Chapter 2 : Penthouse

1114 Words
Suara bising yang ditimbulkan motor Luiz memasuki kawasan parkir bawah tanah 'The Luxury Orion Pasific Penthouse". Dibalik helm fullface nya pria itu mengedarkan mata, mencari tempat aman untuk meninggalkan motorsport kesayangannya sementara waktu. Aset yang ia beli berkelas bisnis dengan puluhan camera pengintai tanpa penjagaan khusus. The Orion, lebih mementingkan transaksi privasi tiap pemilik gedung. Luiz menurunkan kaki jenjang nya, setelah memastikan letak kickstand nya aman pada posisi yang ia atur. Sambil bergerak mendekati elevator, Luiz melepas helm fullface dan menentengnya kuat. Namun, gerakan pria itu terhenti, saat indra pendengaran nya menangkap suara jeritan yang terdengar serak. Berebut dengan seseorang yang mungkin berusaha membungkam mulutnya. Kening Luiz berkedut heran dan tubuh kekar pria itu seakan diarahkan untuk mematikan letak sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya Luiz, saat ia menyaksikan seorang gadis tengah dipaksa melayani nafsu b***t seorang pria yang tengah di landa gairah. Ia berusaha berontak, dengan mulutnya yang terbungkam kuat. Gadis itu sudah setengah telanjang dan tertahan rapat dengan tembok. Brakk!! Luiz memukul kepala pria itu dengan helm fullface nya tanpa berpikir panjang, tubuh pria m***m itu terpental ke tembok dan lemas jatuh ke lantai. Tidak sampai di situ, Luiz berjalan mendekat, mencengkeram kerah pakaian pria tersebut dan meninju nya berkali-kali hingga pingsan. Pria itu berhenti, setelah mendengar isak tangis suara gadis yang menatap sisi lainnya. "s**t," umpat Luiz terdengar pelan, sambil mengatur napasnya yang masih terasa memburu. "Are you okay?" tanya Luiz, menatap ke arah gadis itu dalam, hingga mendapatkan jawaban berupa anggukan pelan. Pria itu lega, lantas, segera melepas dan memberikan jaket denim bermerk Balenciaga nya pada gadis asing itu. *** "Thanks. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, jika tidak ada kau,"tutur gadis itu lembut, sambil menelan ludahnya kasar. Luiz mengangguk, berat membalas ucapan gadis itu. "Rose— Rose Oriana Lafayet. Aku tinggal di lantai dua puluh," papar Rose mengenalkan diri sambil mengulum bibir dan mengarahkan tangan ke depan. "Luiz," jawab pria itu singkat, menjabat tangan Rose yang terasa halus. "Aku seperti tidak asing dengan wajahmu, tapi— aku belum berhasil mengingatnya," tutur Rose, saat kedua tangan mereka terlepas. Luiz memiringkan bibir, tersenyum seadanya tanpa ingin menimpali. "Baiklah. Sepertinya aku harus pulang. Kau pasti sibuk, istirahatlah! Kau bisa mengandalkan ku jika butuh bantuan,"jelas Rose melangkah turun dari kursinya dan melepaskan jaket milik Luiz dari tubuhnya. "Pakai saja!" celetuk Luiz, membuat gadis itu menatapnya. "Kau yakin?" "Kau tidak mungkin berjalan dengan keadaan seperti itu,"balas Luiz. "Aku akan mengembalikannya segera. Thanks Luiz." Rose tersenyum senang, mencoba mengingat jelas mimik wajah Luiz yang tampan. Pria itu akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepala. Gadis itu beranjak, melewati Luiz dengan pandangan ragu dan terpaksa bergerak keluar. Luiz meraih ponselnya saat mendengar benda canggih itu berdering. Pria itu mengeluh kasar, menatap nama yang terpajang di layar ponselnya. Sejenak Luiz berpikir, kapan terakhir kali ia menyimpan nomor kontaknya seperti ini. Aneh. Caroline Cantik ❤❤? Calling.... "Kau pindah tanpa berpamitan dengan ku?" marah Caroline. "Aku sibuk!" "Berikan alamat Penthouse mu! Aku ke sana!" "Tidak perlu." "Ayolah. Aku bawa coklat dan permen. Kirimkan lokasi mu segera, okay!" Panggilan terputus, Luiz mematikannya secara sepihak. Sialan, hal itu membuat Caroline murka. Gadis itu mengepal kedua tangannya dan mengumpat dengan nada yang kencang. "Dasar berengsek!!" "Carol. What are you doing? Telingaku sakit!" protes Megan yang terkejut kasar akibat teriakannya. "Here! Telpon kakakmu dan minta alamat Penthouse nya!" "What?" "Sekarang Megan. Aku ingin menjambak rambutnya itu!" geram Caroline dengan nada marah. "Kau tidak perlu emosi. Aku punya alamat Luiz, sekaligus password pintu rumahnya!" "Oh ya Tuhan. Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Hah?" "Kau tidak tanya padaku," balas Megan santai, sambil mengutak-atik ponsel nya dan mengirim alamat Luiz pada Caroline. "Thank you, honey!" Caroline mendekati Megan, memeluk dan mencium pipi kanan nya mesra. "Sinting," ucap Megan pelan, mengusap bekas kecupan kecil itu dengan punggung tangannya. Lantas, melihat Caroline beranjak dari tempat tidur dan meraih mini bag berbentuk kucing dengan warna emas, lalu menyangkut kan benda itu di bahu nya yang tegap. "Kau mau kemana?"tanya Megan. "Not your business, bye honey! Muah!" ucap Caroline sambil tersenyum narsis, ia bergerak keluar untuk segera sampai ke tujuan utamanya. Megan tidak perduli, ia hanya mengeluh dan kembali memerhatikan ponselnya. Sial, gadis itu sedang menghadapi teror gila. Seorang pria mengirimkan ratusan bunga mawar ke alamat Penthouse daddy-nya. *** Caroline mengintip seisi Penthouse milik Luiz. Mengedarkan matanya ke tiap tempat setelah berhasil memasuki ruangan tanpa permisi. Jari-jari lentiknya nakal, menekan tombol-tombol password hingga pintu terbuka dengan mudahnya. Kini, gadis itu tersenyum tipis. Mengintip kota dari ketinggian di balik kaca-kaca besar yang ada di tiap dinding ruangan. "Lumayan," pikir Caroline sambil mengalihkan perhatian ke arah tangga yang ada di sudut ruangan. "Dimana Luiz?" pikirnya, tidak melihat batang hidung pria itu di tiap tempat. Dengan berani, Caroline melangkah, meniti satu persatu anak tangga yang tidak terlalu tinggi tanpa melepaskan heels merah nya yang mencolok. "Dia pasti akan terkejut melihatku di sini," gumam Caroline, berharap memberikan surprise yang layak didapatkan Luiz. Well— gadis itu mulai memasuki wilayah kamar tanpa ragu. Meneliti ruang rapi yang terlihat kosong. "Tidak ada. Apa dia keluar?" tanya Caroline dalam hati, saat ia berdiri di pinggir ranjang besar yang terlihat nyaman untuk beristirahat. Seketika, dua mata hazel Caroline menangkap ponsel kepunyaan Luiz, terselip di pinggir ranjang. "Dia tidak mungkin pergi tanpa ponsel. Kau sembunyi, Luiz?"seru Caroline, sambil melenggang dengan cepat ke arah toilet kamar mandi yang ada di ujung kamar tersebut. Ceklek! "Luiz... Kau di dalam? Kau tidak—" Senyuman di wajah Caroline memudar, bersamaan dengan Luiz yang memutar tubuhnya ke arah pintu tanpa perhitungan. Keduanya membulatkan mata, terpaku dalam keadaan beberapa detik. "Aaaaaaaaaaa!!!! Ularrrrrrrrr!!!!"teriak Caroline, sambil menutup sebelah matanya dengan tangan. Sementara satu matanya masih liar mencari pemandangan yang membuat jantung nya berdegup kencang. "Sial. Kenapa kau bisa berada di sini, Hah?" pekik Luiz dengan suara yang serak. Menutup miliknya sebisa mungkin dan melangkah ke arah pintu untuk menggapai handuk. "Aku tidak sengaja. Ya Tuhan. Apa yang aku lihat. No. No. No," erang Caroline tetap memerhatikan Luiz dengan wajah merah merona. "Stupid!" jejal Luiz dengan kalimat sarkas, berusaha menarik-narik handuk nya. Namun sial, sisa sabun yang sempat ia pijak membuat langkah kaki Luiz tidak sempurna. Pria itu terpeleset, membuat Caroline berinisiatif untuk menahan tubuh naked pria itu dengan pelukannya. Caroline mundur, ikut terjatuh ke lantai akibat dorongan kuat dari Luiz. Pria itu menindih tubuhnya dengan sangat keras. Hingga keduanya mengaduh sakit. "Wait. Luiz apa yang aku pegang?" tanya Caroline terdengar polos, membulatkan matanya ke arah pria itu lekat. Luiz diam, menelan ludahnya kasar dam merasakan tangan Caroline yang halus menggenggam benda aneh. "Kau... Kau pegang...." "Ular mu! Dasar berengsek!" Luiz di tampar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD