Si Sepatu Hijau

1503 Words
Sorotan media massa pada kasus perpeloncoan yang marak terjadi akibat sistem senioritas menjadi berkah tersendiri untuk angkatanku tahun ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah SMA Purnama, MOS hanya diisi dengan kegiatan matrikulasi tanpa sedikitpun pernak-pernik aneh. Matrikulasi dimulai di hari pertama dengan kegiatan menonton video sejarah pembangunan SMA Purnama hingga sukses menjadi salah satu sekolah menengah atas terbaik di Jakarta. Kemudian, dilanjutkan dengan mendengarkan penjelasan mengenai berbagai organisasi untuk para siswa di sekolah ini. Hari kedua akan diisi dengan kegiatan berkeliling sekolah dan mengenal satu per satu guru. Puncaknya, pada hari ketiga, akan diadakan ujian tertulis sebagai alat ukur bahwa matrikulasi yang dilakukan tidak sia-sia. Sementara itu, untuk penutupan MOS tahun ini, akan diselenggerakan kegiatan persami (Perkemahan Sabtu Minggu), dilaksanakan pada pukul empat sore hari di hari yang sama dengan ujian tertulis. Alhasil, pada hari pertama ini, MOS hanya dilaksanakan sampai pukul satu siang. Aku dan Dira memilih untuk singgah ke lapak Mang Udin. Menyantap makan siang di sana. "Pokoknya, mulai hari ini aku benci hari Kamis!" Ucapku tegas sambil mengunyah sepotong siomay di mulutku. Aku menumpahkan kekesalanku pada sepiring siomay terlezat yang pernah ku temukan ini. Aku melahapnya teramat lahap sehingga telah masuk dalam hitungan piring ketiga untukku. "Kamu tuh seharusnya bangga, Nes. Kamu cewek pertama yang tangannya dipegang Arga. Di depan temen seangkatan kita pula. Kamu tau, gak? Tadi itu, kalian udah kayak adegan-adegan ftv. Apalagi pas Arga ngedekat ke arah kamu dan ngomong dengan jarak yang cuma.." "Udah deh, Dir!" Aku memotong ucapan Dira. Dia hanya membuatku semakin merasa malu. “Apanya yang bangga? Tangan aku ini udah dibuat gak suci sama dia! Lagian kamu kenapa gak ngasih kode kalau ternyata yang aku jadiin kipas itu buku sketsanya si ayam?!" Aku melimpahkan kekesalanku pada Dira. "Ya, aku bisa apa? Rentetan kejadian itu cuma sepersekian detik. Udah secepat gelombang cahaya, Nes. Kamu ngambil buku sketsa Arga terus kipas-kipas dan dia langsung berdiri sambil manggil 'Sepatu ijo'. Aku kan cuma bisa ngasih aba-aba supaya kamu gak jatuh hati karena disapa sama Arga." Dira yang sedari tadi sudah menyelesaikan makan siangnya itu menggebu-gebu dalam menceritakan ulang adegan yang membuat orang-orang turut memanggilku sebagai si sepatu ijo. "Pasti setelah kejadian ini masa jomblo aku diperpanjang sama Tuhan. Kebayang gak? Berapa banyak cowok yang il-feel sama aku karena tuduhan murahan dari si ayam? Liat aja ya, aku bakal ngelakuin pembalasan dengan malu-maluin dia juga nanti. Secepat mungkin! Dia kira, punya muka cakep bisa ngebuat dia semena-mena ke cewek biasa kayak aku gini?" Aku sudah kehilangan selera makan saat piring ketigaku telah bersih. Hanya menyisakan sedikit noda-noda coklat dari kuah kacang siomay Mang Udin ini. “Kamu berlebihan, Nes. Paling juga besok orang-orang udah lupa sama kejadian tadi. Menurut ramalan aku, besok mereka semua udah gak inget lagi kejadian itu." Dira berdiri dari duduknya. Diikuti denganku yang harus melakukan transaksi pembayaran pada Mang Udin. "Udah resmi jadi anak SMA, Neng?" Tanya Mang Udin yang melihat setelan seragamku berbeda dari hari biasanya. "Iya, Mang. Masa SMP terus." "Yaudah, saya kasih gratis dua piring deh, Neng. Mana tau bisa ngurangi kekesalan Neng Nessa karena Arga." “Wow! Ternyata Mang Udin merupakan penguping yang luar biasa. Sampai-sampai dia hafal nama tokoh dalam alur curhatku” Ucapku dalam hati. "Makasih loh Mang, besok saya rekomendasiin deh siomaynya Mang Udin ke temen sekolah saya. Kan, deket juga dari sekolah." Lapak Mang Udin ini memang hanya berjarak beberapa meter dari sekolahku. "Kerjasama yang bagus, Neng." Aku hanya tertawa kecil sambil meraih uang kembalian. *** "Eh Sepatu Ijo, dipanggil Kak Andra tuh di ruang OSIS." Seorang siswa laki-laki dengan setelan seragam serupa para murid baru lainnya memberikan sebuah informasi yang membuatku mendengkus kesal. "Ini yang kamu bilang orang-orang bakal lupa sama kejadian kemarin, Dir?" Tanyaku sinis. Ramalan Dira kemarin benar-benar meleset. "Dia udah orang kelima yang nyapa kamu Sepatu Ijo, Nes." Walaupun beberapa saat yang lalu aku dirundung kekesalan, aku tetap bersyukur karena Dira tetap sadar diri bahwa dia belum bisa menjadi seorang peramal. "Btw. Bang Andra ngapa manggil aku, ya?" Tanyaku bingung. Saat ini, aku dan Dira tengah menikmati waktu istirahat sembari menunggu acara tur keliling sekolah dimulai. "Kamu mau dengerin ramalan aku?" Tanya Dira dengan wajah polosnya. Aku segera bangkit dari bangku panjang di sudut lapangan ini. Pertanda penolakanku secara tegas terhadap tawaran Dira. Aku memilih untuk melangkah ke ruang OSIS yang terletak tidak jauh dari podium. Di kejauhan itu, aku dapat menemukan Bang Andra yang berdiri di depan pintu biru. "Papa gak bisa jemput lagi. Kamu mau pulang bareng aku atau Dira?" Semua rencana untuk merahasiakan hubungan darahku dengan Bang Andra berantakan. Kemarin, seseorang dengan mulut besar bernama Dirga yang memandu acara penjelasan tentang organisasi-organisasi di sekolah ini memanggilku menggunakan pengeras suara dengan sapaan 'Adiknya Andra'. Dirga adalah sahabat Bang Andra. Dia sangat sering mampir ke rumahku. Mulai dari meminta bantuan untuk mengerjakan PR, main ps, hingga sekadar menumpang untuk menikmati fasilitas wifi. Setelah kejadian itu, mulai bermunculan gadis-gadis setipe temanku di SD yang menanyakan segala hal tentang Bang Andra. Informasi yang ingin mereka ketahui meliput tanggal lahir, makanan kesukaan, dan akun-akun media sosial milik saudara laki-laki itu. Dengan senang hati, aku memberikan jawaban yang berbeda-beda pada masing-masing dari mereka. Kalian harus tahu, aku berhasil menjadi salah satu siswi terpopuler hanya dalam kurun waktu satu hari. Namun, aku berhasil pula menjadi siswi paling memalukan. "Sama abang aja, deh. Aku mau nabung buat beli novel, jadi gak bisa neraktir Dira siomay kali ini." "Okay. Tapi kamu harus nunggu sampai rapat selesai, ya." Aku mengangguk paham. Aku bersedia saja melakukan kegiatan paling menyebalkan seperti menunggu. Semuanya akan aku lakukan untukan menambah koleksi novelku. *** "Sial!" Aku sudah menyebutkan berbagai sumpah serapah ketika tuts piano yang kutekan lagi-lagi meleset di layar ponsel pintarku ini. Aku masih menunggu Bang Andra yang tidak kunjung selesai dengan kegiatan rapat OSIS. Untuk membunuh waktu, aku memainkan sebuah permainan yang tidak pernah membuatku bosan. Suasana sekolah sangat sepi. Menandakan kekosongan karena keseluruhan siswa baru telah pulang. Sementara siswa lama, baru akan mulai bersekolah di hari Senin. Hanya pengurus OSIS yang masih menghuni sekolah ini. Bersama aku pula tentunya. "Walaupun cuma permainan, tetap harus pake trik." Suara bariton terdengar tepat dari arah sampingku. Kemunculannya yang tiba-tiba membuatku lagi-lagi harus menerima kekalahan. "Permainan ini cuma bakal ngasih kamu wewenang buat naklukin lagu dengan tuts-tuts yang lebih beraneka ragam dan diselingi kecepatan yang terus nambah. Jadi.." Kata-kataku tiba-tiba saja menggantung ketika aku memutuskan menoleh ke arah pemilik suara bariton tersebut. Tampan. Itulah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan sosoknya. Saat ini, dia sedang mengenakan setelan celana krem dan baju kaos polos berwarna hitam. Dia duduk tepat di sebelahku. Posisi yang mengakibatkan hidungku dimanjakan oleh aroma parfum yang sangat harum. Tanpa aku sadari, aku telah membuka sedikit mulutku karena tersihir oleh pesona ketampan itu. Semoga saja tidak ada air liur yang menetes. Ini namanya habis gelap terbitlah terang, Ada cowok setampan ini di dekat aku setelah dua hari ini kesialan bertebaran di mana-mana. Ucapku di dalam hati. Selain dikenal sebagai tempat perkumpulan murid berprestasi, SMA Purnama juga terkenal dengan perkumpulan siswa tampan yang berlebihan. Mungkin akan lebih seimbang jika didirikan pula SMA Sabit. Sebuah SMA dengan perkumpulan siswi cantik jelita. "Jadi apa?" "Jadi..an. Jadian." Aku mengutuk lidahku yang tidak berkompromi lagi dengan otak ketika hendak berucap. Lelaki tampan dengan gitar yang dibungkus oleh tas serupa yang tersampir di punggungnya itu sontak saja tertawa mendengar ucapanku. "Kamu segitu frustasinya karena kalah? Padahal aku cuma mau berbagi ilmu." Lelaki itu masih melanjutkan tawanya. Tindakan itu membuat ketampanannya bertambah berkali lipat. "Ilmu apa?" Tanyaku kebingungan. "Ilmu buat main piano tiles. Gini nih, sebenarnya main permainan itu gak susah-susah amat. Boleh?" Setelah meminta izin, lelaki yang masih belum aku ketahui namanya itu telah mengulurkan tangannya ke arah ponsel pintar milikku. Tindakan yang membuatku secara sukarela mengarahkan layar tipis berwarna putih ini kepadanya. "Gini, nih. Caranya letakin tangan kamu di samping kanan sama kiri layar, jangan kaya tadi. Pakai satu tangan itu malah bikin fokus kamu bakal buyar..." Aku tidak lagi mendengarkan kata-katanya secara seksama. Bagiku saat ini, wajah tampan dan tatapan lembutnya adalah suatu nikmat dari Tuhan yang akan sia-sia apabila harus dilewatkan begitu saja. "Ngerti?" Aku mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum semanis mungkin. "Coba, nih." Dia mengembalikan layar tipis berwarna putih itu. Namun, belum terlalu lama, daya baterai yang tidak lagi mencukupi berakibat pada layar ponsel yang mati begitu saja. Di dalam hati, aku memanjatkan puji dan syukur yang luar biasa. Setidaknya, aku tidak perlu repot-repot membuktikan bahwa aku telah memperhatikan dengan baik penjelasan darinya beberapa saat lalu itu. "Yah, sayang banget." "Hah, Sayang?" Lagi, entah sudah kali keberapa aku ditertawakan olehnya. "Aku pulang dulu, ya. Masih ada urusan." Lelaki tampan tanpa kuketahui namanya itu sudah berdiri dari duduknya. Mengundang hadirnya kesedihan sekaligus rasa penasaran. "Oh iya, sepatu kamu lucu. Eye catching. Hijau. Biasanya cewek lebih senang hitam, abu-abu, biru tua atau merah muda. Kalau boleh aku kasih saran, jangan pake tali sepatu warna kuning, ya. Nanti jadinya gak lucu lagi." Mulai hari ini, aku tidak akan keberatan lagi diberikan julukan si sepatu ijo. Aku si sepatu ijo jatuh hati kepada Pangeran Bergitar ini!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD