Balasan Pertama

1540 Words
Aku mendekap erat sebuah boneka bebek kesayanganku. Menerawang ke atas langit-langit kamar sambil memutar kembali memori ketika seorang lelaki tampan bergitar mengajarkanku cara bermain Piano Tiles. Ah. Aku hampir lupa mengabari Dira. Dia harus tahu bahwa Arga si ayam menyebalkan itu memiliki saingan berat. Aku segera meraih ponsel pintar yang sudah nyaman ikut terbaring di atas kasurku. "Dira!" Aku langsung berteriak penuh suka cita saat sambungan telpon telah terhubung dengan sahabatku itu. "Apa?" Tanya Dira. Terdengar tidak berminat untuk mendengar ceritaku. Tetapi, nada bicara tersebut tidak menghalangiku untuk meneruskan tujuan aku menelponnya malam ini. "Lo harus tau. Tadi, gue ketemu cowok yang ganteng banget. Lebih ganteng dari si ayam." Jelasku langsung ke inti pembicaraan. "Heh. Emang anak angkatan kita ada lagi yang lebih ganteng dari Arga?" Volume suara Dira semakin terdengar mengecil. Bagaimana bisa aku tidak memikirkan suatu kemungkinan? Kemungkinan terkait asal-usul lelaki tampan itu. Aku hanya berasumsi bahwa si pangeran bergitar itu merupakan bagian dari siswa SMA Purnama. "Tadi dia ada di sekolah pake baju santai, sih. Bukan seragam. Kayaknya dia senior kita atau.." "Atau cuma orang yang kebetulan mampir ke sekolah? Atau sebenarnya dia penjaga kantin? Atau yang lebih parah kalau sebenarnya dia itu cuma jelmaan dari angan-angan lo yang udah gak sabar pengen menyudahi status jomblo." Dira memutus perkataanku dengan runtutan dugaan tidak berdasar bagiku. "Apa? Lo mikiri kejauhan, Dir. Sumpah, deh. Jelas-jelas dia jalannya napak tanah." Aku buru-buru menepis segala asumsi dari Dira. "Hantu sekarang udah ikut arus globalisasi, Nes. Bisa aja dia bikin lo ngeliat seakan-akan ada hujan meteor di ladang gandum." "Kok lo tumben bisa lebih ngelantur dari gue sih, Dir?" "Tuh, kan! Jadi udah lah ya, lo emang lagi ngelantur." Mendengar ucapan Dira yang sangat jauh dari nalar manusia pada umumnya, aku segera melirik ke arah jam dinding yang tergantung pada salah satu sudut kamarku. Jarum pendek di sana telah mengarah pada angka 11. Mengartikan bahwa satu jam sudah berlalu dari waktu tidur Dira. Sahabatku itu memang memiliki kebiasaan mengangkat telpon walaupun sedang dalam kondisi setengah sadar. "Huh! Lo tidur aja, deh. Pasti kalau besok gue tanya tentang pembicaraan kita malam ini, lo pasti gak tau apa-apa." "Iya, Mba. Es tehnya gak pake es." Tut. Aku spontan memutus sambungan telpon. Dira benar-benar tengah mengingau. *** "Susah parah! Yang gue inget cuma tentang pendiri sekolah ini, namanya Pak Purnama. Sisanya gue jawab A semua." Aku mengeluh frustasi setelah menemui Dira yang terlebih dahulu keluar kelas. Kami baru saja menyelesaikan semacam tes tertulis mengenai sejarah SMA Purnama. "Udah ketebak. Ternyata bener, otak sama tampang lo itu sama. Sama-sama standar." Tiba-tiba saja sebuah suara yang sudah masuk ke dalam jenis suara yang bisa merusak gendang telingaku itu terdengar. Arga si ayam. Maksudku mantan ayam karena hari ini dia telah memangkas rapi rambutnya. Aku tidak berniat membalas ledekan tersebut. Meladeni lelaki kurang kerjaan seperti dia hanya akan membuang-buang waktu. "Kenapa? Udah mulai takut sama gue?" Kali ini, pemandangan yang pernah aku lihat kembali terjadi. Pemandangan ketika semakin banyak murid memberi perhatian ke arah Arga. Untuk kesekian kalinya, dia menjadikanku sebagai objek tontonan umat manusia sepanjang koridor kelas sepuluh ini. "Dir, lo denger bisikan-bisikan gitu, gak?" Aku melirik ke arah Dira yang saat ini telah menampakkan tampang tersihir oleh pesona Arga. "Selain serba standar kayaknya lo perlu ke dokter THT juga, deh." Tanpa sopan santun, Arga menyentuh telinga kananku. Tindakan yang aku balas dengan tepisan tangan. "Lo dari SMP mana, sih? Gak pernah belajar tata krama, ya? Atau sebenarnya lo itu emang punya kelainan suka megang-megang gue?" "Eits, kayaknya mainnya udah jauh nih sampe ke tahap pegang-pegang. Lo selingkuh, Beb?" Kesialanku semakin bertambah saat Tio, sahabat dekat Arga datang menghampiri kami. Arga dan Tio. Spongebob dan Patrick. Itu perandaian yang diberikan Dahlia pada mereka. Ucapan Tio berhasil mengundang senyum Arga. Senyum penuh misteri. Apabila dia sudah tersenyum seperti sekarang, maka bisa dipastikan aku harus waspada. Kemungkinan terjadi hal-hal yang memalukan sangat besar. "Lo dengar, Yo? Kayaknya ada yang pengen gue pegang-pegang terus, nih." Setelah selesai dengan kalimat penuh kepercayaan diri itu, Arga mulai melakukan tindakan yang membuatku cukup trauma. Dia melangkah. Mendekatkan tubuhnya ke arahku. Spontan saja, aku mengambil langkah mundur. "Eh agar! Lo ternyata lamban juga ya buat ngertiin kalimat gue." Aku menemukan julukan baru untuk mantan ayam ini. "Kalau ngasih nama itu konsisten, dong. Kayak gue manggil, sekali si sepatu ijo tetap si sepatu ijo. Walaupun mungkin, suatu saat nanti lo pake sepatu hitam." Kalimat yang membuat telingaku panas itu sempurna membulatkan keinginankul. Sebuah keinginan mulia untuk membungkus Arga secara hidup-hidup. Kemudian, dengan sedikit bantuan dari para burung ababil, aku mengirimkannya langsung kepada Tuhan. Bumi terancam kehilangan keindahannya atas kehadiran lelaki menyebalkan itu. "Ga, udah deh ntar baper nih cewek. Lo tuh ya gue tinggal gak sekelas udah cari yang baru." Ucapan Tio membuat Arga menghentikan langkahnya. Begitu pula denganku yang sudah mendapat jarak aman dari Arga. Bruk! Jika Arga terlalu kuat untuk dilawan, maka Tio dengan satu kepalan tangan saja telah berhasil kubuat terjatuh. Lelaki yang tidak kalah menyebalkan itu mendarat di atas lantai. "Masih mau main-main sama gue yang pernah bercita-cita jadi hokage ke-8?" Sontak saja kata-kataku mengundang tawa seluruh penonton dadakan itu. Beruntunglah, tidak ada anggota OSIS di sekitar sini. "Tega lo, Ijo. Gue salah apa? Hati-hati lo, nanti gue aduin ke Kak Seto." Tio meringis kesakitan, entah sengaja dilebihkan atau memang begitu adanya. Aku juga tidak ingin mengetahuinya lebih jauh. "Nes, udah." Dira yang sedari tadi hanya terdiam melihat perang dua lawan satu ini akhirnya angkat bicara. "Awas ya, Lo!" Aku menunjuk Arga dengan jari telunjukku. Namun, respons yang diberikannya hanya membuat kepalaku semakin panas. Sedikit saja dia kembali berulah, percikan amarah bisa membakar habis kesabaranku. *** "Nes, lo kok kayak kenal akrab banget sama Arga?" "Nes, lo beneran adik Kak Andra? Apa karena itu Arga deketin lo?" "Nes, gimana rasanya dipegang Arga? Tanganya halus, nggak?" "Nes, lo beruntung banget. Gue sih juga mau dijailin Arga." Aku menginjakkan kaki di sekolah pada pukul empat kurang tujuh belas menit sore. Kegiatan berkemah akan dilaksanakan malam ini. Aku telah menyiapkan segala keperluan selama kegiatan tersebut berlangsung. Kehadiranku kali ini disambut oleh teman-teman baruku berjenis kelamin perempuan yang sudah dibuat buta oleh Arga. "Baru kali ini Arga suka senyum-senyum gitu. Biasanya dia natap tajam ke arah cewek sampe tuh cewek bisa nangis tanpa sebab." Sambutan terbaik itu datang dari Dahlia. "Itu biasa, Ya. Si Nessa ini emang terbiasa akrab sama cowok. Lo liat aja tipe-tipe nya gini, nyeleneh." Dira akan resmi kuangkat menjadi juru bicara setelah ini. "Semuanya kumpul di lapangan, ya. Bentar lagi kita bakal diriin tenda." Suara keras dengan bantuan pelantang itu bersumber dari podium. Suara yang sekaligus membantuku untuk tidak bersusah payah mengusir para perempuan yang sangat penasaran tentang diriku. Sembilan tahun menjadi anggota pramuka adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengasah kemahiranku dalam mendirikan tenda. Teman-teman yang berada dalam satu tenda denganku telah menyisihkan beberapa camilan mereka. Sikap yang merupakan perwujudan dari rasa terima kasih kepadaku. Tenda kami adalah satu-satunya tenda yang telah berdiri tegak saat ini. "Ijo! Bantuin gue dong!" Teriakan Tio membuatku memilih berpura-pura tidak mendengarnya. "Enak aja, Lo! Ijo punya gue!" Kini, giliran teriakan Arga yang terdengar memenuhi lapangan. Namun, teriakan itu terdengar sangat memekakkan telingaku. Bayangkan saja, dia berteriak pada Tio di saat dia tepat berada di sampingku. Bukan main. Kali ini, pesona Arga dengan kata-katanya barusan membuat beberapa tenda siswi yang belum berdiri sesempurna tenda kelompokku itu mendadak runtuh secara bersamaan. Arga saat ini mengenakan celana coklat seperti siswa yang lain. Namun, yang membedakannya adalah dia mengenakan atasan sebuah kaos polos putih, sepertinya cuaca sore yang masih terasa panas ini membuat dia melepas kemeja putihnya. "Diriin tenda kelompok gue! Sebagai bentuk permintaan maaf lo karena udah make buku sketsa gue buat dijadiin kipas." Belum sempat aku mempersembahkan sumpah serapahku terhadap sikap otoriternya ini, Arga terlebih dahulu menarik lenganku ke arah kelompoknya. Lengkingan tertahan terdengar dari teman-teman yang satu kelompok denganku. Reaksi serupa juga diberikan oleh beberapa siswi lain. Aku mengumpati seluruh pengurus OSIS. Termasuk pimpinan mereka yaitu Bang Andra. Hal itu bukan tanpa alasan. Mereka tidak memiliki sikap ramah untuk menemani para murid baru selama mendirikan tenda. Mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri di halaman belakang, entah sedang melakukan apa. "Lo pasti bisa. Mau gue kasih berapa bantuan?" Arga telah melipat tangan di depan d**a. Jika aku tidak menanamkan benih kebencian padanya, tentu saja aku akan sangat kagum pada tubuh atletisnya itu. Padahal, dia baru berusia sekitaran lima belas atau enam belas tahun. " Masang tenda aja gak bisa." Rutukku mengabaikan tawaran Arga. Terbiasa diberi durasi waktu ketika memasang tenda, membuatku sangat tangkas dalam kegiatan satu ini. "Udah, ya. Mulai sekarang, lo jangan ganggu gue lagi. Ini udah bayaran yang lebih dari kata setimpal." Aku sengaja mengikuti gaya Arga dengan melipat tanganku di depan d**a. Berusaha menyadarkannya bahwa akhirnya aku bisa menyamakan kedudukan. "Okay. Seenggaknya lo punya kemampuan di atas standar juga." Aku hanya berdecak kesal. Atas semua bantuanku, lelaki sombong itu masih tidak mengetahui caranya berterima kasih. "Perlu gue antar ke tenda lo?" "Cih. Ngotorin langkah gue aja!" Aku meninggalkan Arga yang telah menampakkan wajah kesalnya. Kepergianku diikuti beberapa suara tawa yang tertahan dari beberapa siswa laki-laki itu. Hal yang menerbangkan sebagian kebanggaanku melebur bersama partikel udara. Berkibas dalam angin sore yang mulai datang menyejukkan lapangan. Sore yang sangat indah. Aku menang melawan Arga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD