Dua

2292 Words
Abey memegang perutnya lalu menatap nanar pintu kamarnya yang terkunci rapat dari luar. Gadis itu mengusap wajahnya kasar, lantas tersenyum. Lagi-lagi Mama marah dan tidak terkendali. Benzodiazepin. Abey menggigit kukunya resah. Sudah selama apa? Apa seburuk itu? Alara Anjani, Mamanya mengambil tanggung jawab sebagai tulang punggung setelah Papanya meninggal. Namun, karena stres, Mama jadi sering kali marah tidak terkendali. Alara mudah terserang panik kalau Abey tidak berada dekat dalam jangkauannya. Abey adalah bonekanya. Harus selalu berada dekat dengannya. Abey tidak banyak protes, Mama seperti itu karena terlalu takut kehilangan. Satu-satunya keluarga yang Mama miliki hanya Abey begitu juga sebaliknya. Kalau Abey selalu berada di sisi Mamanya untuk selalu menenangkan, mungkin Alara akan berubah. Tapi kalau melihat sebanyak apa obat yang Mamanya komsumsi. Abey tidak bisa membayangkan sebesar apa rasa takut yang diam-diam selalu Mamanya rasakan. Apa kepergian sang Papa sebegitu berdampak untuk Mamanya? Abey menggigit bibirnya dalam. Papanya ... Seolah oksigen direnggut paksa dari paru-parunya, Abey merasa sulit bernapas, dadanya terasa menyempit dengan jantungnya yang berdegup lebih cepat. Gigitan di bibirnya semakin menguat menahan isakan yang hampir saja lolos dari mulutnya. Tidak. Kalau sampai Mama mendengar suara tangisannya, itu akan menjadi lebih buruk. Air mata meleleh di kedua pipinya. Menangis tanpa suara, kedua pipinya dilelehi air mata. Papanya, cinta pertama bagi Abey. Orang yang dulu mengajarinya bersepeda di halaman belakang rumah. Orang yang dulu selalu suka menggelitiki Abey. Orang yang suka mengajaknya berlari mengelilingi kompleks. Pikiran Abey mulai terkencar-kencar. Kalau saja, kalau saja bukan karena untuk menyelamatkan hidup Abey, Papa pasti masih hidup Kalau saja Papa tidak memberikan salah satu ginjalnya pada Abey, mungkin Papa masih ada. Abey terdiam dengan remasan kuat di pahanya. Lantas, semua adalah salahnya. Luka-luka di punggung Abey karena pukulan Mama mendadak tidak terasa begitu menyakitkan lagi. Rasa sakitnya tidak begitu berarti dibanding rasa sakit yang kini berpindah tepat ke ulu hatinya. Menghujam keras seolah tidak membiarkan bahkan untuk sekedar menarik napas kuat—memasok udara di paru-parunya yang kian menyempit— Abey menggeleng keras. Papa meninggal karena menyelamatkan hidup Abey, lantas Mamanya menjadi seperti ini adalah karena Abey juga. Gadis itu tergugu. Kenapa dia baru sadar? Abey merasa kini semua hanya berputar-putar di kepalanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding ketika Abey menyadari semua peristiwa berpusat karena dirinya. Gadis itu mengusap air matanya, lantas mengambil foto yang dia selipkan di kantong baju. Jangan lupa, kamu harus selalu senyum Abey mengamati foto itu seraya tersenyum. Di sana, mereka bertiga tampak bahagia. Mama dan Papanya tertawa lebar. Tapi setelah dua tahun kepergian sang Papa, Abey bahkan tidak pernah melihat Mama tertawa selebar itu lagi. Setiap senyum yang Mama tunjukkan terasa dingin, seolah senyum itu hanya bibir yang melengkung tipis tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. "Maafin, Abey." Kepalanya sakit. Perutnya juga benar-benar mual. Napas Abey mulai sesak. "Gara-gara Abey Mama jadi kayak gini. Abey minta maaf." Gadis itu tersenyum menatap foto mereka bertiga, suaranya begitu serak dan pelan. Dengan begitu, Abey sadar lebih dari apapun. Tidak apa-apa Abey dianggap sebagai boneka oleh Mamanya, tidak apa-apa Abey menerima segala bentuk kecemasan Mamanya. Dan sangat tidak mungkin bagi Abey jika dia mencoba pergi dari Mamanya 'kan? *** "Senyum, Abey." Abey berjalan sedikit tertatih. Menelan ludah dan menjadikan tembok sebagai pegangan. Menyusuri koridor menuju kelas sembari tersenyum manis. "Papa kamu bakal seneng, lihat kamu senyum manis kelihatan bahagia." Langkah Abey terhenti, dia meluruskan pandangan menatap lapangan indoor yang dikerubungi para siswa. Gadis itu menolehkan kepala, pantas saja sepi, semua orang berada di sana. Abey mulai mendekat, langkahnya kecil-kecil karena badannya terasa nyeri semua. Dia berjinjit untuk melihat apa yang terjadi di tengah kerumunan itu. Lantas bertanya pada seorang murid laki-laki berponi. "Itu pada ngapain, ya?" Laki-laki itu menoleh, "Biasa, si Sagara, lagi berantem gebukin anak IPS yang songong nggak ketulungan," jawabnya kemudian segera beralih menatap ke depan lagi. Abey melotot. Sagara? Lantas dengan menahan desisan saat punggungnya bertabrakan dengan anak-anak lain, Abey mencoba menerobos kerumunan itu. Di sana, pemandangan yang dua minggu terakhir tidak pernah terlihat kembali hadir. Abey merasa bulu kuduknya merinding. Di sana, cowok dengan penampilan urakan—walau masih sangat pagi—berdiri di tengah sana bersama teman-temannya. Di barisan paling depan, Sagara tengah mencengkeram kerah seragam seorang murid, sampai-sampai murid dengan rambut cepak itu terangkat, kakinya hampir tidak menyentuh lantai. Wajahnya babak belur, seragamnya kotor. Abey melihat Sagara dan ada luka lebam di pipinya. Cewek itu berasumsi si murid rambut cepak adalah pelakunya. "Masih berani nantangin?" bentak Sagara. Detik setelah itu dia langsung menjatuhkan si rambut cepak ke lantai. Rintihan kesakitan terdengar. Abey meringis, merasa iba dengan pandangan yang dilihat. Tapi sepertinya lukanya tidak terlalu parah. "Gimana ni Sagara enaknya?" Salah satu teman Sagara yang Abey tahu namanya Rio bertanya. Semua diam, menanti titah Sagara. Termasuk Abey yang menggenggam tali tas nya dengan erat. Bingung harus bereaksi apa. Kenapa juga tidak ada sama sekali guru yang datang di tengah ribut-ribut seperti ini? Sagara maju mendekat ke arah si rambut cepak yang terkapar. Ekspresinya datar, dia berjongkok. "Moreno Bramantyo." Sagara membaca name tag si rambut cepak itu dengan tenang, "Oh ini, Yo? Yang kemarin ngeledekin gue?" Rio nyengir kuda yang posisinya di belakang Sagara. "Bener, Bos. Katanya lo udah mampus kebanyakan ngerokok, makanya nggak masuk dua minggu." Tawa Sagara mengalun keras menggema di lapangan indoor dengan pilar-pilar tinggi. Beberapa anak-anak lain diam-diam menyingkir, tidak ingin terlibat. "Kenapa, No? Gara-gara anak sebelah masuk RS habis kita gebukin, trus lo diskors sementara gue enggak?" Abey bisa melihat bagaimana nyali cowok cepak bernama Moreno itu menciut di bawah tatapan Sagara. "B-bukan-" "Alah, alasan aja dia, Bos!" BUGH "Kalo nggak ada gue aja mulut lo bisa kemana-mana ya? Dasar banci!" "Sagara!" Langkah kaki buru-buru itu terdengar jelas dari balik pilar besar lapangan. Abey tidak perlu mendongak untuk tahu siapa manusia yang akan datang pertama kali untuk melerai keributan ini. Laki-laki itu. Dewa Emilio. Ketua Osis SMA Birawa, memandang Saga dengan geram. Abey bisa melihat di matanya ada sejuta penghinaan. "Woi, pakabar?" Sagara menaikkan sudut bibirnya. "Lo sama sekali nggak tau gimana damainya sekolah ini tanpa lo dua minggu." Dewa menyindir Sagara keras. "Gue pikir kehadiran gue di sini, bikin lo nggak bisa jalanin tugas lo dengan baik." Tawa Sagara mengalun. "Gue berpengaruh banget ya buat, lo?" Dewa otomatis mengepalkan tangannya erat-erat. "Jaga omongan lo." "Kenapa?" Sagara menaikkan alisnya tajam. "Lo mau apa kalo gue nggak bisa jaga omongan?" Hening. Siapa pun tahu pertanyaan itu retoris. Sagara mengambil dua langkah, mempersempit jaraknya dengan Dewa. "Semua orang juga tau lo nggak bisa apa-apa. Cuma bisa ngadu. Karena ketua Osis penyakitan nggak bakal ngotorin tangannya sendiri, 'kan?" Dewa menggertakkan gerahamnya dalam diam. Dia lepas kendali. Kepalan tangannya sudah setengah jalan menuju rahang kiri Sagara, tapi niatnya urung sedetik kemudian. "Ada apa ini?" Suara baru memecah ketegangan itu. Pandangan semua murid segera tertuju pada Pak Darman, guru matematika yang berjalan menuju kerumunan. Mata beliau menyipit curiga. "Ada yang berkelahi?" Dewa menarik kepalannya di udara. Moreno si cowok cepak beringsut bangkit dari posisinya yang terpuruk di lantai. Namun, belum sempat keduanya mengeluarkan sepatah kata, Rio sudah menyahut keras. "Aman, Pak!" Kemudian ditimpali oleh beberapa cowok lain. Pak Darman kembali mengelilingkan pandangan. "Kalau begitu kembali ke kelas masing-masing. Sebentar lagi, pelajaran akan dimulai." Abey mengalihkan pandang menatap Sagara, cowok itu tersenyum sinis di sudut bibirnya. Alisnya diangkat main-main ke arah Dewa, seolah menantang Dewa untuk membalasnya. Dewa mengalihkan pandang terpaksa. Cowok itu berusaha mendinginkan kepalanya, meski buku-buku jarinya masih berkedut. Namanya Sagara. Sagara Birawa. Cucu tunggal pemilik SMA Birawa. Orang-orang memanggilnya Sagara. Tokoh yang paling sering dijumpai dalam sebuah cerita, laki-laki berandalan yang selalu ada di setiap sekolah. Di SMA Birawa, Sagara dan Dewa adalah dua kutub yang berlawanan. Dewa adalah kebanggan guru-guru, juara olimpiade. Sementara Sagara, berandal yang jarang masuk sekolah, lebih sering memicu tawuran antarpelajar, tapi tidak pernah dapat Surat Peringatan. Lantas, Abey mengernyitkan dahi tatkala menyadari satu hal. Di sekolah, Abey tidak punya teman dekat. Tapi kedua cowok itu, entah kenapa selalu berada dekat dengannya. Abey tersenyum manis, dengan menjadi anak yang lebih manis seperti yang selalu Mama katakan, cepat atau lambat Abey pasti akan punya banyak teman lagi, 'kan? Senyum gadis itu kian lebar, saat menatap kedua cowok lima meter di depannya, Sagara dan Dewa menolehkan kepala—balas menatapnya. Lalu, Abey berbalik melangkah dengan riang menuju kelas setelah melambaikan tangannya ke kedua cowok itu seraya tersenyum manis. Di mata Sagara dan Dewa, Abey adalah lambang kecantikan, ketegaran, dengan daya tarik kuat dibumbui senyuman manis di bibir pucatnya. Lantas, kedua cowok itu menatap punggung Abey yang semakin mengecil seiring ditelan jarak. *** Aurora menggigit bibir, napasnya sudah tidak beraturan. Mematri langkahnya dari gerbang masuk ke dalam areal sekolah, gadis itu memaki dalam diam, berusaha meredakan kekesalannya. Wajahnya malas-malasan, bibirnya pucat. Dia bahkan tidak sempat mengoleskan liptint ke bibirnya pagi ini. Gadis itu bangun terlambat, dia hanya tidur selama tiga jam karena memutuskan untuk menunggu Bunda pulang seraya duduk di depan meja belajarnya dan mempelajari apa saja. Tapi, sampai jam tiga pagi, Aurora tahu bahwasanya Bunda memang tidak pulang untuk semalam itu. Lantas ketika bangun terlambat pagi ini, Aurora terdiam sekejap dengan pakaian seragam lengkap menatap brownies buatannya semalam sudah dikerubungi semut-semut halus yang entah dari mana. Aurora mencangklong tas di bahu kanan, berjalan ke luar rumah seraya membawa brownies yang sama sekali terlihat tidak menarik lagi di matanya. Lantas, setelah membuka pagar, brownies di tangannya dilempar begitu saja masuk ke dalam keranjang sampah. Cewek itu terdiam sebentar. Jadi, brownies yang semalam Aurora buat dengan semangat berkobar-kobar pada akhirnya menghuni tempat sampah juga. Cewek itu terkekeh. "Harusnya emang di tempat sampah sih. Udah pertanda, Bunda mana mau terima ginian." Membalikkan badan, Aurora menghela napasnya kemudian berlari sekencang mungkin. Mampus gue. Mampus gue ... Gadis itu tidak berhenti menyumpah-nyumpah sewaktu berlari di trotoar. *** Aurora pikir hari Rabu tidak bisa lebih buruk lagi dari ini. Perihal brownies buatannya yang berakhir di tempat sampah, tidak punya uang untuk sekedar naik ojek, dan berakhir dengan napas putus-putus sampai di depan gerbang. Ternyata Rabu-nya masih bisa bertambah lebih buruk lagi. Saat hendak menaiki tangga menuju kelas di lantai atas. Aurora tidak bisa menahan untuk bertanya, setelah melihat kerumunan di lapangan yang perlahan berkurang. "Eh, Jo itu ada apa?" Aurora menepuk bahu salah satu cowok yang juga akan menaiki tangga. Jonathan—teman sekelas Aurora. "Biasa, si Sagara, Ra," jelas Jonathan kemudian segera melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Aurora otomatis membulatkan matanya ke tingkatan maksimal. Bibirnya mendadak kelu, tatapannya kosong. Gadis itu lantas terkekeh seraya menaiki susunan tangga, "Ah, kenapa gue sekaget itu ya? g****k lo, Ra. Berandalan itu memang sekolah di sini, ya wajar dia ada di sini sekarang. Kaga jadi mati kali." Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi mungkin hanya Aurora yang tahu, bagaimana pagi ini Aurora menatap sekelilingnya dimana murid-murid sibuk berlalu lalang, tapi cewek itu tidak bisa mendengar apa-apa. *** "Pagi ini gue exited banget, sumpah. Lihat hal semacam di lapangan tadi, entah kenapa semangat gue menggebu-gebu. Sagara dan Dewa, di Birawa!" Saat Abey memasuki kelas, sekelompok cewek-cewek sudah saling berkerubung di meja paling depan sebelah kanan. Suaranya keras menggebu-gebu dengan senyum antusias dan mata berbinar. "Udah lama banget, ya? Dua minggu bukan? Kemana aja ya, si Sagara? Gue kangen banget liat mukanya, tiap malam cuma bisa stalking ig-nya gue." Kayla, cewek dengan rambut lurus sebahu itu balas terkekeh. Abey mengambil langkah, berjalan menuju bangkunya. Namun, dia segera menoleh saat merasa dipandangi secara intens. Dan benar saja, cewek-cewek yang asyik berbicara tadi menatap Abey dengan pandangan yang sulit diartikan. Sebagian menatapnya datar tanpa ekspresi, sebagian lagi memutar bola mata malas. Kayla mengambil cermin kecilnya yang sedari tadi diletakkan di atas meja, berjalan ke arah Abey. Cewek itu menatap Abey dari ujung rambut sampai ke sepatu dengan pandangan menelisik. "Abey, gue penasaran sama lo. Sagara udah balik lagi ke sekolah, tapi selama ini gue selalu penasaran. Kenapa Sagara dan Dewa selalu dekat sama lo. Ah, salah. Lo yang selalu dekat-dekat sama mereka. Lo ... ada hubungan apa sama mereka?" Kayla mencondongkan cerminnya tepat ke depan wajah Abey. Cewek itu menatap tajam, Abey balas gelagapan. Dia menelan ludah, "Kay, aku nggak kayak gitu. Aku juga nggak tau, tapi apa emang kami sedekat itu sampai kamu tanya gini?" Kepalang emosi, lantas Kayla melototkan matanya dengan gigi bergemeletuk. "Lo emang nggak tau apa pura-pura nggak tau? Satu sekolah juga tau, gimana Sagara dan Dewa seakan istimewain lo! Sumpah, ya, lo itu orang paling muna yang gue kenal. Makanya, lo nggak punya teman, mati aja lo b***h!" Kayla keluar kelas dengan langkah kaki cepat-cepat. Kedua tangannya terkepal emosi. Bodoh. Abey menatap punggung itu. Ya, Abey sadar satu hal. Abey juga menganggap dirinya sendiri adalah orang paling bodoh. Dia mungkin menduduki peringkat paralel ketiga berturut-turut sejak kelas sepuluh. Sulit memahami situasi, lantas dia Abey memilih menjadi seorang pengamat yang baik saja. Gadis itu menunduk lesu, pagi-pagi dia sudah berhasil membuat Kayla kesal. Abey merutuki dirinya sendiri yang bahkan tidak bisa membuat orang lain nyaman berada di sekitarnya. Dia mendongak, menatap cewek-cewek yang perlahan kembali ke kursinya masing-masing. Seraya tersenyum manis, Abey mengambil langkah menuju kursinya juga. Nadine, teman sebangku Abey duduk di kursinya dengan wajah malas-malasan. Dia menguap sekali, rambutnya terlihat belum disisir sama sekali. Kantung mata hitam menghias wajahnya yang lesu. "Kamu nggak tidur, ya?" Abey memberanikan diri bertanya. Nadine mengangkat wajah malas-malasan. "Menurut, lo?" Dia kembali menelungkupkan wajah di antara lipatan tangan. Bersiap untuk tidur. Sebelum Abey duduk di bangkunya, Nadine kembali berceletuk, "Lo jangan ganggu gue. Lo nggak tau gue sengantuk apa." Abey mengangguk kecil, menggeser bangkunya sepelan mungkin tanpa menimbulkan suara decitan lalu dia duduk dengan tenang. Dia menatap seisi kelas, murid-murid yang lain sudah duduk di bangkunya masing-masing— walau masih ada yang kosong karena pemiliknya mungkin masih ada di luar. Berbincang-bincang dengan teman sebangku kemudian membuka buku, menunggu Pak Darman, guru matematika yang mengajar pagi itu. Abey menatap salah satu kursi kosong yang berada di tengah. Kursi milik Shilla.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD