Chapter 1 : Coffee cup

1058 Words
Caroline melipat kedua tangannya di d**a, menatap bayangan dirinya lewat pantulan cermin yang ada di meja rias. Bibirnya melengkung kebawah, tampak memikirkan banyak hal. "Rambutmu sudah kering nona,"ucap Elizabet, kepala pelayan yang mengurusi Caroline secara khusus. Gadis itu mengangguk, segera beranjak dari tempat nya dan berdiri lebih dekat ke kaca untuk menata ulang rambut blonde nya. "Kau ingin aku bawakan minuman?" "Coffee, tapi jangan manis," sergah Caroline cepat. "Coffee? Kau tidak pernah suka coffee." "Buatkan saja untukku!" ucap Caroline angkuh, memutar bola matanya ke arah Elizabeth, membuat wanita yang lebih tua empat tahun darinya itu mengangguk paham, lalu segera memutar tubuhnya untuk melangkah keluar. Caroline menggigit bibir, sambil menyentuh sudut-sudutnya dengan ujung jari. Kepalanya ingin meledak, saat mengingat ciuman pertama yang membuat jantung nya mendadak tidak stabil. "Hah!!"Caroline mengembuskan napas dengan mulut terbuka, dan mencium aroma nya pasif. "Napas Ku tidak bau, 'kan?" pikir Caroline dan mengulang hal yang sama. "Ah. Bau cinta..." tutur Caroline sambil mengambil lip balm dengan aroma Cherry dan memoleskan benda itu di area bibir, sambil mengangkat salah satu alisnya ke atas. "Aku sudah cantik begini, tapi ku masih saja berpura-pura menolak ku, dasar tidak tahu diri,"celoteh Caroline tidak berhenti hingga mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. "Ya. Masuklah!" pekik Caroline, lantas melihat pintu kamarnya terbuka. "Ini coffee mu, nona. Mau ku letakkan dimana?"tanya Elizabeth. Memegang tray dengan satu tangan. Ia terlihat lihai dengan benda itu, maklum, Elizabeth mantan Waitress di salah satu restauran ternama yang ada di Vatikan sebelum menandatangani kontrak kerja di keluarga Morgan. "Wait. Itu bukan untukku." Caroline mendekat, meraih cangkir coffee yang ada di atas tray. "Nona awas, coffee nya masih panas." "Sttth! Simpan uang ini agar kau bisa membeli pakaian. Tapi, jangan bilang pada Luiz kalau kau yang membuat coffee ini," sogok Caroline membuat kening Elizabeth mengerut. "Nona tapi—" "Thanks Elizabeth. Aku harap uang itu cukup untukmu." Caroline memasukkan beberapa lembar dollar ke dalam saku pakaian Elizabeth, dan beranjak keluar dari kamarnya sambil membawa gelas berisi coffee. Eliza mengeluh, tersenyum kecil ke arah Caroline seakan menertawakan kelakuannya. Luiz benar, gadis itu masih sangat kekanakan. *** Luiz terlihat fokus, mengangkat barbel dumble miliknya. Bibir pria itu berkerut, menahan beban berat pada tubuh yang basah akibat keringat. Sejak tadi, ponsel yang ada di pinggir ranjang nya bergetar dan Luiz sama sekali tidak berniat mengangkat panggilan itu. Ia memilih menutup telinganya dengan headphone dan memutar musik yang keras. Pandangan Luiz bergerak, saat pintu kamarnya mendadak terbuka lebar. "Apa yang kau—" "Aku menggedor pintu kamar mu berulang-ulang. Jadi jangan protes!"sanggah Caroline sambil menyusup masuk ke ruangan privasi milik Luiz. "Keluarlah!" ucap Luiz sambil melempar headphone miliknya ke atas ranjang setelah meletakkan barbel di tempat nya. "Kita harus bicara. Aku membuatkan mu coffee, kau harus coba." "Carol..." "Please... Aku sengaja membuatkannya untukmu. Ini tidak manis," ucap Caroline seakan tahu selera yang di inginkan Luiz. Pria itu mengeluh kasar dan melangkah mendekat. Sialan. Jantung Caroline berdegup kencang, seperti biasa, tubuh Luiz berkeringat. Mengilap. Namun anehnya, pria itu masih wangi. Caroline mungkin tidak segan memeluknya. Rapat. "Bagaimana?" tanya Caroline gugup, setelah melihat Luiz menghirup sudut gelas coffee nya. Pria itu mengulum bibir, melirik sekilas, kaku. "Jika kurang manis, kau bisa meminumnya sambil melihatku. Pasti lebih enak,"papar Caroline percaya diri. Luiz mendengus, menatap dengan salah satu alis terangkat. "Menurutku, kau lebih baik keluar," celetuk Luiz sarkas, tanpa mengalihkan pandangannya dari Caroline. Gadis itu diam sejenak, melirik ke arah gelas coffee yang ada di tangan Luiz. "Hmm. Kau sopan sekali tuan tampan," raut wajah Caroline berubah. Menarik gelas dari tangan Luiz. Merebutnya cepat. "Dasar manusia tidak tahu terima kasih! Mandi saja kau sana!"  Byurr!!! "Argghh! ck!...." Luiz merintih. Rahangnya menegang keras. Menangkap lengan Caroline. Mencengkeram kuat. Gadis itu baru saja menyiram coffee panas ke tubuhnya. "Apa yang kau lakukan?" "Och. Aku tidak sengaja. Sorry!" enteng Caroline. Tersenyum miring. Menggeser tubuhnya, untuk meloloskan diri. Namun, Luiz kembali menariknya. Lebih kuat, sedikit kasar. "Katakan! Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Luiz serak. Membuat Caroline menaikkan pandangan. Gadis itu menelan ludah. Menatap keseluruhan wajah pria itu dalam. Duh— Caroline berdebar.  "Aku....." "Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu!" jelas Luiz terdengar dingin. "Siapa yang main-main?" tandas Caroline kesal. Berdecak sebal. Luiz menautkan pandangan, lebih tajam dan lekat. Caroline sedikit mundur. Tidak mengalihkan pandangan sedikitpun. Menantang. "Jangan terlalu sering lihat aku begitu. Kau bisa jatuh cinta tahu," tandas Caroline. Berhasil membuat Luiz melepaskannya. Mendorong mundur. "Keluar." "Jatuh cinta, ya?" tanya Caroline. "Keluar dari kamarku!" bentak Luiz. Hilang kesabaran. Mengepal kedua tangan. Menelan ludah kasar, memerhatikan Caroline menggerakkan bibir. Menggigit sensual. "Dasar anak Milla. Galak!" Caroline berputar. Melangkah menuju pintu, setelah menaruh gelas coffee yang kosong di sisi nakas. Sejenak, ia melirik kembali, menatap Luiz. Pria itu lekas berpaling. Menghadap jendela. "Isss..." ejek Caroline. Lekas membuka pintu dan pergi begitu saja, tanpa menutup pintu. Sengaja. Ingin merepotkan pria itu. Luiz menghela napas, melangkah untuk menutup pintu kamarnya. Namun, niatnya terhenti saat melihat sosok familiar yang begitu ia hormati. Luiz menelan ludah, melirik Caroline yang tidak lagi terlihat oleh pandangan. Luiz tunduk, menerima tatapan intimidasi dari pria paruh baya itu. Alexander dalle Morgan. "Aku boleh masuk?" tanya Alexander datar. Tanpa melepas pandangan. Mendorong pintu. Luiz mengangguk, menggeser tubuh kembali ke dalam. "Aku dengar. Kau baru saja membeli penthouse, benar?" tanya Alexander, penasaran. Memerhatikan percikan coffee di lantai. "Ya. Benar," jawab Luiz singkat. Meraih pakaian dan lekas memakainya. Menutupi tubuh seperti seharusnya. Alexander mendengus. Tersenyum singkat. "Hmm, dan kau pasti sangat tahu kalau aku sangat menyayangi putriku, Caroline." "Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan nya,"jelas Luiz, paham. Cukup mengerti dengan maksud yang ingin di dengar pria itu. Alexander mengangguk, mengedarkan mata ke tiap sudut kamar. Cukup rapi, untuk ukuran pria. Sangat.  "Aku akan pindah besok," sambung Luiz. Berhasil mengangkat salah satu alis Alexander. "Aku tidak minta kau pergi dari rumahku. Tapi—" "Ya. Aku mengerti," sela Luiz mengulum bibirnya dalam. Alexander menjeda kalimat. Mengeluh pelan. "Baiklah!" Alexander mengangguk. Menggaruk sudut pelipisnya. "Istirahatlah!" tunjuk Alexander ke sisi ranjang. Mempersilakan. Luiz hanya mengangguk. Memerhatikan Alexander memutar badannya. Berbalik arah melangkah keluar. Enggan bicara lebih jauh, karena Luiz cukup tahu, tujuan Alexander hanya satu. Memisahkannya dan Caroline tanpa alasan. Luiz merapatkan pintu, menaruh punggung nya di sana sejenak. Mengambil napas sebanyak mungkin, lalu mengembus pelan. Mengepal tangan, hingga otot-otot di pergelangannya terlihat aktif. Menguasai emosi yang datang tanpa sebab. Sialan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD