Tiga

1823 Words
Cuacanya sangat terik. Abey kecil berumur enam tahun berteriak kegirangan memainkan boneka-boneka barbie yang baru Papanya belikan sehabis pulang dari perjalanan bisnis luar kota. Pipi bulatnya memerah, bibirnya tidak berhenti mengoceh. Mata jernihnya menatap boneka-boneka berbagai ukuran itu berbinar-binar. Suara bel yang ditekan berulang-ulang mengalihkan perhatiannya sejenak. Mata bulatnya menatap kebingungan. Lantas, seorang wanita setengah baya berjalan terburu-buru menghampiri pintu dan lekas membukanya. Saat pintu dibuka sontak matanya membulat, dia tersenyum lebar menatap anak perempuan yang kira-kira seusia dengannya berada dalam gendongan wanita dengan rambut pendek coklat. Abey berusaha berdiri, kesusahan saat badannya yang berisi membuatnya hampir saja terjungkang. Dia berlari dengan langkah kecil-kecil membawa boneka beruang di tangan kirinya. Anak umur enam tahun itu tersenyum malu-malu. Wanita dengan rambut coklat itu berdehem, "Saya mau ketemu sama pemilik rumah ini." Nampak menelan ludah, terlihat gugup luar biasa. "Saya panggilkan dulu sebentar, Ibu bisa masuk dulu." Dia menggeleng, "Tidak perlu, saya buru-buru." Bi Wati, wanita setengah baya itu berbalik. Abey mendongak, menatap wanita rambut coklat di depannya. Anak perempuan di gendongan wanita itu menekuk bibir. Matanya sembab, terlihat baru saja menangis. Dia memeluk leher yang Abey kecil pikir pasti Mamanya dengan erat. Tadinya, Abey ingin mengajak anak perempuan itu bermain bersama barbie-barbienya. Namun tubuh Abey yang berisi perlahan beringsut ke belakang saat wanita di depannya menatap dengan tajam. Dia menyembunyikan diri di balik sofa coklat. Kemudian, Abey melihat Mamanya dengan dress silver polos menuruni susunan tangga dengan BI Wati setia mengikuti dari belakang. Abey tidak terlalu mengerti apa yang terjadi. Karena tidak berselang lama, Mama berteriak pada wanita rambut coklat, dengan anak kecil yang menangis kencang saat diturunkan dari gendongan. Mama berteriak sembari menangis kencang. Mendengar keributan, Pak Satpam di depan gerbang bahkan datang untuk melihat apa yang terjadi. Abey menekuk bibirnya dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. Kemudian, tangisnya pecah saat anak perempuan tadi kini menangis lebih kencang saat wanita rambut coklat berlari keluar gerbang. Anak itu tidak beranjak dari posisi, hanya tangisnya yang kian menjadi-jadi saat melihat punggung Ibunya perlahan hilang di balik gerbang. Bi Wati menenangkan dan merengkuh bahu Mama yang perlahan merosot ke lantai. Wanita setengah baya itu menitikkan air mata melihat Mama yang terus terisak. Namun isakannya perlahan melemah saat Abey melihat Mama menutup mata. Abey menatap anak perempuan yang meringkuk di samping meja. Lalu menatap Mamanya. Matanya kebingungan. Sebelumnya, dia belum pernah melihat Mama menangis seperti tadi. *** Di kursi kantin paling pojok, Sagara duduk dengan teman-teman satu gengnya. Formasi mereka lengkap berempat. Masih memakai seragam kaos basket SMA. Pandangan mereka berempat mengarah pada Abey yang baru menginjakkan kaki di kantin. Di tengah-tengah, ada Sagara, yang tiba-tiba menatap dengan intens. "Kesayangan lo udah dateng, tuh, Sagara," kata Rio, salah satu dari antara mereka. Abey menyadarinya. Cewek dengan rambut panjang tergerai itu hanya menunduk. Seluruh isi kantin memperhatikannya, tapi Abey bisa merasakan tatapan itu adalah tatapan tidak suka. Beberapa dari mereka berbisik, tapi Abey masih bisa mendengar dengan jelas. Abey memasang tampang linglung, seolah sorotan yang dia dapati sangat mengganggu cewek berpenampilan sederhana itu. Tanpa ingin berlama-lama, Abey segera berdiri di depan stan rujak buah untuk memesan, lalu kemudian berpindah ke stan nasi goreng. Setelah selesai, dia segera melangkahkan kaki keluar kantin. Tidak berniat duduk di antara deretan kursi yang kosong Sesaat Abey berhenti, menoleh ke belakang punggung. Menatap kursi paling pojok, di sana Sagara menyunggingkan sudut bibir. Cewek itu tersenyum tipis kemudian melangkahkan kakinya ringan, berlalu begitu saja. "Si Eno bener-bener kicep setelah lo nyamperin dia, Sagara." celetuk Radith yang duduk di seberang Saga persis. Semua mata kini menatap sosok Sagara. Brian yang sedari tadi fokus pada ponselnya pun kini memalingkan pandangan. Seolah topik yang mereka buka cukup menarik untuk dibahas. Sagara meneguk separuh air mineral yang baru diberikan Rio kepadanya. "Gimana?" Seolah topik yang dibuka Radith tidak terlalu menarik, Sagara justru bertanya. Kemudian pandangannya jatuh ke depan, menatap punggung kecil Abey yang hilang di balik koridor. "Apanya yang gimana, Bos?" Rio menyela dengan cepat. Brian menatap arah pandangan Sagara, seolah mengerti dengan maksud pertanyaannya. "Aman," jawabnya. Sagara menepuk bahu temannya itu."Thanks." Dan begitu saja, Sagara hanya diam saat teman-temannya kembali rusuh menggoda cewek-cewek di kantin. *** Saat tiba di ambang pintu kelas, Abey melebarkan jarak pandangnya. Di sebelah kursinya, Nadine tidur dengan berbantalkan tas. Abey tahu, Nadine mati-matian menahan agar matanya tidak tertutup sempurna saat jam pelajaran matematika tadi. Dia berjalan mendekat, menepuk pelan bahu cewek yang tidur dengan napas beraturan itu. "Nadine, maaf ya, tapi kamu makan dulu nih. Aku udah beliin nasi goreng. Dari tadi perut kamu bunyi terus." Nadine tidak bergerak sedikit pun. "Nadine." Cewek itu melenguh, dia mengangkat kepala. Menatap Abey dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Rambutnya berantakan, helai helainya menempel di wajah yang basah oleh keringat sebesar biji jagung. Abey menatapnya bingung, "Perasaan nggak panas-panas banget, kamu sampe keringatan gitu." Cewek itu menyodorkan kotak nasi goreng ke depan Nadine. "Nadine, makan dulu." Dengan malas-malasan Nadine mengambil lalu memasukkan nasi goreng ke mulutnya perlahan. Abey tersenyum cerah, dia mengambil rujak buahnya lalu mulai memakannya juga. "Kenapa?" Cewek di sebelahnya bertanya. Abey menaikkan alis bingung, "Apanya?" "Gue udah bilang jangan gangguin gue. Terakhir kali lo nanya-nanya, gue ngunci lo di toilet kalo lo lupa." Nadine menatap Abey dengan matanya yang sayu dan tidak pernah pernah b*******h itu. "Tapi aku nggak nanya-nanya loh. Kamu lapar, aku kasih nasi goreng. Lain kali, aku bakal sedikit lebih ngomong biar kamu nggak bete sama aku lagi deh." "Banyak omong." Nadine kembali meraih sendok lalu menyuap nasi lagi. Abey tertawa renyah, "Maaf," cengirnya. "Lo itu anaknya baik, tapi lo malah nggak punya teman." Abey membalas semangat, "Kamu juga nggak punya tuh." Nadine melotot, matanya yang sipit tetap saja kecil walau dibuka pada tingkatan maksimal. Cewek itu menghela napas, "Iya, juga sih. Makasih makanannya. Gue nggak akan bilang, gue bakal ganti duit lo. Soalnya gue nggak punya duit. Dan lagi, lo nggak beli minumnya bego." Abey kembali tertawa. Nadine berpikir, Abey ini ternyata receh sekali, ya? *** "Lo beneran suka sama Abey, Wa?" Amsel bertanya sambil menoleh. Menatap sahabatnya yang sedang bersandar di meja Osis. Dia menatap Dewa penasaran. Dewa itu jarang sekali dekat dengan cewek. Sibuk dengan pekerjaannya sebagai ketua Osis yang sebentar lagi akan dia lepas. Belajar keras untuk selalu memperoleh hasil terbaik. Ya, tipe-tipe cowok seperti Dewa, yang tidak punya waktu mengurusi hubungan semacam itu. Tapi Amsel tidak pernah melihat Dewa yang seperti sekarang. Tertarik dengan salah satu cewek, tapi begitu menunjukkan secara terang-terangan. "Iya." Dewa menjawab jujur. "Dia manis banget, 'kan? "Iya, sih. Tapi reputasinya di sekolah jelek loh. Dia nggak punya teman. Kemana-mana sendiri. Bayangin aja, nggak ada satupun cewek yang mau temanan dekat sama dia." Amsel tertawa sinis. Mereka sejak kelas satu bersahabat. "Ya, liat aja nanti." Dewa terlihat percaya diri. Dia menegakkan punggungnya lalu berdiri di depan Amsel yang duduk di sofa kecil. "Hati-hati aja bro, tuh cewek juga inceran si Sagara kayaknya." "Lo ngeraguin gue?" "Ya, bukan. Sagara 'kan anaknya k*****t. Pinter-pinter lo, lah." Dan Amsel tertawa garing, lalu sibuk dengan kegiatannya di laptop. Sesama anggota Osis dia juga punya banyak tanggung jawab. Abey. Dewa tidak bisa berpaling darinya, awalnya dia begitu mengagumi wajahnya yang selalu tersenyum. Disaat banyak cewek sok gaul yang termakan zaman dan merusak tubuh mereka sendiri, bebas dengan kehidupan remajanya, Abey justru terlihat sangat polos. Dewa melihatnya selalu terlihat bercahaya, tapi Abey bahkan tidak punya teman. Orang-orang di kelas mengasingkannya, tapi Abey terlihat seperti mutiara diantara kerikil. Cewek manis yang bisa menjaga diri dan terlihat sangat menikmati segala proses dari setiap apa yang dilaluinya. Senyumnya selalu cerah. Bisa tertawa lepas di setiap saat seolah tidak memiliki beban sama sekali. Dia memiliki magnet yang membuat Dewa tidak bisa memalingkan wajah. Dia~ Abey Swastika. Cewek yang membuat Dewa jatuh cinta untuk pertama kalinya. *** Abey menopang dagu, dia duduk di kursi guru di kelasnya. Pinggangnya nyeri setelah baru menyelesaikan piket kelas sendirian. Siswa lain yang piket hari ini malah pulang menimpakan semua tugas pada Abey. Tidak apa-apa, Abey sudah biasa. Dia mengambil tas yang terletak di atas meja, lalu keluar kelas. Angin sepoi-sepoi yang menyejukkan menerbangkan helai-helai halus rambutnya. Abey melebarkan pandang menatap penjuru sekolah. Sepi sekali. Dia tersenyum manis lalu kembali berjalan di koridor menuju gerbang. Saat melewati ruang Osis, Abey mengernyit. Bunyi keyboard yang ditekan terdengar beraturan. Lantas, dia bergerak mengintip dari celah pintu Osis yang sedikit terbuka. Cowok dengan kacamata di atas hidung mancungnya itu duduk tegap. Dahinya mengernyit seolah sedang berpikir bersamaan dengan jemarinya yang bergerak cepat di atas keyboard. Sesaat Abey menatapnya tidak berkedip. Cowok ganteng, cool, pintar, dan bertanggung jawab. Tidak heran, Dewa diagung-agungkan sebagai salah satu cowok yang diincar para cewek untuk dijadikan sebagai pacar. Sebelumnya Abey tidak dekat dengan cowok itu. Tapi pernah, saat Aurora tertangkap basah sedang membully Abey di toilet. Dewa menatap mata bulat Abey untuk pertama kalinya saat kedua cewek itu dibawa ke ruang guru. Dewa semakin gencar mendekati Abey. "Nama lo, siapa?" Cowok itu bertanya setelah mereka keluar dari ruang guru. "Abey, Kak. Abey Swastika." Seperti biasa, Abey tersenyum Dewa menatap sesaat, "Kelas berapa?" "Sebelas Ipa 2, kak" Lalu percakapan mereka selesai begitu saja. Dua hari setelahnya, saat upacara di hari Senin. Abey berdiri di barisan paling depan karena tubuhnya yang lebih pendek dari yang lain. Matahari bersinar cerah, Abey jatuh pingsan di barisan. Semua murid terkejut saat Dewa, si Ketua Osis dengan sigap meraih Abey dan membawanya ke Uks. Saat Abey sadar, dia terkejut melihat seorang cowok yang duduk setia di samping ranjang biru yang dia tempati. Cowok itu tidak pergi, Abey tersenyum saja. "Kak Dewa yang bawa aku ke sini?" "Iya. Lo baik-baik aja? Gue niatnya mau nganter lo balik." Abey menggeleng, dia berusaha bangkit. Sontak cowok itu berdiri ingin membantu Abey turun. "Nggak pa-pa kak. Aku mau masuk ke kelas aja. Makasih udah nolongin." Dewa berdiri canggung. Dia menggaruk pelipisnya yang kelihatan tidak gatal. "Aku boleh minta nomor kamu?" "Apa— Hah?" Abey melotot terkejut. *** "Dewa." Abey memanggil ragu. Cowok yang nampak fokus ke laptop itu refleks menoleh menatap pintu. Bibirnya tersungging tipis menyadari Abey mengintip kecil-kecil dari celah. Dia menurunkan kaca matanya. Meletakkan di atas meja. "Ngapain, Bey?" tanyanya seraya mendorong mundur kursi putarnya, kemudian berdiri dan mendekat ke arah Abey. Pintu itu dibuka lebar. Abey berdiri canggung. "Maaf," cengirnya. "Aku tadi lewat, terus lihat kamu. Belum pulang, ya?" Dewa menaikkan alis, dia tersenyum geli. "Menurut kamu?" "Masih banyak kerjaan, ya? Ketua Osis pasti sibuk." "Iya, ini hari terakhir sih. Besok udah nggak jadi anggota Osis lagi." Abey mengangguk mengerti. "Ya udah, aku pulang, ya. Kamu jangan kelamaan di sini, awas ada setan." Dia tertawa renyah. Gadis itu berbalik, berniat meneruskan langkah untuk kembali ke rumah. Tapi setelah mengambil dua langkah, cekalan di tangan kanannya membuat gadis itu berhenti. Abey menatap Dewa bingung. "Sebentar lagi kerjaan aku selesai. Kamu mau nungguin? Aku niat buat antar kamu pulang." Manis sekali cowok di depannya ini. "Lagian, udah sore gini yakin mau jalan sendiri?" "Ga pa-pa, rumah aku nggak jauh-jauh amat." Dewa menatap mata Abey dalam. Seolah berusaha menyakinkan cewek itu. Abey memiringkan kepala, dia mengacungkan jempol. "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD