponselnya di pipi. "Hari ini Ratih ada rapat di luar kota. Bisa bertemu hari ini?" "Di mana?" "Di mana pun asal kau suka." Senyum mengembang di bibir Ratih. Jantungnya sudah disko sejak tadi. Ini yang moment yang Dania tunggu-tunggu. Jujur saja Dia sangat merindukan Alfi, oleh karena itu dia tidak akan mungkin menolak ajakan Alfi. "Iya. Ya sudah, aku siap-siap dulu ya mas?" "Iya, 1 jam lagi aku sampai rumah kamu. Daaah," "Iya, dadaah." Dania mematikan sambungan telepon dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Setelah itu, Dania bergegas mandi, lalu dia memilih pakaian terbaik yang dia miliki. Ya, dia ingin terlihat sempurna di hadapan Alfi. Dia ingin terlihat cantik, supaya tidak mengecewakan Alfi. Meskipun hati kecilnya ia merasa sangat berdosa, tetapi Dania tetap melakukan itu. Dia tidak bisa menahan perasaannya sendiri. Dania yang jarang berdandan, saat itu mulai membubuhkan lipstik di bibir tipisnya. Memakai serangkaian perawatan untuk kulit wajahnya, dan menebalkan alis dengan pensil alis yang baru saja dia beli. Ini pertama kali sejak bertahun-tahun lalu Dania mau berdandan lagi. Ini pertama kali sejak bertahun-tahun lalu dania merasakan kembali desir-desir di d**a saat bertemu dengan laki-laki. "Dan, di tunggu Alfi di depan," ucap Bu Dewi di luar kamar. "Iya, Bu. Dania ke depan sebentar lagi." Dania mematut diri di depan cermin sekali lagi, lalu bergegas ke depan menemui pujaan hatinya, menemui suami dari sahabatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD