NT 5

1502 Words
"Assalamu'alaikum Fi, mau kemana" ucap Bima tiba-tiba. "Wa'alaikumsalam Bim, Mau kemushola ketemu Zaid sama Sasya" jawab Fiyah seadanya. Dia merasa aneh kenapa selalu saja bertemu dengan Bima. Sorot mata berbinar yang dikeluarka oleh Bima mendadak langsung sirna seketika mendengar nama Zaid. "Gimana organisasinya" "Alhamdulillah sejauh ini lancar, Bima tertarik untuk gabung gak" meskipun ditolak, Fiyah harus mencoba. "Eh gak usah Fi, Gak pentes rasanya" tolak Bima yang merasa tidak pantas sama sekali ke mushola. Dia tau betul bagaimana sudah terlalu jauh meninggalkan ajaran agamanya sendiri. "Gak boleh bilang gitu, Bima tau kalau mesjid atau mushola itu bukan tempat untuk orang baik" "Kok gitu, Mushola ya untuk orang baik Fi. Aku mah apa bandel gini" seru Bima keheranan. Yang dia tau ya mushola atau mesjid pasti yang mendatangi orang yang alim dan baik-baik. "Bim, mesjid atau mushola itu bukan buat orang yang baik tapi buat orang yang ingin menjadi baik. Kita ke sana ingin lebih dekat dengan Allah dengan meminta ampun atas dosa dosa kita. Manusia itu sumbernya salah dan Khilaf Bim. Ke mesjid tidak harus jadi baik dulu tapi kemesjid perintah Allah untuk menjadi baik" jelas panjang Fiyah. Bima mendengarkan dengan sangat baik. Entah kenapa setiap ucapan Fiyah mampu masuk kedalam pikirannya. "Aku pikir-pikir dulu deh Fi, malu soalnya" lirih Bima tidak enak hati. "Iya, semoga hidayah sampai dihatimu Bim. Aku pergi dulu ya soalnya udah ditungguin. Assalamu'alaikum" balas Fiyah dengan penuh harap. "Iya, Wa'alaikumsalam. Kapan ya Fi bisa ngobrol lama" ucap Bima dengan tatapan kosong. Fiyah sedang membaringkan diri di tempat tidurnya. Terlalu pusing untuk memikirkan permintaan orang tua angkatnya yang sebentar lagi akan di laksanakan. Banyak keraguan dalam dirinya. Fiyah hanya menginginkan sekali seumur hidup tetapi apakah dia sanggup menjalaninya. Fiyah tidak bisa membayangkan bagaimana dia menjalankan disaat usianya yang masih 18 tahun. Dia tau bagaimana ketakutan orang tua angkatnya membiarkan Fiyah seorang diri dirumah. Akan tetapi dia masih belum yakin untuk keputusannya sendiri. Tengah asik memandangi langit-langit dikamar. Benda kotak tiba-tiba bergetar. Dia penasaran siapa yang malam-malam ini menghubunginya. Apalagi kalau diingat bahwa Nomor telepon nya hanya beberapa orang saja yang mengetahui. 085266xxxxx Assalamu'alaikum Fiyah Wa'alaikumsalam,Maaf ini siapa? Ini Bima Fi, Jangan lupa Save ya Kontak gue Iya, Ada apa ya Bim? Hehe Cuma mau Chat aja sih Maaf Bim kalau tidak ada Perlu gak usah chat ya Eh Iya Fi, Maaf. Setalah membalas chat dari Bima, Fiyah memutuskan untuk mengistirahatkan diri dengan tidur. Dia bukan perempuan yang sombong karena tidak ingin mengirim pesan dengan orang lain apalagi laki-laki, akan tetapi dia sadar bahwa setan itu ada dimana-mana. Dia akan membalas apabila membahas hal yang penting saja. Hanya saja menjaga diri itu lebih sulit. Setan tidak pernah menyuruh langsung anak serta cucu adam untuk berzina tetapi setan membuat kita mengikuti langkah-langkah mendekati zina. Itulah yang selalu Fiyah hindari. Karena dia perempuan normal yang bisa menyukai lawan jenis. Kodrat perempuan mudah luluh dengan perhatian lebih seorang laki-laki. Oleh sebab itu islam mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Bima Pov "Malam mi" sapa gue saat memasuki rumah. "Ini anak siapa, udah malam baru balek. Gak usah balek aja kamu sekalian" kesal Mami, gue Cuma tertawa melihat wajah Mami yang sudah dipenuhi cream putih. "Maaf mi, Bima main jadi lupa waktu. Masih jam 8 Mi, Bima bukan anak perawan MI" ucap gue memberikan alasan. "Jam 8 jam 8, besok kalau mau main pulang sekolah kerumah dulu baru mainlagi. Untung Papi kamu gak dirumah, kalau ada abis kamu Bim" Karena terlalu malas mendengarkan ocehan Mami yang pasti panjangnya mengalahkan jalan tol, gue pergi menuju kamar yang berada dilantai dua. Rasa lelah mulai gue rasakan, dengan membersihkan diri terlebih dahulu gue langsung membaringkan diri ditempat tidur. Gue mengambil benda kotak yang terdapat gambar sebuah apel tergigit dibelakangnya. Tujuan gue cuma satu mencari kontak pujaan hati. Sebenarnya gue agak minder untuk memulai chat, tapi apalah daya gue ingin lebih kenal. Dengan memberanikan diri gue mengetik pesan. Ternyata langsung dibalas. Gue senyum sendiri menerima balasan, teapi senyum itu tak bertahan lama, dengan teganya dia membalas agar gue tidak usah mengirimkannya pesan kalau tidak ada keperluan. Hati gue gak rela, tapi mau gimana. Kalau gue maksa dia malah takut untuk berteman sama gue. Disaat cewek diluaran sana chat gue sampai ratusan kali dan gak gue respon sama sekali, nah sekarang dia, gue yang chat duluan tapi langsung di kasih peringatan tajam. Sedih banget kan hidup gue. Gue memikirkan cara bagaimana mendapatkan cinta dia, gue tau masih terlalu muda soal cinta-cintaan. Apalagi sebuah pernikahan. Dulu gue berpikir untuk bermain-main dengan banyak cewek, karena semua cewek itu sama. Tetapi setelah gue ketemu sama Fiyah gue sadar bahwa dia orang yang tepat buat gue. Tiba-tiba terlintas dipikiran gue, ajakan dia untuk gabung ke organisasi barunya. Sebaiknya gue gabung aja, karena pasti gue bisa memantau zaid. Jujur gue iri banget sama zaid bisa dekat dengan Fiyah. Dan gue juga sadar Zaid itu sangat cocok dengan Fiyah, tapi hati gue gak rela. Pokoknya gue harus berubah, gue gak pernah secinta ini sama cewek. Tapi gue akan perjuangin lo Fi. Gue mau nikah sama lo Fi. . . . Ditempat lain Kahfi tidak sadar waktu apabila telah berkumpul dengan teman segank nya, walaupun ada sedikit masalah dengan Ray. Dengan rasa was-was Kahfi memasuki rumah yang sudah gelap. Dia melihat kearah jam tangannya, ternyata sudah pukul 02.30 malam. Sambil mengedap ngedap, Kahfi memasuki rumah lewat pintu belakang. Kahfi memang mempunyai kunci pintu belakang, karena selama ini disaat orang tuanya tidak ada dirumah maka Kahfi akan pulang pada jam 4 atau 5 pagi. "Bagus baru pulang kamu ya" ucap Papa Kahfi tiba-tiba. Kahfi kaget tenyata Papanya ada di rumah, perkiraannya meleset. "Maaf pa" ucap Kahfi menunduk. Dia takut apabila Papanya mengancam akan menarik fasilitas lagi. "Dari mana Kamu, baru pulang jam segini" tatapan tajam papa Kahfi sedikit membuat Kahfi takut. "Dari ngumpul sama teman" "Bagus, kamu sebenarnya mau apa" "Jangan salahin Kahfi, selama ini Papa sama Mama kemana aja" ucap Kahfi penuh emosi. Sudah lama dia memendam rasa protes kepada kedua orang tuanya yang seenaknya meninggalkan dia di rumah. "Berani kamu sama Papa, papa gak pernah ajarin kamu kayak gini" Kahfi tidak menghiraukan ucapan sang Papa dan langsung berjalan pergi. "Papa masih ngomong Kahfi, kamu gak ada hormatnya sama orang tua" Kahfi sudah lebih dulu memasuki kamar dan menguncinya. "Ya Allah, ampuni dosa anak Hamba. Ampuni dosa hamba jika hamba salah mendidiknya berikan hidayah kepadanya ya Allah" doa Papa penuh harap. Tidak terasa Air mata sudah keluar dari wajah Papa Kahfi yang sudah mulai keriput. Banyak pikiran yang selalu menggangunya. Apakah keputusannya tepat untuk kebaikannya anaknya? . . Sepuntung rokok sudah hinggap di bibirnya. Dengan rasa kesal yang luar biasa Kahfi menenangkannya dengan sebuah rokok. Meski rokok sangatlah tidak baik bagi kesehatan, tetapi menurutnya rokok bisa menenangkan pikirannya yang kacau. Angga yang kebetulan lewat dikamar Kahfi, langsung mencium bau rokok dari kamar anaknya. Dengan tanpa aba-aba Angga langsung membuka pintu kamar Kahfi dengan kunci cadangan. Dilihatnya kamar sang anak berantakan dengan banyaknya bungkus rokok. Emosi Angga tidak bisa ditahan lagi, anaknya sudah salah terlalu jauh. Angga menarik tangan Kahfi dan membawanya kedalam kamar mandi. Tanpa aba aba, seember air sudah membasahi Kahfi. Kahfi hanya pasrah mendapat perlakuan Papanya, dia tau betul bagaimana sikap apabila Papanya sudah Marah. "Siapa yang ngajari kamu merokok sebanyak itu" bentak Papa. "Apalagi yang kamu lakuin selain merokok, ngisap narkoba, balapan, mabuk-mabukan apa lagi" papa. "Kamu mau papa Mati, gitu Kaf. Kalau Papa dan Mama sibuk selama ini itu semua untuk ngasih fasilitas yang kamu mau. Papa kerja untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan kamu. Harusnya kamu sadar itu" ucap sang Papa emosi. Angga langsung mengambil gunting dimeja kamar Kahfi. "Ini bunuh aja Papa, kamu mau papa mati kan" ucap Papa sambil memberikan Kahfi gunting. "Maaf pa, Ampun pa" ucap Kahfi lirih. Dia tidak percaya bahwa Papanya akan bertindak diluar dugaan. Dia tidak mau papanya mati. "Dengan tingkah kamu kayak gini, kamu membunuh Papa secara perlahan Kaf. Ayo bunuh papa" seru Angga. "Maaf pa, Kahfi gak akan ulangi lagi. Pukul Kahfi aja pa, asal jangan suruh Kahfi bunuh papa" ucap Kahfi parau. "Lihat kamu kayak gini, papa yang bakal mati duluan Kaf. Ayo bilang sama Papa kamu mau apa" Kahfi terdiam membisu, sorot mata Papanya penuh kesedihan. Rahmi yang sudah tidur mendengar suara pertengkaran langsung terbangun dan menuju kearah sumber suara. Dilihatnya anak dan suaminya sedang bertengkar. Tidak terasa air mata sudah menetes dipipinya. "Udah Mas, jangan sakiti diri Mas sendiri" cegah Rahmi yang melihat Angga ingin melukai tangannya sendiri. Angga sebenarnya tidak benar-benar melakukan itu, terkadang anak itu perlu di ancam dengan dirinya sendiri. Angga tau anaknya sangat menyayanginya. "Anak ini mau papanya Mati Ma, biarkan Papa mati asal dia berubah dan sadar" ucap Angga mengambil kembali gunting itu. "Pa Kahfi mohon, jangan sakiti diri Papa lagi. Kahfi akan jadi anak yang baik" bujuk Kahfi yang tidak mau melihat Papanya terluka. "Udah Mas Udah. Rahmi mohon Mas" bujuk Rahmi tidak tahan lagi. Akhirnya Angga berhenti dan beranjak meninggalkan kamar Kahfi "Ganti baju sana, Mama kecewa" ucap Rahmi kepada Kahfi. Hancur sudah diri Kahfi, Papa dan Mama pasti sangat membencinya. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD