Ketika Faten memasuki koridor menuju ruang operasi seperti biasa tengkuknya terasa dingin, koridor tempatnya berjalan sedikit lebih tegang dan menyeramkan bagi sebagian orang karena koridor itu bisa menjadi utusan hidup dan mati seorang pasien yang menunggu operasi di balik pintu
Tapi Faten sudah terbiasa tak ada waktu untuk berjalan santai dengan langkah kaki cepat dan diiringi berlari ya harus cepat menuju ruang operasi, adrenalinnya terasa terpacu dan nafasnya seperti kuda berlari di pacuan
Hingga tangan itu menyentuh ruangan bertuliskan operating Theater. Iya berhenti dan perjalanan ke arah wastafel stainless steel panjang, seperti rutinitas seorang dokter yang akan melakukan operasi begitu kakinya menyentuh pedal Pancuran air mengalir deras ditambah dengan aroma khas antiseptik yang sangat menusuk hidung
Faten menurunkan lengan dan mulai menggosok gerakannya berulang bahkan setiap ujung kuku hingga ke siku lalu setiap celah kulit harus terbilas dengan sempurna, tidak boleh ada ruang kecil untuk kesalahan
Seorang perawat yang berdiri di belakang "Siap masuk, Dokter Faten?"
"Siap," paten berjalan dengan tangan yang tetap terangkat tinggi ke area kering dan perawat itu membantu memasangkan baju khusus operasi berwarna biru tak lupa juga bagian kepala memastikan semuanya steril dengan teknik closed gloving yang sudah harus dihafal di luar kepala
Hingga masker yang dipasang di akhir
Pintu ruang operasi terbuka otomatis, cahaya putih terang sangat kontrak dengan bayangan tubuh pasien. Bau elektrokauter samar tercium ketika sayatan pertama Belum dibuat
Di tengah ruangan seorang pasien laki-laki berusia 28 tahun terbaring di meja operasi, kulitnya pucat lalu terlihat dadanya naik turun dengan intensitas yang cepat, selimut termal sudah menutupi sebagian tubuhnya
Lalu di sebelah kanan ada monitor vital yang mengeluarkan bunyi Beep...beep...beep.. Terdengar tak stabil, detak jantung memaksa pasien untuk tetap hidup
Tekanan darah 80/50, nadi 132
“Pasien sudah dipre-oksigenasi. Jalur 16G dan 18G terpasang. Dua kantong PRC standby,” lapor perawat anestesi.
Faten mengangguk, mendekat ke kepala pasien. “Saya ambil alih.” Suaranya berubah datar, fokus
Monitor menampilkan riwayat tekanan darah yang turun bertahap. Tetes infus melaju cepat. Faten mengecek flowmeter oksigen, memastikan aliran 100% masuk sebelum induksi. Tubuh pasien sedikit bergetar, mungkin sisa adrenalin
“Propofol 120. Fentanyl 100. Rocuronium 50,” perintah Faten cepat namun terukur
Obat masuk ke jalur infus, cairan putih s**u mengalir ke vena. Kelopak mata pasien turun perlahan, napasnya melemah. Faten menunggu
Faten mengambil masker ventilasi dan menutup hidung serta mulut pasien lalu mulai memompa kantung ventilasi ritmis, terlihat dadaa pasien naik turun
"Vebtilasi adekuat," paten memperhatikan ritme dadaa pasien Laringoskop diserahkan kepadanya
Cahaya kecil di ujung bilah logam menyapu dinding faring, pita suara tampak jelas di bawah tekanan lembut. Tabung ETT 7.5 masuk mulus. Capnography berbunyi garis kuning bergerigi naik.
ETCO₂ 37. "Jalan napas aman,"
“Jalan napas secure. Pasien siap,” Faten menoleh ke tim bedah yang sudah bersiap dengan pisau bedah dan suction.
Dokter bedah mengangguk tanpa suara
Faten memindahkan fokus ke monitor, mengatur ventilator, meningkatkan transfusi PRC. Ia tidak melihat pisau bergerak, tapi ia mendengar segalanya suara logam, suara suction menyedot darah, instruksi cepat, dan alarm monitor yang sesekali berubah tempo.
Faten berdiri di kursinya, tangan di atas ventilator, mata terpaku pada monitor.
Tiap 5 menit angka vital berubah seperti grafik dan tekanan darah yang naik turun tajam, namun setelah transfusi kedua berhasil ritme kembali melambat
Tim bedah bekerja cepat incision kiri atas, eksplorasi, suction, hemostasis, lalu suara stapler bedah
Faten berdiri mengatur obat anestesi melalui syringe pump, monitor memperlihatkan tekanan darah arteri Real Time, mengatur ventilator serta menambah atau menurunkan sedasi sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan pasien
Di tengah-tengah operasi tiba-tiba terjadi pendarahan dengan cepat paten mempercepat transfusi dan mengganti cairan dengan produk darah, ketika tekanan mulai stabil ia perlahan mengurangi vasopressor
“Give PRC.” “Prepare FFP.” “Maintain MAP 65.”
Hingga akhirnya, suara dokter bedah memecah repetisi mesin.
“Splenektomi selesai. Hemostasis baik.”
Perlahan ketegangan di ruangan itu menurun, kata khusus benda mulai berembun oleh nafas dan keringat, suction berhenti, dan terdengar bunyi logam yang mulai dikumpulkan satu persatu, bau kuater pun mulai menghilang berganti dengan aroma saline dan betadin
Faten mengurangi gas anestesi dan menjaga oksigen 100% sementara obat reversal otot disiapkan
Nafas pasien mulai kembali dengan pelan tapi cukup baik, grafik CO² naik perlahan
"Siap untuk ekstubasi," paten melepas tabung endotrakeal perlahan dan pasien batuk dengan kondisi yang lemah, terlihat Reaksi tubuh yang mulai kembali sadar
Masker oksigen dipasang dan monitor menunjukkan tekanan darah yang mulai stabil ketika Faten menatap layar untuk terakhir kali dan angka dimonitor menunjukkan jika semuanya stabil
Dan operasi malam itu selesai
Setelah semua selesai Dr. Faten kembali ke ruangannya meskipun tangannya memegang laporan operasi tetapi ia tidak benar-benar membaca tatapannya terasa kosong
Lamunannya terganggu ketika terdengar suara masuk dari pintu yang perlahan terbuka, "My bro," suara itu Tak asing baginya dia mengenali dengan betul siapa yang datang
"Adrian!"
Dr. Adrian Prakoso berdiri di depannya mengenakan kemeja biru dan jas dokter yang sudah terlihat kusut, Ia datang dan merangkul sahabatnya dengan membawa sebuah map tebal berisi jurnal medis
" Apa yang kau lakukan di sini?"
"Kita sahabat dan aku tahu seberapa bucinnya kamu sama istri,"
Begitu sampai di meja Adrian meletakkan map yang berisi jurnal di atas tumpukan laporan pasien Faten
"Aku tahu kau tak butuh ini untuk menganalisis, kamu bahkan lebih jago dalam hal neuromedika daripada aku,"
Faten menghela nafas
" Aku membawa jurnal ini bukan untuk menyelesaikan masalah istrimu tapi aku ingin berada di sisimu untuk menghadapi ini,"
Paten memejamkan mata sesaat sambil memijat pelipisnya
" Jadi kamu datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk kini?" Suaranya mulai serak penuh emosi
"Ya." Adrian duduk di kursi sebelah paten." Sejak aku mendapat telepon tentang kondisi Taran, aku langsung mencari beberapa jurnal medis yang berhubungan dengan kondisi istrimu, "
Faten tertawa dengan kepala yang sedikit dimiringkan menatap sahabatnya," Kamu masih sama saja seperti waktu kita kuliah,"
" aku masih ingat kok waktu kita duduk di taman kampus, kamu selalu cerita tentang seorang cewek yang udah kamu taksir sejak SMA, "
Faten sedikit tertawa dengan alis yang terangkat, " oh? Jadi kamu masih ingat! "
Adrian tertawa keras" Tentu aja, Kamu orang gila yang menangis bukan karena nilai mata pelajaran jelek. Tapi karena mimpi perempuan yang kamu sukai dinikahi laki-laki lain, "
Saat itu Faten sedikit malu " Ya saat itu emang perasaan cintaku menyiksa, "
Adrian masih terbayang betapa konyolnya saat itu, dia harus menemani Faten di klinik selama setengah hari untuk mendengar tangisan dan pulang dalam keadaan mata bengkak. Itu pengalaman yang tak pernah terlupakan bagi Adrian